Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

UNDESENSUS TESTIS
DISUSUN OLEH:

Skolastika Indah A.

406171059

PEMBIMBING:

dr. Devintha Tiza Ariani, Sp. U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 19 MARET 2018 – 26 MEI 2018
RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
JAKARTA
ANATOMI DAN
EMBRIOLOGI
LAPISAN PEMBUNGKUS
TESTIS
UNDESENSUS TESTIS

• Gangguan penurunan testis menuju ke skrotum.


• Saat lahir, 95% bayi tidak memiliki testis dengan posisi yang normal
pada skrotum.

Epidemiologi
– Insidens kejadian UDT berkisar antara 30% pada bayi prematur dan 1–
3% pada bayi cukup bulan
– UDT unilateral empat kali lebih umum dibandingkan bilateral.
– Analisis pada 2150 kasus orchiopeksi dilaporkan dalam tujuh studi dari
Denmark mengungkapkan dari seluruh kasus UDT yang diteliti: 23%
bilateral, 46% pada sisi kanan dan 31% pada sisi kiri.
ETIOLOGI

– Etiologi UDT sebagian besar masih belum diketahui


 Beberapa hipotesis telah diajukan. Antara lain, disfungsi
plasenta dengan penurunan sekresi hCG dapat menjadi
penyebab gangguan hormonal maupun gangguan lainnya
selama periode kehidupan janin
 Kelainan ada pada intrinsik testis
 Kelainan pada gubernakulum testis
FAKTOR RESIKO

– intrauterin growth restriction (IUGR),


– prematuritas - kejadian pada bayi prematur 30%,
– anak laki-laki pertama atau kedua,
– asfiksia perinatal,
– sectio caesaria,
– toksemia kehamilan,
– subluksasi hip kongenital,
– musim (terutama musim dingin).
– faktor lingkungan
– riwayat keluarga dengan UDT juga mempengaruhi kejadian UDT.
PATOFISIOLOGI

– Pada keadaan normal, testis akan turun dari abdomen ke


posisi ekstrakorporal (skrotum) untuk mendapatkan suhu
yang lebih rendah sehingga dapat terjadi spermatogenesis
yang normal. Perbedaan suhu badan laki-laki dengan
skrotum adalah berkisar 2-4oC.
– Penurunan testis terjadi dalam 2 fase, dengan mekanisme
anatomis yang berbeda serta pengaruh hormonal yang
berbeda pula, yaitu; fase trans-abdominal dan fase inguino-
skrotal
– Fase transabdominal
Pada fase ini testis dibawah pengaruh hormon testosteron, testis yang
terfiksasi di diafragma oleh ligamen kranio-suspensorium akan terlepas.
Bersamaan dengan proses pelepasan testi dari diafragma, gubernakulum
yang menempel pada kaudal testis akan menebal dan menjangkar testis
ke regio inguinal. Penebalan gubernakulum terjadi dibawah pengaruh
INSL3 dan LGR 8.
diduga UDT terdapat pada gangguan fase trans abdominal, dimana testis
tetap menempel pada gubernakulum ke daerah inguinal namun
penurunanya tidak terjadi
– Pada fase ini penurunan testis dibawah pengaruh 2 faktor : hormonal dan mekanis
– Gubernakulum yang terfiksasi pada skrotum akan menarik skrotum turun hingga regio
cincin eksternal inguinal, namun testis harus turun mencapai skrotum.
– Pada tahap ini, mekanisme migrasi yang terjadi sangat kompleks dan sulit.
– Setelah itu akan terjadi maskulinisasi cabang sensorik saraf genitofemoral oleh
androgen, sehingga terjadi pelepasan calcitonin gene-related peptide (CGRP) yang
mengontrol pertumbuhan dan elongasi gubernakulum.
– Gubernakulum memiliki reseptor androgen yang sangat banyak dan merupakan lokasi
primer kerja hormon androgen dalam proses penurunan testis. Diameter
gubernakulum akan mencapai maksimal pada bulan ke 7 gestasi, termasuk pelebaran
kanalis inguinalis. Bersamaan dengan ini, puncak dari prosesus vaginalis akan secara
aktif memanjang dan membentuk divertikulum peritoneum yang memfasilitasi
penurunan testis dari intra-abdomen ke testis.
– Setelah testis dan epididimis berada di skrotum, hubungan antara skrotum dan
abdomen oleh prosesus vaginalis akan berinvolusi dan menutup. Pada beberapa studi,
kegagalan involusi merupakan salah satu penyebab terjadinya UDT, dimana testis dapat
naik kembali ke rongga abdomen, dan gubernakulum mengekerut, membentuk
jaringan fibrosa dan menetap menjadi ligamen skrotalis
KLASIFIKASI

Unilateral
Kongenital Teraba dan
dan
dan didapat tidak teraba
bilateral

LETAK TESTIS MALDESENSUS

1. Testis retraktil
2. Inguinal
3. Abdominal
4. Inguinal superfisial
5. Penil
6. femoral
MANIFESTASI KLINIS
dan
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik :
 Tidak teraba testis dikantung skrotum
 terkadang dapat ditemukan benjolan pada abdomen

Pada kasus UDT pada usia tua atau pasien tidak menyadari hingga usia
dewasa, beberapa pasien datang dengan keluhan sulit mempunyai
keturunan
Kasus UDT berkepanjangan, pasien memiliki risiko terjadinya
keganasantesticular germ cell tumors (TGCT) sebesar 5-10 kali lebih tinggi.
ANAMNESIS

– data kejadian pada saat kehamilan


– obat yang dikonsumsi dan paparan toksin lingkungan
– berat lahir
– posisi testis saat lahir
– riwayat penyakit dan cacat pada anak
– serta riwayat keluarga lainnya.
PEMERIKSAAN FISIK
– Pemeriksaan dilakukan dengan posisi anak berdiri
Inspeksi:
 tampak skrotum yang hipoplastik dengan
pembentukan lipatan-lipatan skrotum yang berkurang.
Palpasi:
 Testis tidak teraba di kantung skrotum melainkan di
inguinal atau ditempat lain.
 Pada pemeriksaan, mungkin akan sulit meraba testis,
atau testis tidak ditemukan, yang mengindikasikan tidak
terbentuknya testis atau testis berada pada rongga
abdomen.

Jika kedua buah testis tidak diketahui letaknya harus


dibedakan dengan anorkismus bilateral yaitu dengan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron
kemudian dilakukan uji dengan pemberian hormon hCG
– Pada beberapa pasien dengan testis yang sulit teraba, pemeriksaan
dapat dilakukan dengan posisi anak dengan kaki disilangkan saat duduk.
– Manuver ini dapat mengurangi reflek kremaster dan dapat mendeteksi
lokasi testis.
– Apabila gonad tidak dapat dipalpasi pada satu sisi, ultrasonografi atau
MRI dapat digunakan untuk menemukan testis.
– Pemeriksaan biasanya dilanjutkan dengan laparoskopi dengan tujuan
antara lain untuk memfasilitasi orchiopeksi atau untuk mengeluarkan
gonad atrofik
Beberapa teknik pencitraan yang berbeda telah dievaluasi untuk penilaian
UDT, antara lain:
– ultrasonografi (USG) - baik untuk menilai ukuran testis inguinal, kurang
dapat diandalkan untuk testis pada abdomen,
– computed tomography (CT) - dapat digunakan untuk testis yang tidak
dapat diraba bilateral; dilakukan di bawah anestesi umum pada anak-
anak,
– Magnetic Resonance Imaging (MRI) - dapat digunakan untuk testis yang
tidak dapat diraba bilateral; dilakukan di bawah anestesi umum pada
anak-anak, paling tidak invasif, paling mahal,
– venografi, angiografi - invasif, sulit dilakukan, tingkat komplikasi tinggi;
tidak berguna pada anak-anak.
TATALAKSANA

Hormonal

Terapi hormonal biasanya dilakukan menggunakan hCG, gonadotropin releasing


hormone (GnRH), luteinizing hormone releasing hormone (LHRH) atau kombinasi
keduanya.
Metode terapi hormonal berupa pemberian hCG, yang dianjurkan pada anak laki-laki
dengan UDT.
HCG diproduksi oleh syncytiotrofooblast dan merangsang sel Leydig testis untuk
menghasilkan testosteron, membantu proses penurunan testis. Diduga anak laki-laki
dengan UDT memilki kekurangan pada hormon ini. Apabila setelah 1 bulan pemberian
terapi hormonal tidak terjadi, sebaiknya dipertimbangan tindakan pembedahan.
Dosis hCG yang diberikan adalah 50 IU/kgBB secara intramuskular, 2 kali semuggu
selama 3-5 minggu (dengan dosis total 6,000–9,000 IU).
TATALAKSANA

Operatif •Orchidopexy dengan pembuatan kantong subdartos


•Fiksasi dapat diperoleh dengan jaringan parut dari tunica vaginalis ke
jaringan sekitarnya.
•Insisi skrotum tunggal Bianchi yang tinggi merupakan teknik opsional
untuk orchidopexy pada anak laki-laki dengan UDT yang terletak di
bagian distal pada cincin inguinal eksternal.
•Diseksi retroperitoneal merupakan tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan prosedur pembedahan ini.
•Pasien dengan testis yang tidak dapat ditemukan secara palpasi
perlu dilakukan tindakan laparoskopi untuk mengetahui lokasinya.
Apabila korda spermatika ditemukan terletak transversal dari kanalis
inguinalis interna, atau testis terletak didekat cincin kanalis inguinalis,
testis dapat secara langsung dimasukin kedalam skrotum. Namun
apabila testis terletak jauh dari skrotum, tindakan teknik Fowler-
Stephens (F-S) 2 tahapan digunakan
TUJUAN UTAMA
TATALAKSANA UDT

Menarik kembali testis kedalam skrotum

dengan maksud:3
– Mencegah gangguan spermatogenesis
– Mencegah, atau setidaknya menurunkan risiko TGCT
– Memudahkan pemeriksaan testis dimasa yang akan datang
– Memperbaiki hernia inguinalis yang sering menyertai UDT,
– Meminimalisir risiko torsio testis, yang meningkat pada bayi dengan UDT
karena mobilitas yang lebih besar dari testis inguinalis dan prosesus
vaginalis
KOMPLIKASI

Tindakan operatif
– Intraoperatif (jarang):
– Cedera saraf ilioinguinal
– Kerusakan vas deferens.
– Pasca operasi lebih awal:
– Pembentukan hematoma
– Infeksi luka pasca operasi
– Pasca operasi terlambat:
– Atrofi testis
– Retraksi testis (testis naik kembali)
– Torsi pasca operasi (baik iatrogenik atau spontan)
PROGNOSIS

– Insidensi malignansi pada testis meningkat pada pasien dengan


undesensus testis.
– Keluhan masalah fertilitas juga meningkat apabila pasien dengan
testis yang tidak berada pada skrotum. Tindakan bedah dapat
memperbaiki potensi fertilitas, meskipun tidak dapat mencapai fungsi
seperti orang normal.
– Tingkat keberhasilan terapi hormonal bervariasi dari 8% hingga 60%.
Meta-analisis mengungkapkan efikasi terapi hormon sekitar 20%.
Sementara, keberhasilan orchiopeksi primer sebesar 95%.
– Keberhasilan tatalaksana operatif UDT dinilai berdasarkan posisi
skrotum dan tidak adanya atrofi testis. Hal ini bergantung dari jenis
UDT (teraba dan tidak teraba), prosedur operasi yang dilakukan, dan
usia saat operasi.
– Hasil pengobatan harus dievaluasi.

Anda mungkin juga menyukai