Anda di halaman 1dari 18

Referat

Perawatan Neurocritical Care Pasca Cedera Otak Traumatik

Oleh:
Dian Octaviani (1618012037)
M. Aria Laksa (12180120xx)
Nidya Tiaz Putri A. (1618012058)
Tarrini Inastyarikusuma (1618012034)

Preceptor:
dr. Bambang Eko Subekti, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Perawatan Neurocritical Care Pasca Cedera
Otak Traumatik” untuk memenuhi tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik
pada stase ilmu anesthesiologi dan terapi intensif.

Referat ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan kasus ini. Untuk
itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak, termasuk
kepada dr. Bambang Eko Subekti, Sp.An , selaku preseptor dari penulis.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki laporan kasus ini kedepannya.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandar Lampung, Mei 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak.............................................................. 11
2.2 Glasglow Outcome Scale.................................................................. 11
2.3 Disabilitas Pasca Cedera Otak Traumatik......................................... 12
2.4 Korelasi Penggunaan Glasglow Outcome Scale (GOS) dan Penilaian
Disabilitas Pasca Cedera Otak Traumatik................................................ 14

BAB III KESIMPULAN................................................................................. 31


Daftar Pustaka .................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glasgow Outcome Scale dikembangkan oleh Jennett dan Bond pada tahun 1975,
dan selanjutnya sering digunakan dalam penilaian hasil dari pasien-pasien cedera
otak traumatik. Cedera otak traumatik dapat menyebabkan pasien mengalami
disabilitas atau kecacatan bahkan hingga kematian. Oleh karena hal tersebut, dirasa
penting untuk melakukan penilaian hasil akhir pada pasien-pasien cedera otak
traumatik yang mendapatkan perawatan atau tatalaksana di rumah sakit. Pada
dasarnya GOS merupakan penilaian terhadap multi-aspek, seperti kesadaran,
kemandirian, status bekerja dan kemampuan beraktivitas kembali (kemampuan
untuk hidup).

Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat
bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual,
serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Menurut hasil penelitian di Norwegia,
sekitar 25% pasien melaporkan kecacatan yang membutuhkan bantuan pribadi.
Sekitar sepertiga pasien memiliki masalah besar dengan integrasi sosial dan 42%
tidak berfungsi. Salah satu dampak akibat cedera otak traumatik dalam jangka
panjang adalah tingginya mortalitas. Pasien traumatic brain injury (TBI) memiliki
tingkat kematian yang lebih tinggi daripada kontrol menurut usia dan jenis kelamin.
Masalah perilaku, impulsivitas, bunuh diri, kecelakaan motorik lebih umum terjadi
pada usia muda.
Cedera otak traumatik sangat berkaitan dengan sekuele yang diakibatkan oleh
cedera otak sekunder. Penilaian awal keparahan cedera otak traumatik dapat
menghindari dan meminimalkan sekuele dengan memberikan terapi yang sesuai.
GOS telah digunakan secara luas karena dinilai praktis, ringkas, sensitif dan
direkomendasikan oleh banyak ahli sebagai instrumen untuk menyamakan data dan
memungkinkan perbandingan yang adekuat terhadap terapi jangka panjang pasien
cedera otak traumatik. Penggunaan GOS sebagai instrumen penilaian prognosis
pasien post-cedera otak traumatik dinilai sangat bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Glasgow Outcome Scale

Glasgow Outcome Scale dikembangkan oleh Jennett dan Bond pada tahun 1975,
dan selanjutnya sering digunakan dalam penilaian hasil dari pasien-pasien cedera
otak traumatik. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1981 GOS
dimodifikasi menjadi GOSe (Extended Glasgow Outcome Scale) (Weir dkk, 2012).

Cedera otak traumatik dapat menyebabkan pasien mengalami disabilitas atau


kecacatan bahkan hingga kematian. Oleh karena hal tersebut, dirasa penting untuk
melakukan penilaian hasil akhir pada pasien-pasien cedera otak traumatik yang
mendapatkan perawatan atau tatalaksana di rumah sakit. Penilaian ini dengan
menggunakan GOS maupun GOSE sedang berkembang dan populer digunakan di
rumah sakit pada negara-negara maju maupun berkembang (Senapathi dkk, 2017).

Pada awalnya, penilaian berdasarkan GOS dibagi menjadi lima kategori, yaitu :
kematian, stadium vegetatif, disabilitas beraat, disabilitas sedang dan pemulihan
baik. Kelima kategori tersebut digolongkan dalam dua kelompok, 1) Unfavorable
(kematian, stadium vegetatif dan sidabilitas berat), 2) Favorable (disabilitas sedang
dan pemulihan baik). Sedangkan pada penilaian GOSE, masing-masing diasbilitas
berat, disabilitas sedang maupun pemulihan baik terbagi lagi ke dalam kategori atas
dan bawah untuk menentukan pembagian yang lebih baik saat pemulihan pasien
tercapai (Weir dkk, 2012).
Pada dasarnya GOS merupakan penilaian terhadap multi-aspek, seperti kesadaran,
kemandirian, status bekerja dan kemampuan beraktivitas kembali (kemampuan
untuk hidup). Kelima kategori GOS dapat dijelaskan sebagai berikut (Senapathi
dkk, 2017):

1) Mati
2) Stadium vegetatif (tidak dapat berinteraksi, tidak berespon)
3) Disabilitas berat (dapat mengikuti perintah, tidak dapat melakukan aktivitas
secara mandiri)
4) Disabilitas sedang (dapat melakukan aktivitas secara manddiri, mengalami
penurunan kapasitas/kemampuan kerja)
5) Pemulihan baik (dapat kembali bekerja dengan baik)

Category Key definition Key Criteria


Good Recovery A patient is capable of 1. Returns to work at the same
(GR) resuming normal occupational level of performance as pre-
and social activities with or injury
without minor physical or and
mental defcits 2. Resumes at least more than
half of the pre-injury level
of social and leisure
activities
Moderate Disability A patient is fully independent 1. Work capacity is reduced or
(MD) but disabled unable to work
and/or
2. Resumes less than half the
pre-injury level of social
and leisure activities
Severe Disability A patient is conscious but 1. Requires the help of
(SD) needs the assistance of another someone to be around at
person for some activities of home with activities of
daily living every day daily living
and/or
2. Unable to travel or go
shopping without assistance
Vegetative Status Patient shows no evidence of
(VS) meaningful responsiveness
Death (D)
Tabel 1. Glasgow Outcome Scale (Lu dkk, 2010)
GOS GOSe Key Criteria
Good Recovery Upper (GR +) Returns to normal life with no current
(GR) problems related to the head injury that
affect daily life
Lower (GR -) 1. Returns to pre-injury normal life, but
has minor problems that affect daily
life
and/or
2. Resumes more tthan half the pre-injury
level of social and leisure activities
and/or
3. Disruption is infrequent (less than
weekly)
Moderate Upper (MD +) 1. Work capacity is reduced
Disability (MD) and/or
2. Resumes less than half the pre-injury
level of social and leisure activities
and/or
3. Disruption is frequent (once a week or
more) but tolerable
Lower (MD -) 1. Only able to work in sheltered
workshoop or unable to work
and/or
2. Rarely or unable to participate in
social/and leisure activities
and/or
3. Dsruption is constant (daily) and
intolerable
Severe Disability Upper (SD +) Can be left alone at least 8 h durin the day,
(SD) but unable to travel and/or go shopping
without assistance
Lower (SD -) Requires frequent help of someone to be
around at home most of the time every day
Vegetative Status
(VS)
Death (D)
Tabel 2. Extended Glasgow Outcome Scale (Lu dkk, 2010)

Penilaian GOS maupun GOSe perlu dilakukan pada periode yang sesuai dengan
perkiraan perbaikan dan stabilisasi keadaan pasien. Pada kebanyakan literatur,
disarankan untuk melakukan penilaian ini pada 6-12 bulan setelah trauma terjadi.
Walaupun dalam jangka waktu tersebut, kemungkinan pasien mengalami
pemulihan baik hanya sedikit, namun pada periode ini penilaian antara kelompok
favorable ataupun unfavorable dianggap sudah stabil. Berdasarkan literatur yang
ada, dikatakan bahwa hasil pada jangka waktu 6-12 bulan belum tentu merupakan
hasil akhir dari cedera otak traumatik yang dialami pasien, namun banyak juga yang
berpendapat bahwa apabila disabilitas terjadi pada periode ini, maka disabilitas
tersebut akan menetap seumur hidup. Selain dilakukan penilaian pada 6-12 bulan,
diperlukan juga penilaian pada saat 1-2 tahun setelah trauma. Hal ini dilakukan
untuk dapat menilai perkembangan dari hasil rehabilitasi yang telah dilakukan
(Senapathi dkk, 2017).

2.3 Disabilitas Pasca Cedera Otak Traumatik

Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat
bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual,
serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena trauma
kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga
terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan, 2010).

Menurut hasil penelitian di Norwegia, sekitar 25% pasien melaporkan kecacatan


yang membutuhkan bantuan pribadi. Sekitar sepertiga pasien memiliki masalah
besar dengan integrasi sosial dan 42% tidak berfungsi. Hampir setengah dari pasien
melaporkan kesehatan fisik yang buruk dan 37% melaporkan kesehatan mental
yang buruk. Pada penelitian tersebut, keterbatasan aktivitas diukur dengan
Functional Independence Measure, dan keterbatasan partisipasi dinilai melalui
Community Integration Questionnaire (Andelic, 2010).

Menurut Stoccheti (2016), salah satu dampak akibat cedera otak traumatik dalam
jangka panjang adalah tingginya mortalitas. Pasien traumatic brain injury (TBI)
memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada kontrol menurut usia dan jenis
kelamin. Masalah perilaku, impulsivitas, bunuh diri, kecelakaan motorik lebih
umum terjadi pada usia muda. Sedangkan pada usia lebih dari 45 tahun, masalah
medis seperti pneumonia, sepsis, dan penyakit neurodegeneratif dikaitkan dengan
kematian dini. Risiko kematian adalah 2,2 kali lebih banyak pada pasien TBI
sedang sampai berat yang menerima rehabilitasi rawat inap, dengan pengurangan
rata-rata harapan hidup 6,6 tahun. Data itu jauh lebih buruk bagi individu yang tidak
dapat mengikuti rehabilitasi dengan risiko kematian 6,9 kali dan harapan hidup rata-
rata pengurangan 12,2 tahun (Greenwald, 2015).

Disabilitas yang dapat terjadi pada pasien paska cedera otak traumatik antara lain
sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan fisik
Defisit motorik dan sensorik dapat menetap sebagai konsekuensi kerusakan
traumatis spesifik pada struktur saraf yang mendasarinya. Dalam kasus yang
paling parah, kerusakan tambahan akibat imobilisasi yang berkepanjangan
selama perawatan di rumah sakit, seperti kalsifikasi peri-artikular dapat
memperburuk pemulihan. Kontrol kandung kemih dan sfingter mungkin
terganggu. Semua disabilitas fisik ini dapat menyebabkan cacat yang signifikan
dan membatasi kembalinya ke kehidupan normal dan produktif.
2. Demensia
Cedera otak traumatik telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk demensia,
namun topik ini masih diperdebatkan. Sebuah penelitian kohort retrospektif
dengan lebih dari 50.000 kasus cedera otak traumatik ringan, sedang, dan berat
mengidentifikasi 4361 (8,4%) kasus yang mengembangkan demensia. Dalam
analisis terstruktur bertingkat, cedera otak traumatik sedang sampai berat
dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia di semua usia, sedangkan cedera
otak traumatik ringan menjadi faktor risiko penting hanya pada usia 65 tahun
atau lebih (Gardner, 2014).
3. Gangguan kognitif
Cedera otak traumatik menyebabkan defisit perhatian, ingatan, kecepatan
pemrosesan informasi dan fungsi eksekutif. Fungsi kognitif tinggi tergantung
pada jaringan otak yang terdistribusi berfungsi dengan baik dan pada sistem
neurotransmitter yang teregulasi yang mungkin terganggu oleh cedera.
Kerusakan materi putih pada lokasi tertentu tampaknya terkait dengan gangguan
spesifik: misalnya, lesi forniks berkorelasi dengan defisit memori dan
pembelajaran asosiatif; lesi lobus frontal secara ketat terkait dengan gangguan
fungsi eksekutif. Lesi materi abu-abu (terutama di korteks orbitofrontal dan
insuler dan dalam kauda) tampaknya terkait dengan impulsivitas; gangguan
pengambilan keputusan, dengan pertimbangan yang lebih lama, juga tampaknya
dikaitkan dengan sejumlah lesi anatomi lesi (Kinnunen, 2011; Newcombe,
2011).
4. Ganggaun psikiatri (kejiwaan)
Gangguan kejiwaan umum terjadi setelah cedera otak traumatik, termasuk
depresi, kecemasan dan psikosis, serta perilaku maladaptif dan perubahan
kepribadian lainnya. Sebuah meta analisis terbaru menunjukkan bahwa cedera
otak traumatik meningkatkan kejadian gangguan kejiwaan, dengan depresi dan
gangguan bipolar memiliki odd ratio yang lebih tinggi, depresi adalah 2,1 dan
gangguan bipolar adalah 1,85. Gejala kejiwaan mungkin sementara, terbatas
pada minggu pertama setelah cedera, atau dapat persisten. Pasien dapat
membatasi partisipasi dalam rehabilitasi dan kemandirian fungsional dalam
masyarakat. Gangguan psikiatri jangka panjang dikaitkan dengan risiko yang
tinggi untuk penyalahgunaan zat (Zgaljardic, 2015).
5. Seksual
Cedera otak dapat secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi aspek
penting yang terkait dengan seksualitas dan fungsi seksual. Aspek fisik,
misalnya disfungsi hipofisis dan komponen psikologis, seperti depresi dapat
menyebabkan gangguan aktivitas seksual. Fungsi seksual telah diteliti pada 1
tahun setelah cedera otak traumatik dengan laporan diri dan wawancara
terstruktur, ditemukan gangguan yang signifikan terdeteksi; 29% dari peserta
melaporkan ketidakpuasan dengan fungsi seksual, dengan persentase lebih besar
pada pria yang melaporkan ketidakpuasan. Masalah seksual dan kebutuhan
seksual jarang dibahas dan dikelola selama fase rehabilitasi setelah cedera otak
traumatik (Moreno, 2015; Sander, 2012).
6. Ketidakmampuan aktivitas sosial dan rekreasi
Kombinasi gangguan fisik, kognitif dan emosional menciptakan hambatan
utama untuk masuk kembali ke dalam komunitas. Menurunnya kontak sosial,
depresi dan kesepian dikombinasikan dengan sumber keuangan yang berkurang,
pengangguran, dan disabilitas fisik bisa sangat parah mengacaukan jaringan
sosial sebelumnya dan membuat aktivitas sosial dan kegiatan rekreasi tidak
mungkin terjadi (Morton, 1995).

Kombinasi defisit fisik dan fungsional menjadi penyebab tingginya tingkat


pengangguran setelah selamat dari cedera otak traumatik. Pasien pulih dari cedera
otak traumatik berat jarang kembali ke posisi kerja sebelumnya. Di Amerika
Serikat, 73% dari kasus dengan cedera awal yang ringan kembali ke pekerjaan
sebelumnya, sedangkan proporsi ini turun menjadi 49% untuk pasien yang
mengalami cedera otak traumatik berat. Bahkan pasien usia kerja dengan hasil yang
cukup baik mengalami kesulitan dalam memulai kembali pekerjaannya. Dalam
kelompok yang diteliti di Norwegia selama 10 tahun setelah cedera, tingkat
pekerjaan adalah 58% (Andelic, 2009; Dikmen, 2003).

2.4 Korelasi Penggunaan Glasglow Outcome Scale (GOS) dan Penilaian


Disabilitas Pasca Cedera Otak Traumatik

Cedera otak traumatik sangat berkaitan dengan sekuele yang diakibatkan oleh
cedera otak sekunder. Penilaian awal keparahan cedera otak traumatik dapat
menghindari dan meminimalkan sekuele dengan memberikan terapi yang sesuai.
Pemberian terapi yang sesuai dapat menurunkan kejadian sekuele berupa disabilitas
paska cedera otak traumatik. Sekuele yang muncul penting dideteksi secara dini,
sehingga para peneliti menginvestigasi terapi cedera otak traumatik untuk melihat
hasil jangka panjangnya (Oliveira et al., 2012).

Kuesioner yang dikembangkan oleh Jennet dan Bond (1975) dibentuk untuk
membuat suatu penilaian objektif dan terpercaya dalam menilai outcome pasien
cedera otak traumatic dibandingkan hanya menggunakan metode tradisional. Hal
ini menjadi suatu urgensi untuk menentukan quality of life pasien post-cedera otak
traumatik dengan fokus penyembuhan secara sosial (McMillan et al., 2016)
Glasgow Outcome Scale (GOS) telah menjadi instrumen utama dalam
mengevaluasi outcome pasien cedera otak traumatik berdasarkan sekuele fisik,
sosial dan kognitif (Oliveira et al., 2012). Walaupun terdapat beberapa kontroversi
terhadap penggunaan GOS, seperti ketidakmampuan GOS dalam mendeteksi efek
terapi yang minor namun berperan dalam klinis (Weir et al., 2012), namun GOS
tetap digunakan secara luas untuk mengevaluasi outcome jangka panjang pasien
cedera otak berat (Oliveira et al., 2012).

GOS telah digunakan secara luas karena dinilai praktis, ringkas, sensitif dan
direkomendasikan oleh banyak ahli sebagai instrumen untuk menyamakan data dan
memungkinkan perbandingan yang adekuat terhadap terapi jangka panjang pasien
cedera otak traumatik (Oliveira et al., 2012). Kontroversi yang menyatakan GOS
yang kurang sensitif akhirnya membuat Jennet mengembangkan GOS menjadi
GOSE (Glasgow Outcome Scale Extended). GOS hanya memiliki lima kategori
yaitu death, vegetative state, severe disability, moderate disability dan good
recovery (meninggal, fase vegetatif, disabilitas berat, disabilitas sedang, dan
sembuh). Kategori pada instrumen ini dinilai kurang mampu menggambarkan
kecacatan mental dan fisik yang akan dihadapi oleh pasien post-cedera otak
traumatik hanya dengan lima kategori. Kategori pada GOSE memecah severe
disability, moderate disability dan good recovery menjadi kategori upper dan lower
agar memungkinkan pengkategorian berbagai level peyembuhan yang berbeda
yang dapat dicapai (Weir et al., 2012).
Penilaian GOS maupun GOSE dapat dilakukan dengan wawancara langsung
ataupun melalui telepon, email, dan pada pasien rawat inap menggunakan GOS
modifikasi. Fleksibilitas ini menyebabkan GOS sangat sering digunakan pada
follow-up pasien cedera kepala traumatik (McMillan et al., 2016) Kuesioner GOS
dirancang sedemikian rupa agar menjadi patokan bagi klinisi untuk merancang
program terapi, mencapai target maksimal dan tidak memberikan harapan yang
terlalu tinggi pada keluarga pasien yang tergolong dalam severe disability dan
vegetative state (Weir et al., 2012). GOS juga digunakan pada pasien rawat inap
sebagai kriteria pemulangan pasien. Instrumen ini disebut GODS (Glasgow
Outcome at Discharge Scale) yang merupakan modifikasi GOS dan dipublikasikan
pada tahun 2013 (McMillan et al., 2016).

Berdasarkan penelitian Wilson, Pettigrew dan Teasdale dalam Oliveira et al (2012)


pada 135 pasien dengan GOS sebagai acuan pemulangan pasien dari rumah sakit,
menghasilkan bahwa 97,8% pasien menunjukkan beberapa disabilitas neurologi
yang berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi, sebagaimana 40,4% diantara
pasien tersebut tetap berada dalam kategori vegetative state dan severe disability
satu tahun paska cedera otak traumatik. Namun, pengamatan lain menunjukkan
bahwa setiap pasien yang dipulangkan dalam derajat disabilitas neurologi yang
berbeda, satu tahun kemudian mengalami perbaikan dan dikategorikan dalam
moderate disability dan good recovery (71,1% pasien). Hal ini menunjukkan
perbedaan dibandingkan yang dilaporkan oleh Wilson, Pettigrew dan Teasdale
(Oliveira et al., 2012).

Penelitian mengenai disabilitas pasien paska cedera otak traumatik umumnya


mengkategorikan subjeknya dalam dua kategori yaitu diharapkan (moderate
disability dan good recovery) dan tidak-diharapkan (death, vegetative state, dan
severe disability) (Weir et al., 2012). Berdasarkan beberapa penelitian, pasien yang
diklasifikasikan dalam moderate disability dan good recovery akan mengalami
perbaikan kondisi neurologis yang signifikan dibandikan pasien yang berada dalam
kategori vegetative state dan severe disability. Namun, waktu yang dibutuhkan
untuk proses penyembuhan tersebut tidak dapat ditetukan dengan tepat (Oliveira et
al., 2012). Oleh karenanya, penilaian GOS direkomendasikan pada bulan pertama,
ke-enam dan kedua belas paska cedera otak traumatik (McMillan et al., 2016).

Heiden et al dalam Oliveira et al (2012) mengadakan penelitian yang lebih


sistematik dalam melakukan follow-up pasien cedera otak traumatik. Studi
prospektif ini mengevaluasi 213 pasien dan mengaplikasikan penilaian GOS pada
bulan pertama, ke-enam dan ke-dua belas paska cedera otak traumatik. Penelitian
ini menunjukkan bahwa pada akhir bulan pertama paska cedera otak traumatik,
prevalensi terbanyak adalah severe disability, dan 16% pasien berada dalam
vegetative state. Pada bulan ke-enam, 68% pasien mengalami perbaikan klinis
neurologis (prevalensi terbanyak adalah moderate disability dan good recovery).
Satu tahun setelah cedera otak traumatik, GOS menunjukkan bahwa 35% pasien
merupakan kategori moderate disability-good recovery, 13% pasien merupakan
kategori severe disability-vegetative state dan 52% pasien meninggal (Oliveira et
al., 2012).

Penggunaan GOS sebagai instrumen penilaian prognosis pasien post-cedera otak


traumatik dinilai sangat bermanfaat. Instrumen ini menunjukkan bahwa pasien yang
tergolong dalam kategori moderate disability dan good recovery akan mengalami
perbaikan klinis neurologis hingga 12 kali lipat dibandingkan pasien yang tergolong
dalam kategori vegetative state dan severe disability. Penemuan ini penting bagi
pengembangan rencana terapi rehabilitasi untuk sehingga sekuele paska cedera otak
traumatic dapat dibatasi (Oliveira et al., 2012).

GOS dan GOSE dinilai mampu menilai keparahan cedera, derajat disabilitas,
penilaian kognitif, penilaian mengenai persepsi sehat dan beberapa gejala yang
dilaporkan oleh pasien dengan cedera otak maupun keluarganya. Penelitian Levin
(2001) dalam Weir et al. (2012) menunjukkan bahwa perbaikan klinis neurologis
pasien lebih sensitif dinilai menggunakan GOSE dibandingkan GOS, terutama jika
membandingkan perubahan yang terjadi berdasarkan waktu. Weir et al. (2012)
merekomendasikan penggunaan GOSE pada penelitian yang akan datang.

Penilaian disabilitas pasien anak yang mengalami cedera otak traumatik memiliki
model kuesioner tersendiri. Kuesioner ini dikembangkan oleh Beers et al (2012) ini
diberi nama GOSE-Ped (Glasgow Outcome Scale Extended Pediatric). Kuesioner
ini mampu menilai perkembangan lanjut dari tingkah laku, komunikasi, kognitif,
fungsional, sosialisasi, kemampuan motorik dan kemampuan beradaptasi pada
pasien anak paska cedera otak traumatik. GOSE-Ped ini ditemukan lebih valid
dibandingkan instrumen yang telah ada sebelumnya seperti VABS dan CPRS
(Beers et al., 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Lu J, Marmarou A, Lapane K, Turf E, Wilson L. 2010. A Method for Reducing


Misclassification in the Exxtended Glasgow Outcome Score. Journal of
Neurotrauma. 27: 843-852.

Senapathi TGA, Putu PS, Ida BKJS, Ketut YA. 2017. Extended Glasgow
Outcome Scale and Correlation with Bispectral Index. Bali Journal of
Anesthesiology. 1(3): 55-59.

Weir J, Ewout WS, Isabella B, Juan L, Hester FL. 2012. Does the Extended
Glasgow Outcome Scale Add Value to the Conventional Glasgow Outcome
Scale?. Journal of Neurotrauma. 29: 53-58.

Andelic N, Hammergren N, Bautz-Holter E, Sveen U, Brunborg C, Røe C.


Functional outcome and health-related quality of life 10 years after moderate-
to-severe traumatic brain injury. Acta Neurol Scand. 2009;120:16–23.
Andelic N, Sigurdardottir S, Schanke AK, Sandvik L, Sveen U, Roe C. 2010.
Disability, physical health and mental health 1 year after traumatic brain
injury. Disabil Rehabil. 32(13): 1122-31.

Dikmen SS, Machamer JE, Powell JM, Temkin NR. Outcome 3 to 5 years after
moderate to severe traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil.
2003;84:1449-57.

Gardner RC, Burke JF, Nettiksimmons J, Kaup A, Barnes DE, Yaffe K. Dementia
risk after traumatic brain injury vs nonbrain trauma: the role of age and
severity. JAMA Neurol. 2014;71:1490-7.

Greenwald BD, Hammond FM, Harrison-Felix C, Nakase-Richardson R, Howe


LLS, Kreider S. Mortality following traumatic brain injury among individuals
unable to follow commands at the time of rehabilitation admission: a National
Institute on Disability and Rehabilitation Research traumatic brain injury
model systems study. J Neurotrauma. 2015;32:1883-92.
Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. 2010. Perbandingan glasgow coma scale
dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala
di rumah sakit atma jaya. Maj Kedokt Indon. 60(10): 437-42.

Kinnunen KM, Greenwood R, Powell JH, Leech R, Hawkins PC, Bonnelle V, et al.
White matter damage and cognitive impairment after traumatic brain injury.
Brain. 2011;134:449-63.

Moreno A, Gan C, Zasler N, McKerral M. Experiences, attitudes, and needs related


to sexuality and service delivery in individuals with traumatic brain injury.
NeuroRehabilitation. 2015;37:99-116.

Morton MV, Wehman P. Psychosocial and emotional sequelae of individuals with


traumatic brain injury: a literature review and recommendations. Brain Inj.
1995;9:81-92.

Newcombe VFJ, Outtrim JG, Chatfield DA, Manktelow A, Hutchinson PJ, Coles
JP, et al. Parcellating the neuroanatomical basis of impaired decisionmaking
in traumatic brain injury. Brain. 2011;134:759-68.

Sander AM, Maestas KL, Pappadis MR, Sherer M, Hammond FM, Hanks R, et al.
Sexual functioning 1 year after traumatic brain injury: findings from a
prospective traumatic brain injury model systems collaborative study. Arch
Phys Med Rehabil. 2012;93:1331-7.

Zgaljardic DJ, Seale GS, Schaefer LA, Temple RO, Foreman J, Elliott TR.
Psychiatric disease and post-acute traumatic brain injury. J Neurotrauma.
2015;32:1911-25.

McMillan T, Wilson L, Ponsford J, Levin H, Teasdale G, dan Bond M. 2016. The


Glasgow Outcome Scale-40 years of application and refinement. Nature
Reviews Neurology. 12(8): 477-85.

Oliveira RARA, Araujo S, Falcao ALE, Soares SMTP, Kosour C, Dragosavac D,


et al. 2012. Glasgow outcome scale at hospital discharge as a prognostic
index in patients with severe traumatic brain injury. Arq Neuropsiquiatr.
70(8):606-8.

Weir J, Steyerberg EW, Butcher I, Lu J, Lingsma HF, McHugh GS, et al. 2012.
Does the Extended Glasgow Outcome Scale Add Value to the Conventional
Glasgow Outcome Scale? Jour Neurotr. 29:53-8.

Beers SR, Wisniewski SR, Filion PG, Tian Y, Hahner T, Berger RP, et al. 2012.
Validity of a Pediatric Version of the Glasgow Outcome Scale–Extended.
Jour Neurotr. 29:1126-39.

Anda mungkin juga menyukai