Anda di halaman 1dari 21

CEREBRITIS DAN ABSES SEREBRI

I. Pendahuluan
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) berbeda dari infeksi sistem organ
lain. Banyak infeksi pada SSP dapat berkembang dengan cepat dan
menyebabkan kerusakan substansial atau bahkan kematian jika tidak
dikenali dan diobati dengan segera dan agresif. Virus, bakteri, jamur,
protozoa dan cacing dapat menginfeksi SSP dan gambaran klinis
tergantung pada agen infeksi, tempat infeksi ,dan faktor inang. Infeksi ini
terutama meningitis, ensefalitis, dan abses serebri , dan cenderung
menyebabkan lebih banyak morbiditas dan mortalitas daripada infeksi
yang melibatkan sistem organ lain. Karena potensi konsekuensi yang
merugikan, penting bagi dokter untuk mengenali dengan baik presentasi
klinis dan perawatan infeksi SSP yang lebih umum.1
Abses serebri adalah infeksi intracerebral fokal yang dimulai
sebagai area lokal dari serebritis dan berkembang menjadi kumpulan
nanah yang dikelilingi oleh kapsul yang divaskularisasi dengan baik.
Abses serebri terjadi bila bakteri piogenik masuk ke susunan saraf pusat
dan sebagian kasus abses serebri merupakan akibat dari infeksi sekunder
di tempat lain.2 Abses serebri dapat terjadi pada semua usia, lebih sering
mengenai pria dibandingkan wanita 2:1. Lokasi tersering terkena
terjadinya abses serebri yaitu daerah frontoparietalis dan temporalis.
Organisme penyebab yang tersering adalah Streptococcus,
Staphylococcus, sedangkan organisme penyebab yang jarang yaitu
Pneumococcus, Meningococcus, dan Haemophylus Influenza.3
Abses serebri relatif jarang terjadi dalam praktik sehari-hari,
namun penting untuk mengetahui masalahnya dan menganggapnya
sebagai salah satu diagnosis banding pada seseorang yang mengalami
gejala peningkatan tekanan intrakranial (terutama jika ada faktor
predisposisi). Abses serebri adalah penyakit yang berpotensi mengancam

1
jiwa dan perawatannya hampir selalu melibatkan intervensi bedah bersama
dengan terapi medis. Oleh karena itu penting untuk mengetahui kapan
harus mencurigai abses serebri, kapan merujuk dan bagaimana mengelola
pasien sebelum rujukan ke pusat dengan fasilitas bedah saraf. Pengobatan
yang tepat menghasilkan penyembuhan pada lebih dari 90% kasus.4

II. Definisi
Abses serebri adalah infeksi intracerebral fokal yang terdiri dari
kumpulan nanah yang dienkapsulasi yang disebabkan oleh bakteri,
mikobakteri, jamur, protozoa, atau cacing.5 Abses serebri disebabkan oleh
peradangan yang diikuti dengan pembentukan abses. Lokasi abses yang
paling sering (dalam urutan frekuensi menurun) adalah frontal-temporal,
frontal-parietal, parietal, cerebellar, dan lobus oksipital.6

III. Neuroanatomi dan Neurofisiologi


1. Serebrum
Otak terdiri dari tiga bagian utama, yaitu otak depan, otak
tengah, dan otak belakang. Adapun stuktur anatomi otak adalah
sebagai berikut.7

Gambar 1. Anatomi otak

2
Pembagian otak. 7
a Prosencephalon - Otak depan
b Mesencephalon - Otak tengah
o Diencephalon : terdiri dari thalamus dan hypothalamus
o Telencephalon : terdiri dari korteks serebri, ganglia basalis, corpus
striatum
c Rombencephalon - Otak belakang
o Metencephalon : terdiri dari pons dan cerebellum
o Myelencephalon : terdiri dari medulla oblongata

Gambar 2. Anatomi serebrum

Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan


oleh falks serebri(lipatan duramater yang berada di inferior sinus
sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). 7
Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan
fungsi sensorik. Menterjemahkan input sensorik, sensasi yang
dirasakan pada suatu sisi bagian tubuh yang diterjemahkan melalui
lobus parietal bagian lateral, rangsangan yang diterima adalah nyeri,

3
temperature, sentuhan, tekanan, dan proprioseption. Lobus temporalis
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih
kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat
vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis
di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior. 7

2. Sawar Darah Otak

Gambar 3. Anatomi sawar darah otak

Sawar darah otak adalah suatu membran yang sangat resisten


terhadap proses diffusi dan memisahkan cairan intersisial otak darah.
Pemeriksaan susunan saraf pusat dengan menggunakan mikroskop
elektron memperlihatkan bahwa lumen kapiler darah dipisahkan dari ruang
ekstra seluler oleh: 7
a. sel endotelial di dinding kapiler

4
b. membran basalis di luar sel endotel, dan
c. kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dari dinding
kapiler
Pada keadaan normal terdapat dua sawar yang semipermeabel dan
berfungsi untuk melindungi otak dan medula spinalis dari substansi yang
membahayakan. Fungsi sawar darah otak adalah melindungi otak dari
berbagai variasi subtansi darah, terutama senyawa lokisik. 7
a. Fungsi Anatomi
Secara anatomis sawar darah otak adalah melindungi otak dari
bermacam-macam toksin eksogen yang berasal dari darah. Fungsi ini
dapat terjadi karena struktur sawar darah otak yang mempunyai tight
junction antara sel endotel yang tidak permeabel terhadap molekul
berukuran besar. Penetrasi yang terdapat pada kapiler organ lain tidak
terdapat pada kapiler otak, begitu juga vesikel pinositik, yang penting
bagi makromolekul pada kapiler jaringan lain. Jika integritas kapiler
baik, perisit yang terletak pada dinding kapiler akan mengaktifkan
fungsi sawar darah otak. Perisit adalah sel fagosit yang bertanggung
jawab untuk mempertahankan homeostasis antara darah dan otak. 7
b. Fungsi biokimia
Fungsi biokimia untuk transport selektif dari zat-zat, tersusun
oleh enzim-enzim dalam sel endotel pembuluh darah kapiler otak.
Plasma borne biogenic dapat dimetabolisme oleh monoamin oksidase
sehingga dapat melindungi otak dari pemecahan epinefrin sistemik.
Transport oleh asam amino secara signifikan dapat menyebabkan
penetrasi prodrug levodopa pada sawar darah otak sehingga dopamin
dapat dimetabolisme untuk pengobatan pasien parkinson. 7
c. Fungsi regulasi
Agar dapat mencapai otak, cairan ekstraseluler dari darah
harus melewati/menemnbus epitel koroid atau endotel kapiler. Zat
dapat segera masuk apabila molekul dapat larut dalam air (plasma)

5
dan membran lipid. Molekul yang lain memerlukan protein pembawa
agar dapat menembus sawar darah otak. 7
IV. Insidensi Dan Epidemologi
Data epidemiologi mengenai abses serebri belum tersedia di
Indonesia. Tetapi menurut penelitian, kejadian abses serebri adalah sekitar
8% dari massa intrakranial di negara-negara berkembang dan 1% hingga
2% di negara-negara Barat dengan sekitar empat kasus terjadi per 1 juta
populasi. Prevalensi abses serebri pada pasien dengan AIDS lebih tinggi.
Oleh karena itu, tingkat prevalensi telah meningkat seiring dengan
pandemi AIDS. Sekitar 1500 hingga 2500 kasus didiagnosis setiap tahun
di Amerika Serikat. Insiden abses serebri jamur juga meningkat karena
penggunaan antibiotik spektrum luas dan agen imunosupresif yang lebih
tinggi seperti steroid. Prevalensi tertinggi terjadi pada pria dewasa yang
berusia kurang dari 30 tahun sedangkan penyakit pediatrik paling sering
terjadi pada anak usia 4 hingga 7 tahun. Neonatus menempati urutan
ketiga dalam kelompok berisiko tinggi. Vaksinasi telah mengurangi
prevalensi pada anak kecil. Data menunjukkan bahwa abses serebri lebih
dominan pada pria daripada pada wanita dengan rasio pria-wanita
bervariasi antara 2: 1 dan 3: 1. Perbedaan geografis dan musiman tidak
memiliki dampak signifikan. Di negara-negara berkembang dengan
standar hidup yang buruk, abses serebri menyumbang persentase lesi
intrakranial menempati ruang yang tidak proporsional dibandingkan
dengan negara-negara maju.8

V. Etiologi
Organisme yang menyebabkan abses serebri bervariasi sesuai
dengan kondisi predisposisi, usia pasien, lokasi infeksi primer, dan status
kekebalan pasien. Organisme yang paling umum yang menyebabkan abses
serebri adalah streptokokus yang biasanya anaerob atau mikroaerofilik.
Dalam beberapa kasus terdapat beberapa organisme penyebab sejaligus.
Mycobacterium tuberculosis atau infeksi jamur juga dapat mengakibatkan

6
pembentukan abses serebri . Oleh karena itu penting untuk mengirim
nanah untuk kultur basil aerob, anaerob, jamur dan asam-cepat.4

Tabel 1. Kemunkinan organisme penyebab abses serebri berdasarkan


faktor predisposisi yang dimiliki pasien
Faktor predisposisi Kemungkinan organisme penyebab
Otitis media/mastoiditis streptococci (anaerobic & aerobic), B.
fragilis, Enterobacteriaceae spp
Sinusitis paranasal streptococci, Bacteroides spp,
Enterobacteriaceae spp., S. aureus
Infeksi gigi streptococci, Fusibacterium spp, Bacteroides
spp
Meningitis L. monocytogenes, C. diversus
Cyanotic heart disease streptococci, Haemophilus spp
Bacterial endocarditis S. viridans, Staphylococcus spp, enterococci,
Haemophilus spp
Pyogenic lung disease streptococci, N. asteroides, Actinomyces spp,
Bacteroides spp
T-cell deficiency Toxoplasma gondii, Nocardia spp, L.
monocytogenes
Trauma S. aureus, Enterobacteriaceae spp

VI. Patogenesis
Abses serebri berkembang ketika mikroorganisme masuk ke
dalam parenkim otak. Rute masuknya mikroorganisme adalah sebagai
berikut.4
1. Penyebaran berdekatan terjadi pada sekitar 40% abses, dengan
penyebaran dari infeksi telinga tengah (otitis media supuratif akut
atau kronis), infeksi pada sinus paranasal (biasanya frontal dan
sphenoid) dan mastoiditis. Infeksi telinga tengah adalah sumber
yang umum dan cenderung menyebabkan abses pada lobus temporal
dan otak kecil. 4

7
2. Penyebaran hematogen terjadi melalui aliran darah dari fokus infeksi
pada tempat yang jauh. Misalnya. Infeksi paru (bronkiektasis,
pneumonia, empiema), endokarditis bakteri infektif, infeksi gigi,
osteomielitis, divertikulitis akut. Abses metastasis ini biasanya kecil
dan multipel. Lokasi abses paling umum di daerah a. cerebri media.
Penyebaran infeksi telinga tengah melalui tromboflebitis septik dari
sigmoid dan sinus transversal juga dapat terjadi. 4
3. Inokulasi langsung dari luar. Sekitar 10% dari abses disebabkan oleh
penyebaran organisme yang berasal dari luar (fraktur tengkorak
yang terinfeksi, cedera peluru, operasi intrakranial). 4
4. Pada sekitar 10-37% dari abses, sumber infeksi tidak ditemukan. 4
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus
pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan.
Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses.
Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan.
Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan
fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris.
Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.9
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan abses serebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan abses serebri lobus
temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi
secara hematogen. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin
membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur,
dapat menimbulkan meningitis. 9

8
Beberapa ahli membagi perubahan patologi abses serebri dalam
4 stadium yaitu :
1. Stadium serebritis dini/ Early Cerebritis (hari 1 – 3))
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi,
yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-
sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses. 9
2. Stadium serebritis lanjut/ Late Cerebritis (hari 4 – 9))
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.
Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular
debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari
sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang,
makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar.
Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul
kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi
menjadi sangat besar. 9
3. Stadium pembentukan kapsul dini/ Early Capsule Formation (hari
10–13)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat
nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat
oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi alba
dibandingkan substansi grisea. Pembentukan kapsul yang terlambat
di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke dalam
substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam
ventrikel lateralis. 9

9
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut/ Late Capsule Formation (> 14
hari)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses
dengan gambaran histologis sebagai berikut: 9
a. Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
b. Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
c. Kapsul kolagen yang tebal.
d. Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
e. Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

VII. Manifestasi Klinis Dan Diagnosis


1. Gejala
Abses serebri dapat memanifestasikan dirinya sebagai proses
yang menempati ruang dan/atau inflamasi. Tiga serangkain gejala
klasik adalah demam, gejala neurologis fokal dan sakit kepala, tetapi
kombinasi ini tidak selalu ada bersamaan pada sebagian besar
pasien.10 Frekuensi gejala dan tanda yang umum adalah sebagai
berikut:6
a. Sakit kepala - 70%
b. Perubahan status mental (dapat mengindikasikan edema serebral)
- 65%
c. Defisit neurologis fokal - 65%
d. Demam - 50%
e. Kejang - 25-35%
f. Mual dan muntah - 40%
g. kekakuan leher - 25%
h. Papilledema - 25%
i. Sakit kepala yang tiba-tiba memburuk, diikuti oleh tanda-tanda
meningismus yang muncul, sering dikaitkan dengan ruptur abses.

10
2. Tanda
Tanda klinis yang pada abses serebri antara lain adalah: 4
a. Demam derajat ringan atau tinggi
b. Sakit kepala persisten (sering kali terlokalisir)
c. Mengantuk
d. Kebingungan
e. Stupor
f. Kejang umum atau fokal
g. Mual dan muntah
h. Gangguan motorik atau sensorik.
i. Papilledema
j. Ataxia
k. Hemiparesis
l. Kekakuan leher

Tanda-tanda neurologis fokal ditemukan pada sebagian besar


pasien. Tanda-tanda dan / atau gejala yang ditemukan adalah
gangguan fungsi langsung dari bagian otak yang mengalami abses,
sebagai berikut:4
a. Abses serebelar : Nistagmus, ataksia, muntah, dan dismetria
b. Abses batang otak : Kelemahan wajah, sakit kepala, demam,
muntah, disfagia, dan hemiparesis
c. Abses frontal : Sakit kepala, kurangnya perhatian, mengantuk,
status mental kerusakan, gangguan bicara bermotor, hemiparesis
dengan tanda-tanda motorik unilateral, dan grand mal kejang
d. Abses lobus temporal : Sakit kepala, aphasia ipsilateral (jika di
belahan bumi yang dominan), dan cacat visual
e. Abses lobus oksipital : kekakuan leher

11
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain
adalah :
a. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah sering ditemukan
didapati leukositosis (50 – 60 % kasus) berkisar 10.000-20.000 /
cm2 ; peningkatan laju endap darah (70 – 95 % kasus); dan
peningkatan Serum C-reactive protein.11
b. Serology anti-anticysticercal antibodi jika dicurigai penyebab
abses adalah neurocysticercosis4
c. Bila tidak ada kontraindikasi dapat dilakukan lumbal pungsi.
Hasilnya sering tidak dapat memberikan hasil yang
sesungguhnya. Pada abses serebri dapat ditemukan kadar protein
tinggi, pleositosis dengan jumlah neutrofil variabel, kadar
glukosa normal atau sedikit menurun. Hasil kultur juga sering
bersifat steril walaupun terjadi abses.4

4. Pemeriksaan Radiologi
a. Computed Tomography (CT) scan. Gambaran yang ditemukan
bergantung pada tingkat lesi. Cerebritis awal dapat memberi
gambaran berupa daerah irreguler berdensitas rendah. Ketika
serebritis berkembang, lesi berbentuk lingkaran yang enhance
menjadi jelas terlihat. Dinding abses serebri hampir selalu
tepinya reguler dengan ketebalan 1-3 mm yang dikelilingi edema
parenkim otak. Cincin yang enhance pada gambaran CT scan
dapat tidak sama ketebalannya pada tiap sisi dan relatif lebih
tipis pada bagiam medial atau pada permukaan ventrikel white
matter karena vaskularisasi yang lebih rendah. Lesi satrelit juga
sering ditemukan di sekita abses.8

12
Gambar 4. gambaran abses serebri pada CT scan

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI adalah modalitas


pencitraan pilihan untuk diagnosis serta tindak lanjut lesi. MRI
lebih sensitif untuk cerebritis dini dan lesi satelit terutama yang
ada di batang otak serta memperkirakan nekrosis dan luasnya
lesi. MRI juga dapat mendeteksi penyebaran material abses ke
dalam ruang ventrikel dan subarachnoid.

Gambar 5. Gambaran abses serebri pada MRI

c. Diffusion-weighted magnetic resonance imaging (DWI). DWI


dapat membedakan abses serebri dengan lesi otak lainnya dengan
gambaran berbentuk cincin yang enhance. Abses secara khas
memberi gambaran hiperintens pada DWI yang khas pada
material caiir seperti pus, sedangkan neoplasma seperti
gliomamemberi gambaran hipointens variasi hiperintesn tetapi
lebih rendah dari abses.

13
5. Bedah stereotactic aspirasi.
Sampel yang dikumpulkan dapat digunakan untuk tes kultur,
pewarnaan gram, serologi, histopatologi, dan polymerase chain
reaction (PCR).

VIII. Penatalaksanaan
Tatalaksana abses serebri harus dilakukan segera, meliputi
penggunaan antibiotika yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi),
atasi edema serebri dan pengobatan infeksi primer lokal. 3
Penatalaksanaan abses serebri terdiri dari terapi definitif yaitu
sebagai berikut. 3
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi

1. Terapi Famakologi
Secara umum pemilihan antibiotika empirik sebagai pengobatan
first line abses serebri berdasarkan atas sumber infeksi.3
1. Perluasan langsung dari sinus, gigi, telinga tengah: penicillin G +
metronidazol + cefalosporin generasi III.
2. Penyebaran via hematogen atau trauma penetrasi kepala : nafcillin +
metronidazole + cefalosporin generasi III
3. Post operasi : vancomisin (untuk MRSA) + seftasidin atau sefepim
(pseudomonas)
4. Tidak dijumpai faktor predisposisi : metronidazol + vancomisin +
cefalosporin generasi III.

14
Penatalaksanaan awal dari abses serebri meliputi diagnosis yang
tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan
organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak
diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine
dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik
terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.
3

Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau


sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau
vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole.
Monoterapi dengan meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram
negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi
pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit
jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses
yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits
yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis
citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum
dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan
immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids. 3

15
Tabel 2. Jenis dan Dosis Antibiotik yang Lazim diberikan Pada Abses serebri. 3
Nama Obat Dewasa Anak Keterangan
Ceftriaxone 1-2 x 2g, 2x100 Sefalospurin gen III, aktif
iv (max 4 mg/kgbb/hr gram (-) kurang aktif gram
g) (+)
Cefepime 2-3 x 2 g 3x 50 mg/kgbb Sefalospurin gen IV, aktif
gram (-) dan (+),
pseudomonas
Meropenem 3 x 1-2g 3x 40 mg/kgbb Carbapenem, efektif gram
(+) gram (-)
Cefotaxim 3-4 x 2 g 3x 200 Idem ceftriaxon
mg/kgbb/hr
Metronidaz 4 x 500 mg 30 Bakteri anaerob dan
ole mg/kgBB/hr protozoa
Penisilin G 4 x 6 juta 4 x 500-900 Anaerob dan stresptokokus
U unit
Vancomisin 2 x 1 g 4 x 60 MRSA, gram (+), septikemi
mg/kgbb/hr

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid


dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi
pembentukan kapsul abses.Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan
pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan
tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6
jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari. 3
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan
adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran
edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid
diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa
berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus
optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara
bedah pada abses serebri dipertimbangkan dengan menggunakan CT-

16
Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,
seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.3
Pada beberapa kepustakaan mengkontraindikasikan penggunaan
kortikosteroid pada proses infeksi seperti abses dan merekomendasikan
Mannitol. Mannitol efektif menurunkan tekanan intrakranial dengan
menurunkan edema. Dosis yang diberikan 1-1,25 mg/kgBB/ hari dibagi
dalam 2 dosis. Dosis diturkan setengah pada hari ke tiga. Tidak
keuntungan yang didapatkan dengan meneruskan penggunaan mannitol
dosis penuh lebih dari 3 hari.
Lama pengobatan antibiotika tergantung pada kondisi klinis pasien,
namun biasanya diberikan intravena selama 6-8 minggu dilanjutkan
dengan peroral 4-8 minggu untuk cegah relaps. CT scan kepala ulang
dilakukan untuk melihat respon terapi. Steroid memiliki efek anti inflamasi
steroid dapat menurunkan edema serebri dan TIK namun steroid juga
dapat menyebabkan penurunan penetrasi antibiotika dan memperlambat
pembentukan kapsul. Penggunaan steroid terutama untuk indikasi edema
serebri masif yang mengancam terjadinya herniasi. 3
Laporan studi dengan jumlah kasus kecil menunjukkan bahwa
terapi oksigen hiperbarik pada awal pengobatan abses serebri akan
memperpendek lama waktu pemberian antibiotika. Pada beberapa keadaan
terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep abscess,
multiple abscess dan early cerebritic stage. 3
Kejang dilaporkan terjadi hingga 34% pada pasien dengan abses
cerebral. Kejang akut harus diakhiri dengan pemberian benzodiazepin
intravena, seperti lorazepam atau midazolam, atau dengan fosphenytoin
intravena. Profilaksis dengan antikonvulsan direkomendasi untuk semua
pasien dengan abses serebri . Diyakini bahwa lesi fossa posterior
cenderung menyebabkan kejang, meskipun laporan telah gagal
menunjukkan korelasi antara lokasi abses dan kemungkinan kejang. Agen
lini pertama sebagai antikonvulsan pada abses serebri adalah fenitoin
(1000 mg oral sebagai dosis tunggal pada hari pertama, diikuti 300-600 mg

17
/ hari diberikan dalam 3 dosis terbagi), carbamazepine (200-400 mg oral
dua kali sehari), dan valproate (15 mg / kg / hari diberikan secara oral
dalam 3-4 dosis terbagi). Selain itu, levetiracetam (750 mg oral dua kali
sehari) semakin sering digunakan, karena profil efek samping yang
menguntungkan.4
Profilaksis antikonvulsan harus segera dimulai dan dilanjutkan
setidaknya satu tahun karena risiko tinggi pada abses serebri . Perawatan
dapat dihentikan jika tidak ada aktivitas epileptogenik yang signifikan
muncul dalam electroencephalogram (EEG). Manajemen pengobatan
abses memainkan salah satu faktor paling penting baik dalam kejang dan
hasil neurologis. Lokasi abses tidak memiliki kecenderungan kejang.
Namun, area padat yang mengelilingi rongga abses lebih luas pada pasien
yang dirawat dengan pembedahan. Area-area ini dianggap sebagai
parenkim otak yang rusak yang menyebabkan defisit neurologis dan
aktivitas epilepsi. Epilepsi juga merupakan sekuel utama pada pasien ini. 3

2. Terapi Bedah
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi
antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi
dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi
pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi
atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan
pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas
digunakan eksisi. 3
Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri
diindikasikan untuk : 3
1. Lesi dengan diameter >2,5 cm.
2. Terdapat efek massa yang signifikan
3. Lesi dekat dengan ventrikel
4. Kondisi neurologi memburuk

18
5. Setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran
abses tak mengecil

Terapi medikamentosa saja tanpa tindakan operatif


dipertimbangkan pada kondisi seperti : 3
1. Abses tunggal, ukuran kurang dari 2 cm
2. Abses multipel atau yang lokasinya sulit dijangkau
3. Keadaan kritis, pada stadium akhir

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan


bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun
dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang. Pembedahan secara
eksisi pada abses serebri jarang digunakan, karena prosedur ini
dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan
dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses
berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang
multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang
berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses
periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi
antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap
penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu. 3

IX. Komplikasi
Hasil yang paling tidak memuaskan adalah ketika pasien koma
sebelum pengobatan dimulai. Jika pengobatan dimulai saat pasien dalam
keadaan sadar, mortalitasnya berkisar 5-10%, dan bahkan beberapa abses
metastasis dapat merespons. Sekitar 30% dari pasien yang selamat
memiliki sekuel neurologis. Dari jumlah tersebut, epilepsi fokal adalah
yang paling menyusahkan. Deteksi lebih mudah dari kondisi yang
mendasarinya (misalnya, sinusitis, trauma kepala), pemantauan kemajuan

19
terapi, dan pengenalan komplikasi mungkin berkontribusi pada
peningkatan prognosis.
Adapun komplikasi abses serebri lainnya adalah sebagai berikut.
a. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
b. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
c. Edema otak dan herniasi oleh massa abses serebri
X. Prognosis
Dengan alat-alat pemeriksaan penunjang yang mutakhir abses
serebri pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis
lebih baik. Prognosis abses soliter lebih baik dibandingkan abses serebri
mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada
50% penderita.
Prognosis dari abses serebri ini tergantung dari faktor berikut4.
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Pokorn M. 2014. Pathogenesis and Classification Central Nervous


System Infection. The Journal of The International Federation of Clinical
Chemistry and Laboratory Medicine. 15(3):68-71
2. Parikh V, Tucci V, Galwankar S. 2012 Infection of the Nervous System.
The International Journal of Critical Illness and Injury Science. 2(2): 82–
97.
3. Batubara CA. 2018. Non operative management of cerebral abscess. IOP
Conf. Series: Earth and Environmental Science. Medan. IOP Publishing
4. Thomas TA, Moorthy R. 2015 . Brain abscess- Diagnosis and
management. Counting Medical Education. Department of Neurosciences,
Christian Medical College, Vellore.
5. Brouwer MC, Coutinho JM, Deek DVD. 2014. Clinical characteristics
and outcome of brain abscess. American Academy of Neurology.
82(1):806-803
6. Brook I, Chandrasekar PH. 2017. Brain Abscess.
https://reference.medscape.com/article/212946-print. Diakses pada
tanggal 4 Mei 2019
7. Netter FH, C r a i g J A , P e r k i n s . 2012. Atlas of Neuroanatomy and
Neurophysiology. C omtan.
8. Bokhari MR, Mesfin FB. 2019. Brain Abscess. NCBI Bookshelf. A
service of the National Library of Medicine, National Institutes of Health..
9. Muzumdar D, Jhawer S, Goel A. .2016. Brain abscess: An overview.
International Journal of Surgery 9 (2) :136-144
10. Kuks JBM, Snoek JW. 2018. Textbook of Clinical Neurology Scientific
Publishing Services (P) Ltd., Chennai, India
11. Perdossi. 2004. Standar Pelayanan Medik Perhimpinan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia.

21

Anda mungkin juga menyukai