Anda di halaman 1dari 31

ABSES CEREBRI

I Putu Wira Putra Suherman, Irmayani Aboe Kasim

I. Pendahuluan

Abses cerebri (Brain Abscess) adalah infeksi intraserebral fokal pada

parenkim otak. Lokasi intrakranial yang paling sering abses cerebri adalah:

frontal, temporal, frontal-parietal, parsial, serebelum, dan lobus oksipital (1).

Faktor predisposisi utama adalah akibat fokus bersebelahan terkait infeksi,

trauma, dan penyebaran hematogen dari fokus yang jauh. Mikroorganisme

penyebab abses meliputi bakteri anaerob, aerobik dan mikroaerofilik

streptokokus, Enterobacteriaceae, dan Staphylococcus aureus (24).

Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran darah,

perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan

kardiopulmoner. Pada beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya(5).

Ada sekitar 1500-2000 kasus abses cerebri yang terdiagnosis di

Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan perkiraan 1 dari 10.000 dirawat di

rumah sakit untuk Abses Cerebri. Infeksi cenderung terjadi pada pria muda,

walaupun infeksi dapat terjadi pada semua kelompok umur; rasio laki-

wanita bervariasi antara 2 : 1 dan 3 : 1. Dalam beberapa seri, anak-anak

tercatat hingga 25% kasus.

Dalam sejumlah besar kasus, penyebab abses cerebri tidak

diketahui. Persentase kasus abses cerebri di mana tidak ada fokus utama

infeksi dapat diidentifikasi berkisar dari 10% sampai lebih dari 60%,

meskipun dalam seri kasus baru-baru tingkat abses cerebri idiopatik berada

1
di kisaran yang lebih rendah (15%). penyebaran langsung dari infeksi dari

situs berdekatan dengan SSP tetap rute yang paling umum dari infeksi pada

kebanyakan kasus seri, yang terdiri dari sekitar 50% kasus abses cerebri.

Secara historis, situs utama umum telah sinusitis, otitis, dan abses gigi.

Abses Cerebri telah digambarkan sebagai komplikasi infeksi yang

melibatkan salah satu sinus paranasal, dengan abses cerebri yang berlokasi

terutama di lobus frontal (frontal dan sinusitis etmoidalis), lobus temporal

(sphenoid sinusitis), atau keduanya, tergantung pada sinus yang terlibat.

sinusitis sphenoid sangat bermasalah, karena membawa tingkat yang lebih

tinggi dari komplikasi SSP dibandingkan dengan sinus paranasal lainnya;

dapat menyebar ke beberapa daerah yang berbatasan, termasuk lobus

temporal, hipofisis, sinus kavernosa, dan kadang-kadang lobus frontal(5).

Gejala klinik abses cerebri berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam,

anoreksi dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik

fokal sesuai lokalisasi abses. Terapi abses cerebri terdiri dari pemberian

antibiotik dan pembedahan. Tanpa pengobatan, prognosis abses cerebri

dapat menjadi jelek(6).

II. Definisi
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai

sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus

yang dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi

bakteri, fungus dan protozoa(1).


III. Insidens dan Epidemiologi

2
Abses Cerebri jarang terjadi di negara maju tetapi menjadi masalah

yang signifikan di negara-negara berkembang. Faktor-faktor predisposisi

bervariasi di berbagai belahan dunia. Ada sekitar 1500-2000 kasus Abses

Cerebri yang terdiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan

perkiraan 1 dari 10.000 dirawat di rumah sakit untuk Abses Cerebri.

Prevalensi Abses Cerebri pada pasien dengan AIDS lebih tinggi, sehingga

tingkat keseluruhan telah demikian meningkat. Frekuensi Abses Cerebri

jamur telah meningkat karena penggunaan tidak rasional pada antimikroba

spektrum luas, agen imunosupresif, dan kortikosteroid. Infeksi cenderung

terjadi pada pria muda, walaupun infeksi dapat terjadi pada semua

kelompok umur; rasio laki-wanita bervariasi antara 2: 1 dan 3: 1. Dalam

beberapa seri, anak-anak tercatat hingga 25% kasus. (3,6)

IV. Anatomi

Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit karena

fungsi organ yang menakjubkan ini berfungsi sebagai pusat kendali dengan

menerima, menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi sensorik di

seluruh tubuh. Ada tiga divisi utama otak, yaitu otak depan, otak tengah,

dan otak belakang.

3
Gambar 1. (Anatomi otak (Sumber: dikutip dari kepustakaan (7))

Pembagian otak:

1. Prosencephalon - Otak depan

2. Mesencephalon - Otak tengah: a). Diencephalon = thalamus,


hypothalamus, b) Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus
striatum

3. Rhombencephalon - Otak belakang : a) Metencephalon= pons,


cerebellum, b) Myelencephalon= medulla oblongata(7)

A. Sawar Darah Otak (Blood Brain Barrier)

4
Sawar darah otak memisahkan dua kompartemen utama dari

susunan saraf, yaitu otak dan likuor serebrospinalis, dari kompartemen

ketiga yaitu darah. Tempat -tempat rintangan itu adalah tapal batas antara

darah dan kedua kompartemen susunan saraf tersebut diatas yaitu pleksus

koroideus, pembuluh darah serebral dan ruang subarachnoid serta

membrane araknoid yang menutupi ruang subaraknoid. Semua tempat

sawar dibentuk oleh sel-sel yang bersambung satu dengan yang lain

dengan tight junction, yang membatasi difus intraseluler. Sel- sel tersebut

adalah endothelium pembuluh darah, epithelium pleksus korioideus dan

sel-sel membran araknoid serta perineurium.

Sawar darah otak mengalami perubahan jika terjadi beberapa

proses patologis, seperti anoksia daniskemia, lesi destruktif dan

proliferative, reaksi peradangan dan imunologik, dan juga jika terdapat

autoregulasi akibat sirkulasi serebral tang terganggu.

5
Gambar (2) Mekanisme Imunologi Sawar Darah Otak
(Sumber: dikutip dari kepustakaan (7))

Tight junction dari endothelium pembuluh darah serebral biasanya

mampu menghalangu masuknya leukosit ataupun mikroorganisme pathogen

ke susunan saraf pusat. Tetapi pada proses radang dan imunologik, tight

junction dapat menjadi bocor. Leukosit polinuklearis terangsang oleh

substansi substansi yang dihasilkan dari sel- sel yang sudah musnah

sehingga ia dapat melintasi pembuluh darah, tanpa menimbulkan kerusakan

structural. Limfosit yang tergolong dalam T- sel ternyata dapat juga

menyebrangi endotheliaum tanpa menimbulkan kerusakan structural pada

pembuluh darah(8).
V. Etiologi
Sebagian besar abses cerebri berasal langsung dari penyebaran

infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan

maxillaries). Abses Cerebri dapat timbul akibat penyebaran secara

hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas,

pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit

jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih

6
dan abu dari jaringan otak). Abses Cerebri yang penyebarannya secara

hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi

oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan

batang otak(9).
Cara infeksi mikroba tergantung pada usia pasien, tempat infeksi

primer, dan status kekebalan tubuh pasien. Anaerobik dan coccus

mikroaerofilik dan gram negatif dan gram positif basil anaerob adalah isolat

yang paling penting. Sejumlah besar abses cerebri polymicrobic. anaerob

flora mulut umumnya berasal dari telinga yang terinfeksi dan sinus dan

anaerob perut (Bacteroides fragilis kelompok) mencapai rongga intrakranial

melalui bakteremia. Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit

immunologik seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat

kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37%

penyebab abses cerebri tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang

dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil,

pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak

di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi

timbulnya abses di lobus otak(1,9).


Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde

thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau

temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak,

dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan

abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis

dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis

7
maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis

ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada

telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada

mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti

kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh

kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum(8,10,11). Adapun bakteri

penyebabnya antara lain :


Streptokokus adalah bakteri paling umum (70%) berbudaya dari

pasien dengan bakteri Abses Cerebri , dan mereka sering diisolasi dari

infeksi campuran (30% sampai 60% dari kasus). Bakteri ini, terutama

Streptococcus anginosus (milleri) dan S.indermedius biasanya berada di

rongga mulut, usus buntu, dan saluran kelamin perempuan, dan mereka

memiliki yang kecenderungan untuk pembentukan abses. Meskipun

streptokokus pada abses cerebri terlihat paling sering pada pasien dengan

infeksi orofaringeal atau endokarditis infektif, mereka juga terisolasi setelah

neurologis atau medis lainnya prosedur.

Staphylococcus Aureus terhitung untuk 10% sampai 20% dari

isolat. Biasanya pada pasien dengan trauma kranial atau infektif

endokarditis, dan sering terisolasi dalam kultur murni, kasus disebabkan

oleh community terkait methicillin-resistant S. aureus telah dilaporkan.

Perhatian terhadap teknik kultur yang tepat telah meningkatkan isolasi

anaerob dari abses cerebri , dengan Bacteriodes, dan Prevotella spp, saya

solated di 20% sampai 40% dari pasien, sering dalam kultur campuran .

8
Enterik gram -negatif basil (misalnya, Proteus spp, Escherichia coli,

Klebsiella spp, dan Pseudomonas spp) terisolasi di 23% sampai 33% dari

pasien, sering pada pasien dengan fokus otitic infeksi septikemia, yang

memiliki saraf prosedur, atau yang kebal dikompromikan. Pada satu pusat,

Klebsiella adalah yang paling umum patogen (biasanya berhubungan

dengan penyebaran hematogen atau memposting negara neurologis), diikuti

oleh Proteu dan Enterobacter spp. Dalam satu review dari 41 pasien dengan

autogenik abses cerebri , Proteus diisolasi di 41% kasus. Beberapa

organisme yang dibudidayakan di 14% sampai 28% dari kasus di pasien

dengan hasil kultur positif. Insiden budaya negatif berkisar dari 0% menjadi

43% di dipilih seri. Berbagai bakteri patogen dapat diisolasi di Abses

Cerebri pada pasien tertentu atau dari kekebalan pasien dikompromikan.

Meskipun influenza Haemophilus, Streptococcuspnerumoniae dan Listeria

monocytogenes adalah agen etiologica umum meningitis bakteri mereka

jarang diisolasi dari pasien dengan abses cerebri piogenik (<1% kasus).

Tercatat abses cerebri sekitar 10% dari sistem saraf pusat (SSP) infeksi

yang disebabkan oleh L.monocytogenes. Dalam review dari 39 kasus

Listeria Abses Cerebri , 85% pasien memiliki signifikan yang mendasari

Kondisi (termasuk leukemia, limfoma, infeksi HIV, dan berbagai kondisi

yang memerlukan kortikosteroid atau lainnya imunosupresi), dan penyakit

sering dikaitkan dengan meningitis bersamaan (39% kasus) dan bacteremia

(86% kasus).

9
Salmonella spp. jarang dilaporkan menyebabkan abses cerebri ,

biasanya setelah bakteremia di hadapan beberapa kompromi dari sistem

retikuloendotelial. Abses Cereberal juga dapat menjadi komplikasi

neurologis infeksi Burkholderia pseudomallei [20]. Actinomycosis SSP

dapat bermanifestasi abses cerebri , biasanya sekunder penyebaran

hematogen dari infeksi primer di paru-paru, perut, atau panggul, meskipun

spread yang berdekatan dari fokus dari infeksi pada telinga,

paranasalsinuses, daerah orcervicofacial mungkin terjadi.

Nocardial abses cerebri disebabkan oleh asteroid Nocardia dapat

terjadi sebagai SSP lesi terisolasi atau sebagai Infeksi disebarluaskan dalam

hubungan dengan paru atau penyakit kulit [21]. Dalam serangkaian

penerima transplantasi organ dengan Nocardia abses cerebri , penggunaan

trimethoprim-sulfametoxazole profilaksis untuk Pneumocysticjirovecii

(sebelumnya P.carinii) tidak terbukti menjadi pelindung terhadap ada

infeksi kardia. Mycobacterium tuberculosis dan nontuberculous cobacteria

saya telah semakin diamati menyebabkan focal Lesi SSP, dengan beberapa

kasus yang dilaporkan pada pasien dengan infeksi HIV.

Jamur Otak Abses Insiden abses cerebri jamur telah meningkat

sebagai hasil dari administrasi umum dari agen imunosupresif, terapi

antimikroba spektrum luas dan kortikosteroid.

Candida spp Diagnosis jamur abses cerebri id sering kasus tak

terduga dan banyak yang tidak ditemukan sampai otopsi. Dalam studi

otopsi, Candida spp. telah muncul sebagai agen etiologi yang paling umum;

10
lesi neuropathological termasuk abses mikro, noncaseating granuloma, dan

nodul glial menyebar. Faktor risiko untuk infeksi Candida invasif meliputi

penggunaan kortikosteroid, terapi antimikroba yang luas -spectrum, dan

hiperalimentasi. Penyakit juga terlihat pada bayi prematur; pada pasien

dengan keganasan, neutropenia, penyakit granulomatosa kronis,

diabetesmellitus, atau cedera termal, dan pada pasien dengan kateter di

tempat.

Aspergillus spp Pembenihan intrakranial spesies Aspergillus terjadi

selama penyebaran organisme dari paru-paru atau dengan ekstensi langsung

dari situs anatomis berdekatan dengan otak . Kasus infeksi intrakranial yang

disebabkan oleh Aspergillus spp. telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan

sebagian besar kasus terjadi pada orang dewasa. Cerebralaspergillosis

dilaporkan dalam 10% sampai 20% dari semua kasus aspergillosis invasif,

dan jarang adalah otak-satunya tempat infeksi.

Mucromycosis Mucromycosis adalah salah satu infeksi jamur yang

paling fulminan dikenal. Banyak kondisi predisposisi untuk mucromycosis

telah dijelaskan, termasuk diabetes mellitus, (70% kasus) biasanya berkaitan

dengan asidosis, asidemia dari penyakit sistemik yang mendalam (misalnya

sepsis, dehidrasi berat, diare berat, gagal ginjal kronis .

Pseudallescheriaboydii Penyakit SSP dapat terjadi di kedua host

normal dan kekebalan tubuh. Organisme ini sedang semakin disebut sebagai

Scedos poriumapiospermum, bentuk seksual P.boydii. Organisme ini dapat

masuk SSP oleh trauma langsung oleh penyebaran hematogen dari situs

11
utama infeksi, melalui kateter intravena, atau ekstensi langsung dari sinus

yang terinfeksi [26]. Banyak agen etiologi meningitis jamur juga dapat

menyebabkan abses cerebri , misalnya Cryptococcus neoformans,

Coccidioidesspp, Histoplasmacapsulatum, dan Blastmycesdermatiditis(5).

VI. Patofisiologi

Abses Cerebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari

fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang

jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi.

Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian

otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea;

sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat

permukaan otak pada lobus tertentu.

Pada tahap awal abses cerebri terjadi reaksi radang yang difus pada

jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan

kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah

beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada

pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan

makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak

berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif

terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara

beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi

perubahan patologi abses cerebri dalam 4 stadium yaitu :

12
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi

polymofonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel dengan

pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan

meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika

adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis

infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini

terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena

pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.

Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena

peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena

pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis

didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan

gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi

reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini

edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat

besar.
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular

debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.

Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi

pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat

lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi

putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang

13
terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar

ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke

dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat

daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul

kolagen, reaksi
astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan

gambaran histologis sebagai berikut:


a. Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel

radang.
b. Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
c. Kapsul kolagen yang tebal.
d. Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang

berlanjut.
e. Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul(5,9).

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan

meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan

meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,

amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat

menyebabkan abses cerebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis

media, mastoiditis terutama menyebabkan abses cerebri lobus temporalis

dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara

hematogen.

Respon imunologik pada abses cerebri terjadi Setelah kuman telah

menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf pusat

14
melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat

menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri

intraserebral merupakan penyebaran ke otak secara langsung.

Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang melalui

lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain

barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak

lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang

dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat

cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak

secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan

abses sereebri, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum

inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun

dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat

penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki

fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik

untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan

proses infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen

dan destruktif(5,12,13).

15
Gambar (3). Histopatologi Abses cerebri (Sumber: Dikutip dari
http://neuropathology-web.org/chapter5/images5/5-13l.jpg)

VII. Manifestasi Klinis


Pada stadium awal gambaran klinik abses cerebri tidak khas,

terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-

gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan

kejang. Dengan semakin besarnya abses cerebri gejala menjadi khas berupa

trias abses cerebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis),

peninggian tekanan intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil

edema) dan gejala neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia)


Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala

neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim

disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik

karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan

mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral

dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota

gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif

asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal

adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu

hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor,

dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya

berasal hematogen dan berakibat fatal(12,14).


VIII. Diagnosis

16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,

pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain

itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh,

mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat

perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat

kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat

dipastikan diagnosisnya.

Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi

status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis,

refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan

keterlibatan meningen. Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian

dari integritas sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya

gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya

bilateral atau tunggal. Pada pemeriksaan laboratorium, terutama

pemeriksaan darah perifer yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah;

didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan

serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa

didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis,

glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi

perforasi dalam ruangan ventrikel.

Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan

intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral;

tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.

17
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses

dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang

lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi

abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses

serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer.

Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan

pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak

menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah

abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang

normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain

mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan

abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain

memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat(5).

Gambar CT Scan Normal Gambar CT- Scan Abses serebri

Gambaran CT-scan pada abses :

1. Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.

18
Gambaran CT-Scan : Pada hari pertama terlihat daerah yang

hipodens dengan sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga

gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan diameter serebritisnya.

Didapati mengelilingi pusat nekrosis.


2. Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat

nekrosis dari zona central inflamasi.


Gambaran CT-Scan : Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah

pemberian kontras perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral

dengan gambaran lesi homogen menunjukkan adanya cerebritis.


3. Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,

hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada

stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement. Gambaran

CT-Scan : Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat

nekrosis lebih kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.


4. Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang

hipodens (sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring

enhancement (kapsul abses)


Gambaran CT-Scan : Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat,

sedangkan daerah nekrosis tidak diisi oleh kontras.

Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan

prosedur diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90%

untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah

walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma),

infark, metastasis, hematom yang diserap dan granuloma(14).

19
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor

(glioblastoma, metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang

dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain : umur

penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform,

diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada kasus, kapsul bagian medial

lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya

vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa daughter abscess

biasanya berkembang di medial. Abses serebri yang hematogen ditandai

dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari paru), lokasi pada daerah

yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah

perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed

density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal

edema yang luas. Selain pemeriksaan CT-Scan dapat pula dilakukan

pemeriksaan MRI(15). MRI dipertimbangkan sebagai metode diagnostik

pertama untuk diagnosis abses cerebri . MRI dapat memberikan diagnosis

yang akurat dan tindak lanjut yang baik dari lesi dengan sensitifitas dan

spesifitas yang paling baik. Dibandingkan CT scan, MRI memberikan

kemampuan lebih baik, kontras terhebat antara edema cerebral dan otak,

dan deteksi dini terhadap lesi dan penyebaran inflamasi ke ventrikel dan

ruang subarachnoid.

20
(a) (b)

Gambar (5) (a) MRI dengan kontras intravena menunjukkan 2,3 x 1,8 cm

meningkatkan hypodensity dalam lobus temporal kanan anterior dengan

sekitarnya edema. (b) Magnetic resonance T2 gambar dengan kontras

gadolinium menunjukkan bahwa terdapat lesi 2,3 x 1,8 cm berbentuk cincin

di lobus temporal kanan dengan sekitarnya edema(3,4).

IX. Diagnosis Banding


1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Tumor Serebri

Abses Cerebri biasanya sulit dibedakan dengan kelainan otak yang

lain (yaitu tumor otak, leptomeningitis atau encephalitis). Pada tumor otak,

biasanya tidak terdapat riwayat atau adanya infeksi yang mendahului dan

hitung sel dalam liquor cerebrospinalis biasanya normal. Leptomeningitis

biasanya dapat dibedakan lewat biakan liquor cerebrospinalis yang positif.

Leptomeningitis fulminan yang akut mudah dibedakan secara klinik dengan

abses cerebri, sedangkan leptomeningitis yang ringan (misalnya

leptomeningitis tuberculosa dan syphilitica) secara klinik sulit dibedakan.

Biasanya encephalitis tidak memperlihatkan tanda-tanda fokal abses cerebri

21
dan biasanya menyebabkan perubahan yang berat dan lebih mendalam pada

sensorium dan personalitas.

Gambaran klinik pada abses cerebri juga biasanya ditunjukkan oleh

gejala dari space-occupying lesion. Tanda dan gejala termasuk diikuti

demam tinggi ataupun ringan, sakit kepala persisten (biasanya terlokalisir),

rasa mengantuk, bingung, stupor, kejang umum dan lokal, mual dan muntah,

kerusakan fokal motorik dan sensorik, papil edema, ataxia, hemiparese(5,12).


X. Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :

1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat

mengancam jiwa

2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)

4. Pengobatan terhadap infeksi primer

5. Pencegahan kejang

6. Neurorehabilitasi

Penatalaksanaan awal dari abses cerebri meliputi diagnosis yang

tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan

organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak

diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga

dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan

kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine

dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik

22
terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah

tersedia.

Tabel 1. Prinsip Pemilihan Antibiotik pada abses cerebri

Etiologi Antibiotik

Infeksi bakteri gram negatif, Meropenem

bakteri anaerob, stafilokokkus dan

stretokokkus

Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole

Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine

Otitis media, sinusitis, atau Vancomycin

mastoiditis

Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang

secara umum dikombinasi dengan

terapi aminoglikosida

Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau

sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau

vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole.

Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram

negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi

pilihan alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit

jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses

yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan

vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits

23
yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus

pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis

citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat

digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum

dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan

immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan

dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

Tabel 2. Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Cerebri


Drug Dose Frekwensi dan rute

Cefotaxime (Claforan) 50-100 2-3 kali per hari, IV


mg/KgBBt/Hari

Ceftriaxone (Rocephin) 50-100 2-3 kali per hari, IV


mg/KgBBt/Hari

Metronidazole (Flagyl) 35-50 3 kali per hari, IV


mg/KgBB/Hari

Nafcillin (Unipen, Nafcil) 2 grams setiap 4 jam, IV

Vancomycin15 mg/KgBB/Hari setiap 12 jam, IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid

dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi

pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan

pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan

24
tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6

jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari(1).

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan

adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran

edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid

diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa

berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus

optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara

bedah pada Abses Cerebri dipertimbangkan dengan menggunakan CT-

Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan,

seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi

antara antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi

dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi

pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi

atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan

pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas

digunakan eksisi.

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak

menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early

cerebritic stage. Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan bermakna diantara penderita yang mendapatkan terapi

konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.

25
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi

kraniotomi mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna

mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri,

disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya

kapsul dan lokasinya di temporal.

Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan

abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan

sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi

abses. Pembedahan secara eksisi pada abses cerebri jarang digunakan,

karena prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika

dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika

abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang

multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang

berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan

abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi

kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap

penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan

posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan

dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi

bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG

dan neuroimaging). Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat

penderita sudah mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering.

26
Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan

klinis penderita selanjutnya(5,14).

XI. Prognosis

Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan

perjalanan penyakit yang cepat. Penderita mempunyai gejala lebih dari 2

minggu dan memperlihatkan abses berkapsul mempunyai prognosis yang

lebih baik. Keadaan umum penderita juga menentukan prognosis.

Penderita dalam keadaan koma preoperatif mempunyai prognosis yang

buruk. Penderita dengan gangguan kekebalan mempunyai prognosis

buruk. Keterlambatan operasi dapat pula menyebabkan kematian.

Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel

atau ruang subaraknoid, herniasi atau sepsis. Kejang dapat terjadi selama

atau setelah pembentukan abses. Paska operasi terdapat serangan kejang

pada 30-50% penderita. Bila kejang telah terjadi sebelum dilakukan

operasi umumnya selalu terjadi kejang paska operasi. Kejang dapat terjadi

setelah 4 tahun pengobatan. Penderita mengalami kejang paska operasi,

50% berupa kejang umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial

kompleks atau epilepsi fokal(14).

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Brook I. Microbiology and treatment of brain abscess. J Clin Neurosciens


[Internet]. 2017;610. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0967586816309353
2. Liu HW, Chang CJ, Hsieh CT. Brain abscess caused by Citrobacter koseri
infection in an adult. Neurosciences. 2015;20(2):1702.
3. de Oliveira APR, Pappalardo MC, Dantas D, Lins D, Vidal JE. Brain
abscess due to Staphylococcus aureus of cryptogenic source in an HIV-1
infected patient in use of antiretroviral therapy. Rev Inst Med Trop Sao
Paulo. 2016;58(1):13.
4. Onor IO, Piazza ME, Khashan MF, Walvekar S, Guillory SG.
Mycobacterium kansasii: A Rare Cause of Brain Abscess. Am J Med Sci.
2016;13.
5. Mustafa M, Iftikhar M, Latif MI, Munaidy RK. BRAIN ABSCESS:
PATHOGENESIS , DIAGNOSIS AND MANAGEMENT STRATEGIES.
Impact J. 2014;2:299308.
6. Besharat M, Abbasi F. Brain abscess; epidemiology, clinical manifestations

28
and management: A retrospective 5-year study. Iran J Clin Infect Dis.
2010;5(4):2314.
7. Gajah Mada Universitas. Anatomi Sistem saraf Pusat. Anat Lect. 2015;1
17.
8. Mccaffrey G, Davis TP. Physiology and Pathophysiology of the Blood-
Brain Barrier: P-Glycoprotein and Occludin Trafficking as Therapeutic
Targets to Optimize Central Nervous System Drug Delivery. 2012;60(8):1
10.
9. Sudhaharan S, Chavali P, Lakshmi V. Anaerobic brain abscess. Iran J
Microbiol. 2016;8(2):1204.
10. Yamada C. Brain abscess secondary to medication-induced osteonecrosis of
the jaw. Elsevier. 2016;(August 2011).
11. Yakut N, Kadayifci EK, Karaaslan A, Atici S, Akkoc G, Ocal Demir S, et
al. Bran abscess due to Streptococcus intermedius secondary to mastoiditis
in a child. Springerplus [Internet]. 2015;4:809. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=4689728&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
12. Ghante A. Abses Otak Otogenik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Simp Otol 2 PITO PERHATI-KL. 2011;
13. Widodo S. Karakteristik Abses Otak Otogenik. Karakteristik Abses Otak
Otogenik. 2011;38:2679.
14. Wijanarko F. Brain Abscess. Bedah Saraf Solo [Internet]. 2011;75(5
6):6145. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.wneu.2011.01.003
15. Esteban J, Montoya M, ngel M, Moran M, Alberto J, Ardila B, et al.
Interdisciplinary Neurosurgery: Advanced Techniques and Case
Management Brain abscess by Kocuria rosea: Case report and literature
review. Elsevier. 2017;7:5961.

29
BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HALU OLEO APRIL 2017

BRAIN ABSCESS

I PUTU WIRA PUTRA SUHERMAN

K1A1 13 081

30
PEMBIMBING

dr. IRMAYANI ABOE KASIM.,M.Kes.,Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017

31

Anda mungkin juga menyukai