Anda di halaman 1dari 15

Abses otak adalah kumpulan nanah yang dibatasi dinding kapsul akibat infeksi fokal

pada jaringan parenkim otak. Abses otak didahului dengan peradangan lokal
(serebritis) kemudian diikuti dengan pembentukan nanah di dalam kapsul yang
memiliki vaskularisasi.

Abses otak jarang terjadi, namun sangat fatal dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Insidensi abses otak lebih tinggi pada pasien immunocompromised seperti human
immunodeficiency virus (HIV) dan pasien transplantasi organ.[1]

Abses otak dapat berasal dari fokus infeksi yang berbatasan langsung (contigous)
dengan otak seperti dari sinusitis, otitis media, atau karies gigi. Selain itu, abses otak
juga bisa terjadi akibat penyebaran secara hematogen dari fokus infeksi pada organ
yang lebih jauh atau bisa juga terjadi akibat inokulasi langsung patogen di jaringan otak.
Patofisiologi abses otak dibagi menjadi 4 stadium, yakni serebritis awal (1-4 hari),
serebritis lanjutan (4-10 hari), pembentukan kapsul awal (11-14 hari), dan
pembentukan kapsul lanjutan (>14 hari).

Gejala abses otak timbul karena edema dan efek desak ruang massa abses. Gejala yang
dapat ditemukan adalah nyeri kepala, defisit neurologis, kejang, mual, muntah, dan
demam. Pemeriksaan penunjang seperti computed tomography scan (CT-scan)
dan magnetic resonance imaging (MRI) memiliki peran yang penting dalam
mendiagnosis abses otak.
Penatalaksanaan abses otak meliputi pemberian antimikroba serta terapi untuk
menurunkan edema dan tekanan intrakranial melalui pemberian medikamentosa,
aspirasi abses, atau tindakan pembedahan eksisi.[1-3]

Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa abses otak lebih banyak ditemukan di negara
berkembang. Angka mortalitas akibat abses otak menurun setelah perkembangan
antimikroba dan penggunaan teknologi pencitraan untuk diagnosis.[2]

Global
Secara global, abses otak lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan (rasio 2-3:1). Angka morbiditas tertinggi adalah pada kelompok usia >40
tahun. Insidensi abses otak adalah 8% dari seluruh kasus massa intrakranial di negara
berkembang dan 1-2% di negara barat. Prevalensi abses otak tertinggi ditemukan pada
laki-laki dewasa muda <30 tahun, anak usia 4-7 tahun, dan neonatus.

Di Amerika Serikat, prevalensi abses otak pada pasien yang menderita AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) termasuk cukup tinggi, sekitar 1.500-2.500 kasus per
tahun. Kasus abses otak fungal ditemukan meningkat akibat penggunaan antibiotik
spektrum luas dan obat imunosupresan.[1,4,7]
Data epidemiologi di Taiwan menunjukkan insidensi abses otak tertinggi ditemukan
pada kelompok usia 40-44 tahun. Insidensi abses otak yang didapatkan adalah 1,88 per
100.000 penduduk. Angka ini meningkat seiring dengan pertambahan usia yakni 0,58
per 100.000 penduduk kelompok usia 0-14 tahun dan 4,67 per 100.000 penduduk
kelompok usia >60 tahun.[10]

Indonesia
Belum ada data epidemiologi khusus mengenai abses otak di Indonesia.

Mortalitas
Tingkat mortalitas pasien abses otak dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni usia,
kondisi neurologis saat pasien tiba di rumah sakit, status imunitas pasien, penyakit
penyerta seperti diabetes mellitus, dan skor Glasgow Coma Scale (GCS). Skor GCS pasien
abses otak yang kurang dari 12 berhubungan dengan angka kematian yang lebih tinggi
dan defisit neurologis permanen.[1]
Angka mortalitas abses otak menurun menjadi 20% setelah ditemukan
teknologi coherence tomographic scan (CT-scan). CT-scan berguna untuk deteksi awal
dan lokalisasi massa abses secara akurat. Case fatality rates abses otak menurun dari
40% menjadi 10% dalam 50 tahun terakhir.
Angka mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia tua, yakni 17,34% dibandingkan
kelompok usia 0-14 tahun, yakni 4,22%. Tidak ada perbedaan angka mortalitas abses
otak antara laki-laki dan perempuan.[1,6,10]

Angka mortalitas pada pasien immunocompromised lebih tinggi walaupun dengan


penatalaksanaan yang adekuat. Ruptur abses otak menyebabkan angka mortalitas
antara 27-85%.[6,12]
Prognosis

Prognosis pasien abses otak membaik setelah perkembangan teknologi pencitraan dan
antimikroba. Mortalitas mencapai separuh dari kasus apabila penatalaksanaan baru
diberikan saat pasien sudah mengalami penurunan kesadaran atau koma.[3,17]

Komplikasi
Komplikasi yang dapat dialami pasien abses otak antara lain:

 Kejang menetap (epilepsi)


 Gangguan status mental persisten

 Defisit neurologis fokal

 Ventrikulitis

 Hidrosefalus[1]

Komplikasi ventrikulitis dan hidrosefalus dapat ditemukan bila terjadi ruptur abses
otak. Ruptur abses lebih sering terjadi pada abses yang terletak lebih dalam, bersepta,
dan terletak di dekat dinding ventrikel. Hidrosefalus sering terjadi pada abses di fosa
posterior. Herniasi otak dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial.[6,12,17]

Prognosis
Prognosis abses otak tergantung dari kecepatan mendiagnosis kelainan tersebut dan
pemberian terapi antibiotik atau antifungal yang adekuat. Keterlambatan pemberian
antibiotik dapat menyebabkan prognosis yang lebih buruk.

Sebuah penelitian melaporkan bahwa dari 47 pasien yang menjalani pembedahan abses
otak, 61,7% pasien mengalami perbaikan klinis, 29,8% mengalami defisit neurologis
persisten, dan 8,5% pasien mengalami defisit neurologis baru atau pemburukan.
Sebanyak 23,4% pasien meninggal selama follow-up.[6,17]
Prognosis abses otak lebih baik pada pasien usia muda, tidak memiliki penyakit
komorbid, serta tidak menunjukkan gejala defisit neurologis berat dan pemburukan
gejala tersebut. Angka mortalitas turun hingga 5-10% apabila penatalaksanaan
diberikan saat kesadaran pasien masih baik. Sekitar 5-30% pasien yang sembuh akan
mengalami sekuel neurologis.[3,12,17]

Patofisiologi

Patofisiologi abses otak didahului dengan infeksi parenkim oleh patogen yang
menimbulkan peradangan (serebritis) lokal. Setiap patogen memiliki mekanisme yang
berbeda dalam menimbulkan kerusakan jaringan parenkim yang menyebabkan
pembentukan lesi supuratif dan nekrosis jaringan yang mulai dari bagian sentral.[4,5]

Stadium Abses Otak


Perubahan histopatologi yang dapat diamati melalui pencitraan seiring dengan
perjalanan penyakit abses otak dibagi ke dalam 4 stadium sebagai berikut:

Serebritis Awal

Serebritis awal ditandai dengan inflamasi perivaskular dengan akumulasi neutrofil,


edema, dan nekrosis jaringan di bagian sentral. Pada jaringan otak terjadi aktivasi
mikroglia dan astrosit yang berperan dalam perkembangan abses otak. Stadium ini
terjadi selama 1-4 hari.[1,6]

Serebritis Lanjut

Serebritis lanjut terjadi setelah 4-10 hari. Pada stadium ini terjadi infiltrasi limfosit dan
predominan makrofag.[1]

Pembentukan Kapsul Awal

Pembentukan kapsul awal terjadi setelah 11-14 hari. Jaringan nekrosis akan mencapai
ukuran maksimalnya dan dibatasi oleh kapsul yang terbentuk dari akumulasi fibroblas.
Terdapat juga neovaskularisasi pada kapsul tersebut. Dinding abses ini berperan
penting membatasi lesi, membatasi perluasan proses infeksi, serta mempertahankan
fungsi jaringan otak di sekitarnya. Lapisan kapsul dari bagian dalam ke luar terdiri dari
jaringan granulasi, lapisan kolagen, dan lapisan astroglial.[1,6]

Pembentukan Kapsul Tahap Lanjut

Pembentukan kapsul tahap lanjut terjadi setelah 14 hari. Terjadi proses likuifaksi di
bagian sentral yang dibatasi dengan kapsul. Pada minggu ketiga dan selanjutnya kapsul
abses menjadi lebih tebal. Walaupun dibatasi kapsul yang tebal, proses inflamasi dan
edema tetap terjadi di luar kapsul.[1,6,7]

Penyebaran Infeksi Abses Otak


Infeksi pada abses otak dapat disebabkan karena penyebaran infeksi dari fokus yang
berbatasan dengan otak secara langsung, penyebaran infeksi secara hematogen, dan
inokulasi langsung bakteri pada parenkim otak.[1]

Penyebaran dari Fokus yang Berbatasan Langsung (Contigous) dengan Otak


Abses otak yang timbul akibat penyebaran langsung meliputi 25-50% kasus. Infeksi
yang sering ditemukan adalah infeksi sinusitis, otitis media, dan karies gigi. Sinusitis
frontal dan etmoid karies gigi lebih banyak menyebabkan abses otak di lobus frontal.
Otitis media dan mastoiditis lebih sering menyebabkan abses otak di lobus temporal
bagian inferior dan serebelum.[1]
Penyebaran Hematogen

Abses otak yang timbul karena penyebaran infeksi secara hematogen dapat berasal dari
fokus infeksi yang jauh seperti infeksi paru, empiema, endokarditis bakterial, infeksi
intraabdominal, maupun infeksi kulit. Abses otak akibat penyebaran infeksi hematogen
meliputi 15-30% kasus.
Abses otak pada anak-anak berhubungan dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Infeksi dapat masuk ke otak melalui arteri serebral media. Abses otak yang timbul
akibat penyebaran hematogen umumnya menimbulkan lesi yang multipel dan
bersepta.[1,2]
Inokulasi Langsung

Inokulasi patogen secara langsung dapat terjadi karena cedera otak traumatik atau
penyebab iatrogenik misalnya pembedahan otak. Trauma kepala dengan fraktur
terbuka tengkorak memungkinkan patogen masuk dan terjadi inokulasi langsung di
parenkim otak. Benda asing yang masuk ke parenkim otak, contohnya peluru, juga
dapat menimbulkan komplikasi yaitu abses otak. Abses otak akibat inokulasi patogen
secara langsung ini meliputi 8-19% kasus.[1,2]

Diagnosis

Diagnosis abses otak rata-rata dapat ditegakkan di hari ke-8 sejak munculnya gejala
klinis. Diagnosis abses otak berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta penemuan
lesi abses pada pemeriksaan penunjang pencitraan.[4]

Anamnesis
Dari anamnesis, keluhan utama abses otak adalah nyeri kepala (70% pasien). Gejala
umumnya timbul <2 minggu setelah terbentuknya abses. Gejala abses otak umumnya
tidak spesifik sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis.

Gejala yang timbul tergantung dari lokasi dan ukuran lesi abses. Trias gejala klinis abses
otak, seperti demam, nyeri kepala, dan defisit neurologis fokal hanya ditemukan pada
<50% pasien.[4]

Berikut ini persentase gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien abses otak:
 Nyeri kepala (70%)

Nyeri kepala dapat bersifat tiba-tiba atau progresif menjadi intensitas sangat berat yang
tidak berkurang dengan pemberian obat pengurang nyeri yang dijual bebas. Nyeri
kepala yang tiba-tiba menjadi sangat berat dengan gejala meningismus dapat
ditemukan pada ruptur abses otak.

 Perubahan status mental (65%)

 Defisit neurologis fokal (50-65%)

 Demam (45-53%)

 Mual dan muntah (40%)

 Kejang (25-35%)

Abses otak di lobus frontalis biasanya menimbulkan kejang tonik klonik (grand mal).
 Kaku kuduk (15%)

Kaku kuduk muncul bila abses terdapat di lobus oksipital atau ventrikel lateral.[1,4]

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, penurunan kesadaran, defisit nervus
III dan nervus VI, ataxia, hemiparesis, dan kejang fokal maupun generalisata. Tanda
meningismus (rangsang meningeal yang positif) dapat ditemukan bila terjadi ruptur
abses. Kaku kuduk juga dapat ditemukan pada abses di lobus oksipital.

Perubahan perilaku sering ditemukan pada abses yang terletak di lobus frontal atau
lobus temporal dekstra. Abses di serebelum atau batang otak dapat menimbulkan
gangguan gait, paresis nervus kranial, dan hidrosefalus.[2,6]

Diagnosis Banding
Kelainan lain yang menjadi diagnosis banding abses otak adalah kelainan yang memiliki
gambaran ring enhancement lesion (lesi penyangatan cincin) pada CT-scan. Diagnosis
banding tersebut antara lain tumor otak primer, tumor otak metastasis, perdarahan
otak subakut, tuberkuloma, dan neurosistiserkosis.
Pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy (MRS) dan biopsi dapat membantu
membedakan abses otak dengan tumor otak primer atau metastasis.[6,7,11]
Pada abses otak selain ditemukan lesi penyangatan cincin, tanda khas lainnya adalah
edema yang ekstensif di sisi luar lesi. Gambaran tersebut tidak ditemukan pada
perdarahan otak subakut.[7,11,13]

Lesi neurosistiserkosis umumnya berbentuk lingkaran, dengan ukuran 2 cm atau


kurang, dan dapat ditemukan scolex. Biasanya pada neurosistiserkosis tidak ditemukan
edema serebral yang berat yang bisa menyebabkan midline shift atau defisit neurologis
fokal.[13,14]
Pada hasil MRI tuberkuloma dapat dilihat adanya granuloma kaseosa / non kaseosa
dengan bagian tengah yang padat. Apabila bagian tengah tuberkuloma telah mengalami
likuifaksi maka akan sulit membedakannya dengan abses otak tuberkulosis.
Tuberkuloma dapat diterapi dengan pemberian obat anti tuberkulosis saja, namun
abses otak tuberkulosis memerlukan kombinasi dengan tindakan pembedahan
eksisi.[15]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang mempunyai peran penting dalam diagnosis abses otak.
Penemuan gejala klinis yang disertai dengan leukositosis darah, peningkatan laju endap
darah, lesi penyangatan cincin, adanya gambaran gas di dalam lesi, dan gambaran lesi
bersepta (multilokular) dapat meningkatkan kecurigaan pada abses otak.[16]

Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan laboratorium darah yang dapat menunjang diagnosis abses otak adalah
pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah, serum C-reactive protein (CRP), tes
serologis, dan kultur darah. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan
leukositosis pada 30-60% pasien. Hasil laju endap darah dan CRP dapat mengalami
peningkatan walaupun hasil tidak sensitif dan spesifik untuk abses otak.
Pemeriksaan serologis seperti imunoglobulin G (IgG) toxoplasma, antibodi anti
sistiserkus, dan tes tuberkulin perlu dilakukan pada pasien immunocompromised.
Hampir 97% pasien HIV/AIDS dengan toxoplasmosis memberikan hasil IgG toxoplasma
yang positif.[6,12]
Pemeriksaan kultur darah tidak rutin dikerjakan. Hasil kultur darah yang positif hanya
ditemukan pada kurang dari 25% kasus abses otak. Bila memungkinkan, sampel kultur
darah sebaiknya diambil sebelum pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik yang
mendahului pemeriksaan kultur dapat menyebabkan hasil kultur yang negatif.[6,12]

Pungsi Lumbal

Pungsi lumbal bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan sebab hasil yang
diberikan tidak spesifik. Biasanya, hasil pungsi lumbal pasien abses otak akan
menunjukkan peningkatan kadar protein, pleositosis (dominan neutrofil), dan kadar
glukosa normal.
Pungsi lumbal perlu dilakukan bila ada tanda meningitis dan kecurigaan ruptur abses
otak. Hasil pungsi lumbal akan menunjukkan peningkatan leukosit, eritrosit, dan asam
laktat pada kasus ruptur abses otak. Hanya 10-30% hasil kultur cairan serebrospinal
yang memberikan hasil positif. Kontraindikasi pungsi lumbal adalah peningkatan
tekanan intrakranial, hasil pencitraan yang menunjukkan adanya midline shift otak, atau
ada kelainan koagulasi.[4,6,16]
Computed Tomography Scan

Computed tomography scan (CT-scan) adalah pemeriksaan yang cepat untuk deteksi
awal abses otak. Melalui CT-scan, dokter dapat menentukan ukuran, jumlah, lokalisasi,
dan juga stadium abses otak.
Stadium serebritis awal tampak sebagai lesi hipodens dengan batas yang tidak tegas.
Pemeriksaan CT-scan dengan kontras pada stadium ini tidak menunjukkan lesi
penyangatan. Penyangatan bisa saja ada tetapi tidak merata (patchy).[4,6]
Pada serebritis tahap lanjut akan tampak penyangatan terutama di tepi lesi (ring
enhancing lesion). Dinding abses umumnya memiliki permukaan yang licin dan regular
dengan ketebalan 1-3 mm. Biasanya ditemukan edema parenkim otak di sekitarnya.
Edema dan penyangatan kontras akan berkurang dengan pemberian obat steroid. Abses
otak dengan lesi satelit juga sering ditemukan (multi lokasi). Gambaran gas dapat
tampak pada abses otak yang disebabkan oleh organisme yang memproduksi gas.[4]
CT-scan kurang bermanfaat dalam mengevaluasi hasil terapi pasien abses otak.[16]
Magnetic Resonance Imaging

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan pilihan yang


digunakan untuk mendiagnosis secara akurat dan dapat digunakan untuk follow-
up kasus abses otak. MRI lebih sensitif mendeteksi serebritis awal dan lesi satelit
terutama yang terletak di batang otak. MRI juga memberikan gambaran yang lebih baik
untuk mengevaluasi nekrosis dan perluasan lesi abses pada jaringan otak, termasuk
area ventrikel dan ruang subaraknoid.[4]
Bagian cincin lesi abses otak pada MRI T1-weighted tampak isointens hingga
hiperintens dibandingkan dengan substansia alba. Sedangkan pada MRI T2-
weighted tampak hipointens dengan tanda khas struktur tri-laminar halus pada bagian
cincin lesi.[4,16]
MRI diffusion-weighted bermanfaat untuk membedakan antara abses otak dan tumor
otak primer kistik atau nekrotik. Abses otak memberikan gambaran hiperintens pada
MRI diffusion-weighted, sedangkan tumor otak seperti glioma tampak hipointens atau
hiperintens yang lebih rendah dibandingkan dengan abses.
Pada MRI diffusion-weighted dapat tampak penyangatan cincin yang tampak hipointens
dengan gambaran edema ekstensif melebihi lesi. MRI diffusion-weighted memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk membedakan abses otak dengan tumor otak
primer atau metastasis.[4,6,11]
Magnetic Resonance Spectroscopy
Pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy (MRS) dapat membedakan abses otak
dengan tumor lain yang juga memberikan gambaran lesi penyangatan cincin. Pada
abses otak dapat ditemukan asam amino yang timbul akibat aktivasi leukosit
polimorfonuklear, khususnya pada infeksi bakteri.
Teknik perfusi dapat membedakan abses dengan glioma kistik. Abses otak ditandai
dengan resonansi spesifik yang tidak ditemukan pada jaringan tubuh normal atau
jaringan patologis yang steril (neoplasma).[16]

Ada beberapa gambaran spektroskopi yang khas pada abses otak yaitu pola A, B, dan C.
Pola A terdiri dari laktat, asam amino, alanin, asetat, suksinat, dan lemak yang
berhubungan dengan infeksi bakteri anaerob obligat atau campuran bakteri anaerob
fakultatif dan obligat.

Pola B ditandai dengan penemuan laktat, asam amino, dan lemak yang berhubungan
dengan infeksi bakteri aerob obligat dan anaerob fakultatif.

Pola C ditandai dengan laktat dan berhubungan dengan infeksi Streptococcus sp.. Pola
spektroskopi pada abses otak yang disebabkan oleh jamur belum begitu jelas, namun
pada kebanyakan kasus dapat ditemukan asam amino, laktat, dan trehalosa.[16]
Biopsi

Biopsi jaringan abses dapat dilakukan pada cairan hasil aspirasi atau jaringan yang
dieksisi saat kraniotomi. Pemeriksaan biopsi dapat mengonfirmasi abses otak dan
membedakannya dengan tumor otak primer ataupun metastasis.[7

Edukasi

Edukasi dan promosi kesehatan mengenai abses otak meliputi pengenalan faktor risiko,
gejala dan tanda bahaya abses otak, pemeriksaan yang perlu dilakukan, penanganan
yang memakan waktu lama, dan sekuel menetap yang mungkin terjadi di beberapa
pasien.

Edukasi Pasien
Pasien perlu diedukasi bahwa abses otak merupakan penyakit yang berbahaya dan
dapat menimbulkan mortalitas bila tidak segera ditangani. Pasien juga perlu
mengetahui faktor risiko abses otak serta pengenalan gejala-gejala abses otak.

Apabila muncul gejala sakit kepala disertai tanda bahaya seperti kejang, mual, muntah,
defisit neurologis seperti gangguan penglihatan, pasien diharapkan dapat segera
menjangkau fasilitas kesehatan terutama rumah sakit yang memiliki modalitas
pencitraan seperti CT-scan atau MRI.
Pasien dan keluarga juga perlu tahu bahwa penatalaksanaan abses otak umumnya
memakan waktu yang lama. Selain itu, ada pemeriksaan serial yang harus dilakukan.
Evaluasi berkala juga perlu dilakukan walaupun pasien sudah dinyatakan sembuh. Hal
ini bertujuan untuk melihat resolusi atau kekambuhan abses otak. Jelaskan juga bahwa
ada kemungkinan gejala atau defisit neurologis fokal lain yang dapat menetap seperti
kejang.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit abses otak adalah melalui deteksi dini
fokus infeksi seperti sinusitis, otitis media, dan karies gigi. Dengan demikian, penyakit
tersebut akan lebih mudah ditangani. Evaluasi hasil pengobatan melalui pemeriksaan
pencitraan serial harus dilakukan untuk melihat resolusi abses.
Penyangatan pada lesi dapat diamati hingga beberapa bulan pasca terapi. Mengenali
tanda-tanda awal komplikasi dapat memberikan prognosis pasien yang lebih
baik.[3,12]

Etiologi

Bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai etiologi abses otak


adalah Streptococci.Etiologi abses otak yang berasal dari fokus infeksi di gigi dan rongga
mulut, intra abdomen, pelvis, otorinolaringeal adalah Streptococci, Bacteroides sp.,
Prevotella melaninogenica, Propionibacterium, Fusobacterium, dan Actinomyces.
Sedangkan bakteri batang gram negatif yang dapat ditemukan adalah Morganella
morganii.[1]
Etiologi abses otak yang terjadi akibat inokulasi langsung adalah bakteri kokus gram
positif aerobik, seperti Streptococcus viridans, Streptococcus milleri, dan Streptococcus
aureus. Sedangkan bakteri batang gram negatif aerobik yang bisa ditemukan
adalah Klebsiella, Pseudomonas, Escherichia coli, dan Proteus.[1]
Abses otak yang terjadi akibat penyebaran dari jantung (penyakit jantung bawaan
sianotik, shunt kanan-kiri, endokarditis) lebih sering disebabkan oleh
infeksi Peptostreptococcus, Streptococcus viridians, dan Streptococcus microaerophilics.
Infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis juga dapat menyebabkan
abses otak melalui penyebaran hematogen, namun kasus tersebut jarang terjadi.[1,8]
Abses otak akibat jamur (Aspergillus, Candida, Mucoromycetes) paling sering ditemukan
pada pasien dengan transplantasi organ. Infeksi HIV berhubungan dengan abses otak
yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii, jamur Cryptococcus, serta
bakteri Listeria dan Nocardia.[6,7,9]
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan abses otak adalah sebagai berikut :
 Immunocompromised seperti HIV
 Pengobatan dengan obat imunosupresan

 Pasien dengan transplantasi organ

 Kerusakan pelindung otak akibat trauma, pembedahan, atau infeksi di jaringan


sekitarnya

Penyakit jantung bawaan sianotik dan malformasi arteri-vena pulmonal [6,7]

Penatalaksaan

Penatalaksanaan abses otak bertujuan untuk menurunkan efek desak ruang,


peningkatan intrakranial, serta mengurangi infeksi yang terjadi. Penatalaksanaan abses
otak meliputi kombinasi pemberian medikamentosa dan pembedahan. Penatalaksanaan
terhadap fokus infeksi primer abses di luar otak seperti sinusitis, otitis media,
dan karies gigi juga perlu dilakukan kemudian.[4,6]
Medikamentosa
Medikamentosa abses otak meliputi pemberian antimikroba berupa antibiotik,
antifungal, atau antiprotozoa. Medikamentosa dapat diberikan terlebih dahulu pada
abses yang lokasinya dalam, ukuran <2 cm, atau abses otak yang disertai gejala
meningitis.[4]

Antibiotik merupakan terapi lini pertama yang diberikan pada pasien abses otak.
Prinsip pemberian antibiotik adalah secara intravena, spektrum luas, dan dosis tinggi.
Antibiotik empiris untuk abses otak adalah cefotaxime atau ceftriaxone
+ metronidazole. Terapi alternatifnya adalah meropenem dengan atau tanpa
vancomycin.
Pasien abses otak dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dapat diberikan
cefotaxime atau ceftriaxone + metronidazole + pyrimethamine + sulfadiazine. Bisa juga
ditambahkan dengan regimen obat antituberkulosis (rifampicin, isoniazid,
pirazinamid, ethambutol) bila terbukti ada infeksi tuberkulosis. Pasien abses otak
dengan riwayat transplantasi dapat diberikan cefotaxime atau ceftriaxone +
metronidazole + voriconazole + trimethoprim-sulfamethoxazole atau
sulfadiazine.[6,12]
Rekomendasi regimen antimikroba berdasarkan dari mikroorganisme penyebab abses
adalah sebagai berikut:

 Bakteri gram positif (misalnya Streptococcus): sefalosporin generasi III (cefotaxime,


ceftriaxone) atau penicillin G
 Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis (inokulasi langsung): vancomycin,
linezolid
 Infeksi jamur (misalnya Candida, Cryptococcus): amfoterisin B

 Aspergillus, Pseudallescheria boydii: voriconazole

 Toxoplasma gondii: pyrimethamine dan sulfadiazine [4]

Berikut ini rangkuman antimikroba dan dosis yang dianjurkan untuk penatalaksanaan
abses otak.

Tabel 1. Antimikroba untuk Penatalaksanaan Abses Otak


Obat Dosis & Rute Pemberian
Cefotaxime 2 gram intravena (IV) tiap 4-6 jam
Ceftriaxone 2 gram IV setiap 12 jam
Ceftazidime 2 gram IV setiap 8 jam

Metronidazole

500 mg IV setiap 6-8 jam

Meropenem

2 gram IV setiap 8 jam

Vancomycin

15 mg/ kgBB IV setiap 8-12 jam

Penicillin G
2-4 juta unit IV setiap 4 jam atau diberikan
secara kontinyu via infus dengan dosis 12-24
juta unit/ hari

Ampicillin

2 gram IV tiap 4 jam


Linezolid 600 mg IV tiap 12 jam
Voriconazole
loading dose 6 mg/kgBB untuk 2 dosis
dilanjutkan dengan dosis maintenance 4
mg/kgBB IV tiap 12 jam

Amfoterisin B (lipid complex)

5 mg/kgBB IV setiap 24 jam

Amfoterisin B deoksikolat 0,6-1 mg/kgBB IV setiap 24 jam dengan dosis


maksimal 1,5 mg/kgBB untuk abses otak
dengan etiologi aspergillosis atau
mucormycosis

Pyrimethamine

25-75 mg per oral setiap 24 jam

Sulfadiazine

1-1,5 gram per oral setiap 6 jam

Rifampicin

600 mg per oral tiap 24 jam

Isoniazid 300 mg per oral tiap 24 jam

15-30 mg/kgBB per oral tiap 24 jam


Pyrazinamid

15 mg/kgBB per oral tiap 24 jam [6]

Ethambutol
Pemberian antibiotik atau antifungal intravena dilakukan selama 4-8 minggu yang
kemudian diganti menjadi obat per oral selama 4-8 minggu untuk memberikan
penyembuhan yang sempurna serta mencegah terjadinya relaps.[12]

Selain pemberian antimikroba, edema dan peningkatan tekanan intrakranial pada abses
otak juga perlu ditangani. Medikamentosa yang dapat diberikan berupa mannitol atau
salin hipertonik intravena dan kortikosteroid (dexamethasone) 10 mg IV dilanjutkan
dengan dosis 4 mg IV tiap 6 jam sampai ada perbaikan klinis.
Dosis kortikosteroid dapat diturunkan setiap 2-4 hari dan dihentikan setelah 5-7 hari.
Bila medikamentosa tidak memberikan perubahan klinis, perlu dilakukan tindakan
aspirasi abses atau kraniotomi untuk menurunkan tekanan intrakranial.[3,4]

Antikonvulsan diperlukan untuk penatalaksanaan kejang pada pasien abses otak. Untuk
terminasi kejang dapat menggunakan diazepam, phenytoin, lorazepam, atau midazolam
intravena. Pemberian antikonvulsan rumatan juga disarankan sebagai profilaksis
kejang.
Lini pertama antikonvulsan yang dapat digunakan adalah phenytoin (1.000 mg dosis
tunggal hari pertama diikuti 300-600 mg/hari dibagi 3 dosis), carbamazepine (200-400
mg, 2 kali sehari), dan asam valproat (15 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis pemberian).
Beberapa sumber menyebutkan antikonvulsan rumatan diteruskan hingga minimal 1-2
tahun bebas kejang. Namun, banyak juga yang hanya diberikan sampai 3 bulan bebas
kejang dan dapat dihentikan apabila tidak ada tanda epileptogenik pada pemeriksaan
elektroensefalogram.[1,3,12]

Pembedahan
Pembedahan disarankan untuk abses otak yang memiliki diameter >2,5 cm.
Penatalaksanaan menggunakan medikamentosa saja memiliki angka kegagalan terapi
lebih tinggi dibandingkan jika dikombinasikan dengan pembedahan. Pembedahan abses
otak meliputi tindakan burr hole dan aspirasi abses atau kraniotomi yang diikuti
tindakan eksisi abses. Pemilihan metode pembedahan didasarkan pada keahlian
operator dan juga keadaan umum pasien.[6]
Penelitian oleh Lange et al, menunjukkan bahwa pembedahan pada abses otak
menunjukkan hasil yang sangat baik dan dianjurkan untuk menjadi pilihan tetap dari
penatalaksanaan abses otak selain medikamentosa dan drainase stereotaktik.[17]

Kraniotomi dapat dikombinasi dengan teknologi stereotactic frameless, yakni teknologi


komputer yang memodifikasi hasil MRI atau CT-scan guna mendapatkan gambaran 3
dimensi untuk menentukan lokasi abses dengan tepat terutama pada abses yang
lokasinya dalam.
Kraniotomi stereotaktik dapat mengurangi ukuran insisi kulit, menentukan lokasi yang
tepat untuk kraniotomi, dan meminimalisasi kerusakan jaringan otak yang normal.
Gambaran 3 dimensi otak yang dihasilkan membantu operator untuk menghindari
jaringan otak yang sehat. Hal ini penting agar fungsi penglihatan, bicara, dan
pergerakan pasien setelah pembedahan tetap normal.[6,17]

Teknologi stereotaktik juga dapat membantu prosedur aspirasi abses, dengan ukuran
lesi minimal 1 cm. Aspirasi stereotaktik dilakukan untuk keperluan diagnostik dan
dekompresi. Jika hasil pencitraan tidak menunjukkan gambaran kavitas di bagian
sentral abses, tindakan aspirasi harus dipertimbangkan lagi dan pasien dapat diberikan
antibiotik empiris kemudian hasil pencitraan dievaluasi ulang.[6]

Bila tidak tersedia alat stereotaktik, ultrasonografi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat
navigasi pada abses yang lokasinya tidak dalam. Ultrasonografi dilakukan melalui
lubang burr hole atau kraniotomi.[6]
Drainase abses berkelanjutan dapat dilakukan dengan pemasangan kateter ke dalam
kavitas abses. Beberapa ahli menganjurkan penyuntikan antimikroba langsung ke
dalam kavitas abses melalui kateter tersebut segera pasca pembedahan. Pemasangan
kateter dan pemberian obat via kateter tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan
secara rutin karena belum ada cukup data yang membuktikan risiko dan manfaatnya.[6]

Anda mungkin juga menyukai