Anda di halaman 1dari 34

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit saraf tepi merupakan salah satu penyakit yang umum dijumpai

dan dikeluhkan banyak orang di negara berkembang maupun negara maju.

Penyakit saraf tepi yang paling sering dikeluhkan antara lain kesemutan dan

kelemahan pada anggota gerak tubuh.1 Salah satu kasus yang banyak dijumpai

adalah polineuropati. Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan

terjadinya gangguan fungsi dan struktur sistem saraf tepi mulai dari saraf spinal,

pleksus, batang saraf, cabang terminal, peri karyon, akar saraf serta bagian

presinaps neuromuscularjunction.1,2

Polineuropati merupakan penyakit saraf tepi dengan tiga gejala utama

yang sering ditemukan, yaitu gangguan sensibilitas dengan pola sarung tangan

dan kaus kaki (glove and stocking pattern), kelemahan otot-otot distal, dan

hiporefleksia. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan timbulnya

polineuropati antara lain gangguan metabolik sistemik atau penyakit imunologi,

malignansi, penggunaan obat tertentu (antikonvulsi, isoniazid, golongan statin,

obat kemoterapi), serta toksin dan malnutrisi. 3,4,5 Prevalensi polineuropati pada

populasi umum diperkirakan antara 2,4%-8%. 4,5 Sebanyak 31% individu yang

berusia lebih dari 65 tahun menderita polineuropati. Secara keseluruhan

prevalensi adalah sekitar 2.400 per 100.000 penduduk.6

Diagnosa polineuropati ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil

pemeriksaan fisik. Elektromiografi dan uji penghantaran saraf dilakukan untuk

memperkuat diagnosis.7 Pemeriksaan darah dilakukan jika diduga penyebabnya


2

adalah kelainan metabolik (anemia, diabet, gagal ginjal). Pemeriksaan neurologis

sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf kranialis, kemampuan motorik

dan sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan

anggota gerak membantu dalam menentukan diagnosis: apakah simetris atau

asimetris, distal atau proksimal.7,8,9

Pengobatan dilakukan tergantung kepada penyebabnya. Pembedahan

dilakukan pada penderita yang mengalami cedera atau penekanan saraf. Terapi

fisik dapat mengurangi beratnya kejang otot atau kelemahan otot. Pada penderita

polineuropati, tatalaksana non medikamentosa seperti bimbingan psikologis juga

merupakan faktor penting bagi setiap pederita.9


3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Polineuropati

Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan terjadinya

gangguan fungsi dan atau struktur sistem saraf tepi yang bersifat simetris dan

bilateral mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf, cabang terminal, peri

karyon, akar saraf serta bagian presinaps neuromuscularjunction. Kelainan

polineuropati meliputi kelainan sensorik, motorik, sensorimotor, dan autonom.

Bila gangguan hanya mengenai akar saraf spinalis maka disebut poliradikulopati

dan bila saraf spinalis juga ikut terganggu maka disebut poliradikuloneuropati.1,3

2.2 Epidemiologi Polineuropati

Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia dan akan

meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Prevalensi polineuropati di populasi

sekitar 2%-3% dan prevalensi tertinggi sekitar 8% pada usia di atas 55 tahun.

Polineuropati merupakan penyakit kecacatan dan memiliki efek negatif terhadap

kualitas hidup seseorang. Semakin tua seseorang maka risiko berkembangnya

polineuropati semakin tinggi.11,12

Penyebab polineuropati yang paling sering dijumpai adalah polineuropati

sensorimotor diabetik, dimana 66% penderita DM tipe 1 dan 59% penderita DM

tipe 2 mengalami polineuropati. Sedangkan polineuropati genetik yang paling


4

sering adalah akibat Charcot-MarieTooth type 1a, dimana 30 dari 100.000

populasi mengalaminya.11

2.3 Etiologi Polineuropati 

Polineuropati dapat disebabkan oleh: 6,10

1. Herediter : Atropi otot peroneal Charcot-Marie-Tooth, neuropati

interstisial hipertrofik heriditer Dejerine Sottas, neurofibrimatosis

Recklinghausen, polineuropati amyoid bawaan, penyakit Tangier, dan porfiria.

2. Trauma : Fisik (berupa tekanan, tarikan, trauma lahir), toksin

(alcohol, metal, obat-obatan (derivate platinum, bortezomib, vincristine,

paclitaxel, thalidomide, linezolid, metronidazole, zalcitabine, stavudine).

3. Infeksi : kusta, HIV, herpes zoster, penyakit Lyme, dan hepatitis

4. Sistem imun : Sindrom Guillain-Barre, neuropati demyelisasi inflamasi

kronik, neuropati demyelinasi sensoris dan morotik multifocal didapat (sindrom

Lewis-Sumner), vaskulitidis sistemik, vaskulitis sistem nervus perifer terisolasi,

neurapati akibat penyakit jaringan ikat sistemik, sarkoidosis, penyakit celiac, dan

inflammatory bowel disease.

5. Metabolik : diabetes mellitus, defisiensi vitamin, malnutrisi, dan

uremia

6. Polineuropati akibat neoplasia.

2.4 Patofisiologi Polineuropati


5

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi

perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan

ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf,

dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang

bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan.13,14,15

Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di

nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di

jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.

aik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron

sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras

ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan

kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks

prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada:

meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang bata stimulus terhadap

aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang non noksious, dan

luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan

peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. 13,14,15 Hal ini dapat dilihat pada

gambar 2.1.
6

Gambar 2.1 Badan Neuron

Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu

degenerasi wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Hal

tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2 Proses spesifik dari beberapa penyakit yang

menyebabkan neuropati masih belum diketahui. 13,14

Gambar 2.2 patologi neuropati perifer.14

Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari

kelainan pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi fokal

sehingga merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada

mononeuropati fokal akibat trauma atau infark saraf perifer. 13,14,15

Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut dying-back phenomenon,

kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah distal. Polineuropati


7

akibat degenerasi akson biasanya bersifat simetris dan selama perjalanan penyakit

akson berdegenerasi dari distal ke proksimal. Proses ini sering didapatkan pada

penderita polineuropati kausa metabolik. 13,14,15

Pada degenerasi akson dan Wallerian, perbaikannya lambat karena

menunggu regenerasi akson, disamping memulihkan hubungan dengan serabut

otot, organ sensorik dan pembuluh darah.13

Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin.

Polineuropati demielinasi segmental yang didapat biasanya akibat proses

autoimun atau yang berasal dari proses inflamasi, dapat pula terdapat pada

polineuropati herediter. Pada kelainan ini perbaikan dapat terjadi secara cepat

karena yang diperlukan hanya remielinisasi. 13,14,15

Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma

dan sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan ganglion simpatis

dan saraf perifer. Pada polineuropati difteri terjadi demielinisasi pada serat-serat

saraf di akar dan ganglion sensorik dengan reaksi inflamasi.13

2.5 Klasifikasi Polineuropati

2.5.1 Sindroma Guillain Barre

2.5.1.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending

dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.

Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya
8

paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun

dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.16

2.5.1.2 Epidemiologi

Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling

dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur

dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2%

kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat sekitar 1-2% kasus/ 100.000

orang/tahun. Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai

dewasa, sering pada anak anak dan remaja (China), dan sering pada orang tua >

70 tahun (pada negara barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria.16

2.5.1.3 Etiologi

Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada

hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 17,18

1. Infeksi: Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,

Human Immunodefficiency Virus (HIV), Campilobacter Jejuni,

Mycoplasma Pneumonie.

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Kehamilan atau dalam masa nifas

5. Penyakit sistemik

a. Keganasan

b. Systemic Lupus Erithematous

c. Tiroiditis
9

d. Penyakit Addison

2.5.1.4 Patofisiologi

Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien

penderita SGB. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel

mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di

susunan saraf tepi.18

Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan

terjadi demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja,

tapi setelah 2-3 minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi

adalah sel makrofag. Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi

myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin terpisah dan mencerna membran

yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral

nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang

terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin. 18

Gambar 2.3 Ilustrasi hantaran saraf yang terganggung akibat rusaknya myelin.

2.5.1.5 Klasifikasi

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

(AIDP)
10

yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering

disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang

menyerang membrane sel schwann.18

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)

atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering

terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang

menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan

penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti

GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering ditemukan pada

AMAN.18

3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)

Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun

juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat.

Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 18

4. Fisher’s syndrome (MFS)

Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai

paralysis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.

Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala

yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti

GQ1b 90% kasus. 18

5. Acute panautonomia

Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka

kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia. 18


11

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)

Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran

,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik

ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular terutama

pada batang otak seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis. Meskipun

gejalanya berat namun prognosis BBE cukup baik. 18

2.5.6 Manifestasi Klinis

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National

Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)

yaitu:16,17,18

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis

a. Terjadinya kelemahan yang progresif

b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB

a. Ciri ciri klinis:

 Progresifitas : gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal 4 minggu , 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,

80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

 Relative simetris

 Gejala gangguan sensibilitas ringan

 Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang


12

mempersarafi lidah dan otot otot ektraokuler atau saraf otak

lain.

 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan

 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor

 Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosa:

 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi

peningkatan pada LP serial

 Jumlah sel CSS < 10 MN /mm17

 Varian :

o tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 mgg

gejala

o Jumlah sel CSS: 11 – 50 MN/ mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis

 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.

Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon

dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai

disosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. 16,17,18
13

2.5.7 Tatalaksana

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara

umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh

sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan

(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan

terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat

penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) 16,17,18

1. Kortikosteroid : Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan

preparat steroid tidak mempunyai nilai/ tidak bermanfaatuntuk terapi SGB

2. Plasmaparesis : Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk

mengeluarkan factor autoantibody yang beredar. Pemakaian plasmaparesis

pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang

lebih cepat, penggunaan alat Bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama

perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti

200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat

bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan

a. Immunoglobulin IV: Pengobatan dengan gamma globulin

intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek

samping/ komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4gr/KgBB/hari

tiap 15 hari sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah


14

 6 merkaptopurin (6 MP)

 Azathioprine

 Cyclophosphamid

Efek samping dari obat obat ini: alopesia, muntah, mual, dan sakit kepala.

c. Terapi fisik: alih baring

1. Latihan ROM dini u/ cegah kontraktur

2. Hidroterapi

d. Suportif: profilaksis DVT (heparin s.c)

e. Analgesik

Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk

meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat , penelitian

random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazephine

pada ruang ICU pada perawan SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat

digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati hati

kepada efek samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic

antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine dapat

ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka panjang. 16,17,18

2.5.2 Miastenia Gravis

2.5.2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul

karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular


15

junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan

otot akan pulih kembali.19

2.5.2.2 Epidemiologi

Perkiraan terbaru menunjukkan 20 kasus miastenia gravis umum per

100.000 orang di Amerika Serikat. Kedua jenis kelamin mempengaruhi miastenia

gravis, dan rasio wanita-pria secara keseluruhan adalah 2: 1. Prevalensi

myasthenia gravis onset dini (<40 tahun) hampir 3 kali lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pada pria, sedangkan prevalensi miastenia gravis onset lambat (> 50

tahun) lebih umum pada pria dibandingkan wanita. Selama masa pubertas dan

dekade kelima kehidupan, tingkat kejadian tampaknya serupa pada pria dan

wanita. Orang dari segala usia bisa terkena, tetapi miastenia gravis biasanya

menyerang wanita pada dekade ketiga kehidupan mereka.19

2.5.2.3 Klasifikasi

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis

dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain:20

Golongan I : Miastenia Okular

Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang

menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.

Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.

Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan

Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian

menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot
16

respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi

dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.

Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat

Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot

okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang

mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam

keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.

Golongan IV : Krisis miastenia

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang

menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan

keadaan darurat medik.

2.5.2.4 Patofisiologi

Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya

kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh

penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang

normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang

dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada

miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama

dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik.18


17

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus

eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah

didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis

secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang

peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis.18

2.5.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum meliputi: 21

a. Kelemahan Otot Ekstraokuler: Sekitar 85% pasien akan mengalami ini

pada presentasi awal. Keluhan pasien yang umum termasuk diplopia,

ptosis, atau keduanya. Gejala ini dapat berkembang dan menyebabkan MG

umum yang melibatkan otot bulbar, aksial, dan ekstremitas pada 50%

pasien dalam dua tahun.

b. Kelemahan Otot Bulbar: Ini bisa menjadi gejala awal pada 15% pasien dan

menyebabkan gejala seperti kesulitan mengunyah atau sering tersedak,

disfagia, suara serak, dan disartria. Keterlibatan otot wajah menyebabkan

wajah tanpa ekspresi, dan keterlibatan otot leher menyebabkan sindrom

kepala jatuh.
18

c. Kelemahan Tungkai: Ini biasanya melibatkan otot proksimal lebih dari

otot distal, dengan tungkai atas lebih terpengaruh daripada tungkai bawah.

d. Krisis miastenia: Hal ini disebabkan oleh keterlibatan otot interkostal dan

diafragma dan merupakan keadaan darurat medis.

e. Tidak ada gejala otonom seperti palpitasi, gangguan usus, atau kandung

kemih yang terjadi pada MG karena hanya melibatkan reseptor kolinergik

nikotinik.

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan kekuatan otot normal karena pola

penyakit yang berfluktuasi. Dalam kasus seperti itu, kontraksi otot yang berulang

atau berkelanjutan dapat menunjukkan kelemahan. Perbaikan terlihat setelah

periode istirahat atau aplikasi es (tes kompres es) ke kelompok otot yang terlibat.

Pupil, refleks tendon dalam, dan pemeriksaan sensorik normal.21

2.5.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis MG sebagian besar bersifat klinis. Investigasi dan prosedur

laboratorium biasanya membantu dokter dalam mengkonfirmasi temuan klinis.

1. Tes Serologis: Tes anti-AChR Ab sangat spesifik, dan ini memastikan

diagnosis pada pasien dengan temuan klinis klasik.21

2. Tes Elektrofisiologi: pada pasien yang seronegatif untuk pengujian

antibodi. Tes yang umum digunakan untuk MG adalah tes stimulasi saraf

berulang (RNS) dan elektromiografi serat tunggal (SFEMG). Kedua tes

menilai penundaan konduksi di NMJ. Pemeriksaan konduksi saraf rutin

biasanya dilakukan untuk menentukan fungsi saraf dan otot sebelum

melakukan tes ini.


19

3. Radiografi, CT, dan MRI

Pada foto polos anteroposterior dan lateral, radiografi dapat

mengidentifikasi timoma sebagai massa mediastinal anterior. Foto thoraks

negatif tidak menyingkirkan timoma yang lebih kecil, dalam hal ini

diperlukan pemindaian tomografi dada (CT). CT scan dada harus

dilakukan untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan pembesaran timoma

atau timus pada semua kasus MG (lihat gambar di bawah). Hal ini

terutama berlaku pada orang yang lebih tua.9

4. Uji Edrophonium (Tensilon): Edrophonium adalah penghambat

asetilkolinesterase kerja-pendek yang meningkatkan ketersediaan ACh

dalam NMJ.21

5. Tes Ice-pack: Jika tes edrophonium merupakan kontraindikasi, tes ice-

pack dapat dilakukan. Tes ini membutuhkan kompres es yang diletakkan

di atas mata selama 2-5 menit. Kemudian, penilaian untuk setiap perbaikan

ptosis dilakukan. Tes ini tidak dapat digunakan untuk evaluasi otot

ekstraokuler.21

6. Tes Laboratorium Lainnya: Miastenia gravis biasanya muncul bersamaan

dengan gangguan autoimun lainnya, dan pengujian untuk antibodi anti-

nuklir (ANA), faktor rheumatoid (RF), dan fungsi tiroid dasar

direkomendasikan.21

2.5.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan Antikolinesterasi

Pyridostigmine adalah obat antikolinesterase yang paling banyak

digunakan. Efek menguntungkan dari pyridostigmine oral dimulai dalam 15-30


20

menit dan berlangsung selama 3-4 jam, tapi respon setiap individu berbeda.

Pengobatan dimulai dengan dosis moderat, misalnya, 30-60 mg tiga sampai empat

kali sehari. Frekuensi dan jumlah dosis harus disesuaikan dengan kebutuhan

pasien sepanjang hari. Pyridostigmine kerja panjang kadang-kadang berguna

untuk pasien pada malam tapi tidak digunakan untuk pengobatan siang hari karena

variabel absrobsi. Dosis maksimum pyridostigmine jarang melebihi 120 mg setiap

4-6 jam pada siang hari. Overdosis dengan obat antikolinesterase dapat

menyebabkan peningkatan kelemahan dan efek samping lainnya. Di beberapa

pasien, efek samping muskarinik antikolinesterase (diare, kram perut,

hipersalivasi, mual) mungkin melewati dosis. Atropin /diphenoxylate atau

loperamide berguna untuk pengobatan gejala gastrointestinal.20

Thimectomy

Operasi pengangkatan thymoma diperlukan karena kemungkinan

penyebaran tumor lokal, meskipun kebanyakan thymoma secara histologi jinak.

Dengan tidak adanya tumor, bukti yang ada menunjukkan bahwa sampai 85% dari

pasien mengalami perbaikan setelah thymectomy. 20

Imunosupresi

Imunosupresi menggunakan glukokortikoid, azathioprine, dan obat-obatan

lainnya efektif dalam hampir semua pasien dengan MG. Pilihan obat atau

perawatan imunomodulator lainnya harus dipandu oleh manfaat relatif dan risiko

untuk individu setiap pasien serta urgensi pengobatan. Untuk jangka menengah,

glukokortikoid dan siklosporin atau tacrolimus umumnya menghasilkan perbaikan

klinis dalam jangka waktu 1-3 bulan. Efek menguntungkan dari azathioprine dan
21

mycophenolate mofetil biasanya dimulai setelah berbulan-bulan (sampai setahun),

tetapi obat ini memiliki keunggulan untuk jangka panjang pada pengobatan pasien

dengan MG. 20

2.5.3 Polineuropati Diabetikum

2.5.3.1 Definisi

Polineuropati diabetes adalah suatu kondisi yang mempengaruhi berberapa

saraf perifer yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer akibat langsung dari

peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus. Distribusi

polineuropati umumnya bilateral simetris dan perkembangannya lambat.

Polineuropati atau peripheral neuropati diidentifikasikan pada daerah distal dan

dimulai dari kaki kemudian meningkat ke atas.24

2.5.3.2 Epidemiologi

Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam berbagai literatur sangat

bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20 % pasien

saat ditegakan Diabetes Melitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati

diabetik ini akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya

hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes selama 25 tahun,

prevalensi neuropati diabetik 50 %.25

2.5.3.3 Patofisiologi

Neuropati diabetik tidak terjadi oleh karena faktor tunggal, melainkan

karena interaksi beberapa faktor, seperti faktor metabolik, vaskular dan mekanik.

Faktor kausatif utama adalah gangguan metabolik jaringan saraf.


22

1. Faktor metabolik: Proses kejadian neuropati berawal dari hiperglikemia

berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol,

pembentukan radikal bebas dan aktivasi Protein Kinase C (PKC), sintesis advance

glycosilation end products (AGEs). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada

kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun bersama

rendahnya mioninositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai

penelitian membuktikan bahwa kejadian neuropati diabetik sangat berhubungan

dengan lama dan beratnya diabetes melitus. 22,23,24,25

2. Kelainan vaskular: Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan

kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal

bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini

membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisir NO, yang berefek

menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular

tersebut dapat melalui penebalan membran basalis; trombosit pada arteriol

intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas

eritrosit; berkurangnnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular;

stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.

Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah

dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang

tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi. 22,23,24,25

3. Mekanisme Imun: Suatu penelitian menunjuikan bahwa 22% dari 120

penyandang dm tipe 1 memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies

dan 25% pasien dm tipe 2 memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukan
23

bahwa antibody tersebut berperan pada patogenesis neuropati diabetik.

Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf

motorik dan sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens indirek.

4. Peran nerve growth factor (NGF): NGF diperlukan untuk mempercepat

dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF

serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. Peptide ini

mempunyai efek terhadap vasodilatasi, mobilitas intestinal dan nosiseptif, yang

semuanya mengalami gangguan pada neuropati diabetik. 22,23,24,25

2.5.3.4 Manifestasi klinis

Terlihat pada 20% pasien diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan

elektrofisiologi pada diabetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita

sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin

merupakan tanda awal suatu diabetes melitus.22

Gambar 2.4 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes.22

2.3.3.5 Diagnosis
24

Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat

bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya

dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup mengeluarkan

kemungkinan adanya neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan

pengkajian terhadap: 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut saraf besar dengan

tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan

(estesiometer dengan filament mono semmes-weinstein); 3). Fungsi serabut saraf

kecil dengan sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya

gangguan hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi.23,24

Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom

(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji

komponen parasimpatis dan dilakukan dengan 1). Tes respons denyut jantung

terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung selama napas dalam

(denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan dilakukan

dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); respons

tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).23

2.3.3.6 Tatalaksana

Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati

diabetes dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis

nd sedini mungkin, strategi kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan

kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang ketiga yaitu pengendalian keluhan

neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian neuropati diabetik


25

perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah

dan parameter metabolik lain.24,25

2.5.4 Polineuropati Karsinomatosa

Neuropati sensoris atau sensorimotoris yang diakibatkan oleh penyakit

keganasan, umumnya berasal dari small cell carcinoma paru, atau limfoma dan

hodgkin’s disease. Neuropati ditandai dengan adanya antibodi (anti Hu) pada

serum. Anti bodi ini selain menyerang antigen pada tumor, tetapi juga mengikat

neuron di sistem saraf perifer.3

Gejala klinis dari polineuropati karsinomatosa adalah:3

– Neuropati sensoris: hilangnya sensoris secara progresif, biasanya

dirasakan pada alat gerak bagian atas, dengan gejala paraesthesia,

dysesthesia berupa rasa terbakar dan ataksia sensoris.

– Neuropati sensorimotor: berlangsung secara gradual, disertai menurunnya

sensoris bagian distal dan kelemahan motoris ringan.

Penatalaksanaan dari polineuropati karsinomatosa:3

– Deteksi dan terapi penyakit keganasan yang mendasarinya.

– Penggunaan imunosupressan.

– Gammaglobulin i.v.

2.6 Manifestasi Klinis Polineuropati


26

Gangguan terutama terjadi pada bagian distal tungkai dan lengan, sensorik

dan motorik. Pada gejala ini didapatkan degenerasi aksonal, sehingga

penyembuhan dapat terjadi jika ada regenerasi aksonal. Gangguan distal terjadi

lebih dahulu, yaitu gangguan sensibilitas berupa gambaran kaus kaki dan sarung

tangan (glove and stocking pattern) yang mana tungkai bawah akan terkena lebih

dahulu dibandingkan lengan atas dan gangguan bersifat simetris pada kedua sisi.

Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 2.3. Gangguan saraf otak dapat terjadi

pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan nervus fasialis bilateral dan

saraf-saraf bulbar misalnya pada Sindrom Guillain Barre. 9

Gambar 2.3 Gambaran glove and stocking pattern.

Gangguan sensorik berupa parastesia, disestesia, dan perasaan baal pada

ujung jari kaki yang dapat menyebar kearah proksimal sesuai dengan penyebaran

saraf tepi. Kadang parastesia dapat berupa perasaan, aneh, tidak menyenangkan,

dan rasa terbakar. Nyeri pada otot dan sepanjang perjalanan saraf tepi jarang

dijumpai.9, Kelemahan otot awalnya dijumpai pada bagian distal kemudian

menyebar kearah proksimal. Gejala motorik dapat meliputi kelemahan dan atrofi
27

otot, hipotoni dan menurunnya reflex tendon dapat dijumpai pada fase dini,

sebelum kelemahan otot dijumpai. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan

deformitas pada kaki dan tangan serta gangguan sensorik berat akan menyebabkan

ulserasi neuropati dan derfomitas sendi dan dapat pula disertai gejala otonom.9,

Gejala otonom akan menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, gangguan

kandung kemih, gangguan tropik pada kulit, dan hilangnya keringat serta

gangguan vaskuler prifer yang dapat menyebabkan hipotensi postural.9,

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital dapat mengidentifikasi

adanya disautonomia. Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat

menentukan kemungkinan adanya endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-

lain. Selanjutnya, pemeriksaan saraf kranial mencakup penilaian adanya anosmia

(refsum disease, defisiensi vitamin B12), atrofi saraf optik, anisokoria dan

penurunan refleks cahaya (disautonomia parasimpatetik), gangguan gerakan

okuler (sindrom Miller Fisher), kelemahan otot wajah (sindrom Guillain Barre),

dan sensorik trigeminal (sindrom Sjogren).15

Pemeriksaan motorik, mencakup penilaian tonjolan otot, contohnya

observasi atrofi otot intrinsik tangan dan kaki. Selain itu dinilai hipereksitabilitas,

tonus, dan kekuatan otot dengan skala Medical Research Council. Kelemahan saat

fleksi dan ekstensi jari kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul

pada fase awal. Sudut antara tibia dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang
28

lebih besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada tangan,

otot abduktor jari telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu,

perlu diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien

mengalami kesulitan berjalan dengan tumit dibanding berjalan dengan ujung jari.
15,26

Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan

pola penyakit. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil.

Penilaian serabut saraf besar mencakup sensasi getar, posisi sendi, dan rasa raba

ringan. Tes romberg juga bermanfaat menilai fungsi serabut besar. 26 Dalam

melakukan pemeriksaan sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati yang

dikeluhkan, mencakup mononeuropati, polineuropati (distal simetrik atau

multifokal), radikulopati, pleksopati. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area

yang mengalami kelainan dan dibandingkan dengan area kontralateral yang

simetris. Selain itu juga dibandingkan dengan area lain yang normal, dan

dikaitkan dengan dermatom saraf.15,26

Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam menentukan lokalisasi

kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau arefleks sering ditemukan pada

neuropati serabut saraf yang besar, namun pada neuropati serabut saraf kecil

refleks tendon dalam seperti refleks Achilles masih baik. 15,26

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat mengonfirmasi atau mengeliminasi

karakteristik klinis polineuropati. Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat


29

memberikan tampakan polineuropati aksonal primer atau demyelinisasi.

Neuropati idiopatik dan neuropati metabolic/toksik biasanya memberikan

tampakan kerusakan axonal prominent sedangkan dimediasi imun dan neuropati

bawaan mungkin predominant axonal dan demyelinasi. Pemeriksaan

elektrodiagnostik membantu mencari keterlibatan sublinis dan memberikan

parameter dasar untuk pemeriksaan elektrodiagnostik selanjutnya. Pemeriksaan

elektrodiagnostik akan normal pada polineuropati serabut tipis. Pemeriksaan

konduksi saraf yang normal dan EMG yang menurun secara signifikan mengarah

pada diagnosis neuropati perifer, sedangkan konduksi saraf yang abnormal

menguatkan diagnosis.12

Biopsi saraf dilakukan jika pada tes laboratorium dan elektrodiagnostik

tidak ditemukan kelainan atau untuk memastikan diagnosis sebelum melakukan

tindakan agresif, misalnya pada vaskulitis sebelum pemberian steroid atau

kemoterapi). Jika pada semua pemeriksaan tidak didapatkan hasil bermakna dan

pemeriksaan elektrodiagnostik menunjukkan neuropati perifer simetris tipe

aksonal maka dianggap diagnosisnya adalah neuropati perifer idiopatik. Biopsi

epidermis dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan rasa terbakar, kebas, dan

nyeri dimana diduga kerusakan terjadi pada serabut saraf kecil. Kerusakan serabut

saraf kecil dapat mendasari tahap awal dari beberapa neuropati perifer dan tidak

dapa dideteksi dengan pemeriksaan elektrodiagnostik.7,12

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak,

dan tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN)

mengajukan parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan genetik pada


30

polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan

gula darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan

darah tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid,

dan immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya

mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi

GD1B.13

2.9 Tatalaksana

Terapi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab. Kemudian

koreksi dilakukan terhadap keadaan-keadaan metabolic yang abnormal, termasuk

defisiensi vitamin. Hal-hal yang perlu diketahui lebih lanjut adalah makan

makanan dan/atau obat tertentu yang dapat menyebabkan timbulnya neuropati

misalnya vinkristin, isoniazid, hidralazin, nitrofurantoin, klorokuin, makanan

kaleng dan sebagainya.9,15

Sebagai terapi simtomatis, untuk mengatasi nyeri dapat diberikan

analgesik yang dapat dikombinasikan dengan neuroleptik atau karbamazepin.

Akhir-akhir ini terdapat kecendrungan untuk memakai obat-obat yang dapat

merangsang proteosintesis sel Schwan untuk regenerasi. Obat yang sudah dipakai

adalah metikobalamin, suatu derivate vitamin B12, dengan dosis 1.500 mg/hari

selama 6-10 minggu. Obat lain ialah gangliosid yang merupakan komponen

intrinsic dari membrane sel neuron, dengan dosis 2 x 200 mg intramuscular

selama 8 minggu. Terapi vitamin diberikan pada kasus-kasus defisiensi yang


31

lazimnya berupa neurotonika yaitu kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dosis

tinggi. 9,15

BAB 3
KESIMPULAN

Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan terjadinya

gangguan fungsi dan atau struktur sistem saraf tepi yang bersifat simetris dan

bilateral mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf, cabang terminal, peri

karyon, akar saraf serta bagian presinaps neuromuscularjunction. Kerusakan saraf

perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia dan akan meningkat 8% seiring

bertambahnya usia. Prevalensi polineuropati di populasi sekitar 2%-3% dan

prevalensi tertinggi sekitar 8% pada usia di atas 55 tahun. Polineuropati dapat


32

disebabkan oleh herediter, trauma, infeksi, sistem imun, metabolic, dan

polineuropati akibat neoplasia.

Klasifikasi polineuropati dibagi menjadi sindroma guillain bare, miastenia

gravis, polineuropati diabetik, dan polineuropati karsinomatosa. Diagnosa

berdasarkan gejala dan pemeriksaan neurologi dasar pada pasien, sehingga dapat

diberikan tatalaksana yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. L. M. Román-Pintos, G. VillegasRivera, A. D. 2016. RodríguezCarrizalez,


A. G. Miranda-Díaz, and E. G. Cardona-Muñoz, “Diabetic polyneuropathy
in type 2 diabetes mellitus: Inflammation, oxidative stress, and
mitochondrial function,” J. Diabetes Res. pp. 1–15.
2. Bradley, W. G. 1974 The Neurophaties in Disorders of Voluntary Muscle,
J.N. Waton (eds) Edinburgh Churchill, Livingstone. pp.804
3. Kenneth W. Lindsay, Ian Bone, Robin Callander. 2004. Neurology And
Neurosurgery Illustrated. Fourth Edition. London: Chuchill Livingstone.
4. Ginsberg, Lionel. 2007. Lectures Note Neurologi. Jakarta: EMS
5. M. Baehr & M. Frotcher. 2014. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.
Jakarta: EGC.
6. Vern C. 2012. Neuropathhy Diabetics, The 5-minute neurology consult
2nd edition. pp. 332
33

7. Azhary, hend, et al. 2010 Peripheral Neuropathy: Differential Diagnosis


and Management-American Family Physician;81(7):887-892.
8. Greenberg, David.A, Aminoff, Michael.J, Simon, Roger.P. 2002. Clinical
Neurology Greenberg 5 th ed. San Francisco
9. Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, pp.33-35
10. International Association for the Study of Pain. 2015. Painful
Polyneuropathies. Global Year Against Neuropathic Pain
11. Hanewinckel R, Oijen M, Ikram MA, Doorn PA. The Epidemiology and
Risk Factor of Chronic Polyneuropathy. European Journal of
Epidemiology. 2016;31:5-20.
12. Burns TM & Mauermann ML. The Evaluation of Polyneuropathies.
Journal of Neurology Clinical Practice. 2011;76(2):6-13.
13. Frida, Meiti. Clinical Approach and Electrodiagnostic in Peripheral
Neuropathy in Elderly. Padang: Department of Neurology, Medical
Faculty of University of Andalas, Dr. M. Djamil Hospital.
14. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. PMK No. 5 ttg Panduan
Praktik Klinis Dokter di FASYANKES Primer. Jakarta: Kemenkes RI
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2013. Standar Pelayanan
Medik Neurologi. Jakarta: Perdossi
16. Howard, L.Werner, Lowrence P. Levitt. 2001. Buku Saku Neurologi, Edisi
ke 5. Jakarta: EGC.
17. Mardjono M, Sidharta P. 2000. Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII,
Jakarta: Dian Rakyat.
18. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA :
McGraw Hill, 2005.
19. James F.H. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D, penyunting.
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi 1. 2008.
20. Hauser L. Stephen. 2013. Harrison’s Neurologi and Clinical Medicine.
Edisi 3. New York: Mc Graw Hill Education.
21. Suresh, A. Dan Ria M. 2020. Myasthenia Gravis. National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine.
22. Modified from Pickup J, Williams G. 1997. [eds] 5 Textbook of Diabetes,
Vol 1. Oxford, UK, Blackwell Scientific.
23. Adapted from Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin
North Am 2004;88:947-999.
24. Agarwal, S, Lukhmana, S, Kahlon, N, Malik, P, & Nandini, H. 2018.
Nerve conduction study in neurologically asymptomatic diabetic patients
and correlation with glycosylated hemoglobin and duration of diabetes.
34

National Journal of Physiology, Pharmacy and Pharmacology 8(11):


1533–1538
25. Abdelsadek, S, Saghier, E, & Raheem, S. 2018. Serum 25(OH) vitamin D
level and its relation to diabetic peripheral neuropathy in Egyptian patients
with type 2 diabetes mellitus. The Egyptian Journal of Neurology,
Psychiatry and Neurosurgery 54:36
26. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. PMK No. 5 tentang
Panduan Praktik Klinis Dokter di FASYANKES Primer. Jakarta:
Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai