Anda di halaman 1dari 30

MOVEMENT DISORDERS

Nurul Ardani, Happy Handaruwati

A. PENDAHULUAN
Gerak merupakan interaksi antara sistem piramidal (sentral dan
perifer), sistem ekstrapiramidal, dan serebelum. Gerak dimulai dari sistem
piramidal, diperhalus dengan proses fasilitasi dan inhibisi oleh sistem
ekstrapiramidal, dan dikoordinasi oleh serebelum. Gangguan gerak sendiri
timbul apabila ada kelainan pada salah satu atau beberapa dari sistem yang
mengatur gerak. Tetapi yang dimaksud dengan gangguan gerak disini adalah
yang tidak terkait dengan kelumpuhan atau spastisitas otot.1 Indrayani, I. A.
2017. Neurotrauma & Movement Disorders Improving Knowledge for Saving
Lives. Udayana University Press. Bali
Movement disorders (Gangguan pergerakan) termasuk sub-spesialisasi
dari bidang neurologi yang berkaitan dengan pergerakan yang berlebihan atau
kurang.2 Movement disorders (kadang-kadang disebut juga dengan gangguan
ekstrapiramidal) merusak pengaturan aktivitas motorik volunter tanpa secara
langsung memengaruhi kekuatan, sensasi, atau fungsi serebelar. Mereka
termasuk gangguan hiperkinetik terkait dengan abnormal, gerakan tak sadar
dan gangguan hipokinetik yang ditandai oleh kemiskinan gerakan.3
Greenberg, D. A., Aminoff, M. J., Simon, R. P. 2002. Clinical Neurology,
Edisi 5. Lange Medical Books.
Gerakan abnormal dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan keadaan.
Gerakan abnormal meliputi kontraksi otot-otot volunteer yang tidak
terkendali. Nilainta secara klinis dalam menentukan diagnosis dan lokalisasi
penyakit saraf dapat sangat besar, oleh karenanya harus diamati dengan baik.
Gerakan abnormal ini dapat mengenai tiap bagian tubuh yang timbul karena
terlibatnya berbagai bagian system motoric misalnya korteks, serabut yang
turun dari korteks, ganglia basal, batang otak dan pusat-pusatnya, serebelum
dan hubungan-hubungannya, medulla spinalis, serabut saraf perifer atau
ototnya sendiri.4 Lumbantobing, S. M. 2015. Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Badan Penerbit FK UI. Jakarta. Klasifikasi gangguan gerak
dibagi menjadi dua yaitu akibat gangguan fasilitasi gerak sehingga
memunculkan gerakan hipokinesia dan gangguan dalam supresi gerak
sehingga muncul gerakan hiperkinesia. Gerakan hipokinesia terdiri dari
gerakan rigiditas, bradikinesia, dan freezing. Sedangkan gerakan hyperkinesia
terdiri dari tremor, korea, balismus, atetosis, distonia, mioklonus, tic, akatisia,
stereotip, dan restless leg syndrome.1 Indrayani, I. A. 2017. Neurotrauma &
Movement Disorders Improving Knowledge for Saving Lives. Udayana
University Press. Bali

B. ANATOMI GANGLIA BASALIS


Secara hirarkis pusat tertinggi untuk control pergerakan adlah korteks
serebri yang sinyalnya ditransmisikan oleh jaras piramidalis ke nuclei nervi
kranialis motorii dan ke sel-sel kornu anterius medulla spinalis (system
piramidalis). Sejumlah struktur lain pada system saraf pusat berperan pada
inisiasi dan modulasi pergerakan. Pusat motoric asesoris terpenting adalah
ganglia basalis, suatu kumpulan nuclei subkortikales yang terletak di
substansia alba telensefali yang dalam.5 Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis
Topis Neurologi DUUS. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gangguan pergerakan terjadi akibat disfungsi struktur materi abu-abu
subkortikal dalam yang disebut ganglia basal. Meskipun tidak ada definisi
anatomi ganglia basal yang diterima secara universal, untuk tujuan klinis
mereka dapat dianggap terdiri dari nukleus kaudat, putamen, globus pallidus,
nukleus subthalamik, dan substantia nigra. Putamen dan globus pallidus
secara kolektif disebut inti lentiform; kombinasi inti lentiform dan inti kaudat
disebut corpus striatum. Sirkuit dasar ganglia basal terdiri dari tiga loop
neuron yang berinteraksi, yang pertama adalah loop kortikokortikal yang
melewati dari korteks serebral, melalui kaudat dan putamen, segmen internal
globus pallidus, dan thalamus, dan kemudian kembali ke korteks serebral.
Yang kedua adalah loop nigrostriatal yang menghubungkan substantia nigra
dengan caudate dan putamen. Yang ketiga, loop striatopallidal,
memproyeksikan dari kaudat dan putamen ke segmen eksternal globus
pallidus, kemudian ke inti subthalamic, dan akhirnya ke segmen internal
globus pallidus. Pada beberapa kelainan gerakan (misalnya, penyakit
Parkinson), situs patologi yang terpisah dalam jalur ini dapat diidentifikasi;
dalam kasus lain (misalnya, tremor esensial), kelainan anatomi yang tepat
tidak diketahui. 3

Gambar 1. Perjalanan dasar saraf pada ganglia basalis3

Fungsi normal ganglia basalis berpartisipasi pada berbagai proses


motoric termasuk ekspresi emosi, serta integrasi impuls motoric dan sensorik
pada proses kognitif. Ganglia basalis melakukan fungsi motoriknya secara
tidak langsung melalui pengaruhnya melalui area premotor, motor dan
suplementer korteks serebri. Fungsi utama ganglia basalis menyangkut
inisiasi dan fasilitas gerakan volunteer dan supresi simultan pengaruh
involunter atau tidak diinginkan yang dapat menganggu gerakan halus dan
efektif.5 Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Selain itu ganglia basalis tampaknya menggunakan umpan balik
proprioseptif dari perifer untuk membandingkan pola atau program gerakan
yang ditimbulkan oleh korteks motoric dengan gerakan yang diinisiasi
sehingga gerakan mengalami penghalusan oleh mekanisme servo-kontrol
berkelanjutan.5 Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis Topis Neurologi DUUS.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

C. MOVEMENT DISORDERS
Lesi ganglia basalis dapat menimbulkan gangguan gerakan kompleks
dan berbagai jenis gangguan kognitif tergantung pada lokasi dan luasnya.
Gangguan klinis yang melibatkan ganglia basalis dapat terlihat sebagai
berikut.
 Defisiensi pergerakan : hipokinesia, akinesia, bradikinesia sindrom
 Gerakan yang berlebihan :
a. Gerakan sentakan: korea, myoclonus, dan tic
b. Gerakan tanpa sentakan : abnormalitas tonus otot umumnya menyertai
abnormalitas kedua tipe di atas, tetapi dapat pula menjadi menifestasi
tunggal atau dominan pada disfungsi ganglia basalis (dystonia) dan
tremor.5,6 Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis Topis Neurologi DUUS.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Abdo, W. F., Warrenburg, B. P.,
Burn, D. J. dkk. 2010. The clinical approach to movement disorders.
Nature Review, volume 6.
1. Hipokinesia, akinesis dan bradikinesia
Kompleks akinesia-hypokinesia-bradykinesia menyiratkan fungsi
motorik yang lambat. Akinesia adalah ketidakmampuan untuk memulai
gerakan, hipokinesia menunjukkan penurunan amplitudo gerakan dan
bradikinesia menyiratkan kecepatan gerakan yang melambat. Dalam
praktik klinis, ketiga ciri ini secara kolektif disebut sebagai bradikinesia.
Bradykinesia adalah fitur utama dari Parkinson Disease (PD) dan varian
Parkinson Syndrome (PS) lainnya. Manifestasi klinis bradikinesia serupa
pada semua varian parkinsonisme, walaupun mungkin ada lokasi
keterlibatan anatomi yang berbeda. Fungsi motorik lambat juga
merupakan bagian dari penuaan normal. Oleh karena itu perbedaan antara
perlambatan agerelated normal dan bradikinesia parkinsonisme adalah
penting.7 Rajput, A., Rajput, A. H. 2007. Handbook of Clinical
Neurology. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/akinesia/pdf
Hipokinesia, akinesis dan bradikinesia istilah-istilah tersebut
melukiskan keengganan pasien untuk menggunakan anggota gerak yang
terkena penyakit ganglia basalis secara bebas sesuai dengan segenap
kegiatan badannya. Berbeda dengan yang didapatkan pada paralsisis
(yakni kelumpuhan), pada hipokinesia dan bradikinesia kekuatan tenaga
masih utuh.
Hipokinesia dapat diartikan sebagai tuna gerak, kendatipun
anggota geraknya tidak lumpuh. Lagi pula hipokinesia berbeda dengan
apraksia yang bermakna bahwa suatu lesi telah menghapus ingatan akan
pola gerakan untuk melaksanakan suatu tindakan. Pasien dengan penyakit
Parkinson memperlihatkan hipokinesia. Ia benar-benar tuna gerak.
Kebiasaan untuk menopang kepala atau berdekap tangan dan bersila kaki
hilang. Bila hendak menengok ke samping hanya kedua matanya saja
melirik tapi kepalanya tidak bergerak. Bahkan memejamkan matapun
jarang dan air liur yang tertimbun di dalam mulutnya malas ditelan
sehingga keluar mulut dan malas menggerakkan bibir untuk mencegah
mengiler. Roman wajahnya seperti kedok karena tidak ada gerak-gerik
otot fasial sedikitpun.8 Mardjono, M., Sidharta, P. 2013. Neurologi
Klinis Dasar. Dian Rakyat.
Bradikinesia lebih bermakna kelambatan gerak daripada tuna
gerak. Manifestasi ini juga merupakan deficit fungsional primer.
Kelambanan gerak itu tidak saja berarti bahwa cara melakukan gerakan
itu lambat, akan tetapi waktu antar perintah untuk bergerak dan waktu
pelaksanaannya itu lama juga. Dulu bradikinesia dianggap karena
rigiditas, yang dapat menghambat segala macam gerakan volunteer, tetapi
pendapat itu ternyata tidak tapat. Hal itu terungkap oleh hasil operasi
stereotaktik yang dengan menghancurkan suatu daerah di ganglia basalis
yang dapat melenyapkan rigiditas, tetapi membiarkan bradikinesia
sebagaimana adanya. Dari penyelidikan yang mutakhir telah diketahui
bahwa reseptor dopamine di korpus striatum yang mengurusi gerakan
volunteer itu ternyata berlokasi di lima tempat yang berlainan. Mungkin
sekali ada lokasi neuron-neuron yang bertanggung jawab atas inisiasi atas
gerakan volunteer, sehingga bradikinesia tidak terwujud. Di lokasi-lokasi
lain dalam striatum mungkin terdapat kelompok neuron dopaminergic
motoric yang bertanggung jawab atas segi lain dari sekian banyak variasi
dari gerakan volunteer, seperti menentukan sikap badan pada berbagai
kondisi dan situasi.8 Mardjono, M., Sidharta, P. 2013. Neurologi Klinis
Dasar. Dian Rakyat.
Pada kebanyakan pasien PD, bradikinesia dan kekakuan memiliki
keparahan yang sebanding ketika penilaian standar dilakukan. Namun,
patofisiologi bradikinesia dan kekakuan mungkin tidak sama dalam
kasus-kasus. Levodopa yang mengurangi kekakuan mungkin tidak
meningkatkan bradikinesia pada PD lanjut. Asimetri bradikinesia tanpa
penyebab fokal atau neurologis lainnya merupakan indikasi kuat dari PD.
Namun, itu harus dinilai dengan lebih dari satu kegiatan. Kami telah
mengamati pengurangan lengan secara asimetris tanpa ciri-ciri lain dari
PS pada beberapa anggota yang normal secara neurologis dari satu
keluarga. Tidak jarang lansia memiliki masalah bahu yang membatasi
gerakan. Ketika ada bukti fungsi motorik lokal melambat, tanyakan pasien
apakah ada rasa sakit yang terkait dengan gerakan dan mengevaluasi
daerah untuk setiap pembatasan gerakan pasif mekanis atau terkait nyeri
di sendi. Penilaian terperinci dari fungsi sensorik, kekuatan motorik, tonus
dan refleks adalah tambahan yang berharga untuk membedakan
parkinsonisme dari perlambatan yang teragenerasi dan gangguan lainnya.
Agerelated slowing biasanya simetris dan digeneralisasi.7
Meskipun bradikinesia akibat PD sering asimetris, lebih sering
simetris pada atrofi sistem multipel dan palsi supranuklear progresif.
Tingkat keparahan bradikinesia pada PD dilaporkan berkorelasi dengan
tingkat kehilangan dopamin striatal. Kami menyelidiki hubungan antara
Disady Rating Rating Disease Parkinson's Scale (UPDRS) berbasis dan
tingkat dopamin striatal di PD. Hilangnya dopamin striatal dan keparahan
bradikinesia menunjukkan korelasi dalam kasus PD akineticrigid tetapi
tidak dalam tremordominant atau kasus gambaran klinis campuran
(pengamatan tidak dipublikasikan).7 Rajput, A., Rajput, A. H. 2007.
Handbook of Clinical Neurology. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/akinesia/pdf

2. Chorea (Korea)
Korea mengandung arti menari akibat adanya gangguan fungsi
pada area basal ganglia. Gerakan involunter yang terjadi sering tidak
diinginkan dan tidak dapat ditahan. Gambaran klinis korea ditandai
dengan gerakan involunter yang dimulai dengan tiba-tiba, singkat, tak
terduga, tanpa tujuan yang cenderung mengalir dari bagian tubuh tertentu
ke bagian tubuh yang lain, tidak teratur, dan tak terduga. Korea akan
tampak lebih jelas apabila pasien dalam keadaan emosi atau bila
ekstremitas digerakkan dan menghilang bila pasien tidur nyenyak.9
Gerakan menahan pada korea lebih lemah dibandingkan dengan
distonia dan kurang "shocklike" daripada mioklonus. Pergerakan korea
dengan amplitudo rendah menyebabkan pasien tampak gelisah.
Sedangkan korea dengan gerakan amplitudo besar yang dikenal dengan
"ballismus" dapat menunjukkan gerakan ekstermitas yang ekstrem.
Pergerakan seperti menari sering terlihat pada korea, dapat bersifat
mendadak, dan tersentak atau lebih kontinyu dan mengalir yang disebut
sebagai koreoatetosis.9
Penyebab korea dapat berupa gangguan primer dan sekunder.
Korea dengan penyebab primer jarang terjadi pada masa kanak-kanak
yang biasanya bersifat herediter (benign familial chorea). Korea pada
anak-anak biasanya disebabkan oleh faktor sekunder dan lebih dari 100
penyebab sekunder telah diketahui, namun korea bukan satu-satunya
gejala yang muncul. Penyebab korea sekunder yang paling umum pada
masa anak-anak adalah demam rematik akut, lupus eritematosus sistemik
(SLE), operasi jantung ("post-pump chorea"), dan hipoksia perinatal-
iskemia.9 Susilawathi, N. M. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders
Improving Knowledge for Saving Lives. UDAYANA UNIVERSITY
PRESS
Penyebab chorea yang didapat selain dari terapi L-DOPA kronis
pada penyakit Parkinson termasuk6: Abdo, W. F., Warrenburg, B. P.,
Burn, D. J. dkk. 2010. The clinical approach to movement disorders.
Nature Review, volume 6.
 pasca infeksi (chorea Sydenham sehubungan dengan
demam rematik, sekarang jarang terlihat),
 polisitemia rubra vera,
 lupus erythematosus sistemik,
 tirotoksikosis,
 kehamilan dan kontrasepsi oral,
 fenitoin, alkohol, neuroleptik.

Patofisiologi chorea kurang dipahami, tetapi berbeda dengan


parkinsonisme, distonia, dan gangguan pergerakan lainnya, penghambatan
korteks motorik secara intracortical normal pada chorea. Selain itu,
analisis semiquantitatif dari foton tunggal yang dikomputasi tomografi
dihitung pada pasien dengan hemichorea karena berbagai penyebab
menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas dalam thalamus
kontralateral, mungkin karena disinhibisi sebagai akibat dari hilangnya
input penghambatan pallidal normal.10 Fahn, S., Jankovic, J., Hallet, M.
2011. Principles and Practice of Movement Disorders Edisi 2. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978143772369400015
9. Diakses pada tanggal 2 Mei 2019.
Korea herediter terlihat pada penyakit Huntington, sehubungan
dengan demensia, tetapi juga dapat terjadi pada kelainan bawaan langka
lainnya. Chorea dapat merespon obat penipisan monoamine tetrabenazine,
tetapi ini dapat menghasilkan depresi berat. Alternatif meliputi
neuroleptik, mis. sulpiride atau haloperidol. Pada hemiballismus,
gerakannya lebih keras dan tersentak-sentak, dan terbatas pada satu sisi
tubuh, terjadi sebagai akibat dari kerusakan nukleus subthalamic
kontralateral.11 Ginsberg, L. 2010. Lecture Notes Neurology, Edisi 9.
Aptara. New Delhi

3. Balismus
Gangguan pergerakan yang jarang ini sebabkan oleh nucleus
subtalamikus. Kerusakan ini menimbulkan gerakan menyentak/melempar
beramplitudo besar pada ekstremitas yang dimulai dari sendi proksimal.
Pada sebagian besar kasus gangguan ini hanya terjadi satu sisi saja
(hemibalismus), kontralateral terhadap lesi.5 Frotscher. M. B. 2016.
Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

4. Mioklonus
Myoclonus adalah suatu bentuk gerakan hiperkinetik yang tidak
disengaja terkait dengan berbagai etiologi yang mendasari dan dapat
memaksakan tingkat kecacatan yang cukup besar. Gerakan-gerakan ini
didefinisikan sebagai tersentaknya otot secara tiba-tiba, singkat, dan mirip
hentakan yang timbul dari sistem saraf. Gerakan abnormal ini dapat
disebabkan oleh aktivasi otot yang bertumpukan (mioklonus positif) atau
periode relaksasi singkat selama postur berkelanjutan (mioklonus negatif).
Setiap gerakan singkat dan biasanya monofasik, meskipun gerakan
berulang dapat terjadi dan bahkan dapat terlihat bergetar.12 Mills, K.,
Mari, Z. 2015. An Update and Review of the Treatment of Myoclonus.
Springer
Data tentang kejadian atau prevalensi mioklonus langka. Tingkat
kejadian tahunan rata-rata mioklonus patologis dan persisten dalam satu
studi adalah sekitar 1 per 100.000 orang-tahun dan prevalensi seumur
hidup mioklonus kurang dari 10 kasus per 100.000 populasi. Angka ini
meningkat dengan bertambahnya usia dan secara konsisten lebih tinggi
pada pria. Mioklonus simtomatik adalah tipe yang paling umum, diikuti
oleh mioklonus epilepsi dan esensial. Penyakit neurodegeneratif dan
dementing adalah penyebab paling umum dari gejala mioklonus (sekitar
70%).13 Eberhardt, O., Topka, H. 2017. Myoclonic Disorders. Brain
Sciences.
Mioklonus ditandai oleh gerakan tak terduga yang tiba-tiba,
singkat, seperti kejutan, yang terkait dengan semburan aktivitas otot
(mioklonus positif) atau pembungkaman aktivitas otot (mioklonus
negatif). Ini mungkin hadir saat istirahat, selama gerakan volunter
(diinduksi tindakan) atau karena rangsangan provokasi seperti isyarat
sensorik, visual, pendengaran atau emosional. Myoclonus saat istirahat
diamati pada gangguan epilepsi, myoclonus tulang belakang, myoclonus
posthypoxic atau penyakit Creutzfeldt-Jakob, misalnya. Biasanya,
mioklonus tampak pendek (10-50 ms, jarang lebih dari 100 ms), sentakan
non-ritmik, seringkali tanpa pola yang jelas. Pengecualian dari deskripsi
default myoclonus ini memang ada. Pelepasan jangka panjang yang luar
biasa, misalnya, pada penyakit Creutzfeldt – Jakob, dinamai dystonic
myoclonus. Pola-pola ini harus dibedakan dari kejang yang lebih lama
pada tetanus atau rabies, atau dari stereotip motorik pada masa kanak-
kanak. Gerakan yang agak ritmis, misalnya, muncul setiap 50-80 ms, juga
dapat menjadi bagian dari spektrum mioklonus kortikal. Myoclonus
ritmik dapat terlihat pada epilepsia partialis kontinu, tremor mioklonik
familial, beberapa kasus epilepsi mioklonik progresif, degenerasi
kortikobasal, mioklonus posthypoxic atau myoclonus segmental tulang
belakang. Myoclonus ritmis dapat disalahartikan sebagai tremor.
Beberapa kasus tremor kortikal telah diidentifikasi sebagai mioklonus
kortikal berdasarkan elektrofisiologi, misalnya. 13
Dalam hal ini, otot agonis dan antagonis terlibat secara bersamaan;
sebuah ciri yang agak jarang terjadi pada tremor. Amplitudo mioklonus
dapat sangat bervariasi tergantung pada subtipe. Karakter mioklonus
seperti gelombang, gelombang-persegi membantu dalam membedakannya
dari tremor (osilasi ritmik), chorea (gerakan mengalir yang lebih besar
dan acak), dystonia (geste antagonistique, durasi burst >100 ms, postingan
memutar yang sering dipertahankan), tics ( durasi burst >100 ms,
mungkin ditekan sementara) atau fasikulasi (otot tunggal, efek gerakan
minimal).13 Eberhardt, O., Topka, H. 2017. Myoclonic Disorders.
Brain Sciences.

Terapi
 Menurut Etiologi reversible
Jenis mioklonia tertentu mungkin sekunder untuk etiologi
yang berpotensi reversibel, seperti efek massa (yaitu, karena lesi),
gangguan peradangan, atau gangguan metabolism. Sejauh mana
mioklonus membaik dengan pengobatan kondisi yang mendasarinya
bervariasi tergantung pada etiologinya. Misalnya, mioklonus yang
diinduksi obat yang disebabkan oleh opioid dapat teratasi
sepenuhnya, sedangkan mioklonus yang terlihat pada penyakit
Wilson sebenarnya dapat memburuk dengan terapi khelasi. Karena
sejumlah besar kondisi yang berpotensi reversibel / dapat diobati
yang dapat menyebabkan mioklonus, penanganan pengobatan untuk
masing-masing kondisi ini berada di luar ruang lingkup tinjauan ini.
Sebagai gantinya, kami akan fokus pada pengobatan simtomatik
mioklonus.12 Mills, K., Mari, Z. 2015. An Update and Review of the
Treatment of Myoclonus. Springer
 Tata Laksana Sesuai Gejala
Pengobatan mioklonus dipandu oleh jenis mioklonus tertentu,
yang diklasifikasikan berdasarkan temuan klinis dan pengujian
laboratorium (etiologi), dan karakterisasi neurofisiologis. Obat yang
biasa digunakan dalam pengobatan mioklonus, termasuk mekanisme
aksi, dosis, dan efek samping, dijelaskan pada Tabel 2.
Menggunakan lokalisasi anatomi dan klasifikasi neurofisiologis
sebagai garis besar umum untuk algoritma pengobatan (Gambar 1),
kami telah memasukkan Temuan klinis seperti pemicu dan etiologi
yang mendasari untuk lebih lanjut menyesuaikan rekomendasi terapi.
Diasumsikan bahwa pengobatan hanya akan dimulai setelah atau
bersamaan dengan pemeriksaan untuk penyebab mioklonus yang
berpotensi reversibel, dengan terapi yang sesuai diterapkan untuk
setiap kondisi yang ditemukan. Agen yang direkomendasikan untuk
setiap klasifikasi mioklonus (Gbr. 1) didasarkan pada bukti efikasi
apa yang ada dan, dalam beberapa kasus, berdasarkan riwayat
pengalaman anekdotal.12 Mills, K., Mari, Z. 2015. An Update and
Review of the Treatment of Myoclonus. Springer

5. Tic
Tics adalah gerakan atau suara yang tidak disengaja. Sindrom
Tourette adalah salah satu penyakit dengan kelainan yang mempengaruhi
sekitar 1% populasi tetapi masih kurang diakui di masyarakat. Di kelas
kecacatan pembelajaran pendidikan khusus anak, prevalensi individu
dengan gangguan tic adalah sekitar 20-45% lebih tinggi masih di kelas
emosional/perilaku pendidikan khusus. Mengingat tingginya tingkat
individu dengan gangguan tic dalam pengaturan pendidikan khusus, serta
tantangan unik bekerja dalam pengaturan pendidikan dengan seseorang
dengan gangguan tic, adalah kewajiban para profesional yang bekerja di
pengaturan ini untuk mengetahui kemungkinan tic gangguan pada
populasi ini. Ulasan ini berupaya memberikan gambaran tentang
gangguan dan hubungannya dengan kesulitan belajar dan kesehatan
mental. Tinjauan ini berfokus pada eksplorasi faktor-faktor yang
mendasari hubungan antara gangguan tic dan ketidakmampuan belajar,
termasuk konsekuensi neurokognitif dari gangguan tic dan pengaruh
komorbiditas umum, seperti ADHD, serta strategi untuk mendukung
individu dengan gangguan tic di kelas.14 Eapen, V., Crncec, R.,
McPherson S., dkk. 2013. Tic Disorders and Learning Disability: Clinical
Characteristics, Cognitive Performance and Comorbidity. Australasian
Journal of Special Education, Vol 37
Tics adalah gerakan tubuh yang tidak disengaja (tics motorik) atau
sistem phonic (menghasilkan tics vokal) yang tiba-tiba, cepat, berulang,
tidak berirama, dan stereotip. Tics dapat terjadi untuk periode singkat
dalam suatu kehidupan anak tetapi kemudian sepenuhnya mengampuni
(kadang-kadang disebut 'tics perkembangan', tetapi disebut sebagai
gangguan tic sementara dalam Diagnostic and Manual of Mental
Disorders edisi ke-5 [DSM-5], yang akan dirilis pada Mei 2013;
American Psychiatric Association [ APA], atau mungkin bertahan. Ketika
motorik atau vokal, tetapi tidak keduanya, berlanjut selama lebih dari satu
tahun, ini disebut sebagai gangguan kronik kronis, ketika motorik dan
vokal bersama terjadi selama lebih dari satu tahun, ini menunjukkan
Tourette's gangguan (lebih dikenal sebagai sindrom Tourette).14
Kebanyakan tics dan juga sindrom Tourette kemungkinan
disebabkan oleh kombinasi faktor yang terkait dengan gen individu dan
lingkungan sekitarnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tics
disebabkan oleh koneksi yang tidak berfungsi antara bagian-bagian otak
yang mengatur pergerakan. Jarang, tics dapat disebabkan oleh cedera otak
atau infeksi. Tics juga bisa menjadi efek samping dari obat-obatan
tertentu.15
Baik tics dan sindrom Tourette didiagnosis berdasarkan riwayat
medis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Tidak ada tes
tunggal untuk mengkonfirmasi diagnosis ini. Dalam kasus tertentu,
pengujian dapat dilakukan untuk mengecualikan gangguan lain. 15
Kriteria diagnostik yang diusulkan untuk sindrom Tourette di
DSM-5, yang berisi beberapa modifikasi kecil dari kriteria yang
digunakan dalam DSM-IV adalah sebagai berikut14:
a. Motor ganda dan satu atau lebih tics vokal hadir pada suatu waktu
selama sakit, meskipun tidak harus bersamaan.
b. Tics mungkin bertambah dan berkurang dalam frekuensi tetapi telah
bertahan selama lebih dari 1 tahun sejak awal tic.
c. Onsetnya adalah sebelum usia 18 tahun.
d. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
atau kondisi medis umum.
Tics motorik sederhana yang umum melibatkan mata (mis. Mata
berkedip, mata bergulir), wajah (mis., Hidung berkedut, meringis), leher
(menyentak) dan bahu (mengangkat bahu). Ini dapat memalukan atau
bahkan menyakitkan bagi individu (misalnya, patah rahang), dan mudah
dibedakan dari sentakan otot (fasikulasi), misalnya, pada kelopak mata
atau bibir. Motorik kompleks dapat melibatkan sekelompok tics
simplemotorik atau urutan yang lebih terkoordinasi. gerakan, tetapi ini
masih cepat atau tiba-tiba. Tics motorik yang kompleks termasuk
menjilat, memukul, melompat, mencium, meludah, jongkok, kelainan
gaya berjalan, dipaksa menyentuh, mencium diri sendiri atau orang lain,
dan komentar yang tidak pantas secara sosial. Tics yang rumit dapat
tampak memiliki tujuan dan dapat sangat mengganggu fungsi di dalam
kelas. Tics vokal juga dapat dikelompokkan ke dalam kategori 'sederhana'
dan 'kompleks'. Tics vokal sederhana termasuk membersihkan
tenggorokan, mengendus, mendengus, batuk, menggonggong,
mendengus, bersenandung, mengklik dan suara bernada rendah atau
tinggi. Sebaliknya, tics vokal yang kompleks biasanya terdiri dari ucapan-
ucapan yang bermakna secara linguistik seperti kata dan frasa, gangguan
dalam aliran bicara, dan perubahan mendadak dalam nada dan volume.
Puttering kata-kata cabul (coprolalia) atau membuat gerakan cabul
(copropraxia) tetap di antara gejala TS yang paling terkenal. Berlawanan
dengan kepercayaan populer, tics ini hanya terjadi pada 5–30% individu
dengan TS; namun, ketika ada, mereka bisa melumpuhkan, juga
menghadapi dan mengganggu orang lain. Dengan demikian, berbagai
gejala dan presentasi pada individu dengan gangguan tic dapat menjadi
substansial, untuk contoh tambahan tics motorik dan vokal dan perilaku
terkait gangguan tic. Perlu dicatat bahwa gerakan tak sadar hadir dalam
beberapa kondisi neurologis (mis., Koreografi Sydenham; penyakit
Huntington).14 Eapen, V., Crncec, R., McPherson S., dkk. 2013. Tic
Disorders and Learning Disability: Clinical Characteristics, Cognitive
Performance and Comorbidity. Australasian Journal of Special Education,
Vol 37
Namun, karakteristik dari tic yang memisahkannya dari gerakan
tak sadar lainnya termasuk kursus waxing dan waning; satu jenis tic
diganti oleh yang lain; penindasan sukarela (bahkan jika ini hanya untuk
periode singkat); dan fakta bahwa tic didahului oleh 'dorongan batin' dan
dalam beberapa kasus sensasi somatik pra-pertanda, seperti gatal,
meregang, atau sesak di lokasi, dan gerakan atau suara dilaporkan terjadi
sebagai respons terhadap dorongan ini . Ironisnya, kemampuan orang
dengan gangguan tic untuk secara sukarela menekan atau menunda
menanggapi dorongan ini dengan tic, meskipun dengan mengorbankan
ketegangan batin yang meningkat, dapat menyebabkan salah tafsir oleh
orang lain bahwa tics berada di bawah kendali sukarela. Penindasan
sukarela dari tics untuk jangka waktu tertentu dapat dikaitkan dengan efek
'rebound' kemudian dari peningkatan terjadinya tics. Ini, pada gilirannya,
kadang-kadang dapat menyebabkan konflik, karena orang tersebut
dipandang sengaja melakukannya atau tidak cukup berusaha untuk
menghentikan tic.14 Eapen, V., Crncec, R., McPherson S., dkk. 2013. Tic
Disorders and Learning Disability: Clinical Characteristics, Cognitive
Performance and Comorbidity. Australasian Journal of Special Education,
Vol 37

Terapi
Jika ticsnya ringan dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari,
perawatan tidak diperlukan. Jika ticsnya parah dan menyebabkan masalah
dengan pembicaraan atau kegiatan, maka terapi perilaku atau pengobatan
harus dipertimbangkan. Terapi perilaku sering melatih individu untuk
menyadari perasaan yang terjadi sebelum tic dan kemudian melakukan
gerakan lain yang membuat tic sulit terjadi. 15
Perawatan farmakologis untuk gangguan tic mungkin termasuk
clonidine, terutama ketika ADHD hadir komorbid, atau agen antipsikotik
seperti risperidone ketika ada masalah perilaku komorbiditas seperti lekas
marah, agresi dan insomnia atau ASD. Kondisi komorbid seperti OCD
dan ADHD akan membutuhkan perhatian dan mungkin memerlukan
pengobatan dengan inhibitor reuptake serotonin spesifik, dan stimulan
(dengan hati-hati, pemantauan untuk eksaserbasi tic) atau atomoxetine,
masing-masing. Risiko interaksi obat dan efek samping dapat meningkat
pada orang-orang dengan kerusakan otak atau epilepsi, dan peningkatan
bertahap dalam dosis dengan pemantauan ketat direkomendasikan. Teknik
psikoterapi seperti terapi perilaku kognitif untuk OCD atau intervensi
perilaku komprehensif untuk tics (CBIT) telah membangun kemanjuran.
Namun, hasil mungkin dibatasi pada individu di mana kemampuan
kognitif dan belajar yang buruk, dan hiperaktif, merupakan faktor.
Strategi lain untuk meminimalisasi tics termasuk input seputar
menciptakan dinamika dan rutinitas keluarga yang konsisten dan
konsisten, penggunaan aktivitas fisik untuk 'menyalurkan' energi, serta
mendorong individu dengan tics untuk terlibat dalam bakat dan hobi,
karena aktivitas hyperfocused sering mengurangi ekspresi tic.14 Eapen,
V., Crncec, R., McPherson S., dkk. 2013. Tic Disorders and Learning
Disability: Clinical Characteristics, Cognitive Performance and
Comorbidity. Australasian Journal of Special Education, Vol 37

6. Distonia
Dystonia adalah sekelompok gangguan yang ditentukan oleh jenis
gerakan abnormal tertentu. Fitur penting adalah aktivitas otot yang
berlebihan untuk pergerakan. Aktivitas berlebihan ini dapat dinyatakan
sebagai kekuatan berlebihan pada otot primer yang digunakan untuk suatu
gerakan, aktivasi otot tambahan yang tidak diperlukan untuk suatu
gerakan, atau aktivasi bersama otot yang memusuhi otot-otot primer.
Ekspresi klinis dari distonia ditentukan oleh tingkat keparahan dan
distribusi otot yang terlibat. Dalam kasus-kasus ringan, gerakan-gerakan
distonik hanya muncul sebagai tindakan yang berlebihan. Dalam kasus
moderat, gerakannya lebih jelas abnormal dengan kualitas yang sempit,
kaku atau terpuntir. Dalam kasus yang lebih parah, gerakan distonik
muncul sebagai postur aneh yang persisten atau deformitas tetap.11
Gerakan distonik sering lambat, tetapi kadang-kadang bisa cepat
atau tersentak. Kadang-kadang gerakan itu mungkin menyerupai tremor.
Mereka cenderung terpola atau stereotip dalam kasus-kasus individual.
Kelompok kerja konsensus baru-baru ini memberikan definisi formal
berikut untuk distonia: 11
“Dystonia adalah kelainan gerakan yang ditandai oleh kontraksi
otot yang terus-menerus atau intermiten yang menyebabkan gerakan
abnormal, sering berulang, postur, atau keduanya. Gerakan distonik
biasanya berpola, memutar, dan mungkin bergetar. Dystonia sering
dimulai atau diperburuk oleh tindakan sukarela dan berhubungan dengan
aktivasi otot yang berlebihan.”
Secara fisiologis, banyak bentuk distonia memiliki bukti untuk
gangguan proses penghambatan dalam sistem saraf, umpan balik sensorik
abnormal, dan / atau plastisitas saraf maladaptif. Menentukan bagaimana
berbagai proses ini berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan
sindrom motorik yang kita kenal sebagai dystonia adalah fokus utama
penelitian saat ini. 11
Distonia ditandai dengan kontraksi otot involunter berdurasi lama
yang menimbulkan gerakan aneh dan postur ekstremitas yang bengkok.
Seperti jenis gangguan pergerakan lainnyang disebabkan oleh lesi ganglia
basalia, dystonia memburuk dengan konsentrasi mental atau stress
emosional dan membaik saat tidur. Pada interval ketika dystonia tidak
timbul, tonus otot pada gerakan pasif ekstremitas yang terkena cenderung
menurun.5
Ada beberapa variasi dystonia. Distonia yang berbatas pada satu
kelompok otot disebut dystonia fokal. Contohnya meliputi blefarospasme,
penutupan mata involunter secara paksa akibat kontraksi muskulus
orbicularis okuli, dan tortikolis spasmodik, yaitu leher terputar distonik.
Dystonia generalisata terdiri dari beberapa tipe mengenai semua
kelompok otot tubuh dengan derajat bervariasi. Pasien yang mengalami
dystonia generalisata paling sering terganggu oleh disartria dan disfagia
yang berat yang biasanya membentuk bagian dari sindroma: pasien bicara
seperti terburu-buru dan sulit dimengerti.5 Frotscher. M. B. 2016.
Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Terapi11
a. Obat terkait asetilkolin, salah satu kelas obat yang paling sering
diresepkan untuk distonia meliputi antikolinergik seperti
triheksifenidil, benztropin, biperidin, etopropazin, orphenadrine, dan
procyclidine. Obat ini dianggap bekerja dengan memblokir reseptor
muskarinik asetilkolin di ganglia basal. Penggunaannya didukung
oleh beberapa penelitian retrospektif, dan satu percobaan prospektif,
double-blind trihexyphenidyl yang menunjukkan perbaikan
signifikan secara klinis pada 71% pasien dengan dosis rata-rata 30
mg setiap hari. Namun penelitian ini hanya melibatkan 31 pasien
dengan distonia yang sebagian besar terisolasi, dan usia rata-rata 19
tahun. Studi serupa pada anak-anak dengan distonia yang
berhubungan dengan cerebral palsy menunjukkan bahwa proporsi
yang signifikan dapat memburuk dengan antikolinergik. Tidak ada
uji coba antikolinergik double-blind prospektif dan terkontrol
plasebo untuk orang dewasa yang lebih tua, yang cenderung tidak
mentolerir banyak efek samping mereka.
Terlepas dari informasi yang terbatas dan kadang-kadang saling
bertentangan, antikolinergik tetap digunakan secara luas karena
tampaknya setidaknya sebagian efektif untuk banyak jenis distonia,
terlepas dari etiologi yang mendasarinya. Trihexyphenidyl harus
dimulai dengan dosis rendah, misalnya 2 mg dua kali sehari. Ini
dapat ditingkatkan 2 mg setiap beberapa hari sampai manfaat diamati
atau efek samping muncul. Dosis efektif berkisar 6-40 mg setiap
hari, dibagi dalam 3-4 dosis. Efek samping yang umum termasuk
kehilangan ingatan, kebingungan, gelisah, depresi, sembelit mulut
kering, retensi urin, penglihatan kabur atau memburuknya glaukoma
sudut sempit
b. Obat terkait dopamine, obat yang menambah atau menekan
penularan dopaminergik di ganglia basal mungkin sangat membantu
dalam populasi tertentu pasien dengan distonia. Menambah transmisi
dopamin dengan levodopa secara dramatis efektif pada dystonia
responsif-dopa, yang paling sering disebabkan oleh mutasi pada gen
GCH1 yang menyandikan enzim GTP cyclohydrolase. Banyak
pasien merespon dosis serendah setengah dari tablet 25/100 mg
carbidopa / levodopa dua kali sehari, walaupun yang lain
membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk percobaan levodopa
yang adekuat, dosis harus ditingkatkan perlahan menjadi 1000 mg
pada orang dewasa (atau 20 mg / kg untuk anak-anak) dibagi dalam
tiga dosis harian selama satu bulan sebelum menyimpulkan bahwa
itu tidak akan efektif. Selain levodopa, pasien dengan distonia
responsif dopa klasik merespons agonis dopamin dan obat yang
menghambat metabolisme dopamin seperti inhibitor monoamine
oksidase.
Levodopa juga setidaknya sebagian efektif dalam gangguan lain
yang mempengaruhi sintesis dopamin yang disebabkan oleh
defisiensi tirosin hidroksilase, sepiapterin reduktase, dan lain-lain.
Ini mungkin juga efektif pada beberapa kelainan langka lain seperti
distonia pada beberapa kasus ataksia spinocerebellar tipe 375 atau
varian bentuk ataksia telangiectasia, dan untuk distonia pada
penyakit Parkinson. Selain dari populasi spesifik ini, levodopa dan
agonis dopamin tidak berguna secara luas untuk jenis distonia
lainnya, seperti distoniaia fokal atau segmental terisolasi yang lebih
umum. Obat-obatan yang menekan transmisi dopaminergik juga
mungkin berguna untuk subkelompok pasien tertentu. Meskipun
antagonis reseptor dopamin telah digunakan dengan keberhasilan
variabel dalam penelitian kecil yang tidak dibutakan, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena risiko untuk pengembangan reaksi
distonik akut dan sindrom tardive dapat menyebabkan kebingungan
diagnostik. Namun, penipisan dopamin dengan tetrabenazine tidak
membawa risiko yang sama, dan mungkin bermanfaat untuk
beberapa pasien dengan distonia, terutama mereka yang mengalami
distonia tardive. Ini dapat dimulai dengan setengah dari 25 mg setiap
hari setiap hari, dan dititrasi oleh setengah tablet setiap 3-5 hari,
hingga target 25-100 mg setiap hari. Efek samping yang membatasi
dosis meliputi kantuk, parkinsonisme, depresi, insomnia, gugup,
gelisah, dan akatisia.
c. Obat terkait GABA — Kelompok obat lain yang sering diresepkan
adalah benzodiazepin seperti alprazolam, chlordiazepoxide,
clonazepam, dan diazepam. Mereka dianggap bekerja dengan
memperkuat transmisi melalui reseptor GABA. Tidak ada studi
double-blind besar dan terkontrol dari benzodiazepin di distonia.
Penggunaannya didukung oleh beberapa studi kecil atau retrospektif.
Pengalaman anekdotal menunjukkan bahwa mereka mungkin paling
berguna untuk menekan aspek fasik dari distonia, seperti berkedip
dalam blepharospasm atau bentuk distonia yang dominan tremor.
Mereka juga tampaknya berguna dalam diskinesia paroksismal, di
mana distonia dapat menjadi fitur yang menonjol.83 Efek samping
yang umum termasuk sedasi, gangguan koordinasi dan koordinasi,
dan depresi. Ada juga risiko tachyphylaxis dan ketergantungan, jadi
penghentian yang tiba-tiba atau penurunan dosis mendadak yang
besar harus dihindari.
Baclofen adalah agonis reseptor GABA yang juga sering digunakan
dalam distonia. Tidak ada studi terkontrol untuk memandu
rekomendasi untuk penggunaannya, tetapi beberapa studi
retrospektif dan laporan anekdotal menunjukkan itu sering berguna
dalam dystonia onset masa kanak-kanak, terutama mereka yang
memiliki kelenturan bersama tungkai bawah. manfaat, tetapi
kebanyakan tidak. Dosis oral efektif berkisar 30-120 mg setiap hari
dibagi 3–4 dosis. Efek samping yang umum termasuk sedasi, mual,
gangguan mental, pusing dan kehilangan tonus otot. Penghentian
mendadak atau penurunan dosis mendadak yang besar dapat
dikaitkan dengan reaksi penarikan yang mencakup delirium dan
kejang.
Baclofen juga dapat diberikan secara intratekal melalui minipumps
yang ditanamkan secara kronis, di mana mungkin berguna dalam
subpopulasi pasien dengan distonia. Di sini sekali lagi, telah sering
digunakan pada anak-anak di mana distonia dikombinasikan dengan
kelenturan, terutama pada tungkai bawah. . Efek sampingnya mirip
dengan yang tercantum di atas untuk pemberian oral, dengan
komplikasi tambahan yang terkait dengan perangkat implan.
Komplikasi ini termasuk kerusakan pompa, sumbatan atau
kebocoran kateter, atau infeksi peralatan.
d. Relaksan otot, banyak pasien meminta "relaksan otot" karena mereka
secara intuitif bermanfaat untuk otot yang terlalu aktif dan sakit. Ini
adalah kategori luas dari obat-obatan dengan beragam mekanisme
aksi yang mencakup baclofen dan benzodiazepine yang dijelaskan di
atas, bersama dengan carisoprodol, chlorzoxazone, cyclobenzeprine,
metaxalone, methocarbamol, dan orphenadrine. Tidak ada studi
formal untuk memandu rekomendasi untuk penggunaan obat ini di
dystonia, dan tanggapannya sangat bervariasi. Namun demikian,
banyak pasien memperoleh setidaknya sebagian manfaat, terutama
mereka yang mengalami nyeri akibat otot yang tidak terkontrol
menarik.
e. Obat lain, berbagai macam obat lain telah dianjurkan untuk bentuk
distonia tertentu, umumnya didasarkan pada penelitian kecil dan
tidak buta atau pengalaman anekdotal. Sebagai contoh,
carbamazepine dan antikonvulsan tampaknya sangat berguna untuk
kejang dystonic pada parkinysmal kinesigenic dyskinesia, dan
alkohol berguna dalam sindrom myoclonus-dystonia. Mexiletine dan
lidocaine intravena dapat membantu dalam beberapa kasus. Pilihan
lain yang disarankan untuk populasi spesifik termasuk amfetamin,
cannabidiol, siproheptidin, gabapentin, lithium, nabilone, riluzole,
tizanidine, dan zolpidem.
f. BoNTs medis berasal dari protein neurotoksik yang diproduksi oleh
bakteri Clostridium botulinum. Toksin bakteri menyebabkan
gangguan paralitik yang dikenal sebagai botulisme, tetapi BoNT
tingkat medis dimurnikan dan dilemahkan sehingga suntikan
intramuskular lokal menekan otot yang terlalu aktif dalam distonia.
Ada tujuh serotipe yang berbeda, A-G. Tipe A dipasarkan sebagai
onabotulinumtoxinA (Botox ™), abobotulinumtoxinA (Dysport ™),
dan incobotulinumtoxinA (Xeomin ™). Tipe B dipasarkan sebagai
rimabotulinumtoxinB (Myobloc ™). Keamanan dan kemanjuran
mereka telah menjadi subjek beberapa ringkasan sebelumnya,
termasuk beberapa ulasan berdasarkan bukti sistematis. Mereka
sangat efektif untuk banyak jenis distonia, secara signifikan
mengurangi pergerakan abnormal dan kecacatan terkait, dan
meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Banyak sumber
daya terperinci tersedia untuk penerapan BoNT termasuk pemilihan
otot target, dosis, dan penggunaan prosedur tambahan untuk
lokalisasi seperti elektromiografi dan ultrasonografi.
Masalah penting pertama melibatkan jenis distonia. Bototinum
neurotoxins (BoNTs) dianggap sebagai pengobatan pilihan pertama
untuk sebagian besar distonia fokal dan segmental termasuk
blepharospasm, dystonia serviks, dystonia oromandibular dan laring,
dystonia tungkai, dan lainnya. Manfaat dari suntikan biasanya
muncul setelah 2-7 hari, dan mereka bertahan selama sekitar 3-4
bulan.98 Kebanyakan pasien kembali untuk perawatan 3-4 kali
setahun. BoNT juga dapat bermanfaat bagi pasien dengan pola
distonia yang lebih luas, di mana mereka sering kurang
dimanfaatkan. Untuk pasien-pasien ini, tujuannya adalah untuk
menargetkan daerah-daerah yang paling tidak nyaman. Sebagai
contoh, pasien dengan cerebral palsy diskinetik sering mengalami
distonia generalisata dengan keterlibatan leher yang menonjol, dan
pengobatan dengan BoNT dapat meringankan semut yang tidak
nyaman ini mengurangi risiko mielopati yang didapat.
BoNT efektif secara dramatis untuk sebagian besar distonia fokal,
tetapi mungkin sulit untuk mendapatkan hasil yang baik dengan
subtipe tertentu. Suntikan ke bagian pretarsal dari otot orbicularis
oculi dapat meningkatkan hasil dalam kasus ini. Di antara pasien
dengan dystonia serviks, mereka dengan anterocollis yang menonjol
bisa lebih sulit untuk diobati. Suntikan dalam ke otot pra-vertebral
telah dianjurkan, meskipun responsnya bervariasi. Untuk distonia
laring, disfonia aduktor spasmodik merespons lebih dapat diprediksi
daripada disfonia abduktor spasmodik.
Distonia oromandibular dan lingual terkadang sulit untuk diobati,
meskipun hasil yang baik dapat dicapai di tangan yang
berpengalaman. Karena ada begitu banyak otot kecil yang bekerja
bersama untuk kegiatan yang terkoordinasi, mungkin sulit untuk
mencapai hasil yang memuaskan untuk distonia tangan. Beberapa
pasien menikmati manfaat dramatis dengan dosis sangat kecil, tetapi
mencapai dosis yang tepat untuk menghindari kelemahan atau
keterlibatan otot-otot di dekatnya bisa sulit untuk diseimbangkan.
Masalah penting lainnya melibatkan efek samping. Tidak ada efek
samping jangka panjang yang merugikan bahkan setelah pengobatan
selama beberapa dekade, terlepas dari risiko kecil mengembangkan
resistansi karena antibodi yang menetralkan protein BoNT. Namun,
perkembangan resistensi yang dimediasi secara imunologis jarang
terjadi dengan persiapan BoNT saat ini. Efek samping jangka pendek
sebagian besar tergantung pada difusi lokal dari tempat injeksi.
Untuk blepharospasm efek samping yang paling umum adalah
ptosis, pembentukan hematoma lokal, robek, dan penglihatan atau
diplopia yang jarang buram. Untuk distonia serviks, efek samping
yang paling umum adalah disfagia, kelemahan otot leher yang
berlebihan, dan kadang-kadang mulut kering. Untuk distonia laring,
efek samping yang paling umum adalah serak atau hipofonia, dan
jarang disfagia dan aspirasi. Untuk distonia tungkai, efek samping
yang paling umum adalah melemahnya otot secara berlebihan. Efek
samping sistemik tidak biasa, tetapi beberapa pasien mengeluh
sindrom seperti flu selama 3-5 hari setelah perawatan mereka.
g. Intervensi bedah. Berbagai intervensi bedah tersedia untuk
pengobatan distonia. Biasanya pendekatan yang lebih invasif ini
disediakan untuk pasien yang gagal dengan terapi yang lebih
konservatif. Intervensi yang paling umum melibatkan neuromodulasi
aktivitas otak melalui generator impuls listrik implan, meskipun
ablasi fokus area otak tertentu dan pendekatan periferal yang
menargetkan saraf atau otot dapat diterapkan dalam beberapa
keadaan.

7. Tremor
a. Definisi
Tremor adalah salah satu penyakit neurologis yang paling
umum; ciri utamanya adalah aksi tremor. Penyakit ini terkait dengan
kecacatan fungsional dan penurunan kualitas hidup.16 Manin, J. K.,
Gutierrez, J., Kellner, S., dkk. 2017. Psychological Suffering in
Essential Tremor: A Study of Patients and Those Who Are Close to
Them. Open Access. Tremor merupakan gerakan involunter yang
paling sering ditemukan, di mana pada penyakit Parkinson menjadi
gejala yang paling membingungkan antara lain karena terpisah dari
bradikinesia dan rigiditas, dapat memberat pada sisi berlawanan dari
sisi bradikinesia yang dominan (wrong-sided tremor), penanda
penyakit yang benigna, tidak berhubungan dengan banyaknya
defisiensi dopamin di substansia nigra, serta responsnya terhadap
pengobatan dopamin tidak sebaik gejala lainnya. Model klasik lebih
menekankan peranan ganglia basalis dalam memodulasi fungsi
kortikal melalui sirkuit striato-thalamokortikal yang mengalami
disfungsi dan menyebabkan bradikinesia serta rigiditas, namun tidak
dapat menjelaskan tremor istirahat pada Parkinson.17 Sukendar, K. A.,
Sutarni, S., Subagya. 2016. Patofisiologi Tremor Istirahat Penyakit
Parkinson. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 1 (3).
Tremor fungsional atau tremor psikogenik merupakan penyakit
gangguan gerak yang paling sering dilaporkan yaitu sekitar lebih dari
50%. Ada dua mekanisme yang diyakini terjadinya tremor psikogenik
seperti adanya pergerakan volunter yang berulang yang pada orang
normal seperti tremor dan mekanisme klonus dimana menghasilkan
gejala tremor selama kontraksi ektremitas yang bersamaan.1 Indrayani,
I. A. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders Improving
Knowledge for Saving Lives. Udayana University Press. Bali
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan
pada posisi sulit atau bila kita melakukan gerakan volunteer dengan
sangat lambat. Tremor halus dianggap sebagai tremor toksik,
contohnya pada penyakit hipertiroid. Tremor kasar merupakan tremor
lambat, kasar dan majemuk, contohnya pada penyakit Parkinson.4
Lumbantobing, S. M. 2015. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.

b. Diagnosis1 Indrayani, I. A. 2017. Neurotrauma & Movement


Disorders Improving Knowledge for Saving Lives. Udayana
University Press. Bali
Saat membuat diagnosis tremor psikogenik harus
memperhatikan gambaran klinis secara keseluruhan termasuk riwayat
dan pemeriksan fisik yang didapatkan. Riwayat tentang kejadian
hidup yang membuat stres juga harus digali atau yang didahului oleh
kejadian fisik (seperti trauma fisik, operasi, infeksi, atau penyakit
lainnya). Karakteristik tremor psikogenik ini adalah adanya
variabilitas dalam keparahan tremor dengan dan tanpa remisi spontan
atau penyakit stasis.
Tremor psikogenik memiliki gejala klinis yang kompleks
dengan kombinasi tremor postural, saat istirahat, dan kinetik yang
tidak biasa pada tremor organik. Daerah yang paling sering
mengalami tremor adalah tangan dan lengan (tanpa tremor pada jari-
jari), bisa juga pada kepala, tungkai bawah, badan, dan palatum.
Beberapa pasien muncul tremor saat berdiri, pergerakan ke atas dan ke
bawah dengan frekuensi rendah yang jelas menunjukkan fungsional.
Petunjuk untuk membedakan tremor psikogenik dengan
organic terletak pada pemeriksaan fisik yang hati-hati oleh neurolog
yang berpengalaman dalam gangguan gerak. Tremor psikogenik
berhubungan dengan peningkatan fokus perhatian terhadap ektremitas
yang terkena selama pemeriksaan. Saat dilakukan pengalihan
perhatian dari tubuh yang kena akan terjadi perubahan tremor yang
sebagian besar positif pada tremor psikogenik. Tremor akan secara
dramatis berkurang, bertambah atau terjadi perubahan frekuensi dan
amplitude selama pemberian tugas untuk mengganggu perhatian.
Distractibility (gangguan) tremor pada beberapa pasien bisa muncul
dengan pengalihan sederhana seperi menanyakan riwayatnya,
berhitung, atau memeriksa bagian tubuh yang lainnya. Namun tingkat
kesulitan dari tugas distraksi ini berbeda masing-masing individu
sehingga penting diketahui bahwa distraksi akan berhasil jika tingkat
perhatian terhadap ekstremitas yang bergetar cukup berkurang dengan
tugas yang diberikan. Jika tugas terlalu sederhana maka bisa
diinterpretasikan sebagai ”nondistractibility”.
Beberapa manuver khusus dapat dilakukan dalam pemeriksaan
fisik pada tremor psikogenik adalah melakukan gerakan balismus pada
lengan salah satunya akan merangsang berhentinya tremor pada
lengan lainnya. Tugas pergerakan jari yang kompleks atau mengetuk
jari bisa juga diberikan pada tangan yang kontralateral maka akan
mengurangi tremor pada tangan yang terkena. Pada beberapa pasien
distraksi tugas dan manuver yang dikerjakan tidak menunjukkan
adanya tremor psikogenik sehingga persisten tremor selama distraksi
seharusnya tidak mengeksklusi tremor psikogenik.
Karakteristik tremor psikogenik lainnya adalah variabilitas,
baik dalam frekuensi, amplitudo, arah (perubahan pronasi/supinasi ke
fleksi/ekstensi) atau fluktuasi distribusi anatomi tremor. Tremor
psikogenik biasanya akan meningkat saat diberikan perhatian pada
ektremitas yang terkena atau ketika pasien ditanyakan ditanyakan
tentang itu. Pada tremor organik biasanya amplitudonya bervariasi
bergantung pada tingkat kecemasan, kelelahan, posisi, serta ritme
yang iregular dan perubahan arah (seperti pada tremor distonik
kepala). Tremor psikogenik juga menunjukkan tanda co-aktivasi
misalnya aktivasi otot antagonis walaupun tremor masih berlangsung.
Jika peningkatan aktivasi otot menghilang maka tremor juga
menghilang. Tremor psikogenik juga suggestible (dapat dibisikkan)
dan responnya bervariasi terhadap rangsangan tertentu.
Salah satu tes yang dapat digunakan adalah tes garputala
terhadap anggota tubuh yang terkena dimana rangsangan vibrasi akan
menurunkan gejala. Cara lainnya adalah dengan memberikan tekanan
pada titik picu menggunakan jari pemeriksa akan terjadi perubahan
tremor. Pergerakan volunter pada pasien tremor psikogenik biasanya
tampak lambat pada seluruh performa pergerakan bergantian dan
repetitif. Beberapa pasien dengan tremor psikogenik kadang tampak
mengabaikan gejalanya walaupun tampak tremor yang berat pada
pemeriksaan “la belle indifference”.
Sebagai tambahan, pada tremor psikogenik kita juga dapat
menemukan adanya gejala dan tanda neurologi fungsional yang
bersamaan seperti tanda kelemahan fungsional (Hoover’s sign), defisit
sensoris yang tidak sesuai dermatom, spasme konvergen, dan
abnormalitas okulomotor diskonjugat lainnya.
Petunjuk lainnya adalah respon terhadap terapi. Tremor
psikogenik menunjukkan adanya kecenderungan tidak responsif
terhadap medikasi yang tepat, respon terhadap plasebo, dan remisi
dengan psikoterapi. Tremor psikogenik harus dibedakan melalui tidak
adanya riwayat keluarga, onsetnya mendadak, remisi spontan, durasi
tremor lebih singkat, suggestible, dan distraktibilitas
Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah tes
elektrofisiologi termasuk co-aktivasi otot antagonis pada onset tremor
yang ditandai dengan pemakaian otot antagonis secara tonik sekitar
300 ms sebelum onset tremor. Perbandingan yang telah disebutkan di
atas dapat dirangkum pada tabel 5. Kombinasi tes elektrofisiologi
dengan nilai ambang 3/10 bisa membedakan tremor psikogenik dan
organik dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan
lain yang bisa digunakan walaupun dengan data terbatas adalah DaT-
SPECT dimana hasil yang normal merupakan tremor psikogenik.

Tabel 1. Tes Elektrofisiologi pada Tremor Fungsional.


DAFTAR PUSTAKA

1. Indrayani, I. A. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders Improving


Knowledge for Saving Lives. Udayana University Press. Bali
2. Frucht, S. J. 2013. Movement Disorder Emergencies Diagnosis and Treatment,
Ed. 2. Humana Press. New York
3. Greenberg, D. A., Aminoff, M. J., Simon, R. P. 2002. Clinical
Neurology, Edisi 5. Lange Medical Books.
4. Lumbantobing, S. M. 2015. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.
5. Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
6. Abdo, W. F., Warrenburg, B. P., Burn, D. J. dkk. 2010. The Clinical
Approach to Movement Disorders. Nature Review, Volume 6.
7. Rajput, A., Rajput, A. H. 2007. Handbook of Clinical Neurology.
Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/akinesia/pdf.
Diakses pada tanggal 2 Mei 2019.
8. Mardjono, M., Sidharta, P. 2013. Neurologi Klinis Dasar. Dian
Rakyat.
9. Susilawathi, N. M. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders
Improving Knowledge for Saving Lives. Udayana University Press
10. Fahn, S., Jankovic, J., Hallet, M. 2011. Principles and Practice of
Movement Disorders Edisi 2. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978143772369400
0159. Diakses pada tanggal 2 Mei 2019.
11. Jinnah, H. A. 2016. Diagnosis & Treatment of Dystonia. NIH

Public Access. 33 (1) : 77-100


12. Mills, K., Mari, Z. 2015. An Update and Review of the Treatment of
Myoclonus. Springer
13. Eberhardt, O., Topka, H. 2017. Myoclonic Disorders. Brain
Sciences.
14. Eapen, V., Crncec, R., McPherson S., dkk. 2013. Tic Disorders and
Learning Disability: Clinical Characteristics, Cognitive Performance
and Comorbidity. Australasian Journal of Special Education, Vol 37.
15. Muth, C. 2017. Tics and Tourette Syndrome. Jama 317 (15).
16. Monin, J. K., Gutierrez, J., Kellner, S., dkk. 2017. Psychological
Suffering in Essential Tremor: A Study of Patients and Those Who
Are Close to Them. Open Access.
17. Sukendar, K. A., Sutarni, S., Subagya. 2016. Patofisiologi Tremor
Istirahat Penyakit Parkinson. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana.
1 (3).

Anda mungkin juga menyukai