Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux


disease (GERD) merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang
paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari.[1,2]

Prevalensi GERD di negara-negara Asia cenderung lebih rendah


dibandingkan negara di Eropa dan Amerika, namun demikian selama
beberapa tahun terakhir prevalensi GERD di Asia terus meningkat.
Prevalensi GERD juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
perubahan gaya hidup yang menjadi lebih sedentari serta meningkatkan
penyakit-penyakit nonkomunikabel, seperti diabetes mellitus dan
obesitas.[2-4]
GERD dapat terjadi pada seluruh kelompok usia dan merupakan salah
satu penyebab gangguan kualitas hidup yang dapat berlangsung secara
kronis dan menyebabkan komplikasi yang cukup berat. Penyakit ini juga
terus mengalami perkembangan baik dalam patofisiologi, diagnosis,
hingga terapinya.[1,4-6] Hal ini menjadikan GERD harus dipahami dengan
baik oleh dokter, khususnya dokter layanan primer.

Epidemiologi
Penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux
disease (GERD) merupakan penyakit gastrointestinal yang paling umum
terjadi walau data epidemiologi di Indonesia tidak tercatat secara jelas.

Global
Penyakit refluks gastroesofageal merupakan penyakit gastrointestinal
yang paling umum. Sekitar 9 juta kunjungan poli rawat jalan/outpatient
department per tahun terkait dengan GERD. Sekitar 5 dari 1000 orang per
tahun di Amerika Serikat dan Inggris terkena GERD. Prevalensi GERD
diperkirakan sektiar 18.1%-27.8% di Amerika Utara, 8.8%-25.9% di Eropa,
2.5%-7.8% di Asia Timur, 11.6% di Australia, dan 23% di Amerika Selatan.
Prevalensi GERD di Asia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara di
Eropa dan Amerika, akan tetapi angka ini juga terus meningkat dari tahun
ke tahun sejak 1995 (p<0.0001), terutama di Asia Timur.[2,3] 

Indonesia
Epidemiologi GERD di Indonesia tidak tercatat dengan jelas. Data dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 30 dari
127 pasien (22.8%) yang menjalani endoskopi gastrointestinal atas
dengan indikasi dispepsia mengalami esofagitis. Angka kejadian esofagitis
juga meningkat dari 5.7% menjadi 25,18% dari tahun 1997-2002 dengan
rata-rata kasus per tahun 13.13%.[4,11]

Mortalitas
Angka kematian akibat penyakit refluks gastroesofageal cukup rendah
sekitar 0.46/100.000 jiwa pada tahun 2000. Kematian terkait GERD ini
umumnya disebabkan karena komplikasi dan tindakan yang dilakukan.
Sebanyak 1.9/1000 tindakan operasi GERD menyebabkan kematian,
sekitar 11% kematian terjadi karena komplikasi awal operasi antirefluks
dan 4% karena komplikasi lambat. Sebanyak 82.47% mortalitas tercatat
karena esofagitis hemoragiik, 41.23% pneumonia aspirasi, 25.14% ulkus
perforasi, 15.9% ruptur esofagitis, dan 13.7% terkait striktur.[1,12] 

Prognosis
Prognosis penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux
disease / GERD) cukup baik asalkan pasien mau memodifikasi gaya hidup
dan menjalani pengobatan dengan patuh. GERD yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan komplikasi, di antaranya berupa Barrett esofagus
dan kanker esofagus.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit refluks
gastroesofageal dibagi menjadi komplikasi esofageal, ekstraesofageal,
dan komplikasi akibat tindakan operasi yang dilakukan.

Komplikasi Esofageal
Komplikasi esofageal yang dapat terjadi akibat GERD adalah:
 Barrett esofagus  Striktur esofagus
 Esofagitis erosif  Kanker esofagus

Komplikasi Ekstraesofageal
GERD juga dapat menyebakan komplikasi ekstraesofageal berupa:
 Aspirasi asam  Batuk kronis  Pneumonitis
lambung  Erosi enamel  Faringitis
 Asthma gigi kronis
 Laringitis  Sinusitis kronis  Stenosis laring
posterior  Kanker laring dan trakea

Komplikasi Operasi
Operasi yang dilakukan pada pasien GERD juga dapat menyebabkan
komplikasi sebagai berikut:
 Fundoplikasi  Dilatasi esofagus
 Disfagia
Komplikasi GERD cukup sering terjadi, terutama pada GERD kronis atau
refrakter. Komplikasi dapat terjadi secara ringan hingga berat.[1,14,20] 

Prognosis
Prognosis pada pasien dengan GERD cukup baik. Sebagain besar kasus
GERD dapat ditangani dengan modifikasi gaya hidup dan terapi
farmakologis. Salah satu uji klinis menunjukkan remisi 5 tahun pasien
GERD sekitar 92% pada terapi PPI dan 85% pada terapi operasi. Namun
demikian, terapi sering kali harus dilakukan secara jangka panjang karena
risiko untuk relaps sangat tinggi.[1,21]

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit refluks gastroesofageal merupakan proses yang
kompleks dan multifaktorial. Pemahaman tentang
patofisiologi gastroesophageal reflux disease (GERD) juga terus
mengalami perkembangan. Secara garis besar, GERD terjadi karena
masuknya konten dari gaster ke dalam esofagus atau refluks
gastroesofageal (RGE) yang berlangsung secara kronis. Refluks
merupakan salah satu proses yang secara fisiologi dapat terjadi, akan
tetapi sistem gastrointestinal memiliki mekanisme anti-refluks yang
sangat baik. Gangguan mekanisme anti-refluks ini dapat menyebabkan
RGE yang berlangsung secara kronis. Hal ini terjadi karena beberapa
faktor, di antaranya paparan konten gaster, masalah sfingter esofagus,
gangguan motilitas gastrointestinal, hipersensitivitas esofagus, hernia
hiatus, kelainan mukosa.[1,5,7,8] 

Paparan Refluksat
Refluksat adalah campuran dari asam lambung, asam empedu, enzim-
enzim pencernaan, patogen, serta zat perusak lainnya. Refluksat pada
umumnya bersifat asam, sehingga dapat merusak lapisan epitel saluran
pencernaan dan iritasi esofagus. Dalam keadaan normal, refluks lambung
ini dapat dicegah dengan mekanisme antirefluks. Volume refluksat serta
durasi paparan refluks dapat membuat mekanisme antirefluks lama
kelamaan menjadi tidak efektif. Kegagalan mekanisme antirefluks akan
mengakibatkan zat asam naik ke esofagus dan merusak integritas sawar
mukosa/mucosal barrier. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan
esofagitis dan displasia esofagus.[5,7]

Katup Esofagus Bawah


Katup esofagus bawah/lower esophageal sphincter (LES) merupakan salah
satu komponen dalam mekanisme anti-refluks. LES merupakan katup
yang membatasi esofagus dan gaster. Katup ini akan berfungsi mencegah
isi gaster masuk ke dalam esofagus. Fungsi LES bergantung pada tekanan
dan relaksasi otot yang seimbang. Relaksasi transien LES, relaksasi
permanen LES, serta peningkatan tekanan intraabdomen transien yang
melebihi tekanan LES dapat menyebabkan disfungsi LES. Disgungsi ini
dapat terjadi karena faktor neurogenik atau miogenik, faktor ini dapat
dipengaruhi oleh distensi gaster, hormon, makanan, obat-obatan, dan
enzim peptida. Disfungsi ini akan menyebabkan refluks isi gaster ke
dalam esofagus, bila berlangsung secara berkepanjangan hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya GERD. Fungsi LES ini juga lebih mudah
terganggu pada pasien-pasien dengan obesitas karena peningkatan
tekanan intraabdominal, sehingga lebih mudah terjadi inkompetensi katup
esofagus bawah.[1,5,7,8] 

Gangguan Motilitas
Gangguan motilitas lambung dan esofagus akan sangat mempengaruhi
fungsi mekanisme anti-refluks. Pengosongan lambung yang
terhambat/delayed gastric emptying akan membuat tekanan intragaster
meningkat melebihi tekanan LES. Perbedaan gradien tekanan ini akan
menyebabkan refluks dapat masuk ke dalam esofagus.[1,5,7,8]
Dalam keadaan normal, esofagus juga memiliki mekanisme pertahanan.
Pertahanan esofagus dibagi ke dalam mekanisme, yaitu resistensi mukosa
dan clearance esofagus (peristalsis esofagus dan sekresi saliva). Pada
saat terdapat episode refluksat yang masuk ke esofagus, mekanisme
pertahanan ini dapat menetralisir zat asam dari refluksat dan mencegah
kerusakan mukosa. Proses clearance esofagus yang terganggu akan
membuat proses netralisasi asam refluksat tertunda dan tidak efisien,
sehingga merusak integritas mukosa esofagus.[5,7] 

Hernia Hiatus
Hernia hiatus merupakan salah satu mekanisme terjadi GERD yang cukup
sering. Studi mengatakan bahwa hernia hiatus menyebabkan letak LES
berpindah dari abdomen ke dalam rongga toraks, hal ini akan
mengakibatkan ketidakseimbangan gradien tekanan LES. Adanya hernia
hiatus juga membuat asam lambung dapat terperangkap di kantung
hernia, sehingga meningkatkan volume refluksat ke esofagus pada saat
terjadi relaksasi LES.[1,5,7,8]

Eksaserbasi Gejala GERD


RGE sering kali berlangsung kronis dan gejalanya seringkali hilang timbul.
Studi menunjukkan bahwa rekurensi GERD sering kali disebabkan karena
faktor psikis penderitanya. Mekanisme ini terjadi secara sentral melalui
penurunan inhibisi jalur anti-nosiseptif desendens yang neurotransmiter
serotonin dan endokanabinoid. Pada saat terjadi stress atau ansietas,
akan terjadi penurunan inhibisi anti-nosiseptif sehingga proses
penyampaian sinyal ke aferen traktus gastrointestinal akan terganggu
dan menimbulkan nyeri ulu hati atau heartburn.[5,7]

Diagnosis
Diagnosis awal penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux
disease (GERD) dapat ditegakkan secara klinis melalui penilaian dokter
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan apabila terdapat keraguan dalam diagnosis atau terjadi gagal
terapi serta dapat digunakan untuk menilai komplikasi dan menyingkirkan
diagnosis banding. Hasil pemeriksaan penunjang dapat mendukung
diagnosis awal dan menjadikan GERD diagnosis definitif ataupun tidak.
Sistem skoring seperti Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire
(GERD-Q) dapat digunakan untuk membantu diagnosis awal.[4,6,13] 

Anamnesis
Anamnesis merupakan kunci utama dalam diagnosis GERD. Tanda dan
gejala yang sering kali muncul adalah:
 Gejala tipikal  Mengi  Penurun
 Rasa  Hipersali an berat badan
terbakar atau vasi  Hemate
asam/heartburn  Rasa mesis dan/atau
 Regurgit mengganjal di melena
asi tenggorokan/sensasi  Anemia
 Disfagia globus defisiensi besi
 Gejala atipikal  Odinofag  Usia di
 Batuk ia atas 40 tahun
kronis  Mual  Prevalen
 Suara  Otitis si kanker gaster
serak, terutama di media tinggi
pagi hari  Karies  Penggun
 Nyeri ulu  Tanda aan kronis obat anti-
hati bahaya/alarm inflamasi non-steroid
 Nyeri symptoms (OAINS)
dada yang  Disfagia
menyerupai angina  Odinofag
pektoris ia

Diagnosis presumtif atau suspek penyakit refluks gastroesofageal dapat


ditegakkan apabila terdapat gejala-gejala GERD. Berdasarkan studi yang
ada gejala tipikal memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 67%. Akan
tetapi, gejala tipikal ini jarang muncul pada pasien-pasien di Asia. Gejala
atipikal lebih sering ditemukan pada pasien-pasien di Asia.[4,6,13,14] 

Kuesioner GERD-Q
Kecurigaan terhadap GERD secara klinis dapat dikonfirmasi dengan
melakukan kuesioner GERD-Q. GERD-Q terdiri dari 6 butir pertanyaan
yang masing-masing dinilai dengan skor 0 sampai 3, yaitu:
Dalam waktu 7 hari terakhir:
1. Seberapa sering anda mengalami sensasi rasa terbakar di daerah
dada atau sternum (heartburn)?
o 0 hari = 0
o 1 hari = 1
o 2-3 hari = 2
o 4-7 hari = 3
 Seberapa sering anda merasakan isi lambung naik kembali ke
tenggorokan (regurgitasi)?
o 0 hari = 0
o 1 hari = 1
o 2-3 hari = 2
o 4-7 hari = 3
 Seberapa sering anda merasakan nyeri epigastik?
o 0 hari = 3
o 1 hari = 2
o 2-3 hari = 1
o 4-7 hari = 0
 Seberapa sering anda merasakan mual?
o 0 hari = 3
o 1 hari = 2
o 2-3 hari = 1
o 4-7 hari = 0
 Seberapa sering anda mengalami gangguan tidur
karena heartburn dan/atau regurgitasi?
o 0 hari = 0
o 1 hari = 1
o 2-3 hari = 2
o 4-7 hari = 3
 Seberapa sering anda minum obat-obatan tambahan untuk
mengurangi keluhan heartburn dan/atau regurgitasi, selain dari obat yang
diresepkan oleh dokter?
o 0 hari = 0
o 1 hari = 1
o 2-3 hari = 2
o 4-7 hari = 3

Skor akhir GERD-Q < 7 menandakan pasien tidak memiliki penyakit


refluks gastroesofageal. Skor GERD-Q 8 hingga 18 meningkatkan
kemungkinan pasien mengalami GERD dan harus dilakukan penilaiaan
lebih lanjut. Kuesioner GERD-Q ini memiliki sensitifitas 65% dan
spesifisitas 71%. GERD-Q memiliki nilai prediksi positif yang sangat tinggi
(92%) tetapi nilai prediksi negatifnya sangat rendah (22%). Penilaian klinis
dokter digabungkan dengan GERD-Q dapat mengurangi prosedur
diagnostik yang tidak dibutuhkan dan mengurangi biaya medis yang
harus dikeluarkan pasien.[4,6,15,16] 

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien-pasien dengan GERD
meliputi:
 Kepala dan  Odinofag  Nyeri
leher ia tekan epigastrik
 Suara  Toraks dapat ditemukan
serak  Jantung ataupun tidak
 Otitis dalam batasan  Bising
media normal usus dapat normal
 Karies  Paru ataupun tidak,
gigi atau kerusakan dapat ditemukan terutama bila
enamel adanya mengi terdapat komplikasi
 Disfagia  Abdomen

Pemeriksaan fisik pada pasien GERD sering kali ditemukan normal, kecuali
jika terjadi komplikasi. Namun demikian, pemeriksaan fisik tetap harus
dilakukan untuk eksklusi diagnosis banding dan kemungkinan adanya
kelainan lain.[1,6,13] 

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada pasien refluks
gastroesofageal adalah:
 Gangguan  Ganggua  Esofagiti
gastrointestinal n motilitas usus s
 Gastritis   Sindrom  Gangguan
akut a usus Hepatobilier
 Gastritis iritabel/Irritable  Kolelitias
kronis bowel is
 Hiatus syndrome (IBS)  Keganasan
hernia  Gangguan  Kanker
 Ulkus esofagus esofagus
peptikum  Akalasia  Kanker
 Ulkus  Ganggua gaster
duodenum n motilitas esofagus  Metaplas
 Infeksi  Spasme ia esofagus Barrett
H. pylori esofagus  Kongenital
 Malrotas  Ateroskl  Sindrom
i usus erosis a koroner
 Gangguan  Angina akut[1,6,13]
jantung pektoris

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang juga merupakan komponene pemeriksaan GERD
yang penting. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk konfirmasi
kecurigaan terhadap GERD. Beberapa jenis pemeriksaan cukup invasif,
sehingga tidak disarankan untuk dilakukan tanpa adanya indikasi khusus.
[4,6,14] Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya sebagai berikut:

Uji Inhibitor Pompa Proton / Proton Pump Inhibitor (PPI) Trial


Uji PPI merupakan salah satu metode diagnostik yang paling mudah
dilakukan dan tidak invasif. Uji PPI umumnya dilakukan pada pasien-
pasien GERD tanpa tanda bahaya atau risiko esofagus Barret. Uji PPI ini
dilakukan dengan pemberian PPI selama 2 minggu tanpa dilakukan
endoskopi terlebih dahulu. Bila didapatkan perbaikan klinis dengan
pemberian PPI dan gejala kembali setelah terapi dihentikan, maka
diagnosis GERD dapat ditegakkan. Uji PPI ini merupakan salah satu
metode diagnostik yang dianjurkan pada konsensus nasional di Indonesia
tahun 2014, akan tetapi studi terbaru di Inggris menunjukkan bahwa uji
PPI memiliki sensitifitas 71% dan spesifisitas hanya 44%. Hal ini membuat
penegakan diagnosis GERD berdasarkan uji PPI saja harus dipertanyakan
karena berisiko untuk penyalahgunaan/overuse PPI dan overdiagnosis
GERD.[4,6,14] 

Pemantauan pH (pH-Metri)
Pemantauan/monitoring pH adalah salah satu metode diagnostik GERD
yang paling baik dan cukup sederhana. Pemeriksaan ini merupakan salah
satu pemeriksaan yang disarankan dalam konsensus nasional di
Indonesia, terutama pada pasien dengan memiliki gejala ekstraesofageal
sebelum terapi PPI atau pasien yang gagal terapi PPI. Pengukuran pH
dapat dilakukan dalam 24 jam atau 48 jam (bila tersedia) dengan atau
tanpa terapi supresi asam lambung. Konsensus Lyon tahun 2018
merekomendasikan untuk melakukan pH metri tanpa terapi PPI terutama
pada pasien-pasien yang belum pernah didiagnosis GERD sebelumnya.
Apabila pasien sudah pernah terbukti GERD atau memiliki komplikasi dari
GERD, pH-metri dilakukan dengan dosis PPI 2x lebih banyak. Pasien-
pasien dengan GERD akan menunjukkan perbaikan pH bila diberikan
terapi PPI.[4,6,17] 

Endoskopi dan Histopatologi


Endoskopi saluran gastrointestinal atas dan pemeriksaan histopatologi
merupakan pemeriksaan baku emas untuk GERD dengan komplikasi.
Histopatologi juga dapat menunjukkan metaplasia, displasia, atau
malignansi. Pemeriksaan dengan endoskopi merupakan prosedur yang
invasif, sehingga pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan bila tidak
terdapat indikasi. Pemeriksaan ini sebaiknya hanya dilakukan pada
pasien-pasien yang memiliki gejala bahaya/alarm symptoms.[4,6,14] 

Tes Barium
Pemeriksaan dengan barium saat ini sudah tidak rutin dilakukan karena
tidak sensitif untuk diagnosis GERD. Namun demikian, pemeriksaan ini
lebih unggul bila dicurigai adanya stenosis esofagus, hernia hiatus,
striktur, dan disfagia. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk evaluasi
disfagia pasca operasi antirefluks bersamaan dengan endoskopi.[4,6] 

Pemeriksaan Lain
Banyak modalitas diagnostik lain yang dapat dilakukan, di antaranya
manometri esofagus dan tes bilitec. Pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk
evaluasi komplikasi GERD, bukan untuk diagnosis GERD secara rutin. Jika
terdapat kecurigaan infeksi Helicobacter pylori, dapat dilakukan urea
breath test atau biopsi menggunakan endoskopi.

Algoritma Diagnostik GERD di Indonesia


Algoritma diagnostik GERD di Indonesia saat ini masih menggunakan
GERD-Q dan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang seperti pH metri
dan endoskopi bila terdapat indikasi.[4,6,14]
Edukasi dan promosi kesehatan untuk pasien dengan penyakit refluks
gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) berupa
modofikasi gaya hidup, kemungkinan komplikasi, dan pentingnya follow
up secara rutin.

Edukasi Pasien
Edukasi pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal meliputi: 
 Melakukan modifikasi gaya hidup dengan baik, mulai dari olahraga,
kebiasaan setelah makan, diet, serta pola pernapasan diafragma
 Pengobatan dapat berlangsung secara jangka panjang untuk
menghindari relaps gejala
 Kontrol berat badan
 Terapkan pola makan dengan teratur
 Menghindari minum obat-obatan tanpa indikasi dan anjuran dokter
 Memantau gejala secara mandiri dengan pengisian kuesioner GERD-
Q secara mandiri
Pasien juga harus diedukasi mengenai komplikasi yang dapat terjadi dan
harus segera memeriksakan diri apabila mengalami:
 Nyeri dan gangguan menelan
 Penurunan berat badan tanpa diet atau olahraga
 Nyeri dada
 Tersedak
 Hematemesis dan/atau melena
 Gangguan pernapasan

Pasien juga harus melakukan kunjungan kembali ke dokter setiap 6


hingga 12 bulan sekali atau sesuai anjuran dokter untuk evaluasi
keberhasilan dan penyesuaian/adjustmentterapi.[14,18] 

Pencegahan
Pencegahan penyakit refluks gastroesofageal dilakukan dengan
menerapkan modifikasi gaya hidup yang baik, terutama pada pasien-
pasien yang berisiko tinggi mengalami GERD. Pasien GERD juga harus
melakukan modifikasi gaya hidup dan kepatuhan terapi yang baik untuk
mencegah rekurensi gejala dan komplikasi karena GERD.[4,14] 

Etiologi
Etiologi terjadinya penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal
reflux disease (GERD) adalah paparan refluksat gaster berlebih ke dalam
esofagus yang berlangsung secara kronis. Refluksat gaster tersebut
merupakan campuran dari asam lambung, sekresi asam empedu, dan
juga pankreas. Proses refluks ini terjadi secara multifaktorial, tetapi paling
sering disebabkan karena gangguan katup esofagus bawah.[1,5] 

Faktor Risiko
Faktor risiko yang mendorong terjadinya GERD antara lain adalah:
 Obesitas  Posisi duduk dan tiduran
 Jenis kelamin laki-laki setelah makan
 Usia tua  Penyakit yang memicu
 Gaya hidup: merokok (baik refluks: Zollinger-Ellison
aktif maupun pasif), konsumsi  Kelainan anatomis: kantung
alkohol dan kafein, gaya hidup asam/acid pocket lebih besar
sedentari  Obat-obatan: nitrat,
 Hernia hiatus penghambat sawar
 Diabetes mellitus kalsium/calcium channel blocker,
 Jenis makanan: makanan agnosis beta, antikolinergik
pedas, asam, berlemak, dan  Hormon
goreng/deep fried progesteron[1,7,9,10]
 Pola diet: makan kurang
dari 3 kali sehari, makan dalam
porsi terlalu besar
Penatalaksanaan
Tata laksana penyakit refluks esofageal / gastroesophageal reflux
disease (GERD) harus dilakukan dengan cara modifikasi gaya hidup,
terapi farmakologis, dan terapi operatif. Tujuan terapi pada pasien dengan
GERD adalah:
 Eradikasi dan kontrol gejala  Meningkatkan kualitas
 Menangani lesi esofagus hidup
 Mencegah rekurensi gejala  Mencegah komplikasi
GERD[4,14]

Terapi Nonfarmakologis
Tata laksana nonfarmakologis pasien GERD dilakukan dengan modifikasi
gaya hidup dan edukasi pasien yang baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam modifikasi gaya hidup pasien GERD meliputi:
Modifikasi Diet
Makanan yang harus dihindari antara lain:
 Kafein  Makanan yang bersifat
 Coklat asam, misalnya jus jeruk atau
 Peppermint soda
 Makanan berlemak tinggi
 Makanan pedas

Mengubah Posisi Tidur


Pasien GERD sebaiknya dianjurkan untuk elevasi bagian kepala tempat
tidur 15-20 cm dan tidur ke arah kiri. 

Modifikasi Kebiasaan
Kebiasaan yang harus dimodifikasi di antaranya:
 Menghindari kebiasaan merokok, baik aktif ataupun pasif
 Menghindari kebiasaan tidur atau duduk 3 jam postprandial,
terutama saat malam hari
 Menggunakan permen karet dapat membantu menetralisir asam
 Menghindari pakaian terlalu ketat
 Menurunkan berat badan
 Olahraga teratur
 Melatih pola pernapasan diafragma

Kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi dan modifikasi gaya hidup


akan sangat menentukan keberhasilan terapi dan prognosis pasien.
[4,14,18]  Hal ini merupakan salah satu komponen terpenting yang harus
ditekankan dalam edukasi pasien, terutama oleh dokter layanan primer.

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis GERD dilakukan dengan supresi asam. Pemberian
adjuvan juga dapat dilakukan. Pilihan terapi yang dapat diberikan antara
lain adalah:

Supresi Asam
Supresi asam merupakan terapi lini pertama pada GERD. Pilihan obat
yang dapat diberikan adalah:
Inhibitor Pompa Proton:
Inhibitor pompa proton merupakan obat pilihan pada GERD. Dosis inisial
20 atau 40 mg dapat diberikan 1 kali sehari sebelum makan pagi selama
2-4 minggu. Apabila keluhan menetap, dosis dapat dititrasi naik selama 4-
8 minggu hingga terjadi remisi. PPI yang dapat diberikan adalah
omeprazole, pantoprazole, lansoprazole, esomeprazole, atau rabeprazole.
Terapi dengan PPI juga aman dilakukan pada ibu hamil. Pemberian PPI
dapat dilanjutkan secara jangka panjang atau sesuai kebutuhan (on-
demand).

Antagonis Reseptor Histamin-2/H-2 receptor antagonist (H2RA):


H2RA seperti ranitidin dapat diberikan untuk mengurangi gejala akut
secara cepat. Obat ini juga dapat diberikan apabila inhibitor pompa proton
tidak tersedia.

Antasida:
Antasida juga dapat diberikan untuk meredakan gejala akut secara cepat.
Akan tetapi, terapi ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang.
Terapi supresi asam dilakukan dengan metode step-up dan kemudian
dilakukan titrasi turun sampai pasien mencapai kadar pH 4. Terapi ini
tidak mencegah refluks tetapi menurunkan kadar asam refluksat.[1,4,14] 

Terapi Ajuvan
Terapi tambahan dengan prokinetik, seperti mosapride
atau domperidone juga dapat diberikan. Prokinetik dapat meningkatkan
tekanan katup esofagus bawah (LES), memperbaiki pengosongan
lambung dan peristalsis usus, dan mengurangi ukuran hernia hiatus.
Prokinetik tidak dianjur untuk monoterapi pasien GERD. Kombinasi
prokinetik dengan omeprazole terbukti dapat menurunkan kadar asam
dengan lebih baik dibandingkan monoterapi omeprazole. Akan tetapi, hal
ini belum termasuk ke dalam rekomendasi dan tidak rutin dilakukan.
Beberapa data juga menunjukkan pemberian prokinetik tidak
menunjukkan efek terapi tertentu.[4,14,19] 

Tata laksana farmakologis merupakan modalitas terapi refluks yang


sangat baik. Pasien-pasien yang mengalami penyakit refluks refrakter
meskipun sudah diberikan terapi yang adekuat harus dirujuk ke dokter
spesialis penyakit dalam.[4,14] 

Terapi Operasi
Operasi merupakan salah satu modalitas terapi pada pasien GERD.
Operasi yang dapat dilakukan beragam, tergantung dari patofisiologi yang
mendasari keluhan pasien. Secara garis besar, indikasi operasi pada
GERD antara lain adalah:
 Gagal terapi farmakologis
 Kepatuhan terapi rendah atau tidak menginginkan konsumsi obat
secara jangka panjang
 Esofagitis berat
 Volume refluks terlalu besar
 Terdapat kelainan anatomis, seperti striktur, displasia esofagus,
hiatus hernia
 Obesitas morbid
 Gangguan laring
 Asma akibat refluks/reflux-induced asthma
Pasien-pasien yang membutuhkan operasi harus dirujuk ke dokter
spesialis untuk dilakukan evaluasi preoperatif.[1,4,14]

Anda mungkin juga menyukai