Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan

Kanker kolon invasif adalah penyakit yang dapat dicegah. Deteksi dini melalui program
skrining yang diterapkan secara luas adalah faktor yang paling penting dalam
penurunan laju kanker kolon di negara maju. [1]

Sangatlah penting untuk memahami biologi dan genetika kanker kolon. Pengetahuan ini
perlahan-lahan diperlukan oleh klinisi dan digunakan untuk membuat stratifikasi risiko
individu yang lebih baik terhadap kanker kolon, menemukan metodologi skrining yang
lebih baik, memungkinkan prognostikasi yang lebih baik, dan meningkatkan
kemampuan untuk memprediksi manfaat dari terapi obat kanker kolon yang baru. [1]

Meskipun operasi tetap menjadi modalitas pengobatan definitif, terdapat berbagai obat
baru yang kemungkinan dapat memberikan hasil yang baik untuk pasien dengan kanker
kolon stadium awal (stadium II dan III) dan memberikan kelangsungan hidup yang
lebih panjang bagi mereka dengan kanker kolon stadium IV. Kemajuan lebih lanjut dari
terapi kanker kolon juga berasal dari integrasi yang lebih baik dari terapi sistemik baru
dengan modalitas lain seperti operasi dan radioterapi. [1]

Epidemiologi
Di dunia, kanker kolorektal adalah kanker yang paling umum kedua pada wanita
(614.000 kasus, 9,2% dari semua kanker) dan yang ketiga paling umum pada pria
(746.000 kasus, 10,0% dari semua kanker). Secara geografis, kejadiannya bervariasi
dengan perbedaan yang terbanyak adalah sebesar 10 kali lipat. Angka perkiraan
tertinggi adalah di Australia / Selandia Baru (per 100.000 populasi, 44,8 pada pria dan
32,2 pada wanita), dan terendah di Afrika Barat (per 100.000 populasi, 4,5 pada pria,
dan 3,8 pada wanita). [8]

Kanker kolorektal menyumbang sekitar 694.000 kematian setiap tahun, yang


merupakan 8,5% dari keseluruhan kematian akibat kanker. Lebih banyak kematian
(52%) terjadi di daerah yang kurang berkembang di dunia, mencerminkan
kelangsungan hidup yang lebih buruk di wilayah ini. Secara geografis, angka kematian
di seluruh dunia bervariasi enam kali lipat pada pria dan empat kali lipat pada wanita,
dengan perkiraan angka kematian tertinggi pada kedua jenis kelamin di Eropa Tengah
dan Timur (20,3 per 100.000 untuk pria, 11,7 per 100.000 untuk wanita), dan terendah
di Afrika Barat (masing-masing 3,5 dan 3,0). [8]

Saat ini, tingkat kejadian kanker kolorektal 27% lebih tinggi pada pria kulit hitam dan
22% lebih tinggi pada wanita kulit hitam dibandingkan dengan pria dan wanita kulit
putih. Kaum hispanik memiliki insiden dan mortalitas terendah dari kanker kolorektal.
[9]

Angka kanker kolon pada orang muda semakin meningkat. Pada orang dewasa usia 20
hingga 39 tahun, angka kejadian kanker usus telah meningkat sebesar 1,0% menjadi
2,4% setiap tahun sejak pertengahan 1980-an; pada usia 40 hingga 54 tahun,
insidensinya meningkat 0,5% menjadi 1,3% setiap tahun sejak pertengahan 1990-an.
Saat ini, orang dewasa yang lahir sekitar tahun 1990 memiliki dua kali lipat risiko
kanker kolon dibandingkan dengan mereka yang lahir sekitar tahun 1950.
Meningkatnya orang dengan obesitas adalah faktor yang diduga menjadi pemicu
meningkatnya angka kanker kolon saat ini. [10]

Presentasi Klinis
Karena meningkatnya atensi pada skrining di klinik, kanker kolon sekarang sering
terdeteksi sebelum mulai menimbulkan gejala. Dalam kasus yang lebih lanjut,
presentasi klinis yang dapat muncul termasuk anemia defisiensi besi, perdarahan
dubur, sakit perut, perubahan kebiasaan buang air besar, dan obstruksi atau perforasi
usus. Lesi kolon sisi kanan lebih mungkin berdarah dan menyebabkan diare, sedangkan
tumor pada kolon sisi kiri biasanya terdeteksi pada stadium lanjut dan dapat muncul
sebagai obstruksi usus. [1]
Temuan pemeriksaan fisik dapat berupa kelelahan, penurunan berat badan, atau
normal di awal perjalanan kanker kolon. Dalam kasus yang lebih lanjut, dapat muncul
tanda: [1]

 Nyeri perut pada saat palpasi

 Pendarahan dubur yang tampak secara makroskopis

 Massa perut yang teraba saat palpasi

 Hepatomegali

 Asites

Patofisiologi
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks, dan terjadi oleh
karena adanya perubahan genetik yang dikaitkan dengan perkembangan dari lesi
premaligna (adenoma) menjadi adenokarsinoma invasif. [2]

Awal mulanya adalah adanya mutasi APC (adenomatous polyposis gene), yang pertama
kali ditemukan pada individu dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Protein
yang dikodekan oleh APC ini penting dalam aktivasi onkogen c-myc dan cyclin D1, yang
mendorong perkembangan menjadi fenotip ganas. Meskipun FAP adalah sindrom
herediter langka yang hanya sekitar 1% dari kasus kanker kolon, namun mutasi APC
juga sangat sering terjadi pada kanker kolon yang sporadis. [1]
Gen penting lainnya dalam karsinogenesis pada kolon antara lain: onkogen KRAS,
hilangnya heterozigositas kromosom 18 yang menyebabkan inaktivasi gen SMAD4
(DPC4), dan tumor suppressor gene DCC (yang delesi pada kanker kolon). Selain itu,
delesi lengan kromosom 17p dan mutasi tumor suppressor gene p53 menyebabkan
resistensi sel terhadap kematian sel terprogram (apoptosis) dan hal ini dianggap
sebagai peristiwa lanjut pada karsinogenesis kolon. [1]
Sejumlah kanker kolon juga ditandai dengan adanya DNA mismatch repair yang kurang.
Fenotipe ini dikaitkan dengan mutasi gen seperti MSH2, MLH1, dan PMS2. Mutasi ini
menghasilkan apa yang disebut ketidakstabilan mikrosatelit frekuensi tinggi (high
frequency microsatellite instability/ H-MSI), yang dapat dideteksi dengan uji
imunositokimia. H-MSI adalah ciri khas dari sindrom kanker kolon nonpolyposis
herediter (hereditary nonpolyposis colon cancer syndrome / HNPCC, sindrom Lynch),
yang menyumbang sekitar 6% dari semua kanker kolon. H-MSI juga ditemukan pada
sekitar 20% kanker kolon yang sporadis. [1]
Diagnosis

Kecurigaan pada diagnosis kanker kolon memerlukan pemeriksaan kolonoskopi dengan


biopsi dari setiap lesi yang mencurigakan. National Comprehensive Cancer Network
merekomendasikan agar semua pasien yang berusia di bawah 70 tahun yang
didiagnosis dengan kanker kolorektal harus dites untuk sindrom kanker usus
nonpolyposis herediter (HNPCC, sindrom Lynch). Sedangkan untuk pasien berusia 70
tahun dan lebih dites hanya jika mereka memenuhi pedoman Bethesda yang direvisi
untuk HNPCC. [11, 12]

Setelah diagnosis jaringan (histopatologi) dikonfirmasi, penelitian laboratorium


dilakukan dengan tujuan menilai fungsi organ pasien (hati, ginjal) dalam mengantisipasi
prosedur diagnostik dan terapeutik dan juga untuk memperkirakan beban tumor.
Pencitraan yang memadai pada dada dan perut harus diperoleh untuk tujuan staging,
idealnya sebelum operasi. [1]
Salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting adalah CEA. Level CEA awal harus
diperoleh sebelum operasi karena membawa nilai prognostik dan ketika sangat tinggi
dapat mengindikasikan penyakit yang lebih lanjut dan metastase. Peningkatan kadar
serum CEA dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada pasien dengan kanker kolon
yang dapat dioperasi. [13]

Pencitraan dada dan perut yang memadai harus diperoleh untuk tujuan staging.
Umumnya dikerjakan CT scan abdomen untuk evaluasi abdomen dan liver. Sedangkan
untuk evaluasi metastase paru dapat dilakukan pencitraan berupa foto thorax atau CT
scan thorax. [1]
Positron Emission Tomography (PET) scan merupakan modalitas yang sangat berguna
untuk penentuan stadium dan penilaian kanker kolon. Kombinasi PET-CT scan,
memungkinkan untuk mendeteksi deposit metastasis dan memiliki resolusi berbasis
jaringan tambahan CT. Namun perlu diketahui, beberapa histologi kanker kolon,
terutama varian mucinous signet-ring cell, tidak dapat divisualisasi dengan baik dengan
PET scan. [1]
Skrining

Di Amerika Serikat, terdapat pedoman bersama yang dikembangkan oleh American


Cancer Society, US Multi-Society Task Force on Colorectal Cancer, dan American College of
Radiology. [14] Pedoman ini merekomendasikan agar skrining untuk kanker kolon dan
polip adenomatosa dimulai pada usia 50 tahun pada pria dan wanita asimptomatik.
Skrining tersebut meliputi:
 Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun

 Kolonoskopi setiap 10 tahun


 Barium enema kontras ganda setiap 5 tahun

 CT kolonografi setiap 5 tahun

Barium enema kontras ganda:


tampak gambaran shouldering atau apple core pada intralumen kolon sigmoid (tampak
lumen menyempit)
Skrining untuk kanker kolon harus dimulai pada usia yang lebih dini, lebih sering, dan
lebih ketat untuk individu yang berisiko tinggi terkena kanker kolorektal, seperti:

 Riwayat polip kolorektal sebelumnya

 Riwayat kanker kolorektal sebelumnya

 Riwayat keluarga dengan kanker kolon

 Riwayat penyakit radang usus


CT kolonografi: tampak massa intralumen dekat ileocaecal junction (tanda panah
kuning)
Tes Molekuler

Pengobatan kanker kolon metastatik semakin maju oleh adanya tes molekuler tumor.
Pada bulan April 2015, Perhimpunan ahli patologi klinik di Amerika, asosiasi ahli
patologi molekuler, dan perhimpunan onkologi klinis di Amerika mengeluarkan
rancangan pedoman berbasis bukti tentang pengujian molekuler kanker kolorektal. Di
antara rekomendasinya adalah sebagai berikut [16]:

1. Uji mutasi RAS dari jaringan karsinoma kolon harus dilakukan untuk pasien yang
dipertimbangkan untuk terapi anti-EGFR; analisis ini harus mencakup kodon KRAS dan
NRAS 12, 13 dari ekson 2; 59, 61 dari ekson 3; dan 117 dan 146 dari ekson 4

2. Analisis mutasi BRAF V600 harus dilakukan bersamaan dengan uji defisiensi mismatch
repair (dMMR)/microsatellite instability (MSI) untuk stratifikasi prognostik
3. Tes dMMR / MSI harus dilakukan pada semua kanker kolon untuk stratifikasi
prognostik dan identifikasi pasien sindrom Lynch (uji mutasi BRAF tidak diperlukan
untuk sindrom Lynch jika tidak ada MSI-H dengan kehilangan MLH1)
4. Pengujian penanda molekuler (KRAS, NRAS, BRAF, dan dMMR / MSI) dari jaringan
karsinoma kolon primer dapat diterima; jika jaringan metastatik tersedia, jaringan
metastatik itu juga dapat diterima dan lebih diharapkan pada pasien dengan kanker
kolon yang sudah bermetastasis

Staging

Sistem staging TNM telah menjadi standar internasional untuk kanker kolon. Sistem ini
menggunakan tiga deskriptor sebagai berikut [17]:
T untuk tumor primer

N untuk keterlibatan kelenjar getah bening

M untuk metastasis

Kategori T adalah sebagai berikut [17]:

Tx: Tidak ada deskripsi sejauh mana tumor itu mungkin terjadi karena informasi yang
tidak lengkap

Tis: Karsinoma in situ; tumor hanya melibatkan mukosa muskularis

T1: Kanker telah tumbuh melalui mukosa muskularis dan meluas ke submukosa

T2: Kanker telah tumbuh melalui submukosa dan meluas ke muscularis propria

T3: Kanker telah tumbuh melalui muskularis propria dan masuk ke lapisan terluar usus
tetapi tidak melaluinya; belum mencapai organ atau jaringan terdekat

T4a: Kanker telah tumbuh melalui serosa (peritoneum visceral)

T4b: Kanker telah tumbuh melalui dinding kolon dan menginfiltrasi jaringan atau organ
di sekitarnya
Lapisan
kolon terkait dengan lokasi invasi tumor
Kategori N adalah sebagai berikut:

Nx: Tidak ada deskripsi keterlibatan kelenjar getah bening yang mungkin karena
informasi yang tidak lengkap

N0: Tidak ada sel kanker di kelenjar getah bening di dekatnya

N1a: Sel kanker ditemukan di satu kelenjar getah bening di dekatnya

N1b: Sel kanker ditemukan dalam dua hingga tiga kelenjar getah bening di sekitarnya

N1c: Deposit kecil sel kanker ditemukan di area lemak dekat kelenjar getah bening,
tetapi tidak di kelenjar getah bening itu sendiri.

N2a: Sel kanker ditemukan pada empat hingga enam kelenjar getah bening di
sekitarnya

N2b: Sel kanker ditemukan dalam tujuh atau lebih kelenjar getah bening di sekitarnya
Kategori M adalah sebagai berikut:

M0: Tidak terlihat penyebaran jauh

M1a: Kanker telah menyebar ke satu organ atau set kelenjar getah bening yang jauh

M1b: Kanker telah menyebar ke lebih dari satu organ atau kumpulan kelenjar getah
bening yang jauh, atau telah menyebar ke bagian peritoneum yang jauh.

Berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2018, stadium kanker kolon
terbagi menjadi: [18]
Stadium Grup

Tis

N0

M0
0

T1 or T2

N0

M0
I

T3

N0

M0
IIA

T4a

N0

M0
IIB

T4b
IIC
N0

M0

T1 or T2

N1/N1c

M0

atau

T1

IIIA N2a

M0

T3 or T4a, N1/N1c

M0

Atau

T2 or T3

N2a

M0

Atau

IIIB T1 or T2 N2b

M0

T4a

N2a
M0

Atau

T3 or T4a

N2b

IIIC M0

Atau

T4b

N1 or N2

M0

Any T

Any N

M1a
IVA

Any T

Any N

M1b
IVB

Any T

Any N

M1c
IVC
Terapi
Pembedahan adalah satu-satunya modalitas kuratif untuk kanker kolon yang
terlokalisir (stadium I-III). Reseksi metastase (metastasektomi) berpotensi memberikan
satu-satunya pilihan kuratif untuk pasien dengan penyakit metastasis terbatas pada
hati dan / atau paru-paru (stadium IV), tetapi operasi reseksi kolon elektif yang tepat
pada pasien dengan penyakit stadium IV masiih merupakan perdebatan. [1]

Kemoterapi ajuvan adalah standar untuk pasien dengan penyakit stadium III.
Penggunaannya pada stadium II masih kontroversial, dengan penelitian yang sedang
berlangsung untuk mengkonfirmasi penanda mana yang mungkin mengidentifikasi
pasien yang akan mendapat manfaat kemoterapi. Kemoterapi telah menjadi manajemen
standar untuk pasien dengan kanker kolon metastatik (stadium IV). [19]

Saat ini, peran radioterapi terbatas pada terapi paliatif untuk metastasis tertentu
seperti metastasis tulang atau otak. [1]

Operasi

Prinsi operasi adalah untuk mengangkat tumor primer dengan margin yang memadai
termasuk area drainase limfatik. Kolektomi standar untuk adenokarsinoma kolon
digambarkan pada gambar di bawah ini:
Kolektomi standar untuk kanker kolon
Untuk lesi di sekum dan kolon kanan, dilakukan hemikolektomi kanan. Pada saat
hemikolektomi kanan, arteri ileokolika, kolika kanan, dan cabang kanan kolika media
diligasi dan dipotong. Jika omentum melekat pada tumor, omentum tersebut harus
diangkat secara bersamaan dengan tumor (secara en block). [1]

Untuk lesi pada kolon transversum proksimal atau tengah, hemikolektomi kanan yang
diperluas dapat dilakukan. Dalam prosedur ini, arteri ileokolika, kolika kanan, dan
kolika media diligasi dan dipotong, tumor diangkat dengan mesenteriumnya. [1]
Untuk lesi pada fleksura lienalis dan kolon kiri, dilakukan hemikolektomi kiri. Cabang
kiri aretri kolika media, vena mesenterika inferior, dan arteri kolika kiri bersama
mesenteriumnya diangkat dalam satu spesimen dengan tumor. [1]

Untuk lesi pada sigmoid, arteri mesenterika inferior dipotong pada pangkalnya, dan
diseksi berlangsung menuju panggul sampai diperoleh margin yang adekuat. [1]

Kolektomi total dengan anastomosis ileorektal diperlukan untuk pasien dengan: [1]

 Hereditary nonpolyposis colon cancer syndrome (HNPCC)


 Attenuated familial adenomatous polyposis (FAP)
 Kanker kolon metakronus di segmen usus yang terpisah

 Obstruksi usus ganas akut yang status usus bagian proksimalnya tidak diketahui

Kemoterapi

Regimen yang digunakan untuk kemoterapi ajuvan (pasca operasi) umunya adalah 5-FU
dengan leucovorin atau capecitabine, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan
oxaliplatin. [20, 21, 22]

Untuk pasien dengan kanker kolon stadium III, pedoman dari National Comprehensive
Cancer Network (NCCN) merekomendasikan durasi kemoterapi ajuvan sebagai berikut
[23]:
 Stadium III risiko rendah: CapeOx selama 3 bulan atau FOLFOX selama 3-6 bulan

 Stadium III risiko tinggi: CapeOx selama 3-6 bulan atau FOLFOX selama 6 bulan

Peran kemoterapi ajuvan untuk kanker kolon stadium II masih kontroversial.


Pembedahan saja biasanya bersifat kuratif untuk kanker kolon stadium II, tetapi sekitar
20-30% dari pasien ini mengalami kekambuhan tumor meninggal karena penyakit
metastasis. Kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien dengan kanker kolon
stadium II yang risiko tinggi. Dikatakan risiko tinggi bila terdapat salah 1 dari berikut:
tumor T4, kurang dari 12 kelenjar getah bening yang diperiksa, positive margin, high-
grade tumor, perineural invasion (PNI), dan lymphovascular invasion (LVI). [24]
Terapi target

Terapi target merupakan modalitas terapi baru yang cukup menjanjikan untuk
pengobatan kanker kolon. Obat bekerja secara spesifik pada target molekuler yang
hendak dituju. Terapi target umumnya digunakan untuk kanker kolon yang telah
mengalami metastase dan diberikan bersamaan dengan kemoterapi. Terapi target yang
digunakan dalam pengobatan kanker kolon termasuk antibodi monoklonal terhadap
faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth Factor /VEGF) dan
reseptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor Receptor /EGFR),
serta inhibitor kinase. Obat-obat tersebut tersebut meliputi: [25-26]
 Bevacizumab (Avastin, Mvasi)

 Cetuximab (Erbitux)

 Nivolumab (Opdivo)

 Panitumumab (Vectibix)

 Pembrolizumab (Keytruda)

 Regorafenib (Stivarga)

 Ziv-aflibercept (Zaltrap)

Radioterapi

Radioterapi tidak digunakan sebagai terapi ajuvan, dan dalam manajemen metastasis
hanya digunakan untuk terapi paliatif metastasis tertentu seperti metastasis tulang
atau otak.

Cara-cara yang lebih baru dan lebih selektif dalam memberikan terapi radiasi, seperti
radioterapi stereotactic (CyberKnife) dan tomoterapi, saat ini sedang diselidiki. Di masa
depan, teknik-teknik ini dapat memperluas indikasi untuk radioterapi dalam
pengelolaan kanker kolon. [1]

Etiologi
Kanker kolon adalah penyakit multifaktorial. Faktor genetik, paparan lingkungan
(termasuk diet), dan kondisi inflamasi pada saluran pencernaan semuanya terlibat
dalam perkembangan kanker kolon. [1]

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar
dengan kanker kolon. Mutasi herediter gen APC adalah penyebab familial adenomatous
polyposis (FAP), di mana individu yang terkena membawa risiko hampir 100% terkena
kanker kolon pada usia 40 tahun. [1]

HNPCC, sindrom Lynch menimbulkan sekitar 40% risiko pada seseorang untuk terkena
kanker kolon. Orang dengan sindrom ini juga berisiko lebih tinggi terkena kanker
urothelial, kanker endometrium, dan kanker lain. HNPCC adalah penyebab sekitar 6%
dari semua kanker kolon. [1]

Faktor diet masih diteliti hingga saat ini. [3] Studi epidemiologis mengaitkan
peningkatan risiko kanker kolon dengan diet tinggi daging merah dan lemak hewani,
diet rendah serat, dan rendahnya asupan buah dan sayuran. Sebuah studi oleh Aune et
al menemukan bahwa asupan serat yang tinggi dikaitkan dengan penurunan risiko
kanker kolorektal. Secara khusus, serat sereal dan biji-bijian ditemukan efektif dalam
mencegah kanker kolon. [4] Sebuah studi oleh Pala et al menyatakan bahwa asupan
yogurt yang tinggi juga dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolon. [5]

Obesitas dan gaya hidup seperti merokok, konsumsi alkohol, dan kehidupan sedenter
juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolon. [6] Dalam sebuah penelitian
prospektif besar, Cho dan rekannya melaporkan bahwa konsumsi alkohol yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolon, pada individu dengan riwayat
keluarga penyakit ini. Asosiasi itu signifikan hanya untuk kategori asupan alkohol
tertinggi 30 g atau lebih setiap hari. Dibandingkan dengan bukan peminum yang tidak
memiliki riwayat keluarga, individu yang mengkonsumsi 30 g / hari atau lebih dan yang
memiliki riwayat keluarga kanker kolon memiliki risiko relatif untuk kanker usus besar
sebesar 2,80. [7]

Penyakit radang usus seperti kolitis ulserativa dan penyakit Crohn juga membawa
peningkatan risiko terkena adenokarsinoma kolon. Risiko untuk terkena keganasan
kolon meningkat seiring dengan lamanya durasi penyakit radang usus dan luasnya
keterlibatan usus yang meradang. [1]

Prognosis
Perkiraan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien kanker kolorektal di
Amerika Serikat (semua stadium) adalah 65%. Kelangsungan hidup berbanding terbalik
dengan stadium: perkiraan angka kelangsungan hidup 5 tahun adalah 95% untuk
pasien dengan penyakit stadium I, 60% untuk mereka yang menderita penyakit stadium
III, dan 10% untuk mereka yang menderita penyakit stadium IV (metastasis). [27]

Sebuah studi oleh Phipps et al menemukan bahwa merokok juga dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas setelah diagnosis kanker kolon, terutama pada pasien yang
kankernya memiliki ketidakstabilan mikrosatelit yang tinggi.[28] Sebuah studi oleh
Dehal et al menemukan bahwa pasien dengan kanker kolon dan diabetes mellitus tipe 2
memiliki risiko kematian yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak, terutama risiko
yang lebih tinggi karena penyakit kardiovaskular.[29]

Anda mungkin juga menyukai