Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Tuberkulosis Paru (selanjutnya disebut sebagai TB paru) adalah suatu bentuk tersering
dari penyakit Tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi multi sistemik yang
paling umum, dengan berbagai macam manifestasi dan gambaran klinis, dimana paru-
paru adalah lokasi yang paling umum untuk perkembangan penyakit tuberkulosis ini.

Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular paru-paru yang disebabkan oleh


basil Mycobacterium tuberculosis, yang merusak jaringan paru-paru dengan manifestasi
berupa gejala batuk lebih dari 3 minggu yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa,
demam, keringatan malam hari, batuk darah, dan penurunan berat badan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya gambaran klinis klasik, Mantoux test
atau tuberculin skin test (TST), pemeriksaan foto rontgen dada, sputum BTA, kultur
dahak, ataupun interferon-gamma release assay (IGRA) spesifik antigen
Tatalaksana TB paru bertujuan untuk mengobati dan menyembuhkan tuntas pengidap
TB, dengan meningkatkan akses kepada layanan berpusat pada pasien TB, TB/HIV dan
MDR TB (multi-drug resistant-TB) yang berkualitas, serta memperkuat platform TB
[1,2]
Edukasi dan promosi kesehatan harus diberikan kepada pasien, keluarganya dan
masyarakat untuk mencegah penularan dan berkembangnya penyakit TB [1,2]

Upaya pengendalian penyakit ini juga dilakukan dengan menemukan kasus baru TB
paru, pencarian TB laten, diagnosis, dan tatalaksana adekuat [1,2]

Gambaran infiltrat pada TB paru bilateral. Sumber: anonim, PHIL CDC, 1972

Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis paru (TB paru) di Indonesia masih cukup tinggi. TB
merupakan salah satu dari sepuluh tertinggi penyebab kematian di seluruh dunia.

Global
TB merupakan salah satu dari sepuluh tertinggi penyebab kematian di seluruh
dunia. Sekitar dua milyar orang atau 1/3 penduduk dunia diperkirakan terkena TB
laten.
Dari 10,4 juta orang terkena TB di tahun 2015, 1,8 juta berakhir dengan kematian
(diantaranya ada 0,4 juta kematian orang yang terkena TB dan HIV). Dari satu juta
anak-anak usia ≤14 tahun yang terkena TB, sebanyak 170.000 anak-anak meninggal
akibat penyakit ini pada tahun 2015.

Lebih dari 95% kematian TB tersebut terjadi di negara-negara berpendapatan rendah


dan menengah, 60% kematian tersebut ada pada enam negara, secara berurutan: India,
Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan.

Sekitar 480.000 orang menjadi resisten terhadap obat anti TB, dengan multidrug-
resistant TB (MDR-TB).
Insiden TB menurun rata-rata 1,5% per tahunnya sejak tahun 2000. Hal ini perlu
diakselerasikan ke penurunan 4%-5% tiap tahunnya supaya mencapai tujuan "End TB
Strategy" di tahun 2020. Mengakhiri epidemik TB sebelum tahun 2030 adalah salah
satu target kesehatan dari Sustainable Development Goals. [11,12, 22]
Indonesia
Pada tahun 2015, insiden kasus baru TB paru, termasuk HIV dengan TB, adalah 395 per
100.000 populasi. Insiden meningkat seiring dengan meningkatnya usia, dimana laki-
laki lebih banyak terkena dibanding wanita.

Angka kematian atau mortalitas TB adalah 40 per 100.000 populasi. Keberhasilan terapi
(treatment success rate) pada pengidap TB baru dengan smear-positif adalah 84% untuk
yang terdaftar sebagai pasien di tahun 2014.
Pada tahun 2011, terungkap tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di
Indonesia, yaitu:

1. Waktu pengobatan TB yang relatif lama, sekitar 6-8 bulan, menjadikan penderita TB
berhenti berobat (drop out) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum
selesai
1. Masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang
cepat

2. Munculnya permasalahan kebal terhadap bermacam obat (MDR-TB)

Masalah penderita TB laten [13, 14]

Prognosis
Prognosis tuberkulosis paru (TB paru) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih buruk.
Komplikasi
Komplikasi tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyebaran TB keluar jaringan paru
atau disebut sebagai extra-pulmonary tuberculosis. TB Paru dapat menyebar ke pleura
dan menyebabkan TB Pleura. Pada ruang pleura dapat terjadi respon hipersensitivitas
terhadap protein kuman TB. Keadaan ini menyebabkan nyeri pleura dan demam,
bahkan terkadang empiema juga dapat terbentuk.
Komplikasi lain adalah meningitis TB, yang ditandai dengan kesadaran menurun, status
mental terganggu, kaku kuduk, peningkatan tekanan intrakranial, ataupun gangguan
saraf kranial. Bila ada kecurigaan terjadinya keadaan ini, lakukan pungsi lumbal.
Apabila terdapat tuberkuloma, maka dapat dikonfirmasi melalui CT Scan atau MRI
kepala.

Selain itu, dapat pula terjadi perikarditis TB, dengan tanda berupa dada terasa sakit.
Keadaan ini dapat mengakibatkan tamponade jantung atau konstriksi jantung.

Komplikasi lain yang bisa timbul adalah TB Milier, scrofula, artritis TB, ataupun TB
spinal. [4]

Prognosis
Prognosis tuberkulosis (TB) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih buruk.
Seorang yang terinfeksi kuman TB memiliki 10% risiko dalam hidupnya jatuh sakit
karena TB. Namun penderita gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti orang yang
terkena HIV, malnutrisi, diabetes, atau perokok, memiliki risiko lebih tinggi jatuh sakit
karena TB.

Rekurensi pengidap TB yang mendapat terapi DOT (Directly Observed Treatment)


berkisar 0-14%.
Di negara-negara dengan angka TB yang tinggi, rekurensi biasanya terjadi setelah
pengobatan tuntas, hal ini cenderung dikarenakan oleh reinfeksi daripada relaps.

Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary, gangguan kekebalan


tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya. Prognosis baik bila diagnosis
dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin. [11, 25-27]

Patofisiologi
Patofisiologi Tuberkulosis paru (TB paru) melibatkan inhalasi Mycobacterium
tuberculosis, suatu basil tahan asam (acid-fast bacilli). Setelah inhalasi, ada beberapa
kemungkinan perkembangan penyakit yang akan terjadi, yaitu pembersihan langsung
dari bakteri tuberkulosis, infeksi laten, atau infeksi aktif.
Ketika seorang pengidap TB paru aktif batuk, bersin, menyanyi, atau meludah, orang ini
dapat mengeluarkan titik-titik air liur kecil (droplets) ke udara bebas. Droplets yang
berisi Mycobacterium tuberculosis ini, apabila terinhalasi orang lain akan masuk sampai
di antara terminal alveoli paru. Organisme kemudian akan tumbuh dan berkembang
biak dalam waktu 2-12 minggu sampai jumlahnya mencapai 1000-10.000. Jumlah
tersebut akan cukup untuk mengeluarkan respon imun seluler yang mampu dideteksi
melalui reaksi terhadap tes tuberkulin. Namun, tubuh tidak tinggal diam, dan akan
mengirimkan pertahanan berupa sel-sel makrofag yang memakan kuman-kuman TB
ini. Selanjutnya, kemampuan basil tahan asam ini untuk bertahan dan berproliferasi
dalam sel-sel makrofag paru menjadikan organisme ini mampu untuk menginvasi
parenkim, nodus-nodus limfatikus lokal, trakea, bronkus (intrapulmonary TB), dan
menyebar ke luar jaringan paru (extrapulmonary TB). Organ di luar jaringan paru yang
dapat diinvasi oleh Mycobacterium tuberculosis diantaranya adalah sum-sum tulang
belakang, hepar, limpa, ginjal, tulang, dan otak. Penyebaran ini biasanya melalui rute
hematogen.
Apabila terjadi keterlibatan multi organ, maka TB paru akan memerlukan pengobatan
yang lebih lama, hal ini biasanya sebagai konsekuensi terhadap ketidakpatuhan
penderita terhadap tatalaksana pengobatan TB, atau keterlambatan diagnosis.

Kompleks Ghon
Lesi tipikal TB dinamakan granuloma epiteloid dengan nekrosis kaseosa di sentralnya.
Lesi ini paling sering berada diantara makrofag alveolar dalam daerah subpleura paru.
Basil tahan asam berproliferasi secara lokal dan menyebar melalui sistem limfatik ke
hilar nodus, membentuk kompleks Ghon. Lesi pertamanya mungkin sembuh dengan
sendirinya, dan infeksinya dapat menjadi laten sebelum gambaran klinisnya tampak.
Lesi-lesi yang kecil mungkin dapat sembuh secara total.
Fibrosis dapat terbentuk ketika enzim hidrolitik melarutkan dan meluluhkan lesi
granuloma TB, dimana lesi yang lebih besar akan dibungkus oleh kapsul fibrotik. Nodul-
nodul fibrokaseosa ini biasanya berisi basil TB hidup, dan merupakan lokus-lokus yang
tahan lama, serta berpotensi untuk aktif kembali atau membentuk kavitasi. Beberapa
nodul fibrokaseosa membentuk pengapuran, atau osifikasi yang dapat terlihat jelas
pada foto rontgen dada.

Infeksi TB Primer
Bila tubuh inang tidak mampu untuk menahan infeksi awal, penderita akan mengalami
infeksi TB primer yang progresif. Eksudat bersifat purulen disertai sejumlah besar basil
tahan asam yang dapat ditemukan dalam sputum dan jaringan paru. Granuloma
subserosa dapat ruptur dan masuk ke dalam ruang pleura atau perikardia, dan
menimbulkan inflamasi ataupun efusi serosa. Keadaan ini menjadikan penatalaksanaan
TB sangat sulit karena kemungkinan rekurensi penyakit setelah infeksi primer teratasi
tetap tinggi. [3-5]

Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru (TB paru) ditegakkan berdasarkan gambaran klinis klasik,
Mantoux test atau tuberculin skin test (TST), pemeriksaan foto rontgen dada, sputum
BTA, kultur sputum, ataupun interferon-gamma release assay (IGRA) spesific antigen.
Anamnesis
Anamnesis pada TB paru sebaiknya menggali adanya faktor-faktor risiko yang
menjadikan seseorang terkena TB, riwayat imunisasi, dan riwayat tes tuberkulin positif.
[3]
Gejala klasik TB paru yang dapat timbul adalah batuk-batuk berdahak lebih dari tiga
minggu yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa, demam, berkeringat di malam
hari, anoreksia dan penurunan berat badan, hemoptisis, rasa lemas, nyeri pada dada,
dan kedinginan.

Infeksi Primer TB paru mayoritas tidak terdiagnosis karena gejalanya ringan, tidak
spesifik, dan biasanya bisa sembuh sendiri.

Pada orang lanjut usia yang terkena TB paru, sistem kekebalan tubuh yang mulai
menurun tidak mencukupi untuk merespon infeksi TB. Karenanya, kemungkinan pasien
tidak memperlihatkan gejala atau tanda yang tipikal. Infeksi TB aktif pada kelompok
usia ini dapat bermanifestasi sebagai pneumonitis yang berlangsung lama. [3]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada TB paru biasanya menunjukkan ronkhi basah pada auskultasi
area lobus superior paru yang mengindikasikan adanya konsolidasi paru. Dapat pula
ditemukan limfadenopati yang tidak nyeri, berupa benjolan di supraklavikula atau
leher, yang bisa bilateral atau unilateral, di anterior atau posterior pada palpasi.

Tidak terdapatnya tanda yang signifikan pada pemeriksaan fisik, tidak menyingkirkan
kemungkinan pasien terkena TB paru. Hal ini dikarenakan, gejala klasik sering tidak
muncul pada pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi, khususnya mereka yang
menderita gangguan kekebalan tubuh atau orang lanjut usia. Sekitar 20% pengidap TB
aktif tidak menunjukkan gejala, karenanya pemeriksaan sputum perlu dilakukan,
bahkan ketika hasil foto rontgen dada sudah menampakkan gambaran tuberkulosis
paru.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding Tuberkulosis paru (TB paru) dibuat berdasarkan gambaran klinis
yang muncul. Beberapa penyakit yang bisa didiagnosis banding dengan TB paru adalah:

 Blastomikosis

 Tularemia
 Aktinomikosis

 Infeksi M avium-intracellulare, M. chelonae, M fortuitum, M gordonae, M kansasii, M


marinum, M xenopi
 Karsinoma sel skuamosa [16]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan pada tuberkulosis paru (TB paru) adalah
tuberkulin tes, foto rontgen dada, tes resistensi OAT, gene Xpert MTB/ RIF assay, dan
DNA sequencing.
Tuberculin Skin test (TST) atau Tes Mantoux

Tuberculin skin test (TST) positif menunjukkan kecenderungan terjadinya infeksi


primer TB. Tes ini merupakan metode standar dalam menentukan apakah seseorang
terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Konversi TST biasanya terjadi 3-6
minggu setelah paparan terhadap kuman TB. Sekitar 20% pasien-pasien dengan TB
aktif, khususnya pada penyakit yang sudah berlanjut, memiliki hasil TST yang normal.
Pembacaan hasil TST dilakukan antara 48 dan 72 jam setelah dimasukkan 0,1 ml
suntikan tuberkulin PPD secara intradermal. Suntikan yang benar akan menimbulkan
gelembung kulit kecil pucat berdiameter 6-10 mm. Reaksi terhadap suntikan akan
teraba mengeras, atau membengkak, disebut sebagai indurasi yang diukur diameternya
dalam milimeter ke arah aksis longitudinal pada lengan bawah bagian ventral. Eritema
tidak ikut diukur sebagai indurasi. [4,17,18]

Tuberculin skin test. Sumber: G Knobloch, G Benenson, PHIL CDC, 2004.


Hasil reaksi TST diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Indurasi ≥5 mm, dianggap positif pada:

 Orang terinfeksi HIV

 Orang yang baru tertular kuman TB

 Seseorang yang hasil foto rontgen dadanya menunjukkan adanya perubahan


fibrotik yang konsisten dengan TB terdahulu

 Pasien dengan transplantasi organ

 Orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh karena misalnya mengonsumsi


>15 mg/ hari prednison selama satu bulan atau lebih, atau antagonis TNF alfa

2. Indurasi ≥10 mm, dianggap positif pada:

 Orang yang pernah bepergian ke negara-negara dengan prevalensi tinggi TB


dalam waktu <5 tahun
 Pengguna obat-obat terlarang dengan cara suntikan

 Tempat-tempat yang padat penduduknya

 Pekerja di laboratorium mikrobiologi

 Orang-orang dengan kondisi klinis yang lemah, yang memudahkan mereka


memiliki risiko tinggi terkena TB

 Anak-anak usia <4 tahun

 Bayi, anak dan remaja yang terpapar oleh orang dewasa yang memiliki risiko
tinggi terkena TB

3. Indurasi ≥15 mm, dianggap positif pada:

 Tiap orang, termasuk mereka yang tidak memiliki faktor risiko terkena TB

 Namun, program TST ini semestinya dilakukan hanya pada orang-orang dengan risiko
tinggi saja

Beberapa orang dapat bereaksi terhadap TST meski mereka tidak


terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hal ini disebut reaksi false-positif. Penyebab
reaksi false positif di antaranya adalah:
 Infeksi dengan Mycobacterianon-tuberkulosis
 Riwayat vaksinasi BCG sebelumnya

 Cara penyuntikan TST yang tidak benar

 Intepretasi yang tidak benar terhadap reaksi TST

 Antigen yang digunakan tidak benar

Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti


yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat
diambil dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal,bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.

Umumnya, sampel yang digunakan adalah dahak karena lebih mudah untuk diambil.
Dahak dapat diambil dengan cara setiap pagi selama 3 hari berturut-turut, ataupun
dengan pengambilan dahak sewaktu-pagi-sewaktu.

Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah :

 Apabila didapatkan 2 kali positif, dan 1 kali negatif → dianggap basil tahan asam (BTA)
positif
 Apabila didapatkan 1 kali positif, dan 2 kali negatif → BTA diulangi 3 kali, kemudian bila
1 kali positif, dan 2 kali negatif maka dianggap BTA positif. Namun apabila 3 kali negatif
maka dianggap BTA negatif

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat dibedakan menjadi TB paru BTA
positif dan BTA negatif.

Yang dimaksud TB paru BTA positif adalah :

1. Apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

2. Apabila hasil satu pemeriksaan spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
pemeriksaan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

3. Apabila hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan hasil
biakan positif

Yang dimaksud TB paru BTA negatif adalah :

1. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan hasil negatif , namun gambaran
klinis dan radiologik menunjukkan TB paru aktif, dan tatalaksana dengan antibiotik
sprektum luas tidak berespon

2. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali negatif, namun biakan positif

Pemeriksaan bakteriologik lainnya adalah pemeriksaan biakan kuman.


Untuk Mycobacterium tuberculosis media biakan yang digunakan adalah egg-base media
seperti Lowenstein-Jensen, ataupun agar media seperti Middle-Brook. Pemeriksaan ini
merupakan baku emas dalam diagnosis TB Paru.
Gambaran mikroskopis Mycobacterium tuberculosis. Sumber: anonim, PHIL CDC.

Foto Rontgen dada

Foto rontgen dada dapat dilakukan dalam posisi lateral, posteroanterior, dan lordotik
apikal. Gambaran yang mungkin didapatkan di antaranya adalah :

 Kavitas, menandakan infeksi yang sudah berlanjut dan diasosiasikan dengan adanya
jumlah kuman TB yang tinggi

 Infiltrat non-kalsifikasi berbentuk bulat, ini mesti dibedakan dengan karsinoma paru

 Nodul-nodul kalsifikasi yang homogenus, ukuran 5-20 mm, seperti tuberkuloma


menunjukkan infeksi lama

Pasien dengan hasil röntgen dada seperti tersebut diatas dan memiliki gambaran klinis
TB paru yang khas sudah dapat dikatakan terkena TB paru walaupun tanpa dilakukan
pemeriksaan sputum. Sebaliknya, bila gambaran rontgen dada normal, tidak
menyingkirkan TB terutama pada pasien dengan kekebalan tubuh menurun.

Pada TB primer aktif, gambaran rontgen dada tidak spesifik, bahkan kadang normal.
Secara tipikal dapat muncul gambaran seperti pneumonia dengan proses infiltrasi pada
bagian tengah atau bawah paru yang cenderung menyerupai gambaran community-
acquired pneumonia (CAP).
Pada kasus reaktivasi TB, gambaran klasik lesi berlokasi pada segmen posterior lobus
kanan bagian atas, segmen apikoposterior pada lobus kiri atas, dan segmen apikal pada
lobus-lobus bagian bawah. Kavitasi adalah gambaran yang paling umum. Sedangkan
tuberkuloma yang sembuh akan menjadi jaringan parut, dimana parenkimnya akan
hilang dan terjadi kalsifikasi.

Pada Infeksi TB dan HIV, lesi yang muncul akan atipikal, walaupun sekitar 20% pasien
dengan HIV positif dan TB aktif memiliki hasil rontgen dada yang normal

Pada TB laten dan TB paru yang telah sembuh, gambaran dapat berbeda-beda.
Gambaran rontgen dapat berupa nodul-nodul yang radioopak, dengan atau tanpa
kalsifikasi pada hilus atau lobus-lobus atas. Selain itu, dapat pula muncul gambaran
nodul-nodul yang kecil, dengan atau tanpa jaringan parut fibrotik pada lobus-lobus atas.
Gambaran lesi-lesi fibrotik dan nodul-nodul dapat jelas dibedakan, dan tampak
memiliki densitas dengan gambaran radioopak dan tepi yang jelas. Pasien dengan
gambaran rontgen dada seperti ini yang disertai hasil positif TST dikatakan sebagai
karier laten.

Pada pasien TB Milier, rontgen dada akan menunjukkan lesi-lesi nodular kecil
berukuran sekitar 2 mm yang banyak, menyerupai bulir-bulir yang merupakan
gambaran khas TB milier. Namun, gambaran rontgen dada bisa bervariasi dan dapat
disertai gambaran infiltrat-infiltrat pada lobus atas dengan atau tanpa adanya kavitasi.

Apabila terjadi pleural TB, pada rontgen dada akan tampak gambaran empiema
ataupun efusi pleura.

Konversi interferon-gamma release assay (IGRA) yang positif merupakan cerminan


reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap protein Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk skrining infeksi TB laten.
Meski tes IGRA lebih mahal, memerlukan teknik lab yang lebih canggih, dan prosesnya
lebih rumit, namun tes ini lebih menguntungkan dibandingkan TST, karena pasien
hanya perlu sekali berkunjung ke tempat pemeriksaan. Selain itu, tes juga dilakukan
secara ex vivo, tidak ada efek booster setelah pemeriksaan, dan tidak bergantung pada
riwayat vaksinasi BCG.
Namun, perlu diingat bahwa baik TST atau IGRA tidak cukup sensitif untuk
menyingkirkan seorang pasien terkena TB. Pada bayi dan orang dengan imunosupresif
kedua tes ini hendaknya diintepretasikan dengan hati-hati. [6,19]

Tes resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Tes resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) dilakukan pada pasien yang dicurigai
terdapat MDR-TB. Tes ini memerlukan waktu yang lama, karena untuk mendapatkan
hasilnya dibutuhkan waktu sekitar 3-8 minggu.

Gene Xpert MTB/RIF Assay

Uji gene Xpert Mycobacterium tuberculosis (MTB) merupakan tes diagnostik yang cepat
untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis kompleks. Tes ini mampu menguji
kepekaan kuman terhadap rifampisin dalam waktu kurang dari dua jam. Tes ini juga
mudah digunakan, sehingga hanya membutuhkan pelatihan teknis yang singkat pada
petugas laboratorium. Tes ini juga dapat mengidentifikasi secara cepat kemungkinan
MDR-TB, dimana apabila didapatkan kuman resisten terhadap rifampisin maka kuman
akan resisten pula terhadap isonizid (INH). Perlu diingat bahwa intepretasi hasil tes ini
mesti seiring dengan evaluasi gambaran klinis pasien, hasil radiografi, dan tes
laboratorium lainnya. [20]
DNA Sequencing

Pemeriksaan menggunakan DNA sequencing lebih cepat untuk mendeteksi resistensi


OAT. Pemeriksaan ini memiliki spesifitas dan senstivitas yang tinggi terhadap INH,
rifampisin, etambutol dan pirazinamide. [21,22]
Serologi HIV

Pemeriksaan serologi HIV dapat dilakukan pada semua pasien dengan suspek TB yang
berisiko. Pemeriksaan ini juga sebaiknya dilakukan pada gambaran kasus TB paru yang
berat atau disertai resistensi obat ataupun keterlibatan organ ekstra pulmonal.

Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Bila ada kecurigaan TB milier dapat dilakukan biopsi sumsum tulang, hepar atau kultur
darah. Selain itu, CT Scan dada bisa dilakukan bila foto rontgen dada sangat meragukan.

Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan penyakit tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan kepada
pasien, masyarakat dan keluarganya untuk mencegah penularan dan perkembangan
penyakit.

Upaya Pengendalian dan Penanggulangan TB


Rencana global penanggulangan TB didukung oleh 6 komponen oleh WHO (World
Health Organization), yaitu:
1. Mengejar peningkatan dan perluasan DOTS (Directly Observed Treatment, Short-
course) yang berkualitas tinggi
2. Menangani kasus ko-infeksi TB-HIV, kekebalan ganda terhadap obat anti TB dan
tantangan lainnya

3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan

4. Menyamakan persepsi semua penyedia pelayanan

5. Memberdayakan pasien TB dan masyarakat

6. Mewujudkan dan mempromosikan penelitian

Strategi nasional pengendalian TB telah berjalan dengan petunjuk internasional WHO


DOTS dan strategi Stop TB sebelumnya. Kemudian program ini berlanjut dengan
rencana global penanggulangan ”End TB Strategy” di tahun 2020. Mengakhiri epidemik
TB sebelum tahun 2030 adalah salah satu target kesehatan dari Sustainable
Development Goals.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk
mempertahankan kontrol terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang yang
memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur selama 6-8
bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus; dan sistem
laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.

Strategi penanggulangan TB terus diperluas, termasuk pengelolaan kasus kekebalan


obat anti TB, TB terkait HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia
layanan kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian. [1,2,14]

Upaya pencegahan dini


Imunisasi BCG dianjurkan diberikan pada bayi usia >2 bulan, sekitar 2-3 bulan. Booster
tidak dianjurkan. [27]

Upaya Edukasi dan Promosi Kesehatan pada Pasien dan Keluarganya


Program nasional yang berkolaborasi dengan donor organisasi internasional dalam
upaya pengendalian TB, juga memasukkan aspek edukasi dan promosi kesehatan
kepada pasien, keluarganya dan masyarakat. Profilaksis tuberkulosis, edukasi dan
promosi kesehatan ini berupa penerapan hidup sehat pada penderita TB dan
keluarganya dalam ruang lingkup sehari-hari:
 Mengupayakan posisi aliran udara ke kamar penderita TB tidak berhadapan dengan
posisi keberadaan seseorang

 Mengupayakan ruangan masuk sinar matahari

 Upayakan aliran udara yang masuk ruangan merupakan udara segar, berasal dari
taman, ruangan terbuka yang bebas polusi

 Pisahkan ruang tidur untuk sementara waktu


 Gunakan masker bila ingin bersama keluarga, untuk meminimalkan kemungkinan
tertularnya anggota keluarga lain

 Bila ada anggota keluarga yang menderita batuk lebih dari 3 minggu, yang tidak sembuh
dengan pengobatan biasa, segera periksakan ke dokter

 Edukasi dan promosikan pada pasien, keluarganya dan sebagai masyarakat secara
keseluruhan akan kepatuhan berobat, dan menerapkan pola hidup sehat [1,2]
Etiologi
Etiologi Tuberkulosis paru (TB paru) adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil tahan
asam, intraseluler, dan bersifat aerob.
Basil ini berukuran 0,2-0,5 µm x 2-4 µm, tidak berspora, non motil, serta bersifat
fakultatif. Dinding sel bakteri mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik,
kaya akan asam, dan fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman
terhadap serangan sel liposom tubuh dan juga dapat menahan zat
pewarna fuchsin setelah pembilasan asam (pewarna tahan asam).
Diketahui bahwa manusia adalah sebagai inang (host) terhadap pertumbuhan dan
perkembangbiakan basil tersebut.
Transmisi organisme ini secara primer terjadi melalui droplet di udara yang berasal dari
individu yang mengidap TB aktif, atau dalam stadium infeksius TB. Walaupun pernah
pula dilaporkan penularan melalui transdermal dan gastrointestinal.
Droplet rata-rata berdiameter 1-5 µm, yang dalam sekali batuk dapat menyemburkan
3000 droplet terinfeksi, dimana sedikitnya 10 basil saja sudah mampu mengawali
infeksi paru-paru.
Individu imunokompeten yang terpapar Mycobacterium tuberculosis biasanya akan
berstatus terinfeksi TB laten atau dorman. Hanya 5% dari individu-individu tersebut
yang kemudian akan memperlihatkan gambaran klinis. Namun, bila kekebalan tubuh
individu yang imunokompeten berubah menjadi menurun, atau tidak kompeten
maka Mycobacterium tuberculosis yang tadinya laten/dorman akan aktif kembali,
memperbanyak diri dan merusak jaringan paru.
Transmisi infeksi TB bergantung pada 3 hal, yaitu jumlah kuman yang dikeluarkan,
konsentrasi kuman, dan lamanya basil-basil TB berada di udara bebas

Faktor Risiko
Faktor risiko terkena Tuberkulosis Paru (TB paru) adalah sering terpapar dengan
pengidap TB aktif dan kekebalan tubuh yang menurun.

Terpapar Dengan Pengidap TB Aktif


Orang yang sering terpapar dengan pengidap TB aktif memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit ini. Orang yang sering terpapar diantaranya adalah:

1. seseorang yang berkunjung ke daerah atau negara dimana TB sangat umum, termasuk
Indonesia

1. Orang yang tinggal atau bekerja di tempat dimana TB lebih umum, seperti rumah
penampungan tuna wisma, penjara, ataupun panti werdha

2. Petugas kesehatan yang bekerja dengan pengidap TB aktif

3. Masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki akses kesehatan memadai

Kekebalan Tubuh Yang Menurun

Orang yang memiliki kekebalan tubuh yang tidak adekuat juga lebih mudah terkena
infeksi TB. Pada populasi ini, manifestasi TB juga biasanya lebih berat. Populasi yang
dimaksud contohnya adalah pada:

1. Orang yang terkena infeksi HIV

2. Orang dengan silikosis

3. Orang yang mendapat transplantasi organ

4. Orang yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid/imunosupresan, atau antagonis


tumor nekrosis faktor alfa

5. Anak usia kurang dari 5 tahun

6. Seseorang yang telah terinfeksi dengan basil TB dalam dua tahun terakhir

7. Orang dengan masalah kesehatan sehingga sulit bagi tubuhnya melawan penyakit,
seperti pada keganasan hematologis, kanker kepala-leher, gagal ginjal terminal,
gastrektomi, operasi bypass intestinal, sindrom malabsorpsi kronis, atau gizi buruk

8. Merokok, penyalahgunaan alkohol dan/atau obat-obat terlarang

9. Seseorang yang terkena TB laten atau TB aktif di masa lampau, namun pengobatannya
tidak tuntas

Penderita diabetes [3,5,6]

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat dibagi menjadi obat utama dan
tambahan.
Medikamentosa
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam
tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis obat
lini kedua adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.
Dosis OAT adalah sebagai berikut :

1. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral, atau 10
mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT, maksimal 600 mg/hari.
Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik penyerapannya.

2. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi 300 mg per hari
untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien dengan berat badan >30 kg
diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin
B6) 25-50 mg sekali sehari untuk mencegah neuropati perifer

3. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30 mg/kgBB per hari
secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi dua gram per hari. Atau dapat
diberikan dua kali seminggu dengan dosis 50 mg/kg BB secara oral

4. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB. Sedangkan pada fase
lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30 mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu,
atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali seminggu

5. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular, tidak melebihi
satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis dua kali per minggu, 25-30
mg/kgBB secara intra muskular, tidak melebihi 1,5 gram per hari

Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia adalah :

 Kategori 1 : 2RHZE/4RH3

 Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3

Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1
diberikan dengan cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan.
[1]

Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sudah diberikan tatalaksana
sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1,
dan pasien yang diobati kembali setelah putus obat. [1]

Terapi MDR-TB

Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan sebelumnya, dimana obat-
obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan gunakan obat yang sudah
resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan MDR-TB kepada spesialis
penyakit paru.

Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien dengan MDR-TB,
dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :

 Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol, rifampisin


 Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin, streptomisin

 Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin, moxifloksasin, ofloksasin

 Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya: cycloserine, terizidone, asam


para aminosalisilat (PAS), etionamide, protionamide
 Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan rutin karena
efektifitasnya masih belum jelas. Namun diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana
ke 4 grup obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada pasien, seperti pada
XDR-TB.

Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan spesialis


penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid, amoksisilin klavulanat,
thiocetazone, imipenem/cilastatin, klaritromisin, INH dosis tinggi. [24]

Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin dan kanamisin yang bersifat ototoksik pada janin. Pemberian kedua obat
tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan pada bayi
ketika lahir.

Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian piridoksin 50 mg/hari.
Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan
pada trimester ketiga. [1]

Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman bagi ibu menyusui. Tatalaksana
OAT yang adekuat akan mencegah penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari
ibu penderita TB, terapi profilaksis isoniazid dapat diberikan. [1]
Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu dirawat inap. Namun
akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau komplikasi berikut :

 Batuk darah masif

 Keadaan umum dan tanda vital buruk

 Pneumotoraks

 Empiema

 Efusi pleural masif/bilateral

 Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura

Kriteria Sembuh
Seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB Paru) dianggap sembuh apabila memenuhi
kriteria :

 BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

 Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau menunjukkan perbaikan

 Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negatif

Monitoring
Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan dua tujuan, yaitu
evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi maupun efek samping obat.

Evaluasi Pengobatan

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, radiologik, dan bakteriologik. Pada evaluasi
klinik, penderita diperiksa setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan,
kemudian dilanjutkan setiap 1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan berobat,
respon pengobatan, dan ada tidaknya efek samping pengobatan. Pada setiap kali follow
up, pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan berat badan diukur.
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
Evaluasi ini dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada
akhir pengobatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan basil tahan asam (BTA)
atau biakan apabila tersedia.
Evaluasi radiologik dilakukan menggunakan foto rontgen toraks. Evaluasi dilakukan
sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan.

Pada penderita yang telah dinyatakan sembuh, evaluasi tetap dilakukan selama 2 tahun
pertama untuk mendeteksi adanya kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan pada
bulan ke-3, 6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan pemeriksaan foto
rontgen dada dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh.

Evaluasi Efek Samping Obat

Pasien TB yang diberikan pirazinamid harus diperiksa baseline serum asam urat dan
tes fungsi hati. Sedangkan pasien yang diterapi etambutol mesti diperiksa baseline
ketajaman penglihatannya dan juga secara periodik dilakukan tes buta warna merah-
hijau, menggunakan tes Ishihara

Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor ketajaman pendengarannya, tes


fungsi ginjal secara berkala, dan pemeriksaan neurologis berkala.

Monitoring ini terintegrasi dalam program nasional bersama WHO, yaitu strategi DOTS
(Directly Observed Treatment, Short-course) sejak tahun 1995, yang dalam
perkembangannya menghadapi banyak tantangan, sehingga diperluas pada tahun 2005
menjadi strategi Stop TB untuk mengoptimalkan mutu DOTS.
Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak berpusat kepada aspek
kuratif masih bergantungan pada pendanaan dari donor internasional selain alokasi
APBD yang masih rendah [1]. Khusus warga DKI Jakarta yang berobat TB melalui
puskesmas, pemprov DKI memberikan subsidi pengobatan TB secara gratis. Pada
tingkat pertama, pasien yang datang ke puskesmas akan ditangani oleh seorang dokter
umum, dan bilamana dianggap perlu, pasien TB dirujuk ke rumah sakit setempat yang
memiliki fasilitas pemeriksaan spesialistik.

Anda mungkin juga menyukai