1
TINJAUAN PUSTAKA
2
kerja obat dan untuk mencegah resistensi antibiotik. Namun, sinergi
antibiotik hanya terbukti bermakna secara in vitro dan pada pasien dengan
neutropenia, bakteremia, atau probabilitas kematian lebih besar dari 25%.3
Sepsis adalah penyebab utama AKI pada pasien sakit kritis; setengah
dari pasien sepsis memerlukan acute renal support.3,1 Dengan demikian,
penting untuk menurunkan angka kematian dan biaya dan waktu
perawatan. Penggunaan antibiotik dini berdasarkan riwayat pasien mengenai
penggunaan antibiotik dan sumber patogen komunitas atau rumah sakit
menjadi salah satu bentuk terapi yang dapat menurunkan angka sepsis.3
Pada pasien sepsis, perubahan distribusi volume dan renal clearance
dapat mempengaruhi konsentrasi antibiotik. Pasien yang menjalani acute
renal support melalui dialisis juga berisiko mendapat antibiotik dalam jumlah
yang tidak optimal.3,2 Mempertahankan dosis antibiotik yang optimal adalah
kunci untuk mencegah resistensi bakteri, infeksi bakteri oportunistik, dan
kematian. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas mikrobiologis, sensitivitas
antibiotik, dan farmakokinetik obat.3
Berkaitan dengan penggunaan antibiotik pada pasien dengan sepsis, ada
satu pendekatan yang dianjurkan: pemberian dini agen antibiotik spektrum
luas yang diikuti oleh AST untuk menargetkan terapi.2
Parameter yang digunakan untuk mengukur aktivitas mikrobiologis
antibiotik adalah konsentrasi penghambatan minimum (Minimum Inhibitory
Concentration, MIC). MIC adalah pengukuran in vitro dari efektivitas
antibiotik terhadap mikroorganisme.1
Farmakokinetik dan farmakodinamik adalah pedoman yang menentukan
seberapa banyak dan seberapa sering suatu obat diberikan.1 Farmakokinetik
menggambarkan penyerapan, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat;
sementara farmakodinamik menggambarkan dampak dari perubahan kadar
serum dan respons dari pemberian obat.3,1 Dengan demikian, farmakodinamik
antibiotik bisa sangat terkait dengan waktu: paparan MIC dalam jangka
tertentu (pada betalaktam, klaritromisin, eritromisin, karbapenem, linezolid,
linkosamid1, dan flukonazol)1; atau tergantung konsentrasi (pada
3
aminoglikosida, metronidazol, daptomisin1, dan amfoterisin B)1. Efek
beberapa obat tergantung pada konsentrasi dan waktu, seperti pada kuinolon,
azitromisin, glikopeptida, tetrasiklin 1 (Gbr. 1).
4
antibiotik hidrofilik. Hal ini termasuk peningkatan Vd pada resusitasi cairan
atau gangguan fisiologis yang terjadi seiring meningkatnya keparahan
penyakit.5
Untuk mengoptimalkan terapi antibiotik dan memaksimalkan efek
obat pada patogen, serta mengurangi risiko resistensi antibiotik dan
menghindari keracunan obat1, pemilihan obat harus berdasarkan spektrum
bakteri yang ada, dimulai sejak dini, dan diberikan pada dosis yang sesuai
dengan farmakokinetik dan farmakodinamiknya.
Berbagai mekanisme mempengaruhi farmakokinetik antibiotik pada
pasien sakit kritis1 (Gbr. 2). Penyerapan obat secara oral dapat terganggu1
oleh dismotilitas lambung, penggunaan ventilasi mekanik, interaksi dengan
nutrisi yang diberikan, atau pH lambung yang salah karena pemberian
antibiotic bersamaan dengan PPI1. Demikian pula, pada pemberian subkutan,
penyerapan mungkin terganggu oleh berkurangnya sirkulasi kulit sekunder
dan redistribusi aliran darah yang diperberat oleh edema1. Dengan berbagai
pertimbangan, pemberian antibiotik intravena pada pasien sakit kritis menjadi
pilihan yang paling rasional.
5
fungsi endotel. Karena itu, terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskular ke
kompartemen interstisial yang meningkatkan volume distribusi obat
hidrofilik dan menurunkan kadar serum; seperti pada pemberian beta-
laktam, aminoglikosida, glikopeptida, linezolid, dan kolistin. Perubahan
volume distribusi juga terjadi karena penggunaan ventilasi mekanik,
hipoalbuminemia, dan penggunaan sirkuit ekstrakorporeal.1
Eliminasi obat juga berubah dalam kondisi septik; tanpa adanya
disfungsi organ, terjadi peningkatan perfusi ginjal dan bersihan kreatinin,
yang mengarah pada peningkatan eliminasi obat hidrofilik1 dan optimalisasi
rute metabolisme dan eliminasi lainnya (empedu dan transintestinal) 1, yang
menyebabkan penurunan konsentrasi serum antibiotik.1
Seiring memburuknya status kesehatan pasien, penurunan fungsi
jantung, dan penurunan perfusi organ, kemampuan antibiotik menurun (baik
karena gangguan hati ataupun ginjal), meningkatkan waktu paruh
(didefinisikan sebagai waktu hingga konsentrasi obat berkurang hingga
setengahnya)1, dan meningkatkan potensi toksisitas karena peningkatan
konsentrasi serum obat dan/atau akumulasi metabolitnya 1 . Namun, pasien
dengan acute kidney support menunjukkan peningkatan pembersihan obat,
tergantung pada berat molekul, entrainment protein, volume distribusi obat,
dan heterogenitas metode dialisis; peningkatan bersihan terjadi pada
penggunaan metode yang berkepanjangan, sering, atau lebih intens. 1
Metabolisme antibiotik pada hati juga dapat terpengaruh AKI. Hal ini belum
diketahui penyebabnya secara keseluruhan, tetapi kemungkinan disebabkan
oleh perubahan aliran darah hepar dan berkurangnya aktivitas enzim sitokrom
P450, terutama CYP3A.1
Rekomendasi dosis standar untuk antibiotik ditentukan melalui
penelitian yang dilakukan pada orang dewasa muda yang sehat dan individu
yang normal secara fisiologis1. Untuk menghindari kekurangan dosis atau
overdosis, penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien dengan gangguan
ginjal atau hati.1
6
Terapi Empiris Antibiotik
Masih ada perdebatan mengenai manfaat potensial kombinasi dan
monoterapi dalam manajemen infeksi empiris pada pasien sakit kritis. Terapi
kombinasi memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 1). Keuntungan
pertama adalah sinergi in vitro antara dua obat yang menghasilkan
peningkatan kerja antibiotik. Sebagai contoh, kombinasi kolistin-glikopeptida
(vankomisin atau teikoplanin) terbukti secara in vitro bersifat sinergis
terhadap bakteri MDR gram negatif, terutama Acinetobacter baumannii.
Keuntungan lain terapi kombinasi adalah rejimen kombinasi dapat
memberikan aktivitas yang lebih baik terhadap seluruh spektrum bakteri.5
Tabel 1. Beberapa keuntungan dan kerugian menggunakan terapi
empiris kombinasi
Advantages Disadvantages
Broader coverage that includes non- Possible antagonism
susceptible strains
Anti -bacterial synergy Possible superinfection
Prevents emergence of resistance May increase resistance
Increase toxicity
Increased costs
Salah satu kerugian yang paling signifikan dari terapi kombinasi adalah
risiko peningkatan toksisitas obat, terutama ketika aminoglikosida digunakan.
Meskipun peningkatan risiko dapat diterima pada populasi yang sakit kritis
dan berisiko tinggi terinfeksi organisme MDR, alasan ini kurang dapat
diterima pada pasien yang lebih stabil atau di mana risiko resistensi beta-
laktam lebih rendah. Risiko superinfeksi dengan bakteri resisten atau infeksi
jamur merupakan risiko lainnya. Kelemahan lain dari terapi kombinasi adalah
meningkatnya biaya. Namun, walaupun biaya obat hampir pasti akan lebih
tinggi dengan terapi kombinasi, peningkatan biaya ini dapat diterima jika
waktu perawatan di rumah sakit yang lebih pendek dan meningkatkan
outcome pasien.5
7
Dalam pedoman saat ini, terapi kombinasi disarankan untuk pasien
neutropenia dengan sepsis, pasien dengan infeksi yang disebabkan oleh
patogen MDR, dan pasien dengan infeksi pernapasan berat dan septic shock.
Secara umum, keputusan mengenai penggunaan terapi kombinasi atau
monoterapi harus dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan penyakit,
kemungkinan mikroorganisme penyebab, penyakit penyerta, dan pola
mikrobiologis dan resistensi lokal.5
Keputusan mengenai terapi antibiotik empiris didasarkan pada dua
pendekatan: (1) penilaian bahwa bakteri mungkin memiliki "kerentanan
antibiotik normal" dan karena itu dapat dieskalasi ke obat lini kedua setelah
identifikasi mikrobiologis; dan (2) penilaian, berdasarkan pola mikrobiologi
lokal dan presentasi klinis, bahwa mikroorganisme yang menginfeksi
mungkin bersifat MDR dan harus diterapi sebagai MDR, dengan peluang
untuk deeskalasi setelah identifikasi dan kerentanan antibiotik dari
mikroorganisme penyebab dikenal. Pendekatan terakhir lebih umum
digunakan di ICU untuk memastikan bahwa semua organisme penyebab
tercakup secara adekuat. Setelah kerentanan dikonfirmasi, spektrum antibiotic
dapat dikurangi (deeskalasi); meskipun sebuah penelitian melaporkan bahwa
deeskalasi hanya dapat dilakukan pada < 50% kasus.5
Pemberian antibiotik yang lebih lama terkait dengan seleksi alam dan
peningkatan penyebaran patogen MDR, peningkatan risiko toksisitas, dan
biaya yang lebih tinggi; tetapi pemberian antibiotic yang terlalu pendek
berisiko terapi antibakteri yang tidak memadai dan meningkatkan peluang
kekambuhan. Pedoman saat ini menyarankan pemberian 7-10 hari, kecuali
terdapat prediktor prognosis yang buruk (seperti kegagalan terapi awal, fokus
infeksi tidak dapat dihilangkan). Infeksi yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus atau Pseudomonas aeruginosa mungkin memerlukan
terapi antibiotik yang lebih lama untuk menghindari kegagalan pengobatan,
kekambuhan, atau komplikasi metastasis. CAP, kecuali Legionella
pneumonia, tidak boleh diobati selama lebih dari 8 hari pada pasien yang
merespons terapi, dan infeksi abdomen dapat diterapi dengan pemberian
8
antibiotic selama 4-7 hari ketika sumber infeksi dapat dikontrol. Keputusan
tentang lamanya terapi antibiotik perlu disesuaikan dengan kondisi individu,
dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti tingkat keparahan penyakit,
respons klinis, jenis infeksi, kontrol sumber, infeksi dalam (seperti infeksi
tulang), MDR patogen, dan ketersediaan sarana diagnostik (seperti
laboratorium, biomarker).5
Biomarker dapat membantu dalam pengambilan keputusan tentang
kapan harus menghentikan antibiotik. Konsentrasi PCT, peptida sepanjang
116 asam amino, meningkat selama infeksi dan sepsis dan terkait dengan
tingkat inflamasi dan keparahan penyakit. Namun, konsentrasi PCT juga
meningkat pada beberapa kondisi nonseptik dan tetap rendah pada beberapa
infeksi bakteri yang terbukti secara mikrobiologis, terutama ketika infeksi
bersifat lokal. Namun demikian, konsentrasi PCT menurun dengan cepat
ketika infeksi telah terkontrol, sehingga PCT dapat membantu memberikan
keputusan untuk menghentikan antibiotik sesuai dengan perjalanan penyakit.
Belum ada ambang batas bawah PCT yang pasti untuk memutuskan kapan
harus menghentikan antibiotik, meskipun nilai tinggi (di atas 1 ng/mL) sangat
menunjukkan adanya infeksi bakteri aktif. Nilai < 0,5 ng/mL atau penurunan
> 80% dari nilai awal dapat digunakan sebagai nilai ambang batas untuk
menghentikan antibiotik pada pasien yang stabil. 5
9
yang dilakukan pada pasien nonkritis dengan penyakit ginjal kronis stadium
akhir yang menerima chronic renal replacement therapy.1
Antibiotik bekerja melalui berbagai mekanisme, terutama menghambat
sintesis dinding bakteri (penisilin, glikopeptida, karbapenem, dan
sefalosporin), menghambat replikasi DNA (kuinolon) atau transkripsinya
(rifampisin), mengganggu ribosom bakteri dan sintesis protein (makrolida,
linezolid, dalfopristin, tetra-siklin, dan aminoglikosida), mengganggu jalur
metabolisme (sulfonamid dan trimetoprim), atau mengganggu membran
sitoplasma (polimiksin dan daptomisin).1
Untuk melakukan penyesuaian fungsi ginjal, penjadwalan dosis harus
didasarkan pada volume distribusi dan kemampuan sistemik. Perkiraan GFR
tidak langsung tidak cukup akurat, meskipun mudah dilakukan. Di antara
perhitungan yang tersedia saat ini digunakan untuk memperkirakan clearance
kreatinin, persamaan Cockroft-Gault, skor Modified Diet in Renal Diseases
(MDRD), dan skor EPI untuk Penyakit Ginjal Kronis (CKD EPI) 1; semuanya
divalidasi pada pasien dengan fungsi ginjal stabil, yang tidak ditemukan pada
pasien AKI. Dengan demikian, dosis antibiotik untuk pasien yang sakit kritis
dengan AKI sebaiknya lebih rendah dari dosis yang digunakan pasien dengan
penyakit ginjal kronis.1
Metode alternatif yang dapat digunakan adalah mengukur bersihan
secara langsung melalui pengumpulan sampel urin 24 jam atau dengan
sampel yang diambil setiap 2, 4, atau 8 jam dengan menggunakan rumus:
(konsentrasi kreatinin urin x Volume urin x waktu)/serum kreatinin. Hasilnya
dinyatakan dalam mL/menit; sayangnya metode ini tidak praktis dan terbatas
kegunaannya pada pasien anuria.1
Pemantauan terapi obat melalui pengukuran konsentrasi serum
antibiotik dan bersihannya dapat dilakukan untuk meningkatkan akurasi
penyesuaian dosis berikutnya, menurunkan risiko toksisitas akibat overdosis,
dan menurunkan risiko infeksi yang tidak terkontrol atau resistensi bakteri
akibat kurang dosis. Metode bioanalisis yang dapat digunakan untuk
pemantauan obat terapeutik di antaranya melaluiimmunoassay, seperti
10
polarisasi fluoresensi (FPIA), enzim (EMIT), dan uji imunoenzimatik
(ELISA), yang menjadi metode yang sering digunakan untuk melihat reaksi
antibodi terhadap antigen. Namun, metabolit obat atau obat dengan struktur
yang serupa juga dapat dikenali oleh antibodi, sehingga mungkin
pemeriksaan yang dilakukan tidak akurat.1
Kromatografi cair (high-performance liquid chromatography) atau
HPLC dan kromatografi spektrometri massa (mass net-spectrometry
chromatography) atau LC/MS adalah metode yang lebih spesifik yang dapat
menghitung konsentrasi obat berdasarkan polaritas molekuler dan interaksi
dengan zat lain, tetapi berbiaya tinggi dan memerlukan teknisi yang sangat
terlatih, sehingga jarang digunakan.1
Faktor yang mengganggu bersihan obat secara signifikan adalah
dialisis, yang didasarkan metode transpor zat: difusi dan konveksi. Keduanya
efektif menghilangkan zat terlarut yang memiliki berat molekul
rendah; namun terapi konvektif paling efektif dalam menghilangkan zat
dengan berat molekul tinggi.
Pemilihan membran dialysis juga mempengaruhi pembersihan obat,
karena tingginya aliran membran dan peningkatan permeabilitas molekul
berukuran sedang menghasilkan kemampuan bersihan obat dengan berat
molekul tinggi dibandingkan dengan aliran yang rendah.1 Perbedaan ini
ditunjukkan dalam sebuah penelitian yang membandingkan bersihan
vankomisin pada pasien sakit kritis dengan AKI dalam hemodialisis dengan
membran aliran tinggi dan rendah. Persentase rata-rata bersihan vankomisin
setelah dialisis dengan membran aliran rendah adalah 17%, sedangkan
dengan membran aliran tinggi adalah 31%. Studi ini menyimpulkan bahwa,
terlepas dari perbedaan antara bersihan membran, perlu untuk memantau
kadar serum vankomisin setelah dialisis dan memberikan dosis tambahan
vankomisin, karena semua pasien menunjukkan kadar antibiotik yang
subterapeutik.1
Fitur lain dari membran dialisasi adalah serapan. Membran sintetis
hidrofobik memiliki kapasitas serapan yang tinggi, sedangkan membran
11
selulosa asetat memiliki kapasitas yang lebih rendah. Secara klinis,
signifikansi sifat membran dan kaitannya dengan perubahan kadar serum
antibiotik membutuhkan penelitian lebih lanjut.1
Pada pasien sakit kritis, beberapa pilihan untuk terapi penggantian
ginjal, renal replacement therapy (RRT) tersedia: dialisis peritoneal (PD) dan
hemodialisis (HD), yang dapat diklasifikasikan menurut durasi dan dialisat
dan aliran darah mereka, seperti hemodialisis intermiten konvensional (IHD),
dialisis yang diperpanjang (ED), dan terapi penggantian ginjal terus menerus
continuous renal replacement therapy (CRRT). Saat ini, tidak ada konsensus
dalam literatur mengenai metode dialisis terbaik untuk pasien dengan
AKI. Dengan demikian, pilihan metode yang dibuat oleh nefrolog dan
intensivist, disesuaikan dengan pengalaman mereka dan kondisi klinis
pasien1.
Dialisis peritoneal adalah pilihan untuk kelompok pasien
tertentu. Studi terbaru menunjukkan bahwa, PD harus dilakukan dengan
volume besar dialisat, secara terus-menerus, dan melalui kateter dan cycler
yang fleksibel, untuk mendapatkan hasil yang serupa dengan pasien yang
diterapi dengan IHD.1 Pada PD, membran dialisis adalah peritoneum, di mana
hanya sedikit yang diketahui mengenai kemampuan bersihan obat.
Hemodialisis intermiten dicirikan oleh aliran darah dan aliran dialisat
yang tinggi, yaitu 300-400 dan 500 mL/menit, masing-masing selama 4
hingga 5 jam dengan biaya yang terjangkau. Metode ini menggunakan mesin
dan filter serupa dengan yang digunakan dalam dialisis kronis 1. Hemodialisis
intermiten diindikasikan pada pasien yang secara hemodinamik stabil dan
dapat dilakukan beberapa hari sekali atau setiap hari, tergantung kondisi
klinis dan laboratorium pasien, untuk menjaga kesetimbangan air dan
mengontrol pembentukan urea.1
Beberapa peneliti menyatakan bahwa pasien yang sakit kritis dengan
AKI, karena secara hemodinamik tidak stabil (menggunakan obat vasoaktif)
dan hiperkatabolik, harus diterapi dengan metode kontinu.1 Terapi pengganti
ginjal secara terus-menerus didefinisikan sebagai perawatan yang
12
berkepanjangan dan berkelanjutan, berlangsung selama 24 jam dan
menggunakan aliran darah dan dialisat yang lebih rendah dibandingkan
dengan dialisis konvensional, yaitu masing-masing 100-150 dan 1000-1500
mL/jam.1 Metode ini efisien yang dalam mengontrol metabolit dan volume
darah secara adekuat tanpa mempengaruhi stabilitas hemodinamik pasien.
Metode perantara yang memberikan stabilitas hemodinamik dan
kontrol metabolit yang adekuat pada pasien dengan durasi yang lebih pendek
dari adalah ED, yang berlangsung antara 6 dan 18 jam. Aliran darah dan
dialisat lebih rendah daripada dialisis konvensional, masing-masing 100-200
dan 200-300 mL/menit 1.
Hemodialisis intermiten dan ED dapat dilakukan dengan aliran dan
efisiensi kapiler yang rendah atau tinggi, atau dengan pembersihan yang lebih
besar atau lebih kecil dari kapasitas molekul rata-rata, sesuai dengan
ultrafiltrasi dan koefisien kinerja (masing-masing Kuf dan KoA), durasi
terapi, dan variabel aliran darah. Continuous renal replacement therapy
dilakukan menggunakan hemofilter (kapiler dengan kapasitas pembersihan
besar untuk molekul yang lebih besar) dan aliran darah yang rendah.1
Mengenai metode dialisis yang berbeda, ada beberapa penelitian
tentang penghilangan antibiotik terkait dengan DP dan ED, dan studi yang
dilakukan pada IHD dan CRRT tidak semuanya dilakukan pada pasien yang
sakit kritis. Jadi, ada banyak pertanyaan tentang aliran obat pada pasien kritis
yang menggunakan modalitas dialisis yang berbeda.
Dalam praktik, pedoman yang paling umum digunakan
adalah "Sanford Guide to Antimicrobial Therapy ", yang mencakup CRRT
dan IHD, dan menyarankan agar dosis antibiotik dengan ED diperkirakan
menyerupai CRRT. Namun, Mushatt et al. merekomendasikan bahwa, untuk
antibiotik yang diberikan setiap 24 jam, dosis tambahan harus
dipertimbangkan segera setelah ED atau sebagai alternatif, dosis harian yang
diresepkan harus diberikan setelah ED. Untuk obat yang diberikan setiap 12
jam, satu dosis harus dilakukan setelah sesi ED dan dosis yang lainnya setelah
12 jam. Peneliti lain menyarankan pengunaan obat-obatan seperti vankomisin
13
dan gentamisin, yang kadar serumnya dapat diukur, harus dinilai segera
setelah ED untuk menentukan kebutuhan dosis selanjutnya setelah dialisis.1
Tabel 2 menunjukkan karakteristik farmakodinamik (PD) dan
farmakokinetik (PK) dari antibiotik utama yang digunakan dalam praktek
klinis dalam perawatan intensif, meskipun dosis yang direkomendasikan telah
diekstrapolasi dari penelitian yang tidak dilakukan dengan populasi AKI kritis
dan acute renal support.
14
Tabel 2. Antibiotik yang digunakan dalam perawatan intensif dan karakteristik utamanya
(berdasarkan The Sanford Guide to Antimicrobial Therapy). 1
Piperacillin
322.3
distribution1 (L/kg)
Dose for normal 15–20 mg/kg q8–12 h 1 g q8 h 1–2 g q8-12 h 3.375 g q6 h 100–400 mg q24 h 100–150 mg
Dose in CRRT 500 mg q24–48 h 500 mg q24 h 2 g q24 h 2.25 g q6 h 200–400 mg q24 h No dose
adjustment
adjustment
Dose in IHD3 15 mg/kg after HD 500 mg q24 h 1 g q24 h 2.25 g q12 h 100–400 mg q24 No dose
Dose in PD4 7.5 mg/kg q2–3 days 500 mg q24 h 1–2 g q48 h 2.25 g q6 h 50–200 mg q24 h No dose
adjustment
15
1 Pada individu yang sehat.
2
Disarankan untuk digunakan dalam dosis yang sama.
3
Mempertimbangkan IHD berikutnya dalam 1 hari.
4
CAPD (dialisis peritoneum rawat jalan terus menerus).
Dosis beta-laktam
Beta-laktam adalah antibiotik yang tergantung waktu. Beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa konsentrasi beta-laktam tidak adekuat pada pasien
sepsis ketika rejimen dosis standar diberikan, terutama ketika digunakan pada
strain yang sulit diobati, seperti P. aeruginosa. Untuk meningkatkan pencapaian
target PD, beta-laktam dapat ditingkatkan dosisnya, frekuensinya, atau melalui
infus yang diperpanjang atau kontinu. Di antara opsi-opsi ini, infus berkelanjutan
sering digunakan pada pasien sakit kritis dan telah berulang kali terbukti mencapai
konsentrasi beta-laktam yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang
ditemukan pada rejimen intermiten standar, meskipun keunggulan yang signifikan
belum ditemukan. Menariknya, bahkan ketika diberikan secara kontinu,
konsentrasi beta-laktam masih dapat tetap di bawah MIC untuk patogen yang sulit
diobati, terutama pada pasien dengan bersihan kreatinin tinggi (terkait dengan
eliminasi obat melalui ginjal yang tinggi). Penting untuk diketahui bahwa beta-
laktam dapat menimbulkan neurotoksisitas dan konsentrasi beta-laktam yang
tinggi dapat terlibat dalam penurunan kondisi neurologis. Oleh karena itu, penting
untuk memastikan bahwa konsentrasi tetap dalam kisaran terapeutik. 5
Dosis Aminoglikosida
Agar aktif, aminoglikosida perlu mencapai konsentrasi puncak setidaknya
delapan kali lebih tinggi daripada MIC untuk strain target; sementara itu, secara
klinis konsentrasi aminoglikosida diupayakan serendah mungkin (konsentrasi
tinggi dapat menimbulkan toksisitas). Karena perubahan Vd dan pembersihan
ginjal, PK aminoglikosida berubah saat sepsis, terutama pada septic shock, yang
menyebabkan konsentrasi puncak tidak tercapai. Karenanya, dosis aminoglikosida
perlu ditinjau ulang. Sebagai contoh, loading dose amikacin yang
16
direkomendasikan telah ditingkatkan dari 15 menjadi 25 mg/kg; dosis ini mungkin
tidak cukup tinggi untuk beberapa pasien. 5
Ketika konsentrasi puncak yang sangat tinggi perlu dicapai, seperti pada
pasien dengan patogen MDR dengan kerentanan sedang terhadap aminoglikosida,
kombinasi dosis aminoglikosida dosis sangat tinggi terkait dengan aliran tinggi
(50 mL/kg/menit) untuk hemofiltrasi vena kontinu dapat membantu mencapai
puncak konsentrasi yang adekuat sambil meminimalkan toksisitas dan, bahkan
yang lebih penting, memungkinkan pemberian agen secara harian (dan dengan
demikian lebih sering terpapar dengan efek bakterisida). 5
17
memprediksi perubahan Vd dan bersihan obat berkorelasi baik dengan bersihan
kreatinin. Untuk fluorokuinolon, tidak ada data yang akurat, tetapi LBW
tampaknya merupakan deskriptor perubahan Vd yang tepat untuk levofloksasin
dan LBW atau TBW tampaknya sesuai untuk siprofloksasin. Untuk linezolid,
tidak cukup data untuk merekomendasikan perubahan dosis pada obesitas,
meskipun perbedaan dalam PK mungkin ditemukan. Untuk daptomisin, TBW
berkaitan dengan perubahan Vd dan bersihan obat.5
18
Gambar 3. Algoritma klinis (a) dan mikrobiologis (b) untuk diagnosis dan manajemen
VAP. ATB antibiotik, BAL bronchoalveolar lavage, BAS bronchial aspirate, LRT lower
respiratory tract, PSB protected specimen brush.
19
sakit, adanya alat intubasi trakea, dan durasi intubasi. Pembentukan biofilm
bakteri pada tabung endotrakeal berperan penting dalam kolonisasi. Pasien rawat
inap cenderung dikolonisasi organisme di lingkungan rumah sakit dalam waktu 48
jam. Dengan demikian, patogenesis VAP dapat dianggap sebagai kontinuum dari
perawatan di ICU ke pneumonia yang terkonfirmasi melalui kolonisasi dan invasi,
tergantung dari faktor virulensi patogen.5
20
humidifer, alat tersebut harus dimatikan selama nebulisasi atau jumlah obat harus
ditingkatkan.5
Beberapa antibiotik telah diteliti penggunaannya sebagai agen aerosol;
Namun, bagaimana dosis mereka harus disesuaikan untuk kemanjuran dan
keamanan optimal masih belum jelas. Studi menunjukkan bahwa aminoglikosida
nebulisasi lebih baik daripada pemberian intravena untuk mencapai konsentrasi
jaringan yang tinggi dan menginduksi pembunuhan bakteri yang cepat dan kuat,
tetapi toksisitas ginjal dapat menjadi masalah.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan kolistin inhalasi (dalam bentuk
colistimethate sodium) dipertimbangkan dalam VAP karena kerjanya yang baik
terhadap bakteri MDR gram negatif dan penetrasi sediaan intravena ke paru yang
buruk.
Pemberian antibiotik dan pengendalian infeksi adalah dasar pencegahan
resistensi antibiotik di ICU. Pemberian antibiotik yang optimal didasarkan
pemilihan obat tepat (right choice) dan adekuat (right time, right dose),
menghindari pemakaian yang terlalu lama, penyesuaian pemilihan bentuk
penghantaran obat berdasarkan fisiologi pasien sakit kritis (misalnya penggunaan
dosis yang lebih tinggi dan/atau pemberian secara infus pada pasien dengan
peningkatan klirens renal dan peningkatan volume distribusi). Meminimalkan
penggunaan antibiotik yang tidak perlu dapat dicapai dengan strategi deeskalasi,
menggunakan penanda prediksi resistensi antibiotik, dan di masa depan, alat
diagnostik deteksi bakteri patogen dan sensitivitasnya terhadap antibiotik.8,9
21
Program Manajemen Antibiotik di Ruang ICU
Optimasi terapi antibiotic
22
Optimasi Terapi Antibiotik
Pemilihan pengaturan antimikrob yang sesuai
23
Langkah 1 : perencanaan pemilihan antibiotik
Pemberian antibiotik di ICU dapat diberikan secara empiris (untuk terduga
infeksi sambil menunggu hasil kultur), atau profilaksis (pada periode
perioperatif) atau, definitif (saat hasil kultur positif).
Alasan pemilihan antibiotik harus didokumentasikan pada formulir
permintaan antibiotik dan diaudit secara periodik.
Pemilihan antibiotik yang tepat harus berdasarkan epidemiologi dan pola
resistensi setempat.
Langkah 2 : pengambilan kultur dengan benar
Dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
Sampel darah, urin, sputum, dan sekret endotrakeal harus dikirim ke
laboratorium mikrobiologi dan diproses secepatnya.
Langkah 3 : antibiotik dimulai secepatnya
Setiap jam penundaan pemberian antibiotik dihitung dari onset syok sepsis
akan meningkatkan risiko kematian sebesar 6-10%.
Antibiotik harus dimulai dalam 1 jam sejak adanya tanda syok sepsis.
Langkah 4 : pemilihan antibiotik empiris secara tepat
Pemilihan antibiotik empiris harus dilakukan secara hati-hati karena
pemilihan yang salah menigkatkan mortalitas, walaupun antibiotik
kemudian diganti dengan antibiotik yang tepat dan sesuai hasil kultur.
Pemberian antibiotik inisial harus berdasarkan riwayat pasien, penyakit/
sindrom yang mendasari, pola bakteri pada komunitas dan rumah sakit,
dan pola kolonisasi sebelumnya.
Hindari pemberian antibiotik yang sama dengan sebelumnya.
Pilih antibiotik spektrum luas yang mungkin mencakup infeksi patogen
saat ini.
Langkah 5 : menilai faktor risiko infeksi dengan organisme yang resistensi obat
24
Pasien harus dinilai adanya faktor risiko infeksi dengan bakteri yang
resisten (multidrug resistant, MDR)
Bila terdapat satu atau lebih faktor risiko, dipilih antibiotik berspektrum
luas yang dapat mencakup sensitifitas bakteri.
Langkah 6 : ikuti prinsip farmakokinetik dan farmakodinamik saat memberikan
antibiotik
Berikan dosis intravena yang adekuat.
Berikan antibiotik yang dapat penetrasi dengan konsentrasi yang adekuat
ke dalam sumber sepsis.
Antibiotik yang bergantung waktu seperti B-laktam (inhibisi bakteri
maksimal bergantung pada lama di atas konsentrasi inhibisi minimal)
harus diberikan secara infus kontinu
Antibiotik tergantung dosis seperti aminoglikosida (inhibisi bakteri
maksimal bergantung pada puncak konsentrasi antibiotik) harus diberikan
sebagai once-daily bolus dose.
Sesuaikan dosis antibiotik pada pasien dengan disfungsi renal dan hepar.
Langkah 7 : Nilai pasien setiap hari dan de-ekskalasi (de-escalate) antibiotik
setelah hasil kultur tersedia
Respon klinis harus dinilai sesering mungkin, dan bila pasien berespon
baik, antibiotik harus dilakukan de-ekskalasi ke spektrum yang lebih
sempit, dan antibiotik yang tidak perlu harus dihentikan.
Keputusan melanjutkan, mempersempit, atau menghentikan terapi
antibiotik harus didasarkan keputusan klinik dan laboratorium seperti
penurunan leukositosis, CRP, dan kadar prokalsitonin rendah.
Langkah 8 : Pertimbangkan kombinasi antibiotik pada situasi spesifik
Kombinasi antibiotik (2 antibiotik melawan organisme yang sama)
diindikasikan untuk infeksi pathogen yang resisten banyak obat seperti
Acinetobacter dan Pseudomonas sp. Terapi kombinasi juga diindikasikan
untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan pasien dengan infeksi
25
Pseudomonas dengan gagal napas dan syok. Kombinasi beta-laktam dan
macrolide direkomendasikan untuk bakteremia pneumococcal.
Langkah 9 : memutuskan durasi terapi antibiotik
Durasi terapi 7-10 hari.
Pemberian lebih lama untuk pasien dengan respon klinis lambat, fokus
infeksi yang tidak bisa didrainase, defisiensi imun termasuk neutropenia.
Bila hasil kultur negatif dan respon klinik baik, kebanyakan antibiotik
dapat dihentikan dalam 5 hari.
Pada infeksi Pseudomonas dan Acinetobacter, sepsis berat, harus diterapi
selama 2 minggu.
Langkah 10 : implementasi program tatalaksana antibiotik
Merancang program bersama ahli mikrobiologis, perawat kontrol infeksi,
konsultan penyakit infeksi, dan tenaga farmasi klinis.
Edukasi staf ICU mengenai prinsip tatalaksana antibiotik.
Penggunaan antibiogram lokal secara benar.
Optimalisasi penggunaan informasi mikrobiologi.
Bekerjasama dengan ahli mikrobiologis dan dokter terkait yang terlibat
dalam pemberian antibiotik.
Frekuensi resistensi antibiotik yang tinggi di dalam sebuah komunitas atau di dalam
unit khusus sebuah rumah sakit
Rawat inap selama dua hari atau lebih dalam 90 hari sebelumnya
26
Memiliki anggota keluarga dengan riwayat infeksi dengan patogen multidrug-resistant
Tobramisin (7 mg/kg/hari)
27
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Pada pasien sepsis dan gagal ginjal harus diberikan antibiotik sebagai
pengobatan/terapi dengan dosis yang sesuai
2. Klinisi harus menyadari pemberian antibiotik yang tepat dalam
menangani pasien sakit kritis sehingga tidak terjadi komplikasi yang
lebih berat.
3. Pemberian antibiotik yang irrasional dapat menyebabkan kerugian
yang besar dan menimbulkan resisten pada kuman dan munculnya
strain baru pada masa mendatang
4. Pemberian antibiotik pada keadaan khusus harus disesuaikan dengan
kondisi klinis pasien, sumber infeksi, dan usia ekstrem
28
DAFTAR PUSTAKA
29