Anda di halaman 1dari 19

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/RS.

HASAN SADIKIN BANDUNG


Sari Pustaka
Oleh : Suci Viani
Divisi : ERIA (HCU/PICU)
Pembimbing : Dr. Dadang Hudaya Somasetia, dr., Sp.A(K), M.Kes
Dr. Dzulfikar D.L.H, dr., Sp.A(K), M.Kes, MMRS
dr. Stanza Uga Peryoga, Sp.A(K), M.Kes
dr. Fina Meilyana Andriyani, Sp.A, M.Kes
Tanggal : Desember 2019
PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA ANAK SAKIT KRITIS

PENDAHULUAN
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling umum diberikan pada anak-anak yang
dirawat di rumah sakit.1 Sekitar 50% pasien menerima agen antibiotik selama tinggal di rumah
sakit. Pada anak-anak yang sakit kritis, penggunaan profilaksis dan terapeutik antibiotik
intravena bahkan lebih sering dilakukan.2 Pasien unit perawatan intensif (ICU) cenderung
memiliki atau mengembangkan infeksi, baik karena infeksi tersebut merupakan alasan utama
dirawat maupun karena kondisi imunosupresi terkait dengan penyakit kritis dan sejumlah besar
perangkat invasif yang digunakan pada pasien tersebut.2, 3
Cakupan antibiotik yang tepat dan memadai sangat penting pada pasien sakit kritis.
Pemberian yang tidak tepat dapat menyebabkan masalah yang kompleks sebagai akibat dari
keterlambatan identifikasi mikroorganisme, dampak penyakit kritis terhadap farmakokinetik
dan farmakodinamik antibiotik, dan tingginya prevalensi strain yang resisten antibiotik.2
Pemberian antibiotik pada pasien kritis tentu berbeda dengan pasien pada umumnya terkait
dengan adanya penyakit komorbid dan kondisi pasien yang menyebabkan perubahan pada
farmakodinamik dan farmakokinetik dari antibiotik yang diberikan. Diagnosis infeksi pada
pasien yang sakit kritis dan identifikasi mikroorganisme penyebab dan resistensi mikroba
adalah hal yang penting. Diagnosis yang tertunda dapat menyebabkan disfungsi organ yang
signifikan, syok, kegagalan multiorgan, dan kematian.4 Diagnosis dapat didasarkan pada tanda
klinis infeksi yang khas ataupun dengan biomarker seperti Protein C-reaktif dan prokalsitonin.
Masalah utama terkait dengan manajemen antibiotik, termasuk masalah yang terkait dengan
waktu, durasi, dan dosis.2,5
Praktik peresepan antibiotik pada pasien sakit kritis masih sangat bervariasi dan belum
ada standar yang jelas karena kurangnya data berbasis bukti tentang terapi antimikroba yang
optimal pada neonatus dan anak-anak.1 Pedoman mengenai pemberian antibiotik pada pasien
sakit kritis masih belum jelas, meskipun implikasinya sangat nyata bagi pasien. Diperkirakan
40–80% pasien unit perawatan intensif anak (PICU) menerima antibiotik dan sebanyak
setengah dari penggunaan itu mungkin tidak sesuai.5 Pada pasien unit perawatan intensif (ICU),
konsentrasi antibiotik yang berada di luar kadar terapeutik mencapai 41% dari pasien dewasa
dan bahkan 95% pada populasi ICU anak sakit kritis (PICU).3 Ketidakpastian ini terutama
merupakan konsekuensi dari heterogenitas klinis yang ditandai dan gangguan fisiologis
multisistem yang ditemui pada penyakit kritis, didorong oleh patologi yang mendasarinya dan
intervensi yang diberikan.6
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat tentunya memilki konsekuensi yang merugikan,
termasuk toksisitas obat, infeksi Clostridium difficile, dan resistensi antibiotik, yang
belakangan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang semakin meningkat. Perlunya
penggunaan antibiotik yang tepat telah disorot oleh beberapa organisasi nasional dan
internasional.2

PERUBAHAN FARMAKOLOGIS PADA ANAK KRITIS


Penyakit kritis dikaitkan dengan perubahan metabolik dan fisiologis yang sedemikian
besar sehingga farmakokinetik antibiotik berubah dan konsentrasinya tidak dapat diprediksi
sehingga keputusan dosis menjadi rumit dan sebagian besar tidak terselesaikan. Penelitian
Defining Antibiotic Levels pada pasien ICU (DALI) baru-baru ini menunjukkan variasi lebih
besar dari 500 kali lipat dalam konsentrasi beta-laktam plasma pada pasien yang diteliti.6
Kegagalan untuk memenuhi target farmakokinetik / farmakodinamik (PK / PD) dikaitkan
dengan pengurangan membunuh bakteri, dan dapat berdampak buruk pada hasil pasien. Sejauh
mana suatu obat terikat protein dalam keadaan normal dan sejauh mana perubahan dalam
penyakit kritis jarang dipertimbangkan ketika memutuskan rejimen dosis.2,6
Adanya ketidaksesuaian pada pemberian obat antibiotik pada pasien sakit kritis
mungkin disebabkan oleh perubahan patofisiologis dalam volume distribusi (Vd), pengikatan
protein dan/atau bersihan obat. Berlawanan dengan disfungsi ginjal, dapat terjadi peningkatan
bersihan ginjal karena perubahan hemodinamik selama penyakit kritis yang digambarkan
sebagai augmented clearance ginjal (ARC).6,7,8 Selain perubahan patofisiologis ini, anak-anak
juga menunjukkan perubahan perkembangan di hampir semua proses yang terlibat dalam
disposisi obat. Terlepas dari perbedaan komposisi tubuh, anak-anak menunjukkan pematangan
enzim metabolisme obat dan laju filtrasi glomerulus (GFR) pada tahun-tahun pertama
kehidupan. Saat ini, sebagian besar pedoman dosis pediatrik untuk anak-anak yang lebih dari
1 bulan (mis. Formularium Nasional Inggris untuk Anak-anak dan Belanda Pediatrik) hanya
menyajikan dosis tunggal berdasarkan berat badan, tidak memperhitungkan perubahan
perkembangan ini.2 Pada pasien yang sakit kritis, kegagalan mikrovaskular juga dapat
mengganggu penetrasi lokasi target.5 Albumin sebagai protein serum yang bertanggung jawab
untuk sebagian besar pengikatan obat-protein, mungkin memiliki efek mendalam pada Vd dan
bersihan obat.6
Efikasi pengobatan antimikroba tergantung pada pencapaian konsentrasi terapeutik di
lokasi infeksi. Pada neonatus dan anak-anak yang sakit kritis, pencapaian pajanan optimal ini
sulit karena disposisi obat yang berubah.1 Dari sudut pandang klinis, pasien sakit kritis sangat
berbeda dari orang sehat dan bahkan dengan pasien stabil dengan fungsi ginjal normal. Ini
berarti bahwa dosis antibiotik dan cara pemberiannya harus berbeda untuk memastikan
perawatan yang memadai.1 Penyakit kritis dapat sangat mempengaruhi sifat dari
farmakokinetik antibiotik. Perubahan yang terjadi terutama pada volume distribusi (Vd) dan
bersihan dari antibiotik yang diberikan. Hal tersebut dapat menyebabkan paparan obat yang
berlebih atau kurang ketika dosis standar antibiotik diberikan kepada pasien yang sakit kritis.6
Apakah perubahan dalam disposisi obat ini mengarah pada pencapaian non-target
antibiotik pada pasien jelas juga tergantung pada interaksi farmakodinamik antara antibiotik
dan mikroorganisme. Dua parameter utama dalam interaksi ini adalah kerentanan
mikroorganisme, yang didefinisikan sebagai konsentrasi penghambatan minimum (MIC), dan
karakteristik membunuh dari antibiotik. Target PD umum untuk antibiotik yang tergantung
waktu, tergantung konsentrasi, dan paparan adalah waktu konsentrasi obat bebas di atas MIC
di lokasi infeksi (fT> MIC), konsentrasi puncak di atas MIC (Cmax / MIC) dan area di bawah
kurva ( AUC) lebih dari MIC (AUC / MIC), masing-masing.6
Pengetahuan tentang parameter PK yang diubah dan target PD yang diinginkan sangat
penting untuk dijadikan dasar untuk pengembangan pedoman dosis mulai secara individual dan
penyesuaian dosis individual lebih lanjut menggunakan pemantauan obat terapeutik (TDM).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penerapan TDM meningkatkan pencapaian
target agen antibiotik pada pasien yang sakit kritis.2 Empat hal harus dipertimbangkan: (a)
variabilitas respon yang diharapkan dalam ketika dosis obat yang sama (dinormalisasi terhadap
berat badan) diberikan kepada semua pasien, (b) variabel farmakodinamik terkait dengan efek
mikrobiologis, (c) jumlah fraksi bebas obat yang mencapai lokasi infeksi, dan (d) efek
menyeluruh terhadap resistensi.3

Volume distribusi
Beberapa faktor telah terbukti meningkatkan volume distribusi (Vd) antibiotik.
Berbagai mekanisme telah diidentifikasi, termasuk peningkatan Vd yang berhubungan dengan
resusitasi cairan atau gangguan fisiologis yang terjadi dengan meningkatnya keparahan
penyakit.2 Resusitasi cairan sebagai terapi dapat mengakibatkan peningkatan total air tubuh
sehingga Vd menjadi lebih besar dan karenanya terjadi pengenceran senyawa hidrofilik.2,6
Sindrom respons peradangan sistemik (SIRS), yang disebabkan oleh sitokin inflamasi,
menginduksi kebocoran kapiler dan pergeseran cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular.2,6
Cairan 'third space’ ini dapat mengurangi konsentrasi obat, tidak hanya dalam plasma tetapi
juga di lokasi infeksi. Selain itu, beberapa proses patofisiologis lain hadir pada pasien sakit
kritis yang dapat mengubah interaksi obat-albumin.6 Proses-proses ini termasuk: penurunan
sintesis albumin dan kebocoran kapiler, atau hilangnya albumin pada pasien dengan luka bakar.
Faktanya, hipoalbuminaemia (≤25 g / dL) terjadi pada lebih dari 40% pasien yang dirawat di
ICU. Perpindahan oleh molekul-molekul endogen dengan afinitas tinggi untuk albumin (mis.
Bilirubin dan urea) atau dengan pemberian bersamaan dari obat-obat lain juga berperan
penting. Perubahan konformasi pada molekul albumin, seperti yang terjadi dengan glikosilasi
yang disebabkan oleh hiperglikemia, juga telah terbukti mengurangi kapasitas pengikatan yang
menyebabkan peningkatan Vd. Mengingat perubahan patofisiologis ini, tidak mengherankan
bahwa pengikatan protein mungkin relevan secara klinis, terutama untuk agen antimikroba
dengan bersihan intrinsik tinggi, yang juga sangat terikat protein (> 85-90%) dan sebagian
besar dibersihkan oleh filtrasi glomerulus.6
Hipoalbuminemia dapat menyebabkan peningkatan proporsi fraksi antimikroba yang
aktif dan tidak terikat, walaupun secara paradoks, sebagai konsekuensi dari peningkatan Vd
dan bersihan obat, konsentrasi antimikroba sebenarnya dapat dikurangi sepanjang interval
dosis.5 Juga, peradangan dan penyakit kritis tampaknya menurunkan regulasi metabolisme
obat, seperti terlihat dengan metabolisme midazolam yang dimediasi CYP3A pada anak-anak
yang sakit kritis dan CYP2C9 memediasi metabolisme warfarin pada orang dewasa yang sakit
kritis.2 Variabilitas inter-dan intra-pasien yang tinggi pada Vd diperburuk oleh resusitasi cairan
yang agresif, dan bersihan obat dapat secara signifikan dipengaruhi oleh augmented renal
clearance (ARC), cedera ginjal akut (AKI), terapi penggantian ginjal (RRT) dan oksigenasi
membran ekstrakorporeal (ECMO).2,8,9
Gambar 1. Temuan klinis yang Memegaruhi Pengikatan Albumin dengan Obat 6

Konsentrasi Penghambat Minimum


Kerja antibiotik ditentukan oleh karakteristik membunuh obat, dan sebagian ditentukan
oleh kerentanan patogen, didefinisikan sebagai nilai MIC.2 Karakteristik membunuh bakteri
dari antibiotik sebagian besar ditandai dalam hal pembunuhan tergantung pada waktu dan
konsentrasi.5
Pada antibiotik yang tergantung waktu, seperti β-laktam dan glikepteptida,
pembunuhan bakteri maksimum terjadi ketika konsentrasi obat secara terus-menerus melebihi
konsentrasi bakteri minimum patogen.6 Antibiotik ini memerlukan konsentrasi obat yang lebih
besar daripada konsentrasi penghambat minimum (minimal inhibitory concentration/ MIC)
untuk periode tertentu di antara dosis, yang biasanya berkisar antara 40 hingga 50% dari
interval antar dosis untuk tindakan terbaiknya. Infus kontinyu lebih dipilih untuk antibiotik
beta-laktam dan dikaitkan dengan manfaat klinis seperti penurunan lama rawat di rumah sakit,
biaya terapi dan kematian.2 Sebaliknya, dengan antibiotik yang tergantung konsentrasi, seperti
amino-glikosida dan fluoroquinolon, pembunuhan bakteri maksimum terjadi ketika
konsentrasi obat puncak melebihi beberapa kali (> 8-10) MIC.2
Dalam studi prospektif multinasional prospektif dari 361 pasien yang dievaluasi di
mana 248 pasien dirawat karena infeksi, 16% tidak mencapai konsentrasi antibiotik bebas
target di atas MIC. Dari pasien ini, 32% lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki hasil
klinis yang positif. Data ini merupakan relevansi dari masalah PK / PD pada pasien yang sakit
kritis, dan hal ini menunjukkan perlunya pemberian dosis antibiotik yang lebih personal sesuai
dengan fisiologi pasien yang sedang dirawat. Yang penting juga, perubahan-perubahan ini
tidak dapat diprediksi dan pengukuran konsentrasi obat akan semakin digunakan untuk
memastikan dosis yang memadai.2
Sementara dosis berbasis MIC tampaknya akan memberikan peningkatan dalam
pencapaian target PD, ada banyak kelemahan untuk menggunakan nilai-nilai MIC dalam
pedoman dosis seperti yang dijelaskan oleh Mouton et al.2 Uji MIC in vitro tidak cukup akurat
dan dapat direproduksi untuk secara memadai mewakili kondisi in vivo dan karenanya tidak
dapat digunakan sebagai konsentrasi yang tepat selama perawatan. Hal tersebut mungkin
menyebabkan perkiraan efek antibiotik yang terlalu rendah secara in vivo atau pilihan
pengobatan yang terlewat. Kedua, MIC yang digunakan dalam target PD yang diinginkan
dianggap sebagai nilai statis tetapi harus dilihat lebih sebagai distribusi MIC dalam strain
bakteri. Selain itu, PD mungkin juga dipengaruhi oleh perubahan PK. Dalam model PK / PD
semi-mekanis mereka Nielsen et al. telah mensimulasikan efek dari berbagai rejimen dosis
enam antibiotik dari percobaan kurva waktu-terbunuh in vitro. Para penulis menyatakan bahwa
ketika profil-PK dari benzylpenicillin, antibiotik β-laktam hidrofilik dengan t1⁄2 pendek,
digunakan untuk antibiotik lain, fT> MIC masih merupakan prediktor efek terbaik.2

Bersihan Obat
Beberapa variabel dapat mempengaruhi pembersihan ginjal dari antibiotik. Dalam
kondisi hipoalbuminemia, ada peningkatan pembersihan obat. Pada anak dengan sakit kritis
juga sering dijumpai gangguan pada bersihan ginjal, baik penurunan maupun peningkatan. AKI
pada anak-anak yang sakit kritis terutama disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ginjal
(mis. karena penipisan volume atau penurunan tekanan darah arteri) dan kerusakan glomerulus
atau tubular karena pelepasan sitokin, koagulasi intravaskular diseminata atau agen
nefrotoksik. 2 AKI menyebabkan penurunan bersihan ginjal dan potensi supraterapeutik atau
tercapainya konsentrasi toksik dari obat yang diekskresikan pada ginjal.2,5
Untuk pasien dengan curah jantung yang tinggi dan resistensi vaskular sistemik yang
rendah, seperti pada sepsis, pembersihan obat dengan ginjal dapat meningkat karena
peningkatan perfusi ginjal, hingga tiga kali lipat dari angka normal, dan dapat dikaitkan dengan
kegagalan pengobatan walaupun pasien sensitif terhadap antibiotik.1 Peningkatan ARC juga
dapat menyebabkan bersihan obat meningkat dan dosis menjadi berada dalam rentang
subterapeutik.2,7,8
Studi lain menyelidiki hubungan ini dan menemukan bahwa penambahan kreatinin
menjadi tidak signifikan. Hal ini mungkin mencerminkan bahwa kreatinin serum adalah
penanda suboptimal untuk GFR atau adanya dampak faktor lain selain GFR pada variabilitas
dalam bersihan obat. Ketidakmampuan untuk memperkirakan secara akurat pembersihan obat
menggunakan biomarker adalah salah satu tantangan mendasar tentang mengoptimalkan
pencapaian target pada pasien kritis.2

SIFAT FARMAKOLOGI OBAT DAN KAITANNYA DENGAN PASIEN SAKIT


KRITIS
Antibiotik hidrofilik memiliki dua hal utama yang memerlukan perhatian khusus ketika
dokter menggunakannya untuk pengobatan pasien yang sakit kritis. Pertama, Vd dari agen-
agen ini terbatas pada lingkungan ekstraseluler, karena ketidakmampuan mereka untuk
menembus sel. Ini berarti bahwa setiap kali kompartemen ekstraseluler mengembang pada
penyakit kritis, konsentrasi agen-agen ini berkurang, karena tidak ada cadangan obat di dalam
sel yang tersedia untuk difusi retrograde ke interstitium.6 Ini jelas mempengaruhi dosis
pemuatan yang diperlukan (LD) yang merupakan dosis pertama yang diperlukan untuk
memastikan konsentrasi terapeutik yang efektif di lokasi infeksi. Mempertimbangkan bahwa
LD berbanding lurus dengan Vd (LD = Vd × target konsentrasi), ini berarti bahwa LD yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi target pada pasien yang sakit kritis harus lebih tinggi
daripada yang dibutuhkan pada pasien yang stabil secara klinis. Kedua, semua antibiotik
hidrofilik hampir sepenuhnya dihilangkan melalui ginjal. Dengan demikian, bersihan obat
sering berkorelasi linier dengan bersihan kreatinin (CrCL) dan dosis pemeliharaan (MD) dari
agen-agen ini harus disesuaikan dalam kaitannya dengan estimasi atau diukur CrCL.6
Antibiotik lipofilik sering tidak memerlukan penyesuaian dosis tertentu bila
dibandingkan dengan obat hidrofilik, baik untuk LD, maupun MD. Vd besar, karena difusi
melintasi membran plasmatik. Dengan demikian, kompartemen intraseluler merupakan
reservoir untuk antibiotik lipofilik, yang memungkinkan untuk koreksi cepat dari setiap
pengenceran interstitial (ketika lingkungan ekstraseluler berkembang), karena difusi retrograde
dari sel. Selain itu, sebagian besar agen-agen ini (dengan pengecualian levofloxacin) tidak
dibersihkan secara menyeluruh. Mereka dihilangkan terutama oleh hati (oleh sitokrom P450)
atau oleh jalur enzimatik atau nonenzimatik di mana-mana. Meskipun nonlinier, jalur
metabolisme ini sering dipertahankan selama penyakit kritis, dengan disfungsi signifikan
hanya dicatat dengan penyakit stadium akhir yang sangat parah.6
Dalam agen hidrofilik (mis., Antibiotik β-laktam, aminoglikosida, glikopeptida,
lipopeptida), distribusi jaringan terbatas pada ruang ekstraseluler, dan pembersihan didominasi
oleh mekanisme ginjal. Sebaliknya, dengan agen lipofilik (mis., Fluorokuinolon, glikilsiklin,
linkosamid, makrolida, metronidazol, streptogramin, tetrasiklin) distribusi jaringan termasuk
penetrasi intraseluler dan pembersihan hepatik lebih umum. Variabel-variabel ini menjadi
penting pada pasien septik karena antibiotik hidrofilik membutuhkan peningkatan dosis
pemuatan dalam pengaturan sepsis untuk memastikan konsentrasi terapeutik tercapai lebih
awal. Dengan agen lipofilik, peningkatan dosis pemuatan pada pasien septik tidak diperlukan
dan penyesuaian dosis antibiotik ini umumnya hanya diperlukan dalam pengaturan kegagalan
hati yang parah.2,7

Sepsis Penyakit Kritis AKI

Efusi pleural, perikardial, Luka bakar berat


peritoneal

Drainase bedah Leukemia akut dan


neuropenia febril

hipoalbuminemia Kerusakan otak

Sirkulasi
hiperdimanik

↑Vd pada antibiotik ↑bersihan ginjal dari ↓bersihan ginjal dari


hidrofilik antibiotik hidrofilik antibiotik hidrofilik

↑loading dose pada ↑maintenance dose pada ↓maintenance dose pada


antibiotik hidrofilik antibiotik hidrofilik antibiotik hidrofilik

Gambar 2. Manifestasi Fisiologis Penyakit Kritis yang Memengaruhi Farmakokinetik

Untuk antimikroba yang tergantung waktu (mis. Beta-laktam), peningkatan bersihan


obat dapat mengurangi waktu konsentrasi antimikroba yang tidak terikat dipertahankan di atas
konsentrasi penghambatan minimum (MIC) bakteri sepanjang interval dosis (ƒT> MIC).
Sefalosporin harus melebihi 60-70%, penisilin (termasuk monobaktam) 50-60%, dan
karbapenem 40% ƒT> MIC untuk aktivitas bakterisida maksimal. Untuk antimikroba yang
bergantung pada konsentrasi (mis. Aminoglikosida), target PK / PD adalah rasio konsentrasi
maksimum (Cmax) dengan MIC bakteri (Cmax / MIC), yang mungkin tidak dapat dicapai
karena peningkatan Vd. Untuk antimikroba yang tergantung konsentrasi dengan
ketergantungan waktu (misalnya linezolid dan daptomisin), pencapaian target PK / PD area di
bawah kurva (AUC) ke MIC (fAUC / MIC) juga penting karena AUC adalah fungsi bersihan
dan Vd.4 Di samping MIC yang lebih tinggi terkait dengan bakteri yang kurang rentan yang
semakin banyak ditemui secara global, indeks ini sangat penting untuk meningkatkan
mortalitas terkait infeksi pada pasien yang sakit kritis. Sementara Vd dan bersihan antibiotik
terikat protein sangat (PPB> 70%) dapat secara signifikan diubah dengan hipoalbuminemia,
untuk antibakteri lain yang memiliki ikatan protein sedang (PPB 30-70%) atau rendah (PPB
<30%), efeknya pada Vd dan bersihan obat dianggap kurang substansial atau bahkan dapat
diabaikan. Pertimbangan hipoalbuminaemia dalam konteks tingkat dan derajat perubahan
patofisiologis bersamaan pada pasien yang sakit kritis mungkin diperlukan untuk
mengoptimalkan rejimen dosis untuk antimikroba tersebut. Sayangnya, sebagian besar studi
PK belum mengukur konsentrasi tidak terikat atau di mana mereka telah diukur, dampak pada
Vd dan bersihan obat belum disediakan.6

Tabel 1. Pengaruh Perubahan Fisiologi pada Sakit Kritis terhadap Farmakokinetik 6


Fisiologi Efek farmakokinetik Efek pada obat Rekomendasi dosis
↓Volume intravaskular ↑Cmax Toksisitas ↑ infusion time
↑Permeabilitas kapiler ↓Cmax; ↑Vd Terapi gagal ↑ loading dose,
menjaga dosis harian
↑Fungsi organ ↑Cl (clearance) Terapi gagal ↑ dosis harian
↓Fungsi organ ↓Cl (clearance) Toksisitas Menjaga dosis inisial,
↓dosis harian
Respon stres ↑ ikatan AAG Terapi gagal ↑ loading dose,
(alpha 1 acid menjaga dosis harian
glycoprotein)

PERTIMBANGAN PEMILIHAN ANTIBIOTIK


TERAPI EMPIRIS PADA ANAK DENGAN SAKIT KRITIS
Secara umum telah diterima bahwa antibiotik harus diberikan sesegera mungkin setelah
infeksi diidentifikasi. Apabila penyebab sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam
pertama sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya
awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotik tunggal berspektrum luas. Setelah
bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotik defnitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman.
Antibiotika harus diberikan dalam 1 jam pertama karena berkaitan dengan penurunan kadar
laktat serum dan waktu perbaikan syok yang lebih pendek. Sebaliknya, keterlambatan
pemberian lebih dari 3 jam akan meningkatkan rasio odds mortalitas 4,8 kali setelah
disesuaikan dengan derajat keparahan penyakit.4
Antibiotik spektrum luas harus diberikan secara empiris dengan pilihan agen tergantung
pada karakteristik klinis, laboratorium, dan pencitraan pasien. Pertimbangan bervariasi
tergantung pada usia pasien, temuan fisik, status imunologis, rawat inap sebelumnya,
perawatan antibiotik sebelumnya, dan adanya kateter sentral atau perangkat medis lainnya.
Pengetahuan tentang pola resistensi mikroba lokal juga dapat membantu memandu pemilihan
antimikroba.3,10
Masih terdapat perdebatan besar mengenai manfaat potensial dari terapi antibiotik
kombinasi dibanding monoterapi dalam manajemen infeksi empiris pada pasien yang sakit
kritis. Terapi kombinasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungan pertama adalah
sinergi in vitro antara dua obat yang menghasilkan peningkatan kemampuan untuk membunuh
bakteri.2 Sebagai contoh, kombinasi colistin-glikopeptida (vankomisin atau teicoplanin)
ditunjukkan secara in vitro bersifat sinergis terhadap bakteri Gram-negatif multidrugresistant
(MDR), terutama Acinetobacter baumannii. Keuntungan lainnya adalah rejimen kombinasi
dapat memberikan spektrum keseluruhan aktivitas yang lebih besar. Salah satu potensi
kerugian paling penting dari terapi kombinasi adalah peningkatan toksisitas obat, terutama
ketika aminoglikosida digunakan. Meskipun peningkatan risiko ini dapat diterima pada
populasi yang sakit kritis dengan risiko tinggi terhadap organisme MDR, kemungkinan kurang
dapat diterima pada populasi pasien yang lebih stabil atau di mana risiko resistensi β-laktam
lebih rendah. Risiko superinfeksi dengan bakteri resisten atau infeksi jamur menjadi potensi
kerugian lain. Terapi kombinasi disarankan untuk pasien neutropenia dengan sepsis, pasien
dengan infeksi yang disebabkan oleh patogen MDR dan pasien dengan infeksi pernapasan berat
dan syok septik. Secara umum, keputusan mengenai penggunaan kombinasi atau monoterapi
harus dibuat secara individual sesuai dengan tingkat keparahan penyakit, kemungkinan
mikroorganisme penyebab, penyakit penyerta, dan pola mikrobiologis dan resistensi lokal. 3,11
Dalam analisis meta-regresi, Kumar et al. melaporkan bahwa meskipun tidak ada
keseluruhan manfaat mortalitas/respons klinis dengan terapi kombinasi pada 50 studi, ketika
studi dikelompokkan berdasarkan risiko kematian awal, terapi kombinasi secara konsisten
berkaitan dengan respon yang positif pada pasien yang sakit parah. Keputusan mengenai terapi
antibiotik empiris didasarkan pada dua pendekatan: (1) penilaian bahwa agen yang
kemungkinan memiliki "kerentanan antibiotik normal" dan karenanya dapat diperlakukan
sedemikian rupa dengan kemungkinan kebutuhan untuk "peningkatan" ke obat lini kedua
setelah identifikasi mikrobiologis; (2) penilaian, berdasarkan pada pola mikrobiologi lokal dan
presentasi klinis, bahwa mikroorganisme yang menginfeksi mungkin MDR dan harus
diperlakukan seperti itu. Dalam banyak ICU, lebih dari 50% sampel resisten terhadap
setidaknya satu antibiotik, dan terapi empiris kombinasi spektrum luas mungkin diperlukan
dalam unit-unit ini untuk memastikan bahwa organisme ini tercakup secara memadai.2
Antibiotik yang baik adalah yang memiliki sifat 1)memiliki aktivitas anti infektif yang
selektif dan efektif; 2) penetrasi jaringan dalam konsentrasi yang melebihi beberapa kali lipat
jumlah yang diperlukan; 3)afinitas tinggi untuk tempat aksi; 4) tahan terhadap inaktivasi enzim
mikroba, cairan jaringan, atau produk peradangan; 5)tidak mudah menstimulasi resistensi; 6)
paruh eliminasi yang panjang; 7)tidak ada interaksi obat-obat; 8)tidak adanya toksisitas sistem
organ utama; 8)diformulasikan untuk diberikan dengan cara yang sepadan dengan mode
tindakannya (misalnya, waktu> MIC; AUC / MIC, dll.).3

Tabel 2. Prinsip Paradigma Terapi Antibiotik4


Prinsip utama paradigma terapi empiris
Berikan pilihan antibiotik pertama secara efektif dan tepat
Dasarkan pemilihan antibiotik, baik empiris maupun bertarget, pada pengetahuan pola
kepekaan lokal (antibiogram lokal)
Optimalkan dosis dan rute pemberian antibiotik
Berikan antibiotik tunggal, spektrum luas dengan durasi sesingkat mungkin
DAN
Sesuaikan atau hentikan terapi antibiotik sedini mungkin untuk mengurangi
kemungkinan resistensi (de-eskalasi)

Pilihan kombinasi antibiotik empiris untuk sepsis pediatrik dengan penyebab yang
belum diketahui adalah penisilin spektrum luas dengan aminoglikosida; atau sefalosporin
generasi ketiga atau keempat dengan aminoglikosidaa dan vankomisin; atau karbapenem
dengan aminoglikosida dan vankomisin.4

Tabel 3. Patogen Sepsis10


Kelompok Usia Patogen
0-30 hari Group B streptococci, Escherichia coli
dan Enterobacteriaceae lainnya,
Staphylococcus aureus, dan Listeria
monocytogenes
1-3 bulan Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Haemophilus influenzae,
dan E coli dan Enterobacteriaceae lainnya
3 bulan-5 tahun S pneumoniae, N meningitidis, H
influenzae, and S aureus
>5 tahun S pneumoniae, N meningitidis, group A
β-streptococcus, S aureus, dan
Fusobacterium necrophorum
Imunokompromais dan anak yang dirawat S aureus, Staphylococcus epidermidis dan
inap bakteri batang koagulase negatif lainnya,
Streptococcus mitis, dan Candida

Tabel 4. Antibiotik Empiris untuk Infeksi yang Didapat dari Komunitas (Community
Acquired Infection)10

Usia Dicurigai Bakteremia Sindrom Sepsis dan/atau


Infeksi Berat
<4 minggu Ampisilin dan Ampisilin dan
Sefotaksim atau gentamisin Vaksomisin dan
Sefotaksim atau
gentamisin
4-7 minggu Ampisilin dan Ampisilin dan
Seftriakson atau sefotaksim Vankomisin dan
Seftriakson atau
sefotaksim
8 minggu-remaja Seftriakson atau sefotaksim Vankomisin dan
Klindamisin dan
Seftriakson atau
sefotaksim

Tabel 5. Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk sepsis pediatrik dengan penyebab
yang belum diketahui4

Antibiotik
Extended-spectrum penisilin + aminoglikosida
Sefalosporin generasi ketiga atau keempat + aminoglikosida + vankomisin
Karbapenem + aminoglikosida + vankomisin
Tabel 6. Jenis Antibiotika Empirik berdasarkan Kondisi Sepsis dan Kemungkinan
mikroorganisme Penyebab4

Kondisi Jenis Antibiotika i.v

Infeksi komunitas (community acquired) Ampisilin-sulbactam, sefalosporin


generasi III (sefotaxim, seftriaxon)
Infeksi rumah sakit (hospital acquired) Extended spectrum penicillin (ampisilin-
sulbac- tam, piperacillin-
tazobactam)/cefepime/car- bapenem;
ditambah gentamisin, siprofloxasin, atau
vankomisin (sesuai kasus)
Infeksi Stafilokokus koagulase negatif
terkait kateter vascular sentral Klindamisin, Vankomisin

Methicillin-resistance Staphylococcus
aureus Lini I: Cefepime, Piperacillin-
(MRSA) Netropenia tazobactam, me- ropenem
Lini II: Vankomisin, klindamisin,
teikoplanin
Sindrom syok toksik (Toxic shock
syndrome) Kondisi imunokompromais vankomisin, linezolid, klindamisin

LAMA PEMBERIAN ANTIBIOTIK


Lama pemberian antibiotik juga perlu diperhatikan. Pemberian antibiotik yang lebih
lama dikaitkan dengan seleksi dan penyebaran patogen MDR, peningkatan risiko toksisitas,
dan biaya yang lebih tinggi, tetapi pemberian yang terlalu pendek berisiko tidak memadainya
pemberantasan bakteri dan kekambuhan.12 Pedoman saat ini menyarankan pemberian selama
7-10 hari, kecuali terdapat prediktor prognosis yang buruk (mis., kegagalan klinis awal, fokus
infeksi yang tidak dapat dihilangkan). Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
atau Pseudomonas aeruginosa mungkin memerlukan program antibiotik yang lebih lama untuk
menghindari kegagalan pengobatan, kambuh dini atau komplikasi metastasis. Sebuah studi
sistematis terhadap 24 studi yang membandingkan rejimen yang lebih pendek (5-7 hari) dengan
yang lebih lama (7-21 hari) untuk pasien kritis dengan berbagai infeksi mengidentifikasi tidak
ada perbedaan dalam hal penyembuhan klinis, pemberantasan mikrobiologis, atau
kelangsungan hidup.5,13
Fontela dkk melakukan survei terhadap 62 dokter anak Kanada dan 37 dokter penyakit
menular anak. Median yang direkomendasikan durasi terapi antibiotik untuk skenario berkisar
dari 7 hari (skenario pneumonia) hingga 10 hari (skenario meningitis), dengan dokter penyakit
menular umumnya merekomendasikan jangka waktu terapi yang lebih lama daripada
intensivists, walaupun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Beberapa faktor "inti"
menyebabkan perpanjangan durasi antibiotik di semua skenario, termasuk keparahan penyakit,
adanya imunodefisiensi, kelompok usia bayi, kultur bakteri positif, leukositosis persisten atau
peningkatan protein C-reaktif (CRP), dan apakah infeksi tersebut diperoleh di rumah sakit. Para
penulis menyimpulkan bahwa keputusan seputar penghentian antibiotik adalah kompleks dan
bahwa dokter sering memperpanjang durasi pengobatan berdasarkan karakteristik klinis atau
laboratorium yang tidak meyakinkan meskipun sedikit bukti yang mendukung praktik ini.5,6
Keputusan tentang lamanya terapi antibiotik perlu disesuaikan dengan individu, dengan
mempertimbangkan variabel yang berbeda mengenai pasien (misalnya, tingkat keparahan
penyakit, respons klinis), jenis infeksi (misalnya, kontrol sumber, infeksi mendalam [misalnya,
infeksi tulang], MDR patogen) dan ketersediaan alat diagnostik.2,12,14 Biomarker dapat
membantu dalam pengambilan keputusan tentang kapan harus menghentikan antibiotik.5
Beberapa biomarker telah dipelajari sebagai alat skrining untuk membedakan infeksi bakteri
dari penyebab sepsis lainnya serta untuk memandu durasi terapi.15 Sebuah uji coba acak besar
menunjukkan durasi terapi antibiotik yang lebih pendek dengan mortalitas yang lebih rendah
pada pasien ICU dewasa ketika tingkat prokalsitonin digunakan sebagai panduan untuk
penghentian antibiotik dibandingkan dengan perawatan biasa. Namun, data tentang keefektifan
pendekatan ini saling bertentangan, batas yang optimal belum ditentukan dan variabel lintas
studi, dan data pediatrik sangat terbatas.16 Teknik diagnostik molekuler yang cepat muncul
menjanjikan dalam menyesuaikan terapi antimikroba lebih awal dari metode tradisional dengan
lebih cepat mengidentifikasi baik organisme penular maupun penentu resistensi antibiotik.17

PENETRASI JARINGAN
Tingkat penetrasi antibiotik harus dipertimbangkan untuk memastikan eksposur obat
pada lokasi infeksi sudah mencukupi untuk tercapainya respon terapeutik yang maksimal.18
Manajemen untuk infeksi sistem saraf pusat (SSP) membutuhkan antibiotik yang mampu
mempenetrasi blood-brain barrier (BBB) hingga tercapainya konsentrasi yang cukup untuk
mengeradikasi patogen yang menginfeksi. Obat-obatan berukuran kecil yang bersifat sangat
lipofilik dengan kemampuan berikatan dengan protein yang lemah merupakan obat yang dapat
mempenetrasi blood-brain barrier dengan baik. Jenis antibiotik yang memiliki penetrasi yang
baik terhadap sistem saraf pusat adalah antibiotik golongan penisilin, sefalosporin (kecuali
sefuroksim), karbapenem, aztreonam, kloramfenikol, sulfametoksasol/trimetoprim,
fosfomisin, metronidazole, rifampisin, isoniazid, pirazinamid, daptomisin, fluorokuinolon dan
tetrasiklin. Nafsilin dan piperasilin sudah dilakukan studi pada pasien anak-anak, namun
penetrasinya tidak menentu.19
Penetrasi antibiotik dalam kasus infeksi paru seperti pneumonia ditentukan oleh
kemampuan antibiotik dalam menembus epithelial lining fluid (ELF). Studi untuk rasio ELF-
plasma masih terbatas pada sejumlah antibiotik dan semuanya dilakukan pada dewasa,
termasuk diantaranya adalah beta-laktam, vankomisin, aminoglikosida, dan fluorokuinolon.20
Antibiotik golongan beta-laktam dapat mempenetrasi paru dengan mekanisme difusi pasif,
sementara kuinolon dan klindamisin dapat mempenetrasi paru dengan mekanisme transpor
aktif.
Antibiotik golongan beta-laktam sangat efektif terhadap sebagian besar bakteri yang
menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak. Penetrasi jaringan yang baik membuat beta-
laktam menjadi pilihan utama dalam mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak. Pilihan beta-
laktam yang paling baik adalah antibiotik dengan spektrum yang sempit. Antibiotik dengan
spektrum lebih luas dapat dipertimbangkan berdasarkan suseptibilitas patogen. Antibiotik yang
diketahui memiliki penetrasi jaringan yang sangat baik adalah antibiotik golongan
monobaktam, penem, dan inhibitor penisilinase. Fluorokuinolon merupakan antibiotik yang
terbukti sedikit lebih efektif dibanding beta-laktam, namun lebih jarang digunakan.21

TOKSISITAS
Nefrotoksisitas
Nefrotoksisitas yang diinduksi obat semakin diakui sebagai kontributor signifikan
terhadap penyakit ginjal termasuk cedera ginjal akut dan penyakit ginjal kronis (PGK). Efek
samping yang diinduksi oleh obat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: 1) efek
tergantung dosis 2) reaksi idiosinkratik. Reaksi tergantung dosis dapat diprediksi dari
farmakologi obat yang diketahui. Sebagai contoh, risiko aminoglikosida terhadap
nefrotoksisitas meningkat pada konsentrasi obat yang lebih tinggi dan durasi terapi yang lebih
lama. Sedangkan, nefritis interstitial dari inhibitor pompa proton adalah reaksi idiosinkratik
yang tidak dapat diprediksi, yang tidak mungkin dapat dicegah atau diminimalkan. Pada pasien
anak yang dirawat, faktor predisposisi seperti usia, farmakogenetik, keparahan penyakit, dan
medikasi lain juga menentukan dan memengaruhi keparahan dari efek negatif terhadap ginjal
dari suatu obat.22
Obat antibiotik yang memiliki efek nefrotoksik salah satunya adalah aminoglikosida.
Penelitian oleh Zappitelli et al menemukan bahwa satu per tiga pasien yang dilakukan
pemberian aminoglikosida akan mengembangkan gagal ginjal. Obat obatan aminoglikosida
seperti gentamisin dan tobramisin dapat berakumulasi dan diendositosis oleh sel sel pada epitel
tubulus ginjal melalui reseptor megalin. Efek nefrotoksisitas vankomisin juga telah banyak
diteliti namun hasilnya masih kontroversial, tapi penelitian di beberapa hewan percobaan
menunjukkan adanya efek oksidatif pada tubulus proksimal ginjal yang menyebabkan
nefrotoksisitas. Penggunaan vankomisin bersamaan dengan aminoglikosida atau piperasilin
tazobaktem telah terbukti meningkatkan efek nefrotoksik. Selain itu polimiksin B juga
memiliki efek nefrotoksik.23
Strategi untuk mengurangi efek nefrotoksik adalah pemakaian aminoglikosida dengan
memperpanjang dosis interval. Pemilihan jenis aminoglikosida juga penting dengan urutan
nefrotoksisitas dari yang paling toksik adalah sebagai berikut: neomisin > gentamisin ≥
tobramisin ≥ amikasin ≥ netilmisin > streptomisin. Beberapa penelitian juga menunjukkan efek
pemberian statin terhadap inhibisi endositosis yang dimediasi megalin.24

Hepatotoksisitas
Secara kolektif, berbagai kelas antibiotik adalah penyebab utama darii cedera hati yang
diinduksi oleh obat/Drug induced liver injury (DILI). Amoksisilin-klavulanat memimpin daftar
penyebab DILI di Amerika Serikat serta Spanyol (59 dari 446 5 13% secara keseluruhan, dan
59% dari semua antimikroba dan 67% dari semua antibakteri untuk penggunaan sistemik). Di
Swedia, flukloksasilin adalah antibiotik yang paling umum terlibat dengan DILI, diikuti oleh
eritromisin dan TMP/SMX. Kloksasilin dan dikloksasilin ditemukan menyebabkan beberapa
kejadian hepatitis kolestatik.25

Ototoksisitas
Efek ototoksisitas obat dapat memengaruhi kualitas hidup dan psikologis dari anak.
Obat ototoksik menyebakan gangguan fungsional atau degenerasi selular dari jaringan di
telinga dalam sehingga menyebabkan kokleotoksisitas dan/atau vestibulotoksisitas. Meskipun
efek ototoksik dari beberapa obat akan menghilang ketika pemberian obat dihentikan,
penggunaan derivat platinum dan aminogliksida berkaitan dengan hilangnya pendengaran
permanen. Selain aminoglikosida, antibiotik golongan makrolid juga diketahui memilki efek
ototoksisitas.26
Indeks terapeutik dari aminoglikosida sempit dan berkatian dengan toksisitas teliga dan
ginjal. Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang paling ototoksik, selanjutnya
adalah gentamisin, kanamisin dan tobramisin. Streptomisin dan gentamisin utamanya bersifat
vestibulotoksik sementara amikasin, neomisisn dan kanamisin lebih bersifat kokleotoksik.
Pemantauan dosis dalam jendela terapi dari obat obat ini dan evaluasi gangguan telinga penting
dilakukan. 26

PERTIMBANGAN LAIN
Antibiotik yang harus dihindari pada pasien dengan penyakit hati, berkaitan dengan
pengubahan dalam metabolismenya adalah: 1) kloramfenikol — risiko depresi sumsum tulang
yang lebih tinggi karena peningkatan waktu paruh; 2)erithromisin estolat: menyebabkan
kolestasis; 3)tetrasiklin, menyebabkan hepatotoksisitas terkait dosis; 4)griseofulvin
dikontraindikasikan.25
Pada pasien dengan gangguan ginjal, harus dilakukan penyesuaian dosis akibat
perubahan eliminasi obat yang terjadi. Karena Vd banyak obat, terutama antibiotik hidrofilik,
termasuk b-laktam dan sefalosporin secara signifikan meningkat pada AKI, pemberian dosis
pemuatan agresif (25-50% lebih besar dari normal) sangat dianjurkan. Pengukuran prospektif
konsentrasi obat serum dan penggunaan selanjutnya dari pendekatan pemantauan obat
terapeutik PK / PD harus dilakukan bila memungkinkan, terutama untuk obat dengan kisaran
terapi yang sempit.27
Sefepim tidak boleh diberikan dari CKD stadium 4 ke bawah, yaitu, ketika GFR di
bawah 30 mL / menit, karena telah ada delapan kasus keracunan sistem saraf pusat yang
mematikan yang terjadi setelah lima sampai tujuh hari perawatan parenteral. Untuk mencapai
tingkat efektif pada pasien dengan gagal ginjal, kadar vankomisin harus berada antara 10 dan
15 mg /L, dan gentamisin antara 2 dan 4 mg /L. 27

KESIMPULAN
Pemberian antibiotik yang tepat adalah hal yang krusial pada pasien anak dengan sakit
kritis. Pemberian yang berlebih dapat menyebabkan toksisitas dan pemberian yang kurang
dapat menyebabkan kegagalan terapi. Perlu dipahami terdapat berbagai mekanisme pada
pasien sakit kritis yang akan memengaruhi farkamokinetik dan farmakodinamik dari obat yang
diberikan sehingga penyesuaian dosis sangat penting untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Smits, A., & De Cock, P. A. 2018. Antibiotic PK/PD research in critically ill neonates and
children: how do we proceed?
2. Hartman, S., Brüggemann, R., Orriëns, L., Dia, N., Schreuder, M., & de Wildt, S. 2019.
P43 Pharmacokinetics and target attainment of antibiotics in critically ill children–a
systematic review of current literature.
3. Rogers, M. C. 2008. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Philadelphia: Lippincott
Williams and Williams.
4. Indonesia, M. K. R. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.
01.07/Menkes/342/2017 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Sepsis.
5. Chiotos, K., Gerber, J. S., & Himebauch, A. S. 2017. How can we optimize antibiotic use
in the pediatric intensive care unit?. Pediatric critical care medicine: a journal of the
Society of Critical Care Medicine and the World Federation of Pediatric Intensive and
Critical Care Societies, 18(9), 903.
6. Udy, A. A., Roberts, J. A., & Lipman, J. 2013. Clinical implications of antibiotic
pharmacokinetic principles in the critically ill. Intensive care medicine, 39(12), 2070-
2082.
7. De Cock, P. A., Standing, J. F., Barker, C. I., de Jaeger, A., Dhont, E., Carlier, M., & De
Paepe, P. 2015. Augmented renal clearance implies a need for increased amoxicillin-
clavulanic acid dosing in critically ill children. Antimicrobial agents and
chemotherapy, 59(11), 7027-7035.
8. Van Der Heggen, T., Dhont, E., Peperstraete, H., Delanghe, J. R., Walle, J. V., De Paepe,
P., & De Cock, P. A. 2019. Augmented renal clearance: a common condition in critically
ill children. Pediatric Nephrology, 34(6), 1099-1106.
9. Thakkar, N., Salerno, S., Hornik, C. P., & Gonzalez, D. 2017. Clinical pharmacology
studies in critically ill children. Pharmaceutical research, 34(1), 7-24.
10. Mejia, R., Fields, A., Greenwald, B. M., & Stein, F. 2008. Pediatric fundamental critical
care support. Mount Prospect (IL): Society of Critical Care Medicine.
11. Parker, S. L., Sime, F. B., & Roberts, J. A. 2015. Optimizing dosing of antibiotics in
critically ill patients. Current opinion in infectious diseases, 28(6), 497-504.
12. Fuhrman, B. P., & Zimmerman, J. J. 2016. Pediatric Critical Care. Elsevier Health
Sciences.
13. Kyo, M., Ohshimo, S., Kosaka, T., Fujita, N., & Shime, N. 2019. Impact of inappropriate
empiric antimicrobial therapy on mortality in pediatric patients with bloodstream
infection: a retrospective observational study. Journal of Chemotherapy, 1-6.
14. Shorr, A. F., Micek, S. T., Welch, E. C., Doherty, J. A., Reichley, R. M., & Kollef, M. H.
2011. Inappropriate antibiotic therapy in Gram-negative sepsis increases hospital length
of stay. Critical care medicine, 39(1), 46-51.
15. Van Engelen, T. S., Wiersinga, W. J., Scicluna, B. P., & van der Poll, T. 2018. Biomarkers
in sepsis. Critical care clinics, 34(1), 139-152.
16. Nellis, M. E., Pon, S., Giambrone, A. E., Coleman, N. E., Reiss, J., Mauer, E., &
Greenwald, B. M. 2016. The diagnostic accuracy of serum procalcitonin for bacteremia in
critically ill children. Infectious diseases in clinical practice (Baltimore, Md.), 24(6), 343.
17. Vincent, J. L., Brealey, D., Libert, N., Abidi, N. E., O’Dwyer, et al. 2015. Rapid diagnosis
of infection in the critically ill, a multicenter study of molecular detection in bloodstream
infections, pneumonia, and sterile site infections. Critical care medicine, 43(11), 2283.
18. Le J, Bradley JS. 2018. Optimizing Antibiotic Drug Therapy in Pediatrics: Current State
and Future Needs. ClinPhar;58(10):108-122
19. Sullins AK, Abdel-Rahman SM. 2013.Pharmacokinetics of antibacterial agents in the CSF
of children and adolescents. PediatrDrugs;15(2):93–117.30.
20. Onufrak NJ, Forrest A, Gonzalez D. 2016.Pharmacokinetic and pharmacodynamic
principles of anti-infective dosing.ClinTher;38(9):1930–1947.
21. Moon KT. 2017. Which Antibiotics Are Best for Skin and Soft Tissue Infections? Am
Fam Physician;76(7):1034-1038.
22. Awdishu, L., & Mehta, R. L. 2017. The 6R’s of drug induced nephrotoxicity. BMC
nephrology, 18(1), 124.
23. Hanna, M. H., Askenazi, D. J., & Selewski, D. T. 2016. Drug induced acute kidney injury
in neonates. Current opinion in pediatrics, 28(2), 180.
24. McWilliam, S. J., Antoine, D. J., Smyth, R. L., & Pirmohamed, M. 2017. Aminoglycoside-
induced nephrotoxicity in children. Pediatric Nephrology, 32(11), 2015-2025.
25. Stine, J. G., & Lewis, J. H. 2013. Hepatotoxicity of antibiotics: a review and update for
the clinician. Clinics in liver disease, 17(4), 609-642.
26. Lanvers Kaminsky, C., Zehnhoff Dinnesen, A. A., Parfitt, R., & Ciarimboli, G. 2017. Drug
induced ototoxicity: Mechanisms, Pharmacogenetics, and protective strategies. Clinical
Pharmacology & Therapeutics, 101(4), 491-500.
27. Hartmann, B., Czock, D., & Keller, F. 2011. Drug therapy in patients with chronic renal
failure. Deutsches Ärzteblatt International, 107(37), 647.

Anda mungkin juga menyukai