PENDAHULUAN
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling umum diberikan pada anak-anak yang
dirawat di rumah sakit.1 Sekitar 50% pasien menerima agen antibiotik selama tinggal di rumah
sakit. Pada anak-anak yang sakit kritis, penggunaan profilaksis dan terapeutik antibiotik
intravena bahkan lebih sering dilakukan.2 Pasien unit perawatan intensif (ICU) cenderung
memiliki atau mengembangkan infeksi, baik karena infeksi tersebut merupakan alasan utama
dirawat maupun karena kondisi imunosupresi terkait dengan penyakit kritis dan sejumlah besar
perangkat invasif yang digunakan pada pasien tersebut.2, 3
Cakupan antibiotik yang tepat dan memadai sangat penting pada pasien sakit kritis.
Pemberian yang tidak tepat dapat menyebabkan masalah yang kompleks sebagai akibat dari
keterlambatan identifikasi mikroorganisme, dampak penyakit kritis terhadap farmakokinetik
dan farmakodinamik antibiotik, dan tingginya prevalensi strain yang resisten antibiotik.2
Pemberian antibiotik pada pasien kritis tentu berbeda dengan pasien pada umumnya terkait
dengan adanya penyakit komorbid dan kondisi pasien yang menyebabkan perubahan pada
farmakodinamik dan farmakokinetik dari antibiotik yang diberikan. Diagnosis infeksi pada
pasien yang sakit kritis dan identifikasi mikroorganisme penyebab dan resistensi mikroba
adalah hal yang penting. Diagnosis yang tertunda dapat menyebabkan disfungsi organ yang
signifikan, syok, kegagalan multiorgan, dan kematian.4 Diagnosis dapat didasarkan pada tanda
klinis infeksi yang khas ataupun dengan biomarker seperti Protein C-reaktif dan prokalsitonin.
Masalah utama terkait dengan manajemen antibiotik, termasuk masalah yang terkait dengan
waktu, durasi, dan dosis.2,5
Praktik peresepan antibiotik pada pasien sakit kritis masih sangat bervariasi dan belum
ada standar yang jelas karena kurangnya data berbasis bukti tentang terapi antimikroba yang
optimal pada neonatus dan anak-anak.1 Pedoman mengenai pemberian antibiotik pada pasien
sakit kritis masih belum jelas, meskipun implikasinya sangat nyata bagi pasien. Diperkirakan
40–80% pasien unit perawatan intensif anak (PICU) menerima antibiotik dan sebanyak
setengah dari penggunaan itu mungkin tidak sesuai.5 Pada pasien unit perawatan intensif (ICU),
konsentrasi antibiotik yang berada di luar kadar terapeutik mencapai 41% dari pasien dewasa
dan bahkan 95% pada populasi ICU anak sakit kritis (PICU).3 Ketidakpastian ini terutama
merupakan konsekuensi dari heterogenitas klinis yang ditandai dan gangguan fisiologis
multisistem yang ditemui pada penyakit kritis, didorong oleh patologi yang mendasarinya dan
intervensi yang diberikan.6
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat tentunya memilki konsekuensi yang merugikan,
termasuk toksisitas obat, infeksi Clostridium difficile, dan resistensi antibiotik, yang
belakangan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang semakin meningkat. Perlunya
penggunaan antibiotik yang tepat telah disorot oleh beberapa organisasi nasional dan
internasional.2
Volume distribusi
Beberapa faktor telah terbukti meningkatkan volume distribusi (Vd) antibiotik.
Berbagai mekanisme telah diidentifikasi, termasuk peningkatan Vd yang berhubungan dengan
resusitasi cairan atau gangguan fisiologis yang terjadi dengan meningkatnya keparahan
penyakit.2 Resusitasi cairan sebagai terapi dapat mengakibatkan peningkatan total air tubuh
sehingga Vd menjadi lebih besar dan karenanya terjadi pengenceran senyawa hidrofilik.2,6
Sindrom respons peradangan sistemik (SIRS), yang disebabkan oleh sitokin inflamasi,
menginduksi kebocoran kapiler dan pergeseran cairan intravaskular ke ruang ekstravaskular.2,6
Cairan 'third space’ ini dapat mengurangi konsentrasi obat, tidak hanya dalam plasma tetapi
juga di lokasi infeksi. Selain itu, beberapa proses patofisiologis lain hadir pada pasien sakit
kritis yang dapat mengubah interaksi obat-albumin.6 Proses-proses ini termasuk: penurunan
sintesis albumin dan kebocoran kapiler, atau hilangnya albumin pada pasien dengan luka bakar.
Faktanya, hipoalbuminaemia (≤25 g / dL) terjadi pada lebih dari 40% pasien yang dirawat di
ICU. Perpindahan oleh molekul-molekul endogen dengan afinitas tinggi untuk albumin (mis.
Bilirubin dan urea) atau dengan pemberian bersamaan dari obat-obat lain juga berperan
penting. Perubahan konformasi pada molekul albumin, seperti yang terjadi dengan glikosilasi
yang disebabkan oleh hiperglikemia, juga telah terbukti mengurangi kapasitas pengikatan yang
menyebabkan peningkatan Vd. Mengingat perubahan patofisiologis ini, tidak mengherankan
bahwa pengikatan protein mungkin relevan secara klinis, terutama untuk agen antimikroba
dengan bersihan intrinsik tinggi, yang juga sangat terikat protein (> 85-90%) dan sebagian
besar dibersihkan oleh filtrasi glomerulus.6
Hipoalbuminemia dapat menyebabkan peningkatan proporsi fraksi antimikroba yang
aktif dan tidak terikat, walaupun secara paradoks, sebagai konsekuensi dari peningkatan Vd
dan bersihan obat, konsentrasi antimikroba sebenarnya dapat dikurangi sepanjang interval
dosis.5 Juga, peradangan dan penyakit kritis tampaknya menurunkan regulasi metabolisme
obat, seperti terlihat dengan metabolisme midazolam yang dimediasi CYP3A pada anak-anak
yang sakit kritis dan CYP2C9 memediasi metabolisme warfarin pada orang dewasa yang sakit
kritis.2 Variabilitas inter-dan intra-pasien yang tinggi pada Vd diperburuk oleh resusitasi cairan
yang agresif, dan bersihan obat dapat secara signifikan dipengaruhi oleh augmented renal
clearance (ARC), cedera ginjal akut (AKI), terapi penggantian ginjal (RRT) dan oksigenasi
membran ekstrakorporeal (ECMO).2,8,9
Gambar 1. Temuan klinis yang Memegaruhi Pengikatan Albumin dengan Obat 6
Bersihan Obat
Beberapa variabel dapat mempengaruhi pembersihan ginjal dari antibiotik. Dalam
kondisi hipoalbuminemia, ada peningkatan pembersihan obat. Pada anak dengan sakit kritis
juga sering dijumpai gangguan pada bersihan ginjal, baik penurunan maupun peningkatan. AKI
pada anak-anak yang sakit kritis terutama disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ginjal
(mis. karena penipisan volume atau penurunan tekanan darah arteri) dan kerusakan glomerulus
atau tubular karena pelepasan sitokin, koagulasi intravaskular diseminata atau agen
nefrotoksik. 2 AKI menyebabkan penurunan bersihan ginjal dan potensi supraterapeutik atau
tercapainya konsentrasi toksik dari obat yang diekskresikan pada ginjal.2,5
Untuk pasien dengan curah jantung yang tinggi dan resistensi vaskular sistemik yang
rendah, seperti pada sepsis, pembersihan obat dengan ginjal dapat meningkat karena
peningkatan perfusi ginjal, hingga tiga kali lipat dari angka normal, dan dapat dikaitkan dengan
kegagalan pengobatan walaupun pasien sensitif terhadap antibiotik.1 Peningkatan ARC juga
dapat menyebabkan bersihan obat meningkat dan dosis menjadi berada dalam rentang
subterapeutik.2,7,8
Studi lain menyelidiki hubungan ini dan menemukan bahwa penambahan kreatinin
menjadi tidak signifikan. Hal ini mungkin mencerminkan bahwa kreatinin serum adalah
penanda suboptimal untuk GFR atau adanya dampak faktor lain selain GFR pada variabilitas
dalam bersihan obat. Ketidakmampuan untuk memperkirakan secara akurat pembersihan obat
menggunakan biomarker adalah salah satu tantangan mendasar tentang mengoptimalkan
pencapaian target pada pasien kritis.2
Sirkulasi
hiperdimanik
Pilihan kombinasi antibiotik empiris untuk sepsis pediatrik dengan penyebab yang
belum diketahui adalah penisilin spektrum luas dengan aminoglikosida; atau sefalosporin
generasi ketiga atau keempat dengan aminoglikosidaa dan vankomisin; atau karbapenem
dengan aminoglikosida dan vankomisin.4
Tabel 4. Antibiotik Empiris untuk Infeksi yang Didapat dari Komunitas (Community
Acquired Infection)10
Tabel 5. Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk sepsis pediatrik dengan penyebab
yang belum diketahui4
Antibiotik
Extended-spectrum penisilin + aminoglikosida
Sefalosporin generasi ketiga atau keempat + aminoglikosida + vankomisin
Karbapenem + aminoglikosida + vankomisin
Tabel 6. Jenis Antibiotika Empirik berdasarkan Kondisi Sepsis dan Kemungkinan
mikroorganisme Penyebab4
Methicillin-resistance Staphylococcus
aureus Lini I: Cefepime, Piperacillin-
(MRSA) Netropenia tazobactam, me- ropenem
Lini II: Vankomisin, klindamisin,
teikoplanin
Sindrom syok toksik (Toxic shock
syndrome) Kondisi imunokompromais vankomisin, linezolid, klindamisin
PENETRASI JARINGAN
Tingkat penetrasi antibiotik harus dipertimbangkan untuk memastikan eksposur obat
pada lokasi infeksi sudah mencukupi untuk tercapainya respon terapeutik yang maksimal.18
Manajemen untuk infeksi sistem saraf pusat (SSP) membutuhkan antibiotik yang mampu
mempenetrasi blood-brain barrier (BBB) hingga tercapainya konsentrasi yang cukup untuk
mengeradikasi patogen yang menginfeksi. Obat-obatan berukuran kecil yang bersifat sangat
lipofilik dengan kemampuan berikatan dengan protein yang lemah merupakan obat yang dapat
mempenetrasi blood-brain barrier dengan baik. Jenis antibiotik yang memiliki penetrasi yang
baik terhadap sistem saraf pusat adalah antibiotik golongan penisilin, sefalosporin (kecuali
sefuroksim), karbapenem, aztreonam, kloramfenikol, sulfametoksasol/trimetoprim,
fosfomisin, metronidazole, rifampisin, isoniazid, pirazinamid, daptomisin, fluorokuinolon dan
tetrasiklin. Nafsilin dan piperasilin sudah dilakukan studi pada pasien anak-anak, namun
penetrasinya tidak menentu.19
Penetrasi antibiotik dalam kasus infeksi paru seperti pneumonia ditentukan oleh
kemampuan antibiotik dalam menembus epithelial lining fluid (ELF). Studi untuk rasio ELF-
plasma masih terbatas pada sejumlah antibiotik dan semuanya dilakukan pada dewasa,
termasuk diantaranya adalah beta-laktam, vankomisin, aminoglikosida, dan fluorokuinolon.20
Antibiotik golongan beta-laktam dapat mempenetrasi paru dengan mekanisme difusi pasif,
sementara kuinolon dan klindamisin dapat mempenetrasi paru dengan mekanisme transpor
aktif.
Antibiotik golongan beta-laktam sangat efektif terhadap sebagian besar bakteri yang
menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak. Penetrasi jaringan yang baik membuat beta-
laktam menjadi pilihan utama dalam mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak. Pilihan beta-
laktam yang paling baik adalah antibiotik dengan spektrum yang sempit. Antibiotik dengan
spektrum lebih luas dapat dipertimbangkan berdasarkan suseptibilitas patogen. Antibiotik yang
diketahui memiliki penetrasi jaringan yang sangat baik adalah antibiotik golongan
monobaktam, penem, dan inhibitor penisilinase. Fluorokuinolon merupakan antibiotik yang
terbukti sedikit lebih efektif dibanding beta-laktam, namun lebih jarang digunakan.21
TOKSISITAS
Nefrotoksisitas
Nefrotoksisitas yang diinduksi obat semakin diakui sebagai kontributor signifikan
terhadap penyakit ginjal termasuk cedera ginjal akut dan penyakit ginjal kronis (PGK). Efek
samping yang diinduksi oleh obat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: 1) efek
tergantung dosis 2) reaksi idiosinkratik. Reaksi tergantung dosis dapat diprediksi dari
farmakologi obat yang diketahui. Sebagai contoh, risiko aminoglikosida terhadap
nefrotoksisitas meningkat pada konsentrasi obat yang lebih tinggi dan durasi terapi yang lebih
lama. Sedangkan, nefritis interstitial dari inhibitor pompa proton adalah reaksi idiosinkratik
yang tidak dapat diprediksi, yang tidak mungkin dapat dicegah atau diminimalkan. Pada pasien
anak yang dirawat, faktor predisposisi seperti usia, farmakogenetik, keparahan penyakit, dan
medikasi lain juga menentukan dan memengaruhi keparahan dari efek negatif terhadap ginjal
dari suatu obat.22
Obat antibiotik yang memiliki efek nefrotoksik salah satunya adalah aminoglikosida.
Penelitian oleh Zappitelli et al menemukan bahwa satu per tiga pasien yang dilakukan
pemberian aminoglikosida akan mengembangkan gagal ginjal. Obat obatan aminoglikosida
seperti gentamisin dan tobramisin dapat berakumulasi dan diendositosis oleh sel sel pada epitel
tubulus ginjal melalui reseptor megalin. Efek nefrotoksisitas vankomisin juga telah banyak
diteliti namun hasilnya masih kontroversial, tapi penelitian di beberapa hewan percobaan
menunjukkan adanya efek oksidatif pada tubulus proksimal ginjal yang menyebabkan
nefrotoksisitas. Penggunaan vankomisin bersamaan dengan aminoglikosida atau piperasilin
tazobaktem telah terbukti meningkatkan efek nefrotoksik. Selain itu polimiksin B juga
memiliki efek nefrotoksik.23
Strategi untuk mengurangi efek nefrotoksik adalah pemakaian aminoglikosida dengan
memperpanjang dosis interval. Pemilihan jenis aminoglikosida juga penting dengan urutan
nefrotoksisitas dari yang paling toksik adalah sebagai berikut: neomisin > gentamisin ≥
tobramisin ≥ amikasin ≥ netilmisin > streptomisin. Beberapa penelitian juga menunjukkan efek
pemberian statin terhadap inhibisi endositosis yang dimediasi megalin.24
Hepatotoksisitas
Secara kolektif, berbagai kelas antibiotik adalah penyebab utama darii cedera hati yang
diinduksi oleh obat/Drug induced liver injury (DILI). Amoksisilin-klavulanat memimpin daftar
penyebab DILI di Amerika Serikat serta Spanyol (59 dari 446 5 13% secara keseluruhan, dan
59% dari semua antimikroba dan 67% dari semua antibakteri untuk penggunaan sistemik). Di
Swedia, flukloksasilin adalah antibiotik yang paling umum terlibat dengan DILI, diikuti oleh
eritromisin dan TMP/SMX. Kloksasilin dan dikloksasilin ditemukan menyebabkan beberapa
kejadian hepatitis kolestatik.25
Ototoksisitas
Efek ototoksisitas obat dapat memengaruhi kualitas hidup dan psikologis dari anak.
Obat ototoksik menyebakan gangguan fungsional atau degenerasi selular dari jaringan di
telinga dalam sehingga menyebabkan kokleotoksisitas dan/atau vestibulotoksisitas. Meskipun
efek ototoksik dari beberapa obat akan menghilang ketika pemberian obat dihentikan,
penggunaan derivat platinum dan aminogliksida berkaitan dengan hilangnya pendengaran
permanen. Selain aminoglikosida, antibiotik golongan makrolid juga diketahui memilki efek
ototoksisitas.26
Indeks terapeutik dari aminoglikosida sempit dan berkatian dengan toksisitas teliga dan
ginjal. Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang paling ototoksik, selanjutnya
adalah gentamisin, kanamisin dan tobramisin. Streptomisin dan gentamisin utamanya bersifat
vestibulotoksik sementara amikasin, neomisisn dan kanamisin lebih bersifat kokleotoksik.
Pemantauan dosis dalam jendela terapi dari obat obat ini dan evaluasi gangguan telinga penting
dilakukan. 26
PERTIMBANGAN LAIN
Antibiotik yang harus dihindari pada pasien dengan penyakit hati, berkaitan dengan
pengubahan dalam metabolismenya adalah: 1) kloramfenikol — risiko depresi sumsum tulang
yang lebih tinggi karena peningkatan waktu paruh; 2)erithromisin estolat: menyebabkan
kolestasis; 3)tetrasiklin, menyebabkan hepatotoksisitas terkait dosis; 4)griseofulvin
dikontraindikasikan.25
Pada pasien dengan gangguan ginjal, harus dilakukan penyesuaian dosis akibat
perubahan eliminasi obat yang terjadi. Karena Vd banyak obat, terutama antibiotik hidrofilik,
termasuk b-laktam dan sefalosporin secara signifikan meningkat pada AKI, pemberian dosis
pemuatan agresif (25-50% lebih besar dari normal) sangat dianjurkan. Pengukuran prospektif
konsentrasi obat serum dan penggunaan selanjutnya dari pendekatan pemantauan obat
terapeutik PK / PD harus dilakukan bila memungkinkan, terutama untuk obat dengan kisaran
terapi yang sempit.27
Sefepim tidak boleh diberikan dari CKD stadium 4 ke bawah, yaitu, ketika GFR di
bawah 30 mL / menit, karena telah ada delapan kasus keracunan sistem saraf pusat yang
mematikan yang terjadi setelah lima sampai tujuh hari perawatan parenteral. Untuk mencapai
tingkat efektif pada pasien dengan gagal ginjal, kadar vankomisin harus berada antara 10 dan
15 mg /L, dan gentamisin antara 2 dan 4 mg /L. 27
KESIMPULAN
Pemberian antibiotik yang tepat adalah hal yang krusial pada pasien anak dengan sakit
kritis. Pemberian yang berlebih dapat menyebabkan toksisitas dan pemberian yang kurang
dapat menyebabkan kegagalan terapi. Perlu dipahami terdapat berbagai mekanisme pada
pasien sakit kritis yang akan memengaruhi farkamokinetik dan farmakodinamik dari obat yang
diberikan sehingga penyesuaian dosis sangat penting untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smits, A., & De Cock, P. A. 2018. Antibiotic PK/PD research in critically ill neonates and
children: how do we proceed?
2. Hartman, S., Brüggemann, R., Orriëns, L., Dia, N., Schreuder, M., & de Wildt, S. 2019.
P43 Pharmacokinetics and target attainment of antibiotics in critically ill children–a
systematic review of current literature.
3. Rogers, M. C. 2008. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Philadelphia: Lippincott
Williams and Williams.
4. Indonesia, M. K. R. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.
01.07/Menkes/342/2017 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Sepsis.
5. Chiotos, K., Gerber, J. S., & Himebauch, A. S. 2017. How can we optimize antibiotic use
in the pediatric intensive care unit?. Pediatric critical care medicine: a journal of the
Society of Critical Care Medicine and the World Federation of Pediatric Intensive and
Critical Care Societies, 18(9), 903.
6. Udy, A. A., Roberts, J. A., & Lipman, J. 2013. Clinical implications of antibiotic
pharmacokinetic principles in the critically ill. Intensive care medicine, 39(12), 2070-
2082.
7. De Cock, P. A., Standing, J. F., Barker, C. I., de Jaeger, A., Dhont, E., Carlier, M., & De
Paepe, P. 2015. Augmented renal clearance implies a need for increased amoxicillin-
clavulanic acid dosing in critically ill children. Antimicrobial agents and
chemotherapy, 59(11), 7027-7035.
8. Van Der Heggen, T., Dhont, E., Peperstraete, H., Delanghe, J. R., Walle, J. V., De Paepe,
P., & De Cock, P. A. 2019. Augmented renal clearance: a common condition in critically
ill children. Pediatric Nephrology, 34(6), 1099-1106.
9. Thakkar, N., Salerno, S., Hornik, C. P., & Gonzalez, D. 2017. Clinical pharmacology
studies in critically ill children. Pharmaceutical research, 34(1), 7-24.
10. Mejia, R., Fields, A., Greenwald, B. M., & Stein, F. 2008. Pediatric fundamental critical
care support. Mount Prospect (IL): Society of Critical Care Medicine.
11. Parker, S. L., Sime, F. B., & Roberts, J. A. 2015. Optimizing dosing of antibiotics in
critically ill patients. Current opinion in infectious diseases, 28(6), 497-504.
12. Fuhrman, B. P., & Zimmerman, J. J. 2016. Pediatric Critical Care. Elsevier Health
Sciences.
13. Kyo, M., Ohshimo, S., Kosaka, T., Fujita, N., & Shime, N. 2019. Impact of inappropriate
empiric antimicrobial therapy on mortality in pediatric patients with bloodstream
infection: a retrospective observational study. Journal of Chemotherapy, 1-6.
14. Shorr, A. F., Micek, S. T., Welch, E. C., Doherty, J. A., Reichley, R. M., & Kollef, M. H.
2011. Inappropriate antibiotic therapy in Gram-negative sepsis increases hospital length
of stay. Critical care medicine, 39(1), 46-51.
15. Van Engelen, T. S., Wiersinga, W. J., Scicluna, B. P., & van der Poll, T. 2018. Biomarkers
in sepsis. Critical care clinics, 34(1), 139-152.
16. Nellis, M. E., Pon, S., Giambrone, A. E., Coleman, N. E., Reiss, J., Mauer, E., &
Greenwald, B. M. 2016. The diagnostic accuracy of serum procalcitonin for bacteremia in
critically ill children. Infectious diseases in clinical practice (Baltimore, Md.), 24(6), 343.
17. Vincent, J. L., Brealey, D., Libert, N., Abidi, N. E., O’Dwyer, et al. 2015. Rapid diagnosis
of infection in the critically ill, a multicenter study of molecular detection in bloodstream
infections, pneumonia, and sterile site infections. Critical care medicine, 43(11), 2283.
18. Le J, Bradley JS. 2018. Optimizing Antibiotic Drug Therapy in Pediatrics: Current State
and Future Needs. ClinPhar;58(10):108-122
19. Sullins AK, Abdel-Rahman SM. 2013.Pharmacokinetics of antibacterial agents in the CSF
of children and adolescents. PediatrDrugs;15(2):93–117.30.
20. Onufrak NJ, Forrest A, Gonzalez D. 2016.Pharmacokinetic and pharmacodynamic
principles of anti-infective dosing.ClinTher;38(9):1930–1947.
21. Moon KT. 2017. Which Antibiotics Are Best for Skin and Soft Tissue Infections? Am
Fam Physician;76(7):1034-1038.
22. Awdishu, L., & Mehta, R. L. 2017. The 6R’s of drug induced nephrotoxicity. BMC
nephrology, 18(1), 124.
23. Hanna, M. H., Askenazi, D. J., & Selewski, D. T. 2016. Drug induced acute kidney injury
in neonates. Current opinion in pediatrics, 28(2), 180.
24. McWilliam, S. J., Antoine, D. J., Smyth, R. L., & Pirmohamed, M. 2017. Aminoglycoside-
induced nephrotoxicity in children. Pediatric Nephrology, 32(11), 2015-2025.
25. Stine, J. G., & Lewis, J. H. 2013. Hepatotoxicity of antibiotics: a review and update for
the clinician. Clinics in liver disease, 17(4), 609-642.
26. Lanvers Kaminsky, C., Zehnhoff Dinnesen, A. A., Parfitt, R., & Ciarimboli, G. 2017. Drug
induced ototoxicity: Mechanisms, Pharmacogenetics, and protective strategies. Clinical
Pharmacology & Therapeutics, 101(4), 491-500.
27. Hartmann, B., Czock, D., & Keller, F. 2011. Drug therapy in patients with chronic renal
failure. Deutsches Ärzteblatt International, 107(37), 647.