Anda di halaman 1dari 17

1

Referat
Oleh
Pembimbing
Tanggal

: Stase Bedah Anak


: Andi Djaja Pratama
: dr. Arhans C, SpBA(K)
: Maret 2014
TRAUMA ABDOMEN PADA ANAK

Hampir 90% trauma abdomen pada anak kurang dari 14 tahun disebabkan oleh
trauma tumpul. Trauma abdomen dibagi menjadi trauma tumpul abdomen dan trauma
penetrans. Pada usia balita penyebabnya terutama adalah jatuh dari ketinggian, sedangkan
pada usia sekolah, kecelakaan sepeda dan pejalan kaki lebih sering menjadi penyebabnya.
Pada usia prepubertas kecelakaan sepeda motor dan trauma tajam yang menjadi penyebab
tersering trauma abdomen. Oleh karena ukuran tubuh yang relatif kecil, trauma abdomen
sering disertai oleh trauma pada organ lainnya seperti trauma kapitis, thoraks, dan
ekstremitias. Pengelolaan trauma abdomen pada anak mengalami perubahan yang
signifikan selama dua dekade terakhir. Penatalaksanaan non operatif pada trauma
abdomen pada anak angka keberhasilannya lebih dari 95%, hal ini disebabkan oleh
semakin meningkatnya pengetahuan dibidang anatomi dan fisiologi pada anak. Meskipun
trauma abdomen sekitar 30% lebih sering daripada cedera thorak, tetapi kurang 40%
bersifat fatal. Trauma abdominal menyebabkan morbiditas, dan menyebabkan mortalitas
sebesar 8.5 %.
INSIDENSI
Cedera karena trauma pada anak merupakan penyebab lebih dari setengah
kematian pada anak usia 1-14 tahun dan merupakan kasus kedua terbanyak setelah
infeksi. Kurang lebih 51,3 tiap 10.000 anak (umur 0-14 tahun) dirawat di rumah sakit
oleh karena cedera karena trauma setiap tahunnya.
Trauma abdomen merupakan kasus terbanyak setelah trauma kepala dan
ekstremitas. Trauma abdominal kurang lebih 8-10% pada seluruh kasus trauma di rumah
sakit anak.

2
A. Trauma Tumpul
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80%
trauma pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan
kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena
terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri.
Dengan fasilitas dan management saat ini cedera organ solid dapat berhasil
diatasi dengan baik pada lebih dari 90% kasus. Keputusan operasi pada cedera organ
solid berdasarkan pada respon fisiologis dibandingkan dengan tingkat berat ringannya
cedera secara anatomi. Tetapi guidline penatalaksanaan terhadap pembatasan aktivitas
berdasarkan pada gradasi cedera secara anatomi. Di Childrens Hospital of Philadelphia
(CHOP) penanganan berdasarkan grade dari cedera. Alternatif alur perawatan sesuai
Trauma Committee of American Pediatric Surgical Association untuk cedera hepar dan
lien dapat dilihat table 1.
Setelah perawatan dari rumah sakit, untuk menghindari cedera ulangan, aktivitas
harus dibatasi dengan istirahat di rumah. Lamanya waktu istirahat berdasarkan derajat
cedera organ. Salah satu alasan penatalaksanaan non operatif dan menghindari
splenektomi pada anak dengan cedera lien adalah untuk menghindari terjadinya
kemungkinan overwhelming postsplenectomy infection (OPSI). Angka pasti terjadinya
OPSI belum diketahui, tetapi diperkirakan sebanyak 5%. Pasien yang displenektomi
harus diberikan vaksinasi rutin untuk mencegah organisme penyebab OPSI (encapsulate
bacteria), termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae type B, and
Neisseria meningitides.
Table 1. APSA Guidelines for Management of Isolated Liver or Spleen Injuries in
Children

Treatment
ICU stay (d)
Hospital stay (d)

CT Grade
I

II

III

IV

None

None

None

3
Predischarge imaging

None

None

None

None

Postdischarge imaging

None

None

None

None

Activity restriction (wk)*

*Return to full-contact competitive sports (eg, football, wrestling, hockey, lacrosse, mountain climbing)
should be at the discretion of the individual pediatric trauma surgeon. The proposed guidelines for return to
unrestricted activity include typical age-appropriate activities.

B. Trauma Penetrans
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke
trauma center.Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi pada
populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam pada umur 15-24
tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound, impalements, gigitan anjing,
dan kecelakaan mesin. Oleh karena kebanyakan trauma penetrans pada abdomen
biasanya memerlukan tindakan pembedahan maka persiapan di ruang operasi harus
simultan dengan assessment pasien. Dua puluh lima persen dari cedera abdomen
merupakan gunshot wounds (GSWs); 14% dari luka tersebut bersifat fatal.
Tabel 2 : Frekuensi cedera organ pada trauma tumpul dan trauma penetrans
Frekuensi Cedera Organ

Trauma Tumpul

Trauma Penetrans

Liver

15%

22%

Spleen

27%

9%

Pancreas

2%

6%

Kidney

27%

9%

Stomach

1%

10%

Duodenum

3%

4%

Small bowel

6%

18%

Colon

2%

Other

17%

16%
6%

KARAKTERISTIK ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA ANAK


Secara garis besar penilaian dan pengelolaan trauma pada anak tidak berbeda
dengan dewasa, namun karakteristik anatomi pada anak memerlukan perhatian khusus..
Anatomi abdomen yang unik pada anak berpengaruh terhadap respon biomekanik
terhadap trauma, adapun kharakterisitik khusus anatomi pada anak adalah sebagai
berikut:
a. Ukuran dan bentuk
Oleh karena ukuran tubuh anak yang kecil, energi yang ditimbulkan oleh gaya
linier dari sumber trauma akan mengakibatkan gaya yang lebih besar pada suatu unit area
tubuh. Energi yang besar tersebut diterima oleh tubuh yang mengandung sedikit jaringan
lemak, jaringan ikat yang kurang elastis dan organ-organ abdomen yang saling
berdekatan. Akibat keadaan ini trauma majemuk sering ditemukan pada anak. Lima belas
persen anak-anak dengan cedera intra abdomen juga terdapat di bagian tubuh yang lain,
sehingga diperlukan pemeriksaan yang seksama.
Ukuran kepala relatif lebih besar dibandingkan tubuh sehingga pada anak
cenderung kepala mengenai tanah ketika jatuh. Immobilisasi spinal harus dipikirkan
untuk mempertahankan alignment.
Dinding otot abdomen pada anak-anak lebih tipis daripada dewasa terutama pada
usia 2 tahun pertama kehidupan oleh karenanya kurang dapat memberikan perlindungan
terhadap struktur didalamnya. Tulang rusuk anak-anak lebih fleksibel daripada dewasa
sehingga dapat mengurangi resiko patah tulang.
Perbandingan solid organ anak lebih besar dibandingkan dengan dewasa sehingga
banyak surface area yang terekspose sehingga organ tersebut beresiko untuk mengalami
cedera. Lien pada anak mempunyai kapsul yang lebih tebal dibandingkan dewasa. Pada
anak yang masih muda intestine tidak sepenuhnya terfiksasi pada rongga intraperitoneal
seperti sigmoid dan kolon kanan potensial mengalami deselerasi serta kompresi.
Kandung kencing meluas sampai level umbilikus setelah lahir dan lebih ekspose
terhadap direct impact pada bagian bawah abdomen.

5
b. Struktur tulang
Struktur tulang pada anak belum sepenuhnya mengalamai kalsifikasi dan terdiri
dari pusat pertumbuhan sehingga akan lebih lunak. Oleh karena itu organ dalam
seringkali mengalami trauma tanpa disertai oleh fraktur tulang sekitarnya. Disamping itu
arcus costarum bersudut lebih tumpul dibandingkan dengan dewasa sehingga organ
visera pada abdomen atas kurang terlindungi. Dengan demikian lien dan hepar
merupakan dua organ visera yang paling sering mengalami trauma.
Jaringan lebih elastik berhubungan dengan regangan dan robekan cedera spinal
cord yang serius dapat terjadi tanpa tanda-tanda adanya trauma..
c. Luas permukaan tubuh
Anak-anak mempunyai lemak tubuh yang kurang dan memiliki luas permukaan tubuh
yang luas sehingga dapat menyebabkan kehilangan panas secara cepat. Oleh karena itu
hipotermi lebih mudah terjadi karena energi panas akan cepat hilang melalui permukaan
tubuh yang relatif lebih luas sehingga harus ditutupi dan mempertahankan temperatur
serta observasi tanda adanya hipotermia. Oleh karena anak-anak mempunyai
disproporsional luas permukaan tubuh dan kurangnya termoregulasi, mempertahankan
suhu pada injuri pada anak menjadi sangat penting.

d. Tekanan darah
Tekanan darah tidak dapat dipakai sebagai patokan adanya syok pada anak yang
mengalami trauma. Anak-anak dapat memiliki tekanan darah normal sampai fase terakhir
syok Observasi secara hati-hati dan mencari tanda-tanda di kulit, capillary refill,
takikardia, dan takipneu.
Oleh karena kompensasi yang unik pada anak maka hipotensi sekunder dari
hipovolemik syok akan terlambat. Resusitasi awal yang agresif pada anak merupakan
indikasi pada kasus injuri pada anak.
e. Status psikologis

6
Keadaan emosional yang tidak stabil sifat regresi dan non koperatif pada anak
sering menyulitkan proses anamnesa dan penilaian pemeriksaan fisik. Oleh karena itu
dokter yang memeriksa seorang anak dengan trauma harus mampu membujuk dan
menenangkannya sehingga data-data yang akurat dapat diperoleh.
f. Efek jangka panjang
Oleh karena seorang anak masih akan mengalamai pertumbuhan dan
perkembangan maka trauma majemuk yang berat dan menyebabkan kecacatan akan
menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari. Enam puluh persen anak yang
mengalami trauma majemuk akan mengalamai gangguan kepribadian setelah satu tahun
meninggalkan trumah sakit. Oleh karena itu pengelolaan awal yang tepat sangat penting
untuk mengurangi kecacatan pada anak yang mengalami trauma sehingga kualitas hidup
selanjutnya akan mencapai keadaan yang optimal.
Penilaian dan Resusiatasi
Oleh karena trauma abdomen pada anak seringkali disertai dengan trauma yang
majemuk maka penilaian awal pada setiap trauma abdomen dilakukan sebagaimana
penolong menghadapi pasien degan trauma majemuk. Penilaian, triase dan pengelolaan
awal tersebut sebagai tindakan resusitasi mengikuti prinsif yang sama dengan trauma
pada dewasa yaitu sesuai prosedur yang telah ditetapkan pada Advanced Trauma Life
Support (ATLS). Tujuan utama resusitase dan triase adalah untuk memulihkan atau
mempertahankan oksigenasi yang adekuat pada jaringan.
Pengelolaan trauma pada anak terdiri dari persiapan, triase, primary survey
(penilaian awal), resusitasi, secondary survey (penilaian ulang), reevaluasi dan terapi
definitive. Persiapan dan triase dilakukan sejak tahap pre rumah sakit maupun setelah
pasien tiba di rumah sakit. Proses penilaian awal (primary survey) terdiri dari kontrol
jalan nafas dengan memperhatikan stabilisasi vertebra servikal (A=airway with cervical
spine

control),

proses

ventilasi

pernafasan

(B=breathing),

penilaian

sirkulasi

(C=circulation with hemorrhage control), keadaan stauts neurologis dan kesaran


(D=disability), serta perlindungan terhadap hipotermi(E=Exposure/environment)
Gangguan sirkulasi sangat berkaitan dengan adanya suatu trauma abdomen yaitu
bila terjadi perdarahan intraabdomen. Adanya syok dan perdarahan eksternal memerlukan

7
tindakan resusitasi berupa penghentian perdarahan dan pemberian cairan. Tindakan
opratif pada berupa laparotomi dapat merupakan bagian tindakan resusitasi penghentian
sumber perdarahan apabila terdapat sumber perdarahan yang jelas ditemukan berasal dari
rongga abdomen sebagai akibat adanya luka tusuk pada abdomen. Adanya kehilangan
darah yang cukup banyak pada anak sering didahului dengan fase kompensasi yang tidak
menampakan gejala dan tanda adanya gangguan hemodinamik. Oleh karena itu adanya
takikardi dan perfusi kulit yang buruk adalah tanda-tanda yang penting dan merupakan
petunjuk

diperlukannya terapi cairan dengan segera., namun demikian penyebab

takikardi lainnya yaitu rasa nyeri, takut, dan stress psikologis harus dipertimbangkan.
Diuresis adalah petunjuk yang adekuat untuk menilai baik buruknya perfusi jaringan
perifer. Adanya takikarda, tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg adalah tanda yang
jelas adanya syok. Sebagai patokan nilai tekanan darah sistolik pada anak adalah 80
mmHg ditambah dengan duakali umur pasien dalam tahun dan tekanan darah diastolik
harus dua pertiga dari tekanan sistolik.
Respon sistemik kehilangan darah pada anak dapat dilihat pada tabe di bawah ini :
Tabel 3 : Respon sistemik terhadap perdarahan pada anak.

< 25% kehilangan volume 25-45% kehilangan > 45%


darah

volume darah

kehilangan
volume

Jantung

Nadi lemah, kecil, frekuensi Frekuensi


meningkat

SSP

Letargi, iritatif, gelisah

darah
nadi Hipotensi,

meningkat
Penururan

takikardia,
bradikardia
koma

kesadaran,
respon terhadap
Kulit

dingin

nyeri lemah
Sianosis, pengisian Pucat, dingin
kapiler
menurun,

Ginjal

dingin
Penuruanan diuresis, BJ urin Diuresis minimal
naik

anuri

8
Sebagai pedoman tanda-tanda vital pada anak dapat dilihat pada table di bawah ini :
Tabel 4 : Tanda-tanda vital pada anak
Nadi
Bayi
Anak pra sekolah
Adolesen

160/menit
120/menit
100/menit

Tekanan darah
sistolik
80 mmHg
90 mmHg
100 mmHg

Frekuensi napas
40/menit
30/menti
20/menit

Resusitasi cairan adalah langkah berikutnya setelah menilai gangguan sirkulasi


dan derajat syok yang terjadi. Apabila syok ditemukan pada penilaian awal, maka
pemberian cairan kristaloid (Ringer Lactat) yang dihangatkan dilakukan secara bolus
dengan dosis 20 ml/kgBB. Jumlah ini adalah 25% dari jumlah volume darah pada anak
normal, sedangkan jumlah volume darah anak adalah 80 ml/kgBB. Setelah pemberian
cairan dengan jumlah tersebut harus dilakukan observasi secara ketat, dengan melakukan
penilaian terhadap stabilitas hemodinamik dan keadaan yang stabil dicerminkan oleh :
1. Denyut nadi melambat (<130/menit)
2. Tekanan nadi meningkat (>20mmHg)
3. Ekstremitas menjadi hangat
4. Kulit tidak pucat
5. Kesadaran membaik
6. Diuresis 1 ml/kg/jam
7. Tekanan darah sistolik meningkat (>80mmHg)
Apabila tanda-tanda tersebut di atas tidak dicapai dengan pemberian bolus tersebut maka
harus dipikirkan adanya proses perdarahan berlanjut dan oleh karena satu dosis cairan
kristaloid yang sama dapat diulang. Bila keadaan hemodinamik tetap tidak stabil maka
harus diberikan transfusi darah dengan Packed Red Cells yang sesuai dengan cross
match atau golongan darah 0 dengan rhesus negatif dan dosis yang diberikan adalah 10
ml/kgBB. Setelah tindakan tersebut harus dihitung jumlah darah yang diperlukan untuk
mempertahankan tanda-tanda vital tersebut dan dinilai kembali apakah tindakan operatif
diperlukan. Tindakan selanjutnya juga bergantung kepada jenis trauma abdomen dan
organ visera yang dicurigai mengalami trauma. Setelah tindakan resusitasi dilakukan

9
pada kelainan-kelainan yang ditemukan pada keadaan jalan nafas, ventilasi, dan sirkulasi,
maka tindakan berikutnya adalah penilaian kesadaran dan status neurologis serta
perlindungan terhadap hipotermi.
Penilaian

dan diagnosis adanya trauma abdomen dilakukan lebih lanjut pada tahap

penilaian ulang (secondary survey). Pada tahap ini dilakukan anamnesa yang meliputi
mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik secara sistemik berdasarkan sistem organ dan
dilakukan pemeriksaan alat bantu untuk menunjang diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis banding.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Evaluasi trauma tumpul abdomen pada anak banyak mengalami perubahan.
Pemeriksaan CT merupakan modalitas terpilih dalam menegakkan adanya trauma tumpul
abdomen. Pemeriksaan ultrasound dapat digunakan untuk initial assessment yang cukup
akurat pada kasus tersebut. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu secara
cepat pada diagnosis abdominal trauma pada dewasa namun pada anak jarang dilakukan
dan dilakukan secara selektif. Ultrasound (US) merupakan pemeriksaan yang sederhana,
non invasive dan mudah penggunaannya sehingga dapat digunakan sebagai alternatif
diagnosis selain CT dan DPL. CT mempunyai sensitifitas dan spesifisitas dalam
mendiagnosis kelainan abdominal trauma, tetapi baru dapat dilakukan bila pasien stabil,
tenang, transfortable, dan harus dilakukan setelah resusitasi selesai. Ultrasound
digunakan secara simultan saat di emergensi, dan dapat mengetahui adanya patologi
intraabdomen dalam beberapa menit. Gruessner mengatakan US cukup sensitive dan
akurat dalam mendiagnosis adanya cedera pada abdominal trauma. Kimura dan Otsuka
mengatakan US sangat reliable dalam mendeteksi adanya hemoperitoneum dibandingkan
dengan CT. Sensitifitas, spesifisitas, dan akurasinya : 86.7%, 100%, dan 97.2%. Peneliti
lain mengatakan sensitifitasnya adalah 89-100%. Akurasi pemeriksaan ultrasonografi
dibandingkan dengan CT adalah 76%. Computed tomography (CT) scaning dengan
double kontras (intravena atau oral) merupakan kriteria standar untuk assessment rongga
abdomen pada anak dengan hemodinamik stabil. Intravenous kontras sangat penting
untuk evaluasi dan akurasi grading cedera organ solid.

10
Adanya gambaran ekstravasasi akut dari kontras (blush) merupakan tanda adanya
perdarahan. Meskipun tanda tersebut berhubungan dengan perlunya

tindakan

pembedahan pada dewasa tetapi evaluasi keadaan klinis masih tetap harus dilakukan
pada anak. Kontras oral harus diberikan untuk meningkatkan sensitifitas gambaran CTscan pada diagnosis cedera pankreas, duodenum, dan usus bagian proksimal. Tetapi
penggunaan kontras oral pada pemeriksaan immediate radiology pada kasus trauma
abdomen masih diperdebatkan. Pemberian kontras oral dapat memperlambat skedul
pemeriksaan CT-scan dan dapat menyebabkan muntah, resiko aspirasi. Sehingga
penggunaan kontras oral pada kasus emergensi harus dilakukan secara selektif.
Penggunanaan USG FAST pada dewasa merupakan standar dari evaluasi adanya
trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan ini menolong untuk menentukan adanya kelainan
organ intra abdomen dan adanya koleksi cairan. Pada populasi anak, pengguanan FAST
masih belum jelas. FAST sangat sensitive untuk mendeteksi adanya koleksi cairan
intraperitoneal, tetapi bersifat operator dependent dan kurang sensitif.
Pemeriksaan FAST memberikan hasil false negatif (contoh pada cedera pada
organ solid tanpa disertai koleksi cairan intraperitoneal) sehingga menyebabkan
kesalahan management.
Sebelum adanya pemeriksaan CT dan FAST, diagnostic peritoneal lavage (DPL)
merupakan modalitas untuk assessment cedera abdomen. DPL masih diindikasikan jika
pemeriksaan CT tidak dapat dikerjakan atau hemodinamik tidak stabil. Meskipun sangat
sensitif untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen atau cedera hollow viscus, DPL
tidak spesifik dan invasif dan meningkatkan morbiditas.
CEDERA ORGAN SOLID
Trauma Lien
Trauma lien merupakan trauma yang paling sering terjadi pada trauma tumpul
abdomen pada anak dan penyebab paling sering dari suatu perdarahan intraabdomen.
Secara klinis trauma ini dapat didiagnosis dengan adanya perubahan hemodinamik akibat
perdarahan intraabdomen, adanya keluhan nyeri perut kiri atas dan nyeri di bahu kiri,
serta ditemukannya jejas atau hematoma di daerah abdomen kiri atas.

11
Protokol pengobatan non operatif pada kasus cedera lien telah dikenal sejak tahun
1978. Protokol tersebut diinspirasi dari pengalaman para ahli bedah anak. Selama 2 tahun
berikutnya protokol tersebut digunakan pula pada kasus injuri liver.
CT scan adalah alat bantu diagnostik yang paling baik dalam mendiagnosis
ruptura lien dengan spesifitas yang tinggi sehingga dapat pula menilai derajat kerusakan
lien. Scanning dengan Tc-99 dan ultrasonografi dapat digunakan namun masing-masing
mempunyai false positive dan false negative yang cukup tinggi, terutama untuk
ultrasonografi.
Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu dinilai pengelolaan berikutnya. Pada
sebagian besar kasus (70%) trama lien pada anak dapat dikelola secara non operatif
sehingga dapat menghindari sepsis post splenektomi. Tindakan non operatif ini dapat
dilakukan

apabila

pada resusitasi

cairan dan darah yang

diperlukan

untuk

mempertahankan keadaan hemodinamik yang stabil tidak memlebihi 60% dari seluruh
volume darah pasien. Oleh karena volume darah anak adalah 80 ml/kgBB, maka jika
dihitung untuk periode 24 jam adalah jumlah darah yang diperlukan adalah kurang dari
40ml/kgBB. Tindakan non operatif meliputi sebagai berikut :
1. Nursing Care :
Dilakukan pemeriksaan denyut nadi, frekuensi pernafasan, suhu tubuh, dan
diuresis tiap jam. Memantau EKG dan tekanan darah. Puasa dan dipasang NGT.
2. Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin dan hematokrit tiap 4 jam
BJ urine tiap 4 jam
Amilase setiap 3 hari
3. Perawatan medis :
Pemeriksaan fisik setiap jam sampai pasien stabil, kemudian tiap 4 jam.
Pertahankan hematokrit >30-35%
Evaluasi keadaan koagulasi apabila terdapat perdarahan yang berlanjut.
Bed rest selama 7 hari.
Indikasi tindakan operatif adalah bila pemberian transfusi darah untuk
mempertahakan hemodinamik yang stabil melebihi 60% dari volume darah anak, dan

12
diketahui adanya kelainan lien sebelum trauma seperti leukemia, limfoma, dan
hipersplenisme. Pilihan tindakan operatif adalah splenorrhapy, partial splenectomy, an
splenektomi dengan autotransplantation. Jenis tindakan tersebut tergantung dari
klasifikasi rupture liennya yaitu :
Tabel 5 : Spleen injury scale (1994 revsion)
Jenis Trauma
Tipe I :

Tindakan
Pemberian

Avulsi kapsula, tanpa robekan parenkhim

(Avitene)

Tipe II :

Ligasi dan splenorrhapy dengan benang

Robekan parenkhim, tanpa robekan hilus

absorbable

Tipe III:

Hemisplenektomi

zat

hemostatik

topikal

Robekan parenkhim sampai dengan hilus


Tipe IV:
Transeksi

Splenektomi dengan autotransplantasi


pedikel

atau

robekan

parenkhim multiple dengan neksrosis


Trauma hepar
Hepar merupakan organ kedua sesudah lien yang sering mengalami trauma pada
kasus trauma tumpul abdomen. Secara klinis diagnosis dapat ditegakkan apabila
diperoleh adanya gangguan hemodinamik akibat perdarahan intraabdominal, adanya
nyeri di daerah abdomen kanan atas dan bahu kanan, jejas di abdomen kanan atas, tandatanda ileus adinamik, dan massa di abdomen kanan atas. Foto rontgen dapat membantu
yaitu jika ditemukan fraktur costae kanan terbawah, peninggian dafragma. CT scan
memberikan diagnosis yang akurat dan sangat spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
lainnya. Pemeriksaan laboratorium yaitu SGOT dan SGPT memberikan informasi
tambahan yang bermakna jika ditemukan kadar SGOT > 200 IU dan SGPT > 100 IU.
Prinsip pengelolaan pada lien juga dapat dipakai untuk trauma hepar yaitu terdiri
dari tindakan non operatif dan operatif. Tindakan non operatif sama dengan trauma lien,
hanya dilakukan pemeriksaan follow up secara berkala SGOT dn SGPT sampai hari ke 7
atau 10. Secara ringkas pengelolaan trauma hepar dapat dilihat seperti table berikut :
Tabel 6: Liver injury scale (revision 1994)

13
Klasifikasi
Grade I :

Frekuensi
15%

Tindakan
Selektif non operatif

Subcapsular hematoma < 1 cm,


capsular avulsion, laserasi parenkhim
superficial< 1 cm
Grade II :
Laserasi parenkhim 1-3 cm dan
parenkhim/subkapsuler hematoma 1-3
cm.
Trauma tembus perifer
Grade III:
Laserasi parenkhim> 3 cm dan
hematoma subkapsuler/parenkhim > 3
cm
Trauma tembus sentral
Grade IV :

55%

Operatif
-

kontrol
perdarahan (jahit
dan ligasi)

25%

Debridemen

Drainase

3%

Parenchymal/subcapsular hematoma >


10
cm,
destruksi
lobus
atau
devaskularisasi
Hematoma massif
Grade V:
Destruksi global atau devaskularisasi
hepar
Trauma vena cava retrohepatik
Ruptur kedua lobus ekstensif

Operasi diperlukan,
2%

repair vaskuler,
lobektomi, packing,
drainase

Grade 6 :
Hepatic avulsion

Lien dan hepar merupakan organ solid yang sering mengalami cedera akibat
trauma tumpul abdomen. Terapi non operatif merupakan standar terapi yang dipilih pada
kasus cedera lien dan hepar murni.

14
Penanganan operatif dilakukan pada cedera lien dan hepar apabila ditemukan
tanda-tanda adanya perdarahan, hipotensi, takikardi, penurunan urine output, penurunan
hematokrit yang tidak berespon terhadap pemberian kristaloid dan transfusi darah.
Pembedahan dilakukan apabila hemodinamik tidak stabil setelah pemberian cairan
intravena dan transfusi darah atau pemberian transfusi darah sudah melebihi 40 cc/kgBB,
peneliti lain menyebutkan 25-40cc/kg BB.
Richi dan Folkasrad, Trunkey dkk, Stone dan Ansley merupakan pionir pada
pengelolaan non operatif pada kasus cedera hepar. Beberapa penelitian menyebutkan
adanya delay perdarahan pada kasus cedera hepar kurang lebih 1-3%.
Pada suatu penelitian mengenai cedera hepar dan lien sebanyak 145 pasien
didapatkan 95 % berhasil diterapi secara konservatif. Sebanyak 7 pasien yang mengalami
cedera

lien dilakukan operasi laparotomi dan rapi lien. Pada penelitian tersebut

dilakukan evaluasi dengan ultrasonografi dan x-rays. Pada tahun 1980 digunakan
sintigrafi untuk mengetahui adanya kerusakan lien dan hepar, namun sekarang digunakan
spiral tomografi.
Dari penelitian tersebut didapatkan rata-rata pasien datang ke rumah sakit 9 hari
setelah trauma, dan pada pasien yang dilakukan operasi emergensi perdarahan dari
hematom adalah minimal dan dapat diatasi dengan hematostatik agent, artinya operasi
tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan. Ditemukan pada kasus cedera lien pasien akan
mengalami perburukan pada 36-72 jam setelah trauma,

selanjutnya mengalami

perbaikan. Jadi pengelolaan non operatif pada kasus trauma liver sering berhasil pada
anak-anak.
Trauma Gastrointestinal
Trauma pada gastrointestinal lebih jarang ditemukan pada anak hanya 3-4% kasus.
Trauma abdomen pada trauma tumpul terjadi dengan 3 macam mekanisme :
a. Trauma karena tekanan langsung sehingga terjadi tekanan intraabdominal yang
tinggi dan loop usus halus yang tertutup yang akan menyebabkan ruptur dinding
usus.
b. Trauma tarikan pada titik fiksasi usus

15
c. Trauma yang menyebabkan traktus gastrointestinalis berbenturan dengan vertebra
sehingga menyebabkan rupturnya usus.
Disamping terjadinya ruptur iskhemik usus halus akibat trauma tumpul dapat
menyebabkan nekrosis dan akhirnya perforasi. Selain itu ruptur gastrointestinalis dapat
pula disebabkan oleh karena trauma tusuk dan sering disertai dengan trauma pada
pembuluh darah besar intraabdominal.
Diagnosis ditegakkan dengan didasarkan atas kecurigaan

yang berdasarkan

mekanisme trauma. Pada anamnesis dapat ditemukan tanda-tanda peritonitis yaitu


keluhan nyeri seluruh perut yang bertambah hebat, disertai mual dan muntah, serta
gangguan buang air besar. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya jejas eksoriasi
atau hematoma di daerah abdomen, adanya nyeri tekan, nyeri lepas, defans muscular, dan
nyeri tekan pada colok dubur dengan spingter yang lemah. Pada auskultasi dapat
ditemukan bising usus yang menurun sampai menghilang. Pemeriksaan radiologis yaitu
rontgen 3 posisi akan sangat membantu yaitu dengan ditemukannya pneumoperitoneum,
adanya perselubngan cairan dan dindidng usus yang menebal.
Pengelolaanya pada sebagian besar kasus adalah dengan tindakan operatif. Pada
luka tusuk abdomen, indikasi laparotomi adalah pasien dengan tanda vital yang tidak
stabil, adanya eviserasi usus, adanya tanda-tanda perdarahan, luka yang menembus
peritoneum, adanya tanda-tanda peritonitis.
Meskipun sebagian besar trauma pada usus halus dilakukan tindakan operatif,
namunhematoma duodenum yang sering terjadi pada part II dan III akibat trauma tumpul
dapat dilakukan

terapi non operatif. Gejala yang timbul biasanya nyeri di daerah

epigastrik, muntah-muntah sebagai akibat obstruksi, dan adanya nyeri tekan di daerah
epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan peningggian amilase dan
leukositosis. Terapi kelainan ini adalah dengan pemasangan NGT, nutrisi parenteral.
Kebanyakan duodenal hematom diresorpsi 1-3 minggu dengan hanya dekompresi
lambung. Bila dalam 2 minggu gejala obstruksi berkurang/menghilang maka dikatakan
terapi konservatif berhasil. .Evakuasi dengan pembedahan pada hematom yang gagal
diresorpsi jarang diperlukan.dan serial imaging dapat dilakukan untuk memonitor resolusi

16
hematom. Terapi operatif harus dipertimbangkan jika tindakan tersebut di atas gagal dan
pada saat operasi harus dilakukan evaluasi hematoma melalui insisi seromuskuler
KOMPLIKASI TERAPI NON OPERATIF
Meskipun penanganan non operatif pada kasus perdarahan intra abdomen dapat
menolong untuk menghindari pembedahan namun ada beberapa komplikasi yang dapat
ditemukan yaitu adanya efusi pleura biasanya 3 minggu setelah adanya injuri. Kohler dan
Jones menemukan 3 kasus efusi pleura yang berkembang pada pasien yang mengalami
hematom pada lien. Mereka memperkirakan efusi pleura terjadi akibat reaksi simpatik
pada trauma viseral atau mungkin disebabkan trauma yang simultan pada difragma,
pleura, dinding dada, atau paru.
Tetapi 18% angka mortalitas didapatkan pada kasus perdarahan delay yang
dilakukan pembedahan.
Protokol terapi non operatif merupakan standar untuk penanganan cedera lien dan
hepar selama lebih dari dua dekade. Telah banyak pengalaman yang didapat dalam
mengevaluasi keuntungan dan resiko terapi non operatif. Yang menjadi dasar
keberhasilan terapi non operatif adalah berhentinya perdarahan secara spontan. Angka
pemberian transfusi pada anak dengan cedera hepar dan lien murni mengalami penurunan
10%. Dilaporkan dari suatu penelitian dua anak dengan delay perdarahan terjadi setelah
10 hari setelah trauma hepar. Kedua anak tersebut mengalami nyeri yang persisten di
right upper quadrant (RUQ) dan nyeri bahu kanan dengan tanda-tanda vital normal dan
hematokrit stabil. Beberapa peneliti menganjurkan untuk meneruskan observasi di rumah
sampai gejala menghilang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Porkorny W J, Abdominal Trauma, in Ed: Raffensperger JG, Swensons Pediatric
Surgery, Fifth Edition, Appleton & Lange, 1990, 278-293.
2. Alexander RH, Proctor HJ, Advanced Trauma Life Support, Fifth Edition, American
College of Surgeons Commite on Trauma, 1993:261-273.

17
3. Rykman FC, Noseworthy J, Multy System Trauma, The Surgical Clinics of North
America, 1985, Vol 65: 5: 1287-1301
4. Harlan Stone and Joseph D. Ansley, Management of Liver Trauma in Children,
Journal of Pediatric Surgery, Vol. XII, No. 1 February 1997
5. Annika Sjijvall and Karin Hirsch, Blunt Abdominal Trauma in Children:Risks of
Nonoperative Treatment, Stockholm, Sweden.
6. Robert M, Aresman, MD, Mary Beth Madonna, MD, Initial Management and
Stabilization

of

Pediatric

Trauma

Patients,Children's

Memorial

Hospital,

Northwestern University Medical School,1997 : 1-15


7. Rebeccah L. Brown, Michael S. Irish, Observation of Splenic Trauma: When Is a
Little Too Much?, New York J Pediatr Surg 34:1124-l 126.
8. Schmuel Katz, Ludwig Lazar, Valerie Rathaus, and llan Erez, Can Ultrasonography
Replace Computed Tomography in the Initial Assessment of Children With Blunt
Abdominal Trauma?,Departments of Pediatric Surgery and Radiology, Meir Hospital,
Sapir Medical Cen fer, Kfar Saba, Israel. 1995.
9. Andrew B Peitzman, Mi Rhodes, Abdominal Trauma in The Trauma Manual, Second
Edition, Philadelphia, 2002 :236-266.

Anda mungkin juga menyukai