Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN TRAUMA PEDIATRIC

Definisi
Trauma pada anak-anak, juga dikenal sebagai trauma pediatrik, mengacu pada
cedera traumatis yang terjadi pada bayi, anak atau remaja. Karena perbedaan anatomi
dan fisiologis antara anak-anak dan orang dewasa, perawatan dan pengelolaan
populasi ini berbeda.

Anatomi Fisiologi
Ada perbedaan anatomi dan fisiologis yang signifikan antara anak-anak dan
orang dewasa. Misalnya, organ dalam lebih dekat satu sama lain pada anak-anak
daripada orang dewasa; ini menempatkan anak-anak pada risiko cedera traumatis
yang lebih tinggi.
Anak-anak menghadirkan tantangan unik dalam perawatan trauma karena
mereka sangat berbeda dari orang dewasa - secara anatomis, perkembangan,
fisiologis dan emosional. Sebuah studi tahun 2006 menyimpulkan bahwa risiko
kematian untuk anak-anak yang terluka lebih rendah ketika perawatan diberikan di
pusat trauma pediatrik daripada di pusat trauma non-pediatrik. Namun sekitar 10%
dari anak-anak yang terluka dirawat di pusat trauma pediatrik. Tingkat kematian
tertinggi terjadi pada anak-anak yang dirawat di daerah pedesaan tanpa akses pusat
trauma.
Bagian penting dari penanganan trauma pada anak adalah estimasi berat
badan. Sejumlah metode untuk memperkirakan berat ada, termasuk pita Broselow,
rumus Leffler, dan rumus Theron. Dari ketiga metode ini, pita Broselow adalah yang
paling akurat untuk memperkirakan berat badan pada anak 25 kg, sedangkan rumus
Theron bekerja lebih baik pada pasien dengan berat badan >40 kg.
Karena geometri dasar, rasio berat badan anak terhadap luas permukaan lebih
rendah daripada orang dewasa, anak-anak lebih mudah kehilangan panas tubuh
mereka melalui radiasi dan memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi hipotermia.
Ukuran tubuh yang lebih kecil pada anak seringkali membuat mereka lebih rentan
terhadap cedera poli traumatis.

Patofisiologi
Anak-anak sangat berbeda dari orang dewasa secara anatomis dan fisiologis.
Secara proporsional berbeda, anak-anak memiliki kepala yang lebih besar daripada
orang dewasa, meningkatkan pusat gravitasi mereka dan berkontribusi pada pola
cedera yang berbeda dari yang terlihat pada orang dewasa. Trauma toraks
menyumbang sekitar 5% dari cedera pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit,
tetapi merupakan penyebab kematian kedua pada trauma pediatrik. Pola cedera yang
berbeda sebagian disebabkan oleh fleksibilitas struktur toraks pediatrik. Dinding dada
seorang anak elastis dan lentur karena peningkatan kelemahan ligamen, mineralisasi
tulang rusuk yang lebih sedikit, dan pengerasan tulang rusuk yang tidak lengkap.
Alih-alih patah, tulang rusuk anak-anak menekuk saat dikompres, mengirimkan lebih
banyak energi ke paru-paru dan isi dada. Selain itu, mediastinum anak lebih mobile.
Akibatnya, pneumotoraks besar atau hemotoraks dapat menyebabkan pergeseran
mediastinum yang dramatis, mengakibatkan gangguan pernapasan atau vaskular yang
lebih banyak daripada orang dewasa. Terakhir, tuntutan metabolisme yang lebih
tinggi dan penurunan kapasitas residu fungsi paru anak-anak menghasilkan
perkembangan yang lebih cepat
Trauma perut menyumbang sekitar 10% dari semua penerimaan trauma
pediatrik, dan perut menempati urutan kedua dalam daftar situs yang paling sering
terluka. Dinding perut anak-anak lebih tipis, dengan otot dan lemak yang kurang
berkembang, dibandingkan orang dewasa. Ini memberikan perlindungan yang lebih
sedikit pada organ perut, memungkinkan transmisi kekuatan yang lebih besar ke
organ perut dan retroperitoneal. Secara proporsional, organ perut anak juga lebih
besar, memberikan area permukaan yang lebih besar untuk menyerap kekuatan.
Selain itu, mesenterium kurang melekat pada anak-anak, memungkinkan mobilitas
yang lebih besar dari beberapa organ, mungkin berkontribusi pada cedera usus yang
lebih besar pada trauma tipe deselerasi seperti MVC atau jatuh dari ketinggian.
Tampaknya cedera ringan yang melibatkan benturan stang-ke-perut dikaitkan dengan
cedera pada usus kecil dan pankreas dan sebenarnya merupakan risiko cedera yang
lebih besar daripada membalik setang. Kandung kemih anak-anak yang sangat muda
sebagian terletak di perut, turun ke panggul seiring bertambahnya usia. Dengan
demikian, cedera kandung kemih juga harus ipertimbangkan pada anak yang lebih
muda dengan trauma perut.
Trauma perut pada anak-anak juga harus meningkatkan kekhawatiran akan cedera
tulang belakang. Kolom tulang belakang anak-anak memiliki kelemahan ligamen
yang jauh lebih besar, otot-otot yang kurang mendukung, dan titik tumpu fleksi yang
lebih tinggi daripada orang dewasa. Anak-anak yang hanya diikat dengan sabuk
pangkuan dapat menderita apa yang disebut “sindrom sabuk pangkuan” dari cedera
dinding perut, organ intra-abdomen cedera, dan patah tulang belakang.

Jenis-Jenis Pediatri
Sesuai dengan perkembangan ilmu kesehatan anak yang ada saat ini, maka
kajian pediatri umumnya memiliki 3 (tiga) cakupan kajian yang secara garis besar
dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pediatri Klinik (Clinical Pediatrics)
Pediatri klinik merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
pengobatan berbagai macam penyakit anak. Pediatri klinik mempelajari
penyakit anak dilihat dari segi pathologi (tingkat keparahan penyakit),
simpthomatologi (gejala-gejala sakit), epidemiologi (penyebaran penyakit)
dan pengobatannya.
2. Pediatric pencegahan (preventive pediatric)
Tujuan dari adanya pediatric pencegahan adalah untuk mencegah
penyakit-penyakit yang terjadi pada anak yang antara lain dengan cara
melakukan imunisasi, sanitas dan kebersihan sehingga anak akan terbebas dari
penyakit-penyakit yang umumnya menyerang pada anak seperti polio, tetanus,
dipteri dan lain-lain.
3. Pediatric Sosial (Social Pediatric)
Pediatri sosial adalah merupakan sebagian dari ilmu kedokteran umum yang
memperhatikan anak-anak sehat dari terjadinya konsepsi sampai masa remaja
dengan memperhatikan pula keadaan sosial, ekonomi, hygiene keluarga dan
masyarakat

Penyakit Pediatric
Ada beberapa kesehatan pada anak contohnya :
1. Gangguan tidur pada anak
2. Demam pada neonotus
3. Hipertensi pada anak dll
4. Trauma pada anak

Diagnosis
Beberapa sistem klasifikasi telah dikembangkan yang menggunakan beberapa
kombinasi data subjektif dan objektif dalam upaya untuk mengukur tingkat keparahan
trauma. Contohnya termasuk Skor Keparahan Cedera dan versi modifikasi dari Skala
Koma Glasgow. Sistem klasifikasi yang lebih kompleks, seperti Revisi Skor Trauma,
APACHE II, dan SAPS II menambahkan data fisiologis ke persamaan dalam upaya
untuk lebih tepat menentukan tingkat keparahan, yang dapat berguna dalam triase
korban serta dalam menentukan manajemen medis dan memprediksi prognosis.
Meskipun berguna, semua tindakan ini memiliki keterbatasan yang signifikan
bila diterapkan pada pasien anak. Untuk alasan ini, penyedia layanan kesehatan
sering menggunakan sistem klasifikasi yang telah dimodifikasi atau bahkan
dikembangkan secara khusus untuk digunakan pada populasi anak. Misalnya, Skala
Koma Glasgow Pediatrik adalah modifikasi dari Skala Koma Glasgow yang berguna
pada pasien yang belum mengembangkan keterampilan bahasa.
Menekankan pentingnya berat badan dan diameter jalan napas, Pediatric
Trauma Score (PTS) dikembangkan untuk secara khusus mencerminkan kerentanan
anak-anak terhadap cedera traumatis. Skor minimal adalah -6 dan skor maksimal
adalah +12. Ada hubungan linier antara penurunan PTS dan risiko kematian (yaitu
semakin rendah PTS, semakin tinggi risiko kematian). Kematian diperkirakan 9%
dengan PTS> 8, dan 100% dengan PTS 0.
Dalam kebanyakan kasus, tingkat keparahan cedera trauma pediatrik
ditentukan oleh skor trauma pediatric meskipun fakta bahwa beberapa penelitian
telah menunjukkan tidak ada manfaat antara itu dan skala trauma yang direvisi.

Studi Diagnostik
Ada temuan serupa ketika trauma perut dipertimbangkan. Di masa lalu, cedera
perut didiagnosis dan dikelola terutama melalui laparotomi eksplorasi. Hari ini,
bagaimanapun, sekitar 95% anak-anak dengan cedera hati atau limpa ditangani secara
non-operatif. Holmes dan kelompoknya melaporkan bahwa 95% dari 1.818 pasien
dengan cedera organ padat ditangani secara non-operatif. Waktu rata-rata untuk
kegagalan (memerlukan intervensi operasi) untuk 5% sisanya hanya tiga jam.
Pendekatan non-operatif menurunkan risiko sepsis asplenik seumur hidup dan
dikaitkan dengan masa rawat inap yang lebih pendek, transfusi darah yang lebih
sedikit, dan penurunan mortalitas secara keseluruhan. Karena sebagian besar cedera
perut dikelola dengan penuh harap melalui pengamatan yang hati-hati, pertanyaannya
menjadi “Apakah ada pencitraan yang diperlukan pada awalnya?” Keputusan untuk
melakukan operasi pada akhirnya harus didasarkan pada respon fisiologis pasien
terhadap cedera, bukan temuan pencitraan. Meskipun CT scan memberikan informasi
yang sangat berharga, adakah alternatif untuk mendeteksi cedera dada dan perut yang
serius? Seperti diuraikan di atas, rontgen dada rutin, dikombinasikan dengan
pemeriksaan fisik, memberikan informasi yang sangat baik tentang kemungkinan
cedera dada yang serius. Penggunaan USG dan diagnostik peritoneal lavage (DPL)
untuk evaluasi cedera perut memerlukan evaluasi lebih lanjut. Penggunaan penilaian
USG perut adalah rutin di banyak pusat trauma orang dewasa dan pemeriksaan
sonografi perut terfokus untuk trauma (FAST) adalah tambahan untuk protokol ATLS
untuk pengelolaan pasien trauma. Secara intuitif, pasien anak tampak ideal untuk
pemeriksaan CEPAT karena mereka memiliki rongga perut kecil tanpa timbunan
lemak perut yang besar. Namun, ada jauh lebih sedikit bukti kegunaan FAST dalam
penilaian trauma Pediatrik. Sebuah makalah oleh Eppich dan Zonfrilo mengulas
literatur tentang manajemen trauma tumpul abdomen. Dalam ulasan ini, berdasarkan
empat makalah, mereka mencatat bahwa CEPAT pada anak-anak untuk mendeteksi
trauma tumpul abdomen menunjukkan sensitivitas variabel (55% -92,5%) dan nilai
prediksi negatif (50% -97%) tetapi spesifisitas yang baik secara konsisten (83% -
100%) bila dibandingkan dengan CT scan perut. Sementara pemeriksaan FAST tidak
melewatkan beberapa pasien dengan cairan bebas, signifikansi klinisnya tidak jelas
mengingat bahwa sebagian besar cedera perut pada anak-anak ditangani dengan
penuh harap. Salah satu dari empat makalah, yang dibuat oleh Soudack dan rekan-
rekannya, menyimpulkan bahwa ujian FAST yang positif memerlukan “pencitraan
definitif lebih lanjut. ” Penggunaan DPL tidak disukai karena ketidaknyamanan
pasien dan kurangnya spesifisitas pemeriksaan. Hal ini tidak direkomendasikan untuk
penilaian cedera perut yang terisolasi, tetapi berguna untuk mendiagnosis anak-anak
dengan trauma perut yang mengalami beberapa cedera dan memerlukan penanganan
segera.

Epidemiologi
Penyebab paling umum dari trauma pediatric
Berdasarkan database WISQARS dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC) untuk data tahun terakhir (2010), cedera serius membunuh hampir
10.000 anak di Amerika setiap tahun.
Trauma pediatrik menyumbang 59,5% dari semua kematian anak di bawah 18
tahun pada tahun 2004. Cedera adalah penyebab utama kematian pada kelompok usia
ini di Amerika Serikat—lebih besar dari gabungan semua penyebab lainnya. Ini juga
merupakan penyebab utama kelumpuhan permanen pada anak-anak. Di AS sekitar
16.000.000 anak-anak pergi ke ruang gawat darurat rumah sakit karena beberapa
jenis cedera setiap tahun. Anak laki-laki lebih sering terluka daripada anak
perempuan dengan perbandingan dua banding satu. Beberapa cedera, termasuk luka
bakar mata akibat bahan kimia, lebih sering terjadi pada anak-anak daripada rekan-
rekan dewasa mereka; ini sebagian besar disebabkan oleh persediaan pembersih dan
bahan kimia serupa yang biasa ditemukan di sekitar rumah. Demikian pula, luka
tembus pada anak-anak disebabkan oleh peralatan tulis dan benda-benda rumah
tangga biasa lainnya karena banyak tersedia untuk anak-anak sepanjang hari.

Prioritas Penilaian Awal/Survei Primer


Sebuah survei utama dari jalan napas, pernapasan, sirkulasi dan cacat
neurologis harus diselesaikan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki defisit yang
menimbulkan ancaman langsung terhadap kehidupan. Survei primer berlanjut
dengan pemaparan lengkap terhadap pasien untuk memastikan tidak ada cedera yang
terlewatkan, berhati-hati untuk menghindari hipotermia. Penempatan tambahan
terapeutik, seperti kateter urin dan lambung (kecuali dikontraindikasikan), juga
diselesaikan selama survei awal. Alat bantu diagnostik, seperti oksimetri nadi,
radiografi, dan Focused Assessment by Sonography in Trauma (FAST), memfasilitasi
pengenalan dini dan pengobatan ancaman langsung terhadap fungsi vital.
"Serangkaian trauma" radiografi lengkap yang diperoleh sebagai tambahan untuk
survei primer pada orang dewasa mungkin tidak selalu diperlukan pada anak-anak,
karena radiografi tulang belakang leher lateral tidak akan mendeteksi SCIWORA,
dan radiografi panggul skrining jarang mengidentifikasi fraktur panggul. Jika
dicurigai adanya fraktur pelvis pada pemeriksaan fisik, computed tomography (CT)
scan harus diperoleh.

Penilaian GCS pada Anak


Child Infant Score
Eye opening Spontaneous Spontaneous 4
To speesc To speesc 3
To pain only To pain only 2
No response No response 1
Best verbal Oriented, appropriate Oriented, appropriate 5
response Confused Confused 4
Inappropriate words Inappropriate words 3
Incomprehensible sounds Incomprehensible sounds 2
No response No response 1
Best motor Obeys commands Moves spontaneously and 6
response* purposefully
Localizes painful stimulus Withdraws to touch 5
Whithdraws in response to Withdraws to response in pain 4
pain Abnormal flexion posture to 3
Flexion in response to pain pain 2
Extension in response to Abnormal extention posture to 1
pain pain
No response No response

Pediatric Trauma Score


Assessment SCORE
Component +2 +1 -1
Weight Weight > 20 kg ( > 10-20 kg (22-44 lb) < 10 kg (<22 lb)
44 lb)
Airway Normal Oral or nasal airway, Intubated,
oxygen cricothyroidotomy
or tracheostomy
Ayatolic > 90 mmHg, good 50-90 mmHg, < 50 mmHg, weak
Blood peripheral pulses carotid/femoral pulses or no pulses
pressure and perfusion palpable
Level of Awake Obtunded or any loss Coma, unresponsive
consciousnes of consciousness
s
Fracture None seen or Single, close Open or multiple
suspected
Cutaneous None visible Contusion, abrasion, Tissue loss, any
laceration < 7 cm not gunshot wound or
through fascia stab wound trough
fascia
Totals
Adapted with permission from Tepas JJ, Molltt Dl, Talbert Jl, et al : The pediatric
trauma score as a predictor of injury severity in the injured child. Journal of Pediatric
Surgery.1987; 22 (1) 15.

TABEL KATEGORI KEHILANGAN CAIRAN PADA PEDIATRIC


Kehilangan cairan Kehilangan cairan sedang : Kehilangan cairan berat :
minimal : Kehilangan volume cairan Kehilangan volume
Kehilangan volume cairan intravascular sekitar 25% cairan 40% atau lebih
intravascular 10% - 15%
Tanda dan gejala : Tanda dan gejala : Tanda gejala :
- Tachycardia rigan, - Nadi cepat dan - Tachycardia yang
- Tekanan darah lemah nyata
supinasi normal, - Hipotensi supinasi - Hipotensi yang nyata
- Kulit dingin - Nadi perifer lemah
- Penurunan sistol
- Urin output sekitar dan menghilang
lebih dari 16 mmHg 10 sampai 30% - Kulit dingin dan
atau peningkatan
denyut nadi lebih ml/jam sianonis
dari 20x/m - Sangat kehausan - Urin output kurang
- Peningkatan - Gelisah, bingung, dari 10%
cepat marah - Penurunan kesadaran
capillary refill lebih
dari 3 detik
- Urin output lebih
dari 30ml/jam,
- Kulit pucat dan
dingin

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Trauma pada Abdominal
Trauma pada abdominalPada trauma abdominal dapat dimungkinkan terdapat
beberapa perdarahan intraabdomen, dan memerlukan pemeriksaan pencitraan seperti
CT Scan danUltrasonografi.
1. Ultrasonografi
Pada diagnosis primer dapat digunakan pemeriksaan FAST. Pemeriksaan ini
memilikikeuntungan yaitu dapat mengidentifikasi secara cepat adanya cairan
intraperitoneal.
2. CT Scan Abdominal :
Abdominal CT scan dapat dilakukan dengan kontras IV non invasive. Melalui
teknikini dapat ditemukan gold standart pada diagnosis abdomen. Melalui teknik
inikeuntungan yang didapat adalah ketepatan dalam lokasi dan dapat melihat
tingkatkeparahan dari cedera yang didapat.
Cedera visceral padat dapat pada cedera hati dan limpa dapat terlewatkan oleh
CT. Namun, kerugian yang didapat adalah adanya beban radiasi ion. CT Scan
wajibdigunakan berdasarkan keadaan klinis, dan alat ini memiliki sensitivitas
yang tinggi
3. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Untuk mendiagnosis pada kasus cedera Intraperitoneal. DPL dapat dilakukan
dengan menggunakan dua teknik yaitu teknik terbuka dan teknik tertutup.
Selain itu untuk mengetahui apakah terdapat luka pada abdominal, dapat
dilakukandengan mengeksplorasi luka abdominal local. Eksplorasi luka
abdominal dapat
dilakukan dengan menggunakan “abdominal stab wound” dimana kulit akan
disayat
dan dibuka.
Trauma pada Thoraks
Trauma pada thoraks dapat mengenai berbagai organ seperti jantung maupun
paru.Pada trauma jantung dapat diperiksa menggunakan beberapa pemeriksaan
penunjangsepertiCardiac Injury
1. E lektrokardiogram
Terjadinya keadaan klinis pada jantung dapat terjadi pada 24 jam setelah cedera.
Nilai prediksi negative pada pasien dengan EKG normal senile 80%-90%.
Pasien dengan trauma dada, namun ditemukan EKG normal harus di follow up
selama4-6 jam dengan EKG. Apabila selama beberapa waktu tidak timbul tanda
dan gejala baru, pasien dapat dikatakan tidak terdapat cedera jantung. Apabila
terdapat kelainan pada gambaran EKG namun tidak terdapat ketidakseimbangan
hemodinamik, pasienharus dilakukan pengaturan monitoring.
2. Biomarker Jantung
Pengukuran biomarker jantung pada kasus cedera dada dapat diketahui apabila
terdapat peningkatan pada salah satu biomarker. Kenaikan Cratinin-Kinase-MB
yangmeningkat dapat diketahui terjadi cedera pada otot, hati, diafragma, dan
intestinal,keadaan ini tidak menunjukan cedera pada jantung.Troponin pada
jantung dapat diketahui terjadi pada trauma jantung, terkhusus padatroponin I dan
T. Peningkatan ini dapat terjadi pada saat terjadi trauma tumpul, trauma penetrasi,
operasi, ablasi, kardioversi. Sensitivitas dan spesivisitas dapat berkisar pada12%,
23%, 97%, dan 100%.
Apabila tidak terdapat kelainan pada EKG dan biomarker troponin, maka
pasiendikatakan tidak memiliki cedera tumpul pada jantung. Pada saat terdapat
kelainan padaEKG dan troponin pasien maka sensitivitas terdeteksi kasus ini
adalah 100% dengannilai prediksi positif 60%. Namun pada saat tidak terjadi
kenaikan troponin danterdapat kelainan dari EKG juga dapat menunjukan
terdapat cedera pada jantung.Kenaikan level troponin dalam 6 jam memiliki
korelasi tinggi dengan risiko disaritmiadan penurunan fraksi ejeksi.
3. Echocardiografi
Pemeriksaann menggunakan ekokardiogradi dapat dilakukan dengan
menggunakanscan FAST dengan pendekatan aksis panjang subxiphoid dan
parasternal. Teknik inidapat menemukan adanya carian pericardial bebas.Dengan
menggunakan teknik ini di negara Amerika Serikat menunjukan sensitivitas100%
dan spesifisitas 99% untuk mendeteksi efusi pericardial.
4. Chest Radiograph
Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan dari kontur
mediastinum,hemotorak, pneumotoraks, kontusi pulmoner, cedera diafragma.
Penggunaan teknik inidilakukan dengan posisi supinasi sebagai perhatian untuk
cedera medulla spinalis, dan juga untuk resusiasi.Berikut table berasal dari
National Emergency X-Radiography Utilization Study(NEXUS) Chest rules
5. Ultrasonography
Dengan menggunakan teknik USG dengan posisi bedside, dapat mendiagnosis
pneumothoraks, hemothorax, dan tamponade pericardial dengan menggunakan
pemeriksaan FAST. Pada penggunaan teknik ini, pasien pneumothoraks sangat
mudahuntuk mendiagnosis penyakit ini dikarenakan sensitivitas 92% dan
spesivitas 100%.
6. Commuted Tomography
CT Scan dapat mendeteksi cedera besar dan cedera tidak terlihat. Teknik ini
dapatmengidentifikasi kebutuhan untuk intervensi tambahan dan dapat
menunjukan temuanincidental yang memerlukan tindakan lanjut. CT Scan ini
lebih sensitive unutkmendeteksi kontusi pulmoner dan hemothorax. Pada cedera
penetrasi. Jika kondisimemungkinkan, CT Scan digunakan untuk
mengidentifikasi tingkat cedera dan adanyaketerlibatan jantung atau pembuluh
darah besar.
Cedera Kepala dan Leher
1. Radiografi cranium
untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalamigangguan kesadaran
sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisikeksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis , atau tandaneurologis fokal
lainnya. Fraktur kranium pada region temporoparietal pada pasienyang tidak
sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkanoleh
robekan arteri meningea media
2. CT scan/MRI
segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jikaterdapat fraktur
kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologisfokal . CT scan
dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka
pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural
3. Rontgen tengkorak : AP, lateral, dan posisi TowneIndikasi rontgen tengkorak :
- Hilang kesadaran atau amnesia
- Tanda-tanda neurologis
- Kebocoran LCS
- Curiga trauma tembus
- Intoksikasi alcohol
- Sulit menilai pasien
Fraktur ekstremitas
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya dislokasi.
Lihatkesegarisan antara klavikula, scapula, humerus,radius, ulnar, kalpar,metakarpal,
falang. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan :
1. Pemeriksaan radiologi : pemeriksaan yang penting adalah
pencitraanmenggunakan sinar rontgen(x-ray) . untuk mendapatkan gambaran 3
dimensikeadaan dan kedudukan tulang yang sulit maka diperlukan dua proyeksi
APatau PA dan lateral.
2. Foto rontgenDiguanakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur
3. TomografiPemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
lain yangtertutup yang sulit di visualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
strukturyang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
jugamengalaminya.4.
4. Mielografi
Pemeriksaan ini menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluhdarah
diruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibat trauma.
5. Arthtografi
Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa
6. CT Scan
Pemeriksaan ini menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
darimana didapatkan suatu stuktur tulang yang rusak.
7. Pemeriksaan Laboratorium
a. kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahapp enyembuhantulang.
b. alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tlang dan menunjukkan
kegiatanosteoblastik dalam membentuk tulang.
c. enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase(LDH-5), aspartataino
transferase, aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang
MANAJEMEN TRAUMA PADA PEDIATRIK
Manajemen Umum
Manajemen dan ventilasi yang adekuat dapat menghindari terjadinya kerusakanSSP
(sistem saraf pusat) yang progresif maka harus segera dilakukan penilaian dan
penanganan ABCDE, yang meliputi :
- Airway : dengan kontrol servikal dilakukan dengan menilai jalan nafas
pasien.Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda
asingatau fraktus di bagian wajah. Untuk membebaskan jalan nafas
dapatmenggunakan teknik jaw thrust tetapi karena pasien memiliki GCS, 8
makadilakukan pemasangan airway definitif yaitu oral airway dan
intubasiendotrakeal.
- Breathing : setelah membuka airway maka harus menjamin ventilasi yang
baik.Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru-paru yang baik, dinding
dada, dandiafragma
- Circulation : mengevaluasi volume darah, pendarahn, dan caerdiac
output.Menghentikan pendarahan dengan menggunakan penekanan langsung
danmeninggikan lokasi atau ekstremitas yang mengalami pendarahan diatas
leveltubuh. Pemasangan bidai dapat menurunkan pendarahan dengan
mengurangigerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar
patahan.
- Disability : evaluasi keadaan neurologis pasien dengan menilai
tingkatkesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
cederaspinal.
- Exposure : pasien dibuka seluruh pakaiannya dan diselimuti agar pasien
tidakmengalami hipotermia.
1. Dilakukan pemasangan Oral airway pada pasien karena
mengalamiketidaksadaran. Oral airway yang diinsersikan secara terbalik
kemudian diputar180 derajat tidak dianjurkan pada pasien anak karena
akan mengakibatkan perdarahan jaringan lunak oropharing.
2. Intubasi endotrakeal, untuk membuka airway dan memberikan ventilasi
pada anak.Dapat diberikan sedasi dan anestesi neuromusklar pada pasien
anak yang tidakkooperatif agar intubaasi endotrakeal tetap dapat
dikerjakan.
Manajemen cedera kepala
Penangan cedera kepala dapat dilakukan dengan pemberian terapi sebagai berikut :
- Phenobarbital 10-20 mg/kgBB
- Diazepam 0,1-0,2 mg/kgBB diberikan bolus IV secara perlahan-lahan
- Phenytoin atau fosphenytoin 15-20 mg/kgBB, lalu diberikan 0,5-1,5
mL/kgBB,kemudian 4-7 mg/kgBB/hari sebagai maintenance.
- Hipertonik saline 3% (Brain Trauma Foundation Guidelines) 3-5 mL/kgBB
dapatmenyebabkan hiperosmolalitas dan menaikkan kadar sodium di otak
sehinggamengurangi edema otak dan tekanan di ruang tengkorak selain itu
dapat menambah daya obat rheostatic memperbaiki aliran darah dan
mengurangi respon inflamasi
Manajemen laserasi kepala dan wajah
Dilakukan debridement, pembersihan, penutupan pada luka dengan terlebihdahulu
diberikan lokal anestesi. Pada pasien anak, dapat menggunakan lidocaine
4%,epinefrin 0,1%, dan tetracaine 0,5% sebagai lokal anestesi.
- Debridement and cleansing woundsIrigasi laserasi pada wajah dapat
menggunakan cairan isotonic (NaCl) 0,9% atau jugadapat menggunakan
povidone iodine.
- Closure wounds
1. Tanpa pembedahanPada laserasi sederhana (kecil, superficial, tidak ada
tanda kontaminasi) dapatdimanajemen dengan dressing saja atau dibiarkan
dalam keadaan terbuka karenalaserasi akan menutup dengan sendirinya
dalam 24-48 jam.
2. Dengan pembedahanSetelah debridement dapat dilakukan penjahitan pada
laserasi yang dalam.
3. Post closure woundsDapat diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya
infeksi.
Manajemen fraktur ekstremitas atas
Imobilisasi fraktur yang bertujuan untuk meluruskan ekstremitas yangmengalami
cedera dalam posisi anatomis dan mencegah gerakan yang berlebihan padadaerah
fraktur.
- Pemakaian bidai, membantu menghentikan perdarahan, mengurangi
nyeri,mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut
Manajemen Trauma Organ Abdominal pada Anak
Trauma oleh benda tumpul merupakan penyebab hampir semua traumaabdomen.
Cedera serius pada bagian abdomen memerlukan manejemen yang tepat.Salah satu
kasus yang memerlukan penaganan dengan segera adalah anak yang mengalami
trauma benda tumpul pada bagian abdomen dengan hipotensi. Anak dengan trauma
benda tumpul pada bagian abdomen memerlukan intervensi pembedahan daridokter
bedah.
Manajemen trauma thoraks pada anak
Delapan persen trauma pada anak melibatkan bagian thoraks. Trauma thoraks juga
dapat menjadi tanda adanya cedera pada organ lainnya. Hal ini dikarenakan lebihdari
dua pertiga dengan trauma thoraks mengalami trauma multipel. Mobilitas
strukturmediastinum pada anak juga dapat menyebabkan anak lebih sering
mengalami tension pneumothorax, cedera yang cepat mengancam nyawa tesering
pada anak. Oleh karena hal tersebut, manajemen yang tepat pada anak sangat
diperlukan dalam menaganitrauma thoraks yang disebabkan benda tumpul.
Manajemen perdarahan pasca trauma pada anak
Secara garis besar manajemen perdarahan pasca trauma pada anak, meliputi :
- Resusitasi Cairan
Tujuan resusitasi cairan pada anak adalah mengganti volume sirkulasidarah
dengan cepat. Volume darah pada bayi diperkirakan 80 mL/kg, dan padaanak
70 mL/kg. Resusitasi cairan didasarkan pada berat badan anak, dan
cairanisotonik merupakan pengganti darah yang hilang. Penggantian cairan
intravaskular yang hilang, dapat diberikan 3 bolus 20 mL/kg, atau 60
mL/kg,untuk mencapai penggantian kehilangan 25%. Bila dicurigai syok,
dapatdiberikan bolus cairan kristaloid sebanyak 20 mL/kg.
- Tranfusi darah
- Kegagalan dalam perbaikan hemodinamik dengan pemberian bolus pertama,
menimbulkan kecurigaan jika perdarahan masih berlangsung. Jika perdarahan
masih berlangsung, segera berikan bolus kedua atau ketiga cairanisotonik
kristaloid 20 mL/kg. Pemberian kristaloid diikuti juga denganketerlibatan
dokter bedah untuk pertimbangan intervensi pembedahan padaanak. Sewaktu
memberikan bolus tambahan kristaloid isotonik, lalu keadaananak semakin
memburuk, berikan segera 10 mL/kg crossmatch atau O-negative packed Red
Blood Cell (pRBC)
Edukasi pada anak dengan trauma
Edukasi pada anak dengan trauma dapat dilakukan dengan ABCDE. ABCDEtersebut
meliputi :
- Analyze Injury Data
Melakukan pengawasan (surveillance) & analisis trauma lokal.
- Build Local Coalitions
Menciptakan kerjasama yang baik antara pihak rumah sakit dan pihaklainnya
yang berkaitan.
- Communicate The Problem
Melakukan komunikasi bahwa trauma dapat dicegah (Pada anak
denganmenggunakkan pelindung kepala, pad siku dan lutut, juga mematuhi
rambu -rambu yang ada di jalan).
- Develop Prevention Activities
Menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi siapapun, terutama padaanak.
- Evaluate the Interventions
Melakukan pengawasan dan evaluasi (surveillance) dari tindakan penanganan
serta penecegahan trauma.

Assesment Trauma Pediatric


Assessment dan manajemen trauma pada anak yang benar adalah sebagai berikut:
1. Primary Assessment dan Resusitasi
Merupakan pengkajian untuk mengidentifikasi life-threatening injuries
yang membahayakan oksigenasi dan sirkulasi. Prinsip utama dalam primary
assessment adalah evaluasi ABCDE dan melakukan manajemen yang efektif
setiap ditemukan masalah yang mengancam nyawa (Abantanga et al, 2010).
Menurut Orlando Health Education & Development (2011), Murray & Cordle
(2015) dan Maryniak (2015) berikut adalah uraian dalam primary assessment:
a. Airway dan stabilisasi tulang belakang
Merupakan prioritas utama dalam primary assessment dengan melihat
patensi, potensial obstruksi jalan nafas dan melakukan stabilisasi tulang
belakang dengan cervical collar. Dalam airway manajemen tindakan
intervensi yang diberikan antara lain:
1) Menggunakan manuver jaw thrust untuk membuka jalan nafas.
Merupakan implikasi dari anatomi lidah anak yang besar dibandingkan
rongga mulut
2) Mempertahankan imobilisasi spinal terutama jika terindikasi trauma
spinal
3) Lakukan suction pada rongga mulut dengan Yankauer suction (tidak
boleh merangsang reflek gag)
4) Apabila airway paten tidak bisa dipertahankan maka pasang
oropharingeal airway. Pemasangan nasofaringeal tidak
direkomendasikan karena potensial perdarahan, infeksi (sinusitis) dan
peningkatan TIK
5) Lakukan pemasangan intubasi dengan rapid sequence intubasi
medication (indikasi: control airway yang lama, membutuhkan
ventilasi adekuat, GCS<9 (mengontrol hiperventilasi) dan kegagalan
pernafasan).
6) Apabila terjadi stridor atau sianosis maka berikan O2 100%, pasang
intubasi (PO2 <50 mmHg atau PCO2>50 mmHg) dan lakukan needle
cricotomy (bila intubasi tidak memungkinkan sama sekali)
7) Other Consideration: Monitoring ETCO2, pasang NGT untuk
mencegah distensi dan dan apabila terjadi trauma laring/trakea
langsung lakukan cricothyrotomy atau emergency tracheostomy.
b. Breathing dan ventilasi
Dilakukan setelah airway paten/aman. Assessment termasuk RR,
kedalaman pernafasan, auskultasi bunyi nafas dan melihat pergerakan
dinding dada. O2 harus diberikan pada semua pasien trauma melalui nasal
kanul atau face mask jika tidak terdapat tanda dan gejala perburukan
pernafasan. Pulse oximetry dapat digunakan untuk mempertahankan
O2>96%. Untuk pasien dengan apnea dan bradypnea maka rescue
breathing dapat diberikan dengan Bag-valve mask dengan O2 100%.
Sedangkan untuk intubasi dapat dilakukan jika ventilasi tidak adekuat
dengan bag-valve mask, kegagalan pernafasan dan syok yang tidak
responsif dengan volume resuscitation. Berikut adalah intervensi yang
dilakukan berdasarkan hasil assessment:
1) RR meningkat (mengindikasikan kegagalan pernapasan) dapat
dilakukan intubasi, jika syok diberi resusitasi cairan, nyeri diberi
analgesik
2) Pergerakan dinding dada (paradoksal) menandakan flail chest
sehingga memerlukan O2 100% NRBM/intubasi
3) Kelainan bunyi nafas mengindikasikan adanya pneumothorax
(letakkan chest tube), hemothorax (lakukan pemasangan drainage) dan
open pneumothorax (pemasangan tube thoracostomy)
4) Adanya deviasi trakea mengindikasikan tension pneumothorax dapat
dipasang needle decompress/thoracocentesis
c. Circulation dan kontrol perdarahan
Pada pasien anak tidak selalu takikardia menunjukkan tanda awal
terjadinya syok. Nyeri dan kecemasan pada pasien anak juga
menunjukkan gejala takikardia oleh karena itu diagnosa syok dapat terjadi
jika pasien menunjukkan gejala takikardia, perubahan status mental,
penurunan PP, akral dingin, penurunan output urine, CRT>2 detik,
hipotermia dan hipotensi. Untuk itu assessment terpenting dalam sirkulasi
ini adalah HR, BP, bandingkan nadi apikal dan brankial, temperatur kulit,
warna kulit, CRT dan identifikasi tempat perdarahan. Sedangkan
penanganan sirkulasi trauma anak adalah
1) Prioritas utamanya adalah mengkonfirmasi ada atau tidak nadi, Jika
nadi tidak ada maka mulai dengan CPR, jika nadi <60x/menit lakukan
resusitasi sesuai guidelines AHA Pediatric Advanced Life Support
2) Prioritas selanjutnya adalah external hemorrhages, yang dapat
dilakukan tindakan penekanan langsung dan ditinggikan
3) Melakukan pemasangan IV. Pasang kateter IV jarum besar 2 line pada
ekstremitas atas, jika tidak berhasil dilakukan pemasangan
intraosseous atau vena sentral. Berikan RL atau NaCl 0,9%, 20 mL/kg
dan diulang sebanyak 3 kali (hipovolemia berat). Bila tidak ada
perbaikan dalam 30-60 menit dapat diberikan PRC 10 ml/kgBB/WB
20 ml/kg BB sampai kondisi hemodinamik pasien stabil.
4) Selama resusitasi pasien harus terpasang kateter untuk evaluasi
produksi urine (usia<1 tahun produksi urine 2 ml/kgBB/jam, usia>1
tahun produksi urine 1 ml/KgBB/jam)
d. Disability Assessment (Pemeriksaan neurologis lengkap)
Fokus assessmentnya adalah melihat tingkat kesadaran pasien dengan
sistem AVPU dan modifikasi pediatric GCS, respon pupil dan
kesimetrisan serta ukurannya. Untuk treatment dan intervensinya adalah
1) Stabilisasi tulang belakang atau posisikan kepala netral, GCS <9
merupakan indikasi dilakukan intubasi (RSI) dan beri O2 100%
2) Jika terjadi AMS dengan indikasi trauma kepala yang dibuktikan hasil
CT-scan segera konsultasikan ke neurosurgical, Apabila AMS disertai
tanda herniasi berikan manitol 0,25-0,5 g/kg IV dan pertahankan
PCO2 30-35 mmHg
3) Pertahankan CPP minimal 50 mmHg dan kaji tanda spinal injury
termasuk kegagalan pernafasan dan bulbocavernosus reflex.
e. Exposure dan Pemeriksaan lengkap
Dilakukan dengan membuka baju anak untuk mengidentifikasi trauma
yang mungkin tidak terlihat dan tetap mempertahankan kondisi pasien
normotermia. Pada fase ini juga merupakan saat yang tepat untuk
dilakukan pemeriksaan imaging dan tes diagnostik lain, intervensi suportif
(reduksi dan splinting) dan pemberian pengobatan (analgesik, vaksin
tetanus serta antibiotik)

2. Secondary Assessment
Merupakan tindakan yang dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil
untuk mengidentifikasi cedera yang tidak mengancam nyawa (Abantanga et
al, 2010). Pemeriksaan ini lebih detail mencangkup:
a. Full set of vital sign/family presence
Melakukan pemeriksaan vital sign yang diulangi sampai kondisi
pasien stabil, pemasangan monitor BP, pemasangan pulse oximetry,
pemasangan kateter urine dan pemasangan NGT (sebagai dekompresi
untuk mencegah distensi abdomen akibat adekuat ventilasi) (Orlando
Health, Education & Development, 2011)
b. Give comfort
Pasien anak dengan trauma selalu disertai nyeri. Untuk itu harus
dilakukan pengkajian dan manajemen nyeri yang tepat. Manajemen nyeri
yang biasa diberikan adalah melakukan anestesi lokal di area cedera,
kombinasi pemberian analgesik per oral maupun intravena, pemasangan
splinting, kompres es, posisi, teknik relaksasi atau sentuhan (McFadyen et
al, 2012)
c. History dan Head-to-toe assessment
History mencangkup mnemonic SAMPLE dan mekanisme cedera
pasien (Abantanga et al, 2010). Selain itu juga dilakukan pemeriksaan
head-to-toe secara detail dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi.
Tindakan yang biasa dilakukan adalah melakukan perawatan luka,
perawatan fraktur dan pemeriksaan diagnostik yang lebih detail pada
bagian tubuh yang cedera (Hammond & Zimmermann, 2013).
d. Inspect posterior surfaces
Melihat area tulang belakang dengan melakukan log roll untuk
inspeksi, palpasi adanya nyeri, tenderness dan instability tulang belakang
(McFadyen et al, 2012) 3. Re-evaluasi dan Monitoring Dilakukan untuk
mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Biasanya re-evaluasi dilakukan
setiap 15 menit pada pasien kondisi stabil dan setiap 5 menit pada pasien
kondisi tidak stabil (Abantanga et al, 2010)
3. Definitive Care
Merupakan tindakan perawatan untuk non-life-threatening injury yang
ditemukan selama secondary assessment. Tindakan ini dapat berupa mengirim
pasien pada unit trauma lain (seperti pasien luka bakar), transfer ke ruang
operasi atau bila mungkin dipindahkan ke ICU (Orlando Health, Education &
Development, 2011; Abantanga et al, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Rachmawati, D. (2020). Assessment Dan Manajemen Trauma Pada Anak. Journal of


Borneo Holistic Health, 3(2). https://doi.org/10.35334/borticalth.v3i2.1620
E, N., & Chadd. 2011. Considerations in Pediatric Thoracic and Abdominal Trauma.
Trauma in Children , 18-27.
Muniz, A. 2008. Evaluation and Management of Pediatric Abdominal Trauma.
Pediatric Emergency Medicine Practice , 5 , 1-24.
Nancy, P. 2012. Advance Trauma Life Support 9th edition. Chicago:
AmericanCollege of Surgeon.
Tintinalli, J. E., 2016. Emergency Medicine, A Comprehensive Study Guide. 8
ed.s.l.:McGraw-Hill.
Stone, C. K. & Humphries, R. L., 2011. CURRENT Diagnosis & Treatment :
EMERGENCY MEDICINE. 7 ed. s.l.:MC Graw-Hill.
https://fkik.uin-malang.ac.id/index.php/ilmu-kesehatan-anak/
Resume
Manajemen Trauma Pediatric adalah Trauma pada anak-anak, juga dikenal sebagai
trauma pediatrik, mengacu pada cedera traumatis yang terjadi pada bayi, anak atau
remaja. Bagian penting dari penanganan trauma pada anak adalah estimasi berat
badan. Sejumlah metode untuk memperkirakan berat ada, termasuk pita Broselow,
rumus Leffler, dan rumus Theron. Dari ketiga metode ini, pita Broselow adalah yang
paling akurat untuk memperkirakan berat badan pada anak 25 kg, sedangkan rumus
Theron bekerja lebih baik pada pasien dengan berat badan >40 kg. Anak-anak sangat
berbeda dari orang dewasa secara anatomis dan fisiologis. Secara proporsional
berbeda, anak-anak memiliki kepala yang lebih besar daripada orang dewasa,
meningkatkan pusat gravitasi mereka dan berkontribusi pada pola cedera yang
berbeda dari yang terlihat pada orang dewasa.
Jenis-Jenis Pediatri, antara lain yaitu Pediatri Klinik (Clinical Pediatrics), Pediatric
pencegahan (preventive pediatric), Pediatric Sosial (Social Pediatric).
Manajemen Trauma Pada Pediatrik secara umum adalah Manajemen dan ventilasi
yang adekuat dapat menghindari terjadinya kerusakanSSP (sistem saraf pusat) yang
progresif maka harus segera dilakukan penilaian dan penanganan ABCDE
Edukasi pada anak dengan trauma
Edukasi pada anak dengan trauma dapat dilakukan dengan ABCDE. ABCDE tersebut
meliputi :
- Analyze Injury Data
- Build Local Coalitions
- Communicate The Problem
- Develop Prevention Activities
- Evaluate the Interventions
Soal
1. Bagian penting dari penanganan trauma pada anak adalah...
a. Estimasi berat badan
b. Tekanan darah
c. Respiratory rate
d. Suhu
e. Nadi

Jawaban :
a. Estimasi berat badan

2. Sesuai dengan perkembangan ilmu kesehatan anak yang ada saat ini, maka
kajian pediatri umumnya memiliki...
a. 5
b. 4
c. 3
d. 2
e. 1

Jawaban :
c. 3

3. Pediatric Trauma Score (PTS) dikembangkan untuk...


a. Menurunkan trauma
b. Mencerminkan kerentanan anak-anak terhadap cedera traumatis
c. Mencerminkan kekuatan anak-anak terhadap cedera traumatis
d. Mencerminkan tingkat trauma anak-anak terhadap cedera traumatis
e. Mencerminkan trauma terhadap cedera traumatis
Jawaban :
b. Mencerminkan kerentanan anak-anak terhadap cedera traumatis

4. Ada hubungan linier antara Pediatric Trauma Score (PTS) dan risiko kematian
yaitu...
a. Semakin tinggi PTS, semakin rendah risiko kematian
b. Semakin tinggi PTS, semakin tinggi risiko kematian
c. Semakin rendah PTS, semakin rendah risiko kematian
d. Semakin rendah PTS, semakin tinggi risiko kematian
e. Semakin sedang PTS, semakin tinggi risiko kematian

Jawaban :
d. Semakin rendah PTS, semakin tinggi risiko kematian

5. Pada tabel kategori kehilangan cairan pada pediatric kehilangan cairan sedang
: kehilangan volume cairan intravascular sekitar...
a. 10%
b. 15%
c. 20%
d. 25%
e. 30%

Jawaban :

d. 25%

6. Pada tabel kategori kehilangan cairan pada pediatric kehilangan cairan berat :
kehilangan volume cairan intravascular sekitar...
a. 20%
b. 25%
c. 30%
d. 35%
e. 40%

Jawaban :

e. 40%

7. Manajemen dan ventilasi yang adekuat dapat menghindari terjadinya


kerusakan SSP (sistem saraf pusat) yang progresif maka harus segera
dilakukan penilaian dan penanganan...
a. Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
b. Airway, Breathing, Circulation
c. Airway, Breathing, Disability, Exposure
d. Airway, Disability, Exposure
e. Airway, Circulation, Disability, Exposure

Jawaban :

a. Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure

8. Edukasi pada anak dengan trauma dapat dilakukan dengan...


a. Analyze Injury Data
b. Build Local Coalitions
c. Communicate The Problem
d. Develop Prevention Activities dan Evaluate the Interventions
e. Semua benar

Jawaban :

e. Semua Benar
9. Secondary Assessment merupakan tindakan yang dilakukan setelah pasien
dalam kondisi stabil untuk...
a. mengidentifikasi tekanan darah
b. mengidentifikasi cedera yang mengancam nyawa
c. mengidentifikasi cedera yang tidak mengancam nyawa
d. mengindentifikasi nadi
e. mengindentifikasi pernapasan

Jawaban :

c. mengidentifikasi cedera yang tidak mengancam nyawa

10. Cedera serius pada bagian abdomen memerlukan manejemen yang tepat.
Salah satu kasus yang memerlukan penaganan dengan segera adalah...
a. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian abdomen
b. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian kepala
c. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian leher
d. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian abdomen dengan
hipotensi
e. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian tangan

Jawaban :

d. anak yang mengalami trauma benda tumpul pada bagian abdomen dengan
hipotensi

Anda mungkin juga menyukai