DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING :
dr. Joko Purnomo, Sp.B(K)Onk.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. referat dengan judul:
Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit payudara jinak (Benign Breast Disease) pada wanita adalah temuan
yang sangat umum dan menghasilkan diagnosis pada sekitar satu juta wanita setiap
tahun di Amerika Serikat. Pemahaman tentang kontrol hormonal dan faktor
pertumbuhan perkembangan dan fungsi payudara adalah kunci untuk evaluasi dan
perawatan pasien yang rasional dan sistematis. Pemahaman yang kuat tentang penyakit
payudara jinak penting karena langkah-langkah berurutan diperlukan untuk
membedakan lesi yang memberikan risiko tinggi kanker payudara dengan yang tidak.
Penyakit payudara jinak adalah hal yang umum terjadi dan termasuk gambaran
yang meliputi massa yang terraba, kelainan radiografi, dan mastalgia. Insidensi lesi
payudara jinak lesi mulai meningkat selama dekade ke dua dan puncaknya pada dekade
keempat hingga kelima, sebagai kebalikan dari yang ganas yang kejadiannya terus
meningkat setelah menopause dengan puncak kejadiannya pada usia 70 tahun.
Mayoritas pasien datang dengan keluhan payudara akan didapat kondisi yang jinak.
Dengan pencitraan payudara dan biopsi jarum perkutan, diagnosis dapat diselesaikan
cepat dan tanpa memerlukan manajemen bedah tambahan di sebagian besar lesi ini.
Setelah penegakkan diagnosis nonmalignant, pengobatan umumnya ditujukan untuk
menghilangkan gejala dan mengedukasi pasien
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Payudara
Payudara wanita dewasa memanjang dari costae ke dua sampai ke costae
keenam. Sebelah medial, berbatasan dengan margo lateralis corpus sterni, dan sebelah
lateral mencapai linea midaxillaris.Pada ekstremitas superolateral, jaringan payudara
menjulur ke aksila di sepanjang batas bawah musculus pectoralis major. Sebagian besar
jaringan payudara biasanya terlokalisasi pada jaringannyakuadran luar atas. Kuadran
ini lebih sering terlibat dalam kanker payudara dan pada sebagian besar lesi jaringan
payudara yang jinak.
Puting biasanya terletak pada spatium intercostal keempat pada wanita
nulipara, tetapi posisinya tidak konstan sehubungan dengan ruang interkostal ketika
payudara terjumbai.Sejumlah 15 -20 duktus laktiferosa terbuka ke arah puting. Puting
susu sendiri dikelilingi oleh areola, yang mengandung kelenjar sebacea berukuran
besar .
Pada aspek yang dalam, sekitar dua pertiga payudara terletak pada musculus
pectoralis mayor. Secara lateral, payudara tumpang tindih dengan musculus serratus
anterior, dan inferior berbatasan dengan bagian atas selubung rektus .
Hubungan fasia payudara sangat penting. Sebagai derivat ektodermal, kelenjar
terletak di kantung fasia superfisialis. Lapisan superfisial terletak tepat di bawah dermis
dan memungkinkan flap superfisial didiseksi dari massa kelenjar payudara secara
cepat, rapi, dan relatif avaskular. Selain itu, pembedahan pada lapisan ini juga
memastikan bahwa jaringan payudara tidak dibiarkan menempel pada lipatan kulit.
Jaringan fibrosa dari lapisan fasia ini meluas ke kulit dan ke puting dan lebih
berkembang di bagian atas payudara, di mana mereka membentuk ligamentum
suspensori Cooper. Kontraksi jaringan ini oleh infiltrasi ganas menyebabkan lekukan
kulit yang khas pada karsinoma mammae. Lapisan dalam fasia superfisialis lebih tebal
daripada komponen subkutan dan mencakup aspek mendalam penutup dada. Lapisan
3
dalam fasia superfisialis lebih tebal daripada komponen subkutan dan mencakup aspek
mendalam breast palate.
4
BENIGN BREAST DISEASE
A. Definisi
Penyakit payudara jinak merupakan kelompok lesi non kanker yang
heterogen termasuk kelainan perkembangan, lesi inflamasi, proliferasi epitel dan
stroma, dan neoplasma. Kelainan perkembangan seperti payudara ektopik
(heterotopia mammae), digambarkan sebagai jaringan payudara supernumerary
dan menyimpang, adalah kelainan bawaan paling umum pada payudara. Jaringan
payudara supernumerary kebanyakan terlihat di sepanjang milk line; situs yang
paling sering adalah dinding dada, vulva, dan ketiak. Ini dapat bervariasi dalam
komponen putingnya (polythelia), areola, dan jaringan kelenjar (polymastia).
Namun, lokasi anatomi di luar milk line tidak boleh menghalangi diagnosis jaringan
payudara ektopik, karena ada banyak keadaan jaringan semacam itu yang
terdokumentasi dengan baik dan tidak biasa, termasuk lutut, paha lateral, bokong,
wajah, telinga, dan leher. Jaringan payudara yang tidak normal biasanya terletak di
dekat payudara umumnya di aksila. Mereka biasanya memiliki puting dan areola
dan sistem saluran terpisah dari sistem normal payudara. Ketika puting susu tidak
ada, keberadaan jaringan payudara aksesori sulit untuk diidentifikasi.Jaringan
Payudara asesoria merespon dengan cara yang sama seperti jaringan payudara
normal dalam pengaruh fisiologisnya. Tidak adanya sistem saluran bisa
menyebabkan gejala obstruksi selama menyusui dan bisa keliru secara klinis untuk
karsinoma.
B. Etiologi
Penyebab umum dari lesi payudara jinak termasuk penyakit fibrokistik,
fibroadenoma papilloma intraductal, dan abses. Pengamatan klinis pada wanita
yang menerima estrogen dan anti-estrogen menunjukkan bahwa peristiwa
hormonal berperan dalam etiologi lesi payudara jinak.
5
Perubahan genetik didapat dan penyertanya berhubungan dengan lesi
payudara jinak. Kehilangan heterozigositas (LOH), sebuah temuan yang
disebabkan oleh delesi segmen kecil DNA umumnya ditemukan pada lesi payudara
jinak. Wanita sering memiliki lesi multi-fokus, masing-masing menunjukkan
hilangnya heterozigositas (LOH) dari berbagai daerah DNA. Wanita dengan mutasi
BRCA1 / 2 ditemukan memiliki frekuensi tinggi dari beberapa lesi payudara jinak
atau ganas ketika spesimen mastektomi bilateral diperiksa dengan teliti. Temuan
ini mendukung teori mutakhir yang mendasari kecenderungan mutasi pada
beberapa pasien sebagai penyebab lesi payudara multipel.
C. Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat meningkatkan risiko berkembangnya Benign Breast
Disease (BBD). Faktor-faktor tersebut dapat berupa paparan-paparan dari awal
kehidupan hingga gaya hidup yang dijalani selama ini. Berikut beberapa faktor yang
mampu meningkatkan risiko terjadinya BBD menurut Frazier dan Rosenberg
(2013), yaitu:
1. Faktor antropometri
a. BMI (Body Mass Index)
Komposisi lemak tubuh yang diukur pada anak-anak usia 5-10 tahun
relatif berbanding terbalik dengan risiko terjadinya BBD, dengan hasil
anak-anak yang memiliki beban terberat memiliki risiko lebih rendah
berkembangnya BBD. Efek protektif ini juga terjadi ketika anak
bertumbuh besar menjadi remaja; remaja berusia 18 tahun dengan BMI≥25
memiliki pengurangan risiko terkena BBD sebesar 33%. Hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara BMI dan BBD, yaitu
semakin tinggi nilai BMI maka risiko terjadinya BBD akan semakin
menurun.
6
2. Faktor-faktor diet
a. Lemak
Individu yang mengonsumsi lemak berasal dari hewan mempunyai
peningkatan risiko terkena BBD sebanyak 33%, sedangkan individu yang
mengonsumsi lemak nabati mempunyai penurunan risiko terkena BBD
sebanyak 27%.
b. Daging
Wanita yang mengonsumsi ≥3 porsi daging apapun selama sehari
semasa remaja memiliki risiko berkembang BBD lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita yang mengonsumsi daging <1,5 porsi selama
sehari; lebih sepesifiknya, daging merah berhubungan dengan peningkatan
risiko BBD sebanyak 33% pada wanita yang mengonsumsi sedikitnya 2
porsi sehari dibandingkan dengan wanita yang mengonsumsi kurang dari
1 porsi sehari.
7
4. Faktor-faktor lainnya
a. Terapi hormon menopause (penggunaan hormone postmenopause) dapat
meningkatkan risiko terjadinya BBD (Rohan et al., 2008)
b. Riwayat keluarga dengan penyakit kanker payudara atau BBD (Berkey et
al., 2012).
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Santen (2018), gejala klinis dari BBD terbagi dalam tiga
kelompok besar, yaitu gejala nyeri, benjolan dan discharge. Berikut beberapa jenis
BBD yang umum terjadi pada wanita berdasarkan tiga kelompok gejala klinis,
yaitu:
8
Gambar 2. Jenis-jenis BBD yang umum terjadi pada wanita
a. Nyeri pada mammae sesuai siklus
Hal ini biasanya terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi, bisa
berhubungan dengan sindrom pre-menstruasi atau terjadi dengan sendirinya,
dan biasanya akan membaik sesuai onset menstruasi. Nyeri mammae non-
siklus adalah nyeri pada mammae yang tidak berhubungan dengan siklus
9
menstruasi. Pembesaran kista akut dan mastitis periductal dapat menyebabkan
nyeri lokal yang hebat dengan onset yang tiba-tiba.
b. Nodul pada mammae
Proliferasi dari jaringan duktus atau lobular dapat menyebabkan
perubahan histologis yang termanifestasi dengan adanya benjolan atau nodul
yang dapat dipalpasi. 90% nodul-nodul baru pada wanita premenopause
bersifat jinak dan biasanya disebut dengan fibroadenoma pada periode
reproduktif awal. Pada periode reproduktif tengah, area fokal fibrosis,
hyperplasia, atau pembentukan kista lebih sering ditemukan. Pada periode
reproduktif akhir, hiperplasia, kista dan karsinoma in situ lebih umum terjadi.
c. Nipple discharge
Nipple discharge dapat dibagi menjadi tipe fisiologis maupun patologis.
Karakteristik dari discharge fisiologis meliputi non-spontan, duktus multiple,
bilateral dan tidak berdarah. Discharge patologis memiliki ciri-ciri seperti
keluar spontan, berupa darah atau cairan serous, dan membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.
10
E. Diagnosis
Dalam menetapkan diagnosis BBD, menurut Santen (2018),
manajemen BBD membutuhkan anamnesis, permeriksaan fisik, dan
penunjang sesuai dengan gambar di bawah ini:
11
a. Anamnesis
Dari hasil anamnesis, kita mampu mendapatkan informasi mengenai
gejala-gejala yang khas menunjukkan BBD seperti nyeri tekan pada
mammae, adanya nodul atau benjolan, dan keluarnya discharge. Selain itu,
kita juga harus menggali lebih dalam mengenai faktor risiko yang dapat
meningkatkan BBD seperti usia, riwayat keluarga yang terkena kanker
payudara, riwayat biopsy payudara, riwayat post-menopause, dan riwayat
konsumsi obat rutin.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi pada
empat kuadran mammae saat pasien duduk dan berbaring. Dari palpasi
tersebut bisa didapatkan mengenai letak benjolan, konsistensi, nyeri tekan,
dan batas dari benjolan. Setelah memeriksa empat kuadran dari mammae,
maka dilakukan pemeriksaan pada kulit sekitar mammae, aerola, dan aksila.
Dilihat juga kesimetrisan antara mammae kanan dan kiri, dan memeriksa
apakah terdapat discharge atau tidak.
c. Pemeriksaan radiologi
Mammografi berfungsi untuk mengevaluasi lesi-lesi yang teraba,
terutama apabila ditemukan pada wanita usia lebih dari 35 tahun. Selain
mammografi, USG bisa juga digunakan dalam pemeriksaan BBD. USG
biasanya dipakai sebagai evaluasi awal pada massa teraba untuk wanita
dengan usia kurang dari 35 tahun. Pada pemeriksaan mammografi, bisa
ditemukan perubahan fibrosistik berupa massa berbentuk lingkaran atau
lonjong yang bisa dilihat batasnya dengan yang lain. Selain itu bisa juga
ditemukan kalsifikasi distropik yang tersebar difus. Tujuan dari mammografi
adalah memastikan bahwa risiko berkembang menjadi neoplasma yang
mampu bermetastasis rendah.
12
F. Pencegahan
Untuk menghindari terjadinya BBD pada seorang individu, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dan dilakukan, yaitu:
a. Perubahan gaya hidup
Gaya hidup sehat terbukti mampu menurunkan risiko terjadinya berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah BBD. Diet sehat dapat menurunkan
risiko terkena BBD, terutama konsumsi banyak buah dan sayur. Selain itu,
hindari minum minuman beralkohol, terutama pada wanita-wanita dengan
riwayat keluarga terkena BBD. Merokok juga mampu meningkatkan risiko
terkena kanker, maka menghindari asap rokok maupun memberhentikan
kebiasaan merokok mampu mencegah terjadinya BBD pada suatu individu.
b. Skrining teratur
c. Mencari tahu riwayat keluarga terkait penyakit BBD
d. Pemberian tamoxifen selama kurang lebih 5 tahun untuk mencegah
perkembangan menjadi breast cancer.
e. Memberikan ASI ekslusif
Memberikan ASI ekslusif selama satu tahun atau lebih mampu menurunkan risiko
terjadinya BBD
G. Tatalaksana
Berdasarkan Santen (2018), pemberian danazol, bromocriptine, dan
tamoxifen telah terbukti efektif dalam mengobati kasus BBD. Selain itu pemberian
seperti iodine dan vaginal progesterone dimungkinkan dapat mengobati secara
efektif pada penyakit BBD. Selain pemberian obat-obatan, pemakaian bra dengan
ukuran yang tepat dapat membantu menyediakan pendukung dari mammae dan
telah dilaporkan mampu meredakan nyeri pada mammae. GnRH agonis digunakan
untuk menurunkan konsentrasi LH, FSH dan estradiol serta dapat membuat sebuah
kondisi pos menopause temporer sehingga mampu mengurangi frekuensi timbulnya
nyeri pada mammae. Pengurangan dosis estrogen pada terapi pos menopause atau
13
penambahan androgen pada terapi pengganti estrogen mampu mengurangi rasa
nyeri yang ditimbulkan pada mammae.
a. Definisi
14
b. Klasifikasi
Fisiologi dari payudara sangat penting dalam memahami ANDI. Proses
fisiologi tiga fase dari payudara saat masa reproduktif sangat berkaitan dengan
efek hormonal. Tiga fase tersebut terdiri dari perkembangan (development),
perubahan siklus (cyclical change), dan involusi (involution). Proses dalam
ketiga fase ini merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat menyebabkan
kesalahan yang menyebabkan perubahan dari lobulus, duktus, dan stroma yang
dapat dipahami gejala klinisnya.
1) Perkembangan Payudara
Pada payudara premenarche, payudara hanya terdiri dari beberapa
duktus, perkembangan payudara menyebabkan pertambahan struktur lobuler
pada sistem duktus yang sedang berkembang. Lobulus berkembang pada usia
reproduktif awal usia 15-25 tahun. Pada masa ini terjadi perubahan lobulus
menjadi lobulus yang lebih matur dan tidak terlalu aktif pada siklus menstruasi.
Hal ini menjelaskan prevalensi terjadinya fibroadenoma pada usia reproduktif
awal dan tengah karena hipertrofi dari lobulus (Manseld an Webster, 2012).
Pada fase ini, lobulus mengalami gangguan yang disebut aberration sehingga
terjadi fibroadenoma. Apabila benjolan berukuruan lebih dari 5 cm dapat
disebut giant fibroadenoma dan masuk sebagai klasifikasi diseased status
(Bhat, 2018).
2) Perubahan pada Siklus
Epitelial dan Stromal dari lobulus berada dibawah kontrol hormonal dan
didapatkan bukti bahwa keduanya bekerja secara berkesinambungan. Keduanya
berhubungan erat dan dependen terhadap satu sama lain. Gangguan pada
hubungan keduanya menyebabkan benign breast disease. Perubahan pada
siklus ini dihubungkan dengan gejala klinis berupa rasa berat yang tidak
berhubungan dengan perubahan histologi dari payudara itu sendiri (Mansel dan
Webster, 2012). Efek hormonal siklus pada glands dan stroma diperbesar oleh
aberration yang menyebabkan pembesaran general. Pada status penyakit atau
15
diseased status hal ini dapat disebut sebagai cyclical mastalgia dengan nodul
disebut sebagai fibrocystadenosis (Bhat, 2018).
3) Involusi Payudara
Involusi mulai awal dan perubahan dapat dilihat secara jelas pada usai
35 tahun atau bahkan lebih awal. Sehingga perubahan pada siklus dan involusi
berjalan secara bersamaan selama 20 tahun atau lebih menyebabkan
meningkatnya kemungkinan terjadinya aberration. Involusi menyebabkan
lobulus dependen terhadap epitel dan stroma. Saat proses involusi lobular, loose
hormone responsive connective tissue digantikan dengan jaringan fibrous
interlobular standar. Jika perubahan ini terkoordinasi dengan regresi dari
jaringan epithelial, saat terjadi menopause involusi akan terjadi secara luas
dengan hanya sedikit duktus tersisa. Selain itu, involusi juga dapat
menyebabkan terbentuknya microcyst yang pada akhirnya dapat berkembang
menjadi macrocyst. Hal ini terjadi dikarenakan obstruksi dari duktus (Mansel
dan Webster, 2012). Selain itu pada fase ini juga dapat terjadi fibrosis, adenosis,
dan metaplasia apokrin. Adenosis skelosis juga merupakan tipe gangguan,
involusi duktus dapat menyebabkan dilatasi duktus dan discharge dari putting
sebagai gangguannya. Nantinya, penyakit berkembang dari terjadinya masitits
periduktal, infeksi bakteri, abses payudara nonlaktasi, dan fistula duktus
mammae. Fibrosis periduktal dapat menyebabkan retraksi puting. Perubahan
epithelial dapat menyebabkan hyperplasia dan atypia epitel (Bhat, 2018).
c. Hubungan antara Benign Breast Disease dan ANDI
Aberration of Normal Development and Involution of Breast seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan sebuah klasifikasi dari benign
breast disease. ANDI menunjukkan bahwa beberapa penyakit payudara jinak
merupakan akibat dari fisiologi payudara sendiri dan merupakan suatu hal yang
normal karena terjadi pada sebagian besar manusia pada fase reproduksinya.
Hal ini dapat dikatakan normal sampai pada di suatu titik tertentu penyakit
tersebut dapat disebut disease.
16
BAB III
SIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Rohan TE, Negassa A, Chlebowski RT, et al. Conjugated equine estrogen and risk of
benign proliferative breast disease: a randomized controlled trial. J Natl Cancer
Inst. 100(8):563-71, 2008.
Berkey CS, Tamimi RM, Rosner B, Frazier AL, Colditz GA. Young women with
family history of breast cancer and their risk factors for benign breast disease.
Cancer. 118(11):2796-803, 2012.
Frazier AL, Rosenberg SM. (2013). Pre-adolescent and Adolescent Risk Factors for
Benign Breast Disease. J Adolesc Health, 52(5_0): S36-S40
Santen RJ. (2018). Benign Breast Disease in Women. South Dartmouth:
MDText.com,Inc. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278994/ [Diakses pada 11
September 2019]
Guray M, Sahin AA (2006). Benign Breast Diseases: Classification, Diagnosis, and
Management.The oncologist:11:435 – 449
Ellis H, Mahadvan V(2013).Anatomy and physiology of the breast.Basic Scince
18