Anda di halaman 1dari 18

REFERAT SEPTEMBER, 2018

DISTOSIA BAHU

OLEH:

YEVAN HARRYBRATA ADJIMAT


N 111 17 017

PEMBIMBING KLINIK :
dr. DANIEL SARANGA, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Yevan Harrybrata Adjimat

No. Stambuk : N 111 17 017

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Judul Referat : Distosia Bahu

Bagian : Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Bagian Ilmu Kandungan dan Penyakit Kandungan

RSUD Undata Palu

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, September 2018

Pembimbing Klinik Ko – Assisten

dr. Daniel Saranga, Sp.OG ( K) Yevan Harrybrata Adjimat


N 111 17 056
2
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa kasus sebagai penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi
baru lahir ialah : Perdarahan, infeksi dan sepsis, hipertensi dan
preeklampsia/eclampsia serta persalinan macet (distosia). Persalinan macet yang
hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang
lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan dalam nifas.1
Distosia bahu adalah suatau keadaan diperlukannya tambahan maneuver
obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak
berhasil untuk melahirkan bayi. Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah
kepala lahir bahu tidak dapat dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak
didapatkan sebab lain dari kesulitan tersebut. Insiden distosia bahu sebesar 0,2 –
0,3% dari seluruh persalinan vaginal presentasi kepala. Apabila distosia bahu
didefinisikan sebagai jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan
bayi ≥ 60 detik, maka insidennya meningkat menjadi 11%.1
Kegagalan bahu untuk lahir dengan spontan dapat menjadikan ibu hamil
dan bayi memiliki risiko cedera persalinan permanen. Cidera plksus brakhialis
adalah komplikasi distosia bahu yang paling sering terjadi, yaitu 4 – 16%
persalinan. Kejadian ini tergantung dari pengalaman operator
persalinan.kebanyakan kasus diatasi tanpa adanya kecacatan permanen, yaitu ≤ 10
% yang terjadi disfungsi pleksus brakhialis. Walaupun tidak semua cidera pleksus
brakhialis disebabkan karena traksi berlebih dan dihubungkan dengan kejadian
distosia bahu, manajemen risiko yang baik membutuhkan setiap tahapan harus
dilakukan untuk mengatasi segala kemungkinan, pencegahan, dan
penatalaksanaan distosia bahu dengan standar yang baik.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlukannya tambahan maneuver
obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak
berhasil untuk melahirkan bayi.1 Persalinan kepala umumnya diikuti oleh
persalinan bahu dalam waktu 24 detik, sedangkan jika persalinan bahu ≥ 60 detik
dianggap sebagai distosia bahu. 2

2. Anatomi Panggul
Pemahaman tentang anatomi pelvis ibu dan anatomi bayi diperlukan untuk
memahami bagaimana distosia bahu dapat terjadi dan bagaimana kejadian tersebut
dapat menyebabkan cedera.2

Gambar 2.1. Anatomi Pelvis

Tulang pelvis terdiri dari serangkaian tulang yang membentuk


lingkaran untuk melindungi organ –organ panggul. Tulang yang paling depan
adalah tulang pubis. Pada struktur tersebut bahu depan bayi dapat
4
terperangkap karena persalinan yang sulit karena distosia bahu. Tulang yang
berada dibelakang disebut tulang sacrum, karena kelengkungan bentuknya dapat
menyebabkan bahu belakang lahir dengan mudah selama persalinan dan
kelahiran. Dinding lateral pelvis dapat menentukan kemudahan proses persalinan,
namun tidak terlalu memberikan kontribusi dalam terjadinya distosia bahu.2
Pada persalinan normal, vertex muncul pertama. Selama persalinan,
jaringan lunak dan tulang kepala yang mobile dapat mengalami molauge. Hal ini
menyebabkan kepala janin dapat masuk dan melewati pintu panggul ibu. Bahu
bayi juga fleksibel mengikuti kelahiran kepala bayi dengan cepat dan mudah.
Namun, agar hal tersebut terjadi, aksis dari bahu bayi harus turun ke panggul ibu
dengan sudut oblik terhadap diameter anterior dan posterior panggul ibu. Posisi
ini memberikan ruangan yang lebih besar untuk bahu belakang turun melewati
panggul ibu. Jika garis sudut oblik tersebut tidak terbentuk maka kemungkinan
ruang panggul akan lebih kecil untuk dilewati bahu. Bagian belakang dari tulang
pubis akan membentuk tonjolan yang dapat memperangkap bahu depan.2
Distosia bahu juga dapat terjadi pada bahu posterior yang terperangkap
pada tulang sacrum ibu. Hal ini merupakan penyebab yang jarang dari distosia
bahu. Tulang sakrum tidak memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil
kemungkinannya untuk menghalangi turunnya bahu posterior bayi. Ukuran
relative dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan ukuran pelis ibu
dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya diameter kepala
merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter lainnya. Sehingga
jika kepala lahir secara mudah maka bagian tubuh yang lain dapat melewati
panggul dengan mudah pula. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
distosia bahu yaitu ukuran axis bahu yang lebih besar dibandingkan diameter
terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering terjadi pada bayi makrosimia
atau bayi dengan ibu penderita diabetes.2
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan
bahu untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh
fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan
5
kepala yang terlalu cepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul
setelah mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk
ke dalam panggul.2

3. Epidemiologi
Insiden distosia bahu sebesar 0,2 – 0,3% dari seluruh persalinan vaginal
presentasi kepala. Apabila distosia bahu didefinisikan sebagai jarak waktu antara
lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi ≥ 60 detik, maka insidennya menjadi
11%.1
Insiden distosia bahu dilaporkan meningkat dalam beberapa dekade terakhir
ini. Kejadian dengan distosia bahu terjadi 1 : 200 kelahiran.3 Hal itu menyebabkan
morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi dan sering dihubungkan dengan
komplikasi meskipun sudah dikelola dengan tepat.4

4. Faktor Resiko
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih besar dari
kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi distosia bahu. Risiko akan
meningkat dengan bertambahnya perbedaan antara ukuran badan dan bahu dengan
ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut lebih besar
dibanding bayi tanpa makrosomia. Sehingga bayi makrosomia lebih berisiko.
Dengan demikian, kewaspadaan terjadinya distosia bahu diperlukan pada setiap
pertolongan persalinan dan semakin penting bila terdapat faktor – factor yang
meningkatkan macrosomia. Adanya DOPE (diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or maternal weight gain) akan meningkatkan
risiko kejadian. Keadaan intrapartum yang banyak dilaporkan berhubungan
dengan kejadian distosia bahu adalah kala I lama, partus macet, Kala II lama,
stimulasi oksitosin, dan persalinan vaginal dengan tindakan. Meskipun demikian,
perlu disadari bahwa sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diprediksi
dengan tepat sebelumnya.1
6
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti
sebagai prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini
dikarenakan beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak
akan berubah selama hamil, sedangkan kecenderungan bayi kedua
akan lebih besar dibandingkan bayi sebelumnya.2
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan
kembali terjadi pada wanita dengan riwayat distosia bahu sebesar
11,9%. Risiko akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa
dokter kandungan mengusulkan, jika sekali terjadi distosia bahu, maka
berikutnya harus menggunakan sesar.2
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Kejadian
distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering dibandingkan
dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%. Sandmire
memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat
bedan 82 kg adalah 2,3.2
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer
dari wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas
cenderung memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu
dilakukan penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan
berat badan ibu dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah
satu risiko terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan
bahwa usia ibu berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu
meliputi ibu obesitas dan diabetes. Bahar tidak menemukan perbedaan
kejadian distosia bahu berdasarkan umur ibu.

7
d. Multiparitas
Acker menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb Palsy
dilahirkan dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth Israel
selama tahun 1975-1985. Akan tetapi sebagaian ahli berpendapat
bahwa bukan merupakan faktor primer dalam terjadinya distosia bahu.

2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000
gram. Hal penting yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia adalah
laju pertumbuhan dari kepala, dada dan tubuh janin. Sampai usia
kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara umum tetap lebih besar
dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-40 minggu,
pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar dibandingkan kepala
bayi. Acker menyatakan bahwa bayi dengan berat lebih dari 4500 gram,
22,6% akan mengalami distosia bahu. Lebih dari 70% bayi yang
mengalami distosia bahu memiliki berat badan lebih dari 4000 gram.
b. Diabetes
Sandmire menemukan risiko relatif untuk distosia bahu dari bayi
dengan ibu diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu nondiabetes.
Ada dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu.
Di tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan korelasi
sangat kuat dengan makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya
mewakili potensi genetik mereka dalam pertumbuhan tetapi juga
mencerminkan penurunan dari substrat glukosa ekstra pada tubuh
ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat
pertumbuhan janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata
antara kepala dan batang seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya,
bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih besar
pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti yang diringkas
8
Ellis: "Bayi dari ibu diabetes memiliki konfigurasi tubuh yang berbeda
dengan bayi dari seorang ibu nondiabetes. Peningkatan deposisi lemak
pada berbagai organ mungkin karena untuk meningkatkan sekresi insulin
dalam menanggapi hiperglikemia."
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir janin
masih kontroversial. Abrams dan Langhoff-Roos keduanya menunjukkan
bahwa total berat badan ibu secara signifikan berkorelasi dengan kelahiran
bayi berat badan. Dawes tidak bisa mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak
ada perbedaan jelas dalam korelasi antara kenaikan berat badan ibu dan
berat badan lahir.
Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang saling
bertentangan untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap janin
terutama berat badan. Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan
berat badan pada trimester kedua sebagai faktor utama sedangkan yang
lain telah menemukan bahwa kenaikan berat badan pada
trimester terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan janin
makrosomia dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-rata
sedikit lebih berat daripada perempuan, tidak ada data yang menunjukkan
jumlah signifikan kejadian makrosomia lebih tinggi pada bayi laki-laki
dibandingkan bayi perempuan.
Resnick menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor potensi tetapi
tidak menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El Madany
menunjukkan bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu adalah laki-laki,
data tersebut signifikan secara statistik tetapi tidak bernilai sebagai
prediktor klinis.

9
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu
terakhir kehamilan, masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama
kehamilan. Jadi ketika bayi tetap dalam rahim, akan semakin besar bayi
dan akan semakin besar risiko distosia bahu.

3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan yang
berakhir pada instrumen yaitu vakum atau forsep menunjukkan
tingkat lebih tinggi distosia bahu pada setiap kelompok berat badan janin.
Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan instrumen memiliki
risiko tinggi terjadi distosia bahu dan cedera pleksus brakialis. Ini juga
mungkin bahwa ketidakmampuan ibu untuk mendorong bayi keluar tanpa
bantuan adalah karena janin makrosomia atau distribusi lemak antara
kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang merupakan faktor risiko utama
untuk distosia bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan
manuver spesifik kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang terjadi,
akan terlihat praktisi yang lebih berpengalaman memiliki hasil lebih baik
dalam situasi ini. Namun data tidak mendukung keyakinan ini. Acker
(1988) melakukan penelitian tentang hubungan antara pengalaman dokter
dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa
jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak bervariasi antara
dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian besar
dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk mengatasi
distosia bahu karena insidensi nya yang jarang.

10
c. Oksitosin dan Anestesi
Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin
ataupun anestesi dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya
digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa
oksitosin digunakan lebih sering pada ibu dengan bayi makrosomia,
mungkin memiliki korelasi sekunder dengan persalinan distosia bahu.
Tetapi tidak ada data yang menghubungkan oksitosin digunakan dengan
kejadian distosia bahu secara independen. Demikian juga dengan
anestesi, tidak ada laporan tentang peningkatan distosia bahu dengan
adanya tindakan anestesi pada persalinan.2

5. Patofisiologi
Pada mekanisme persalinan normal, ketika kepala dilahirkan, maka bahu
memasuki panggul dalam posisi oblik. Bahu posterior memasuki panggul
lebih dahulu sebelum bahu anterior. Ketika kepala melakukan putaran paksi
luar, bahu posterior berada di cekungan tulang sacrum atau disekitar spina
isikhiadika, dan memberikan ruang yang cukup bagi bahu untuk memasuki
panggul melalui belakang tulang pubis atau berotasi dari foramen obturator.
Apabila bahu berada dalam posisi antero – posterior ketika hendak memasuki
pintu atas panggul, maka bahu posterior dapat tertahan promontorium dan
bahu anterior tertahan tulang pubis. Dalam keadaan demikian kepala yang
sudah dilahirkan akan tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan
akibat adanya tarikan yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala
(disebut dengan turtle sign).1

6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya :1
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan.
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang.
c. Dagu tertarik dan menekan perineum.
11
d. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di
kranial simfisis pubis.

Gambar 2.2 Turtle Sign


7. Komplikasi Distosia Bahu
Komplikasi distosia bahu dapat terjadi pada ibu dan janin. Pada janin
komplikasi yang dapat terjadi adalah fraktur tulang (klavikula dan humerus),
cedera pleksus brakhialis, dan hipoksia yang dapat menyebabkan kerusakan
permanen di otak. Dislokasi tulang servikalis yang fatal juga dapat terjadi
akibat melakukan tarikan dan putaran pada kepala dan leher. Fraktur tulang
pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila didiagnosis
dan diterapi dengan memadai. Cedera pleksus brakhialis dapat membaik
dengan berjalannya waktu, tetapi sekuele dapat terjadi pada 50% kasus. Pada
ibu, komplikasi yag dapat terjadi adalah perdarahan akibat laserasi jalan lahir,
episiotomy, ataupun atonia uteri.1

8. Penatalaksanaan
Jangan melakukan tarikan atau dorongan sebelum memastikan bahwa
bahu posterior sudah masuk ke panggul. Bahu posterior yang belum melewati
pintu atas panggul akan semakin sulit dilahirkan bila dilakukan tarikan pada
kepala. Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan bahu posterior
masuk panggul tersebut, dapat dilakukan episiotomy yang luas, posisi
McRobert, atau posisi dada – lutut. Dorongan pada fundus juga tidak
diperkenankan karena semakin menyulitkan bahu untuk dilahirkan dan
berisiko menimbulkan rutpturnya uteri. Setelah kepala lahir akan terjadi
12
penurunan PH arteria umbilikalis dengan laju 0,04 unit/menit. Dengan
demikian, pada bayi yang sebelumnya tidak mengalami hipoksia tersedia
waktu antara 4 – 5 menit untuk melakukan maneuver melahirkan bahu
sebelum terjadinya cedera hipoksia pada otak.1
Secara sistematis tindakan pertolongan distosia bahu adalah sebagai berikut :1
Diagnosis

Hentikan traksi pada kepala, segera memanggil bantuan

Manuver McRobert
(Posis McRobert, episiotomy bila perlu tekanan suprapubik, tarikan
kepala)

Maneuver Rubin
(Posisi tetap McRobert, rotasikan bahu, tekanan suprapubik, tarikan
kepala)

Lahirkan bahu posterior, atau posisi merangkak, atau Maneuver Wood


a. Langkah pertama : Manuver McRobert
Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan
(1983) dan dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang
mempopulerkan penggunaannya di University of Texas di Houston. Meski
manuver ini tidak memper besar ukuran panggul, rotasi panggul ke
arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik
danrekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada
probandus dilaboratorium dan menemukan bahwa manuver ini
mampu mengurangitekanan ekstraksi pada bahu janin.4,5
Maneuver McRobert dimulai dengan memosisikan ibu dalam
posisi McRobert, yaitu ibu terlentang, memfleksikan kedua paha sehingga
lutut menjadi sedekat mungkin ke dada, dan rotasikan kedua kaki kearah
13
luar (abduksi). Lakukan episiotomy yang cukup lebar. Gabungan
episiotomy dan posisi Mcrobert akan mempermudah bahu posterior
melewati promontorium dan masuk kedalam panggul. Mintalah asisten
menekan suprasimfisis kearah posterior menggunakan pangkal tangannya
untuk menekan bahu anterior agar mau masuk dibawah simfisis, sementara
itu lakukan tarikan pada kepala janin kearah posterokaudal dengan
menetap. Langkah tersebut akan melahirkan bahu anterior. Hindari tarikan
yang berlebihan karena akan mencederai pleksus brakhialis. Setelah bahu
anterior dilahirkan, langkah selanjutnya sama dengan pertolongan
persalinan presentasi kepala, Manuver ini cukup sederhana, aman, dan
dapat mengatasi sebagian besar distosia bahu derajat ringan sampai
sedang.1

Gambar 2.3 Manuver McRobert.1

b. Langkah Kedua : Manuver Rubin


Oleh karena diameter anteroposterior pintu atas panggul lebih
sempit daripada diameter oblik atau transversanya, maka apabila bahu
dalam anteroposterior perlu diubah menjadi posisi oblik atau transversa
untuk memudahkan melahirkannya. Tidak boleh melakukan putaran pada
kepala atau leher bayi untuk mengubah posisi bahu. Yang dapat dilakukan

14
adalah memutar bahu secara langsung atau melakukan tekanan suprapubic
kearah dorsal. Pada umumnya sulit menjangkau bahu anterior, sehingga
pemutaran bahu lebih mudah dilakukan pada bahu posteriornya. Masih
dalam posisi McRobert, masukkan tangan pada bagian posterior vagina,
tekanlah daerah ketiak bayi sehingga bahu berputar menjadi posisi oblik
atau transversa. Lebih menguntunhkan bila pemutaran itu kearah yang
membuat punggung bayi menghadap kearah anterior (Manuver Rubin
anterior) oleh karena kekuatan tarikan yang diperlukan untuk melahirkan
melahirkannya lebih rendah dibandingkan dengan posisi bahu
anteroposterior atau punggung bayi menghadap kearah posterior. Ketika
dilakukan penekanan suprapubic pada posisi punggung janin anterior akan
membuat bahu kea rah posterior, lakukan tarikan kepala kearah
posterokaudal dengan mantap untuk melahirkan bahu anterior.1

Gambar 2.4 Manuver Rubin.1

c. Langkah ketiga : Melahirkan bahu posterior, posisi merangkak, atau


Manuver Wood
Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu
belakang secara progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti

15
membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan.
Tindakan ini sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.4,5
Melahirkan bahu posterior dilakukan pertama kali dengan
mengidentifikasi dulu posisi punggung bayi. Masukkan tangan penolong
yang berseberangan dengan punggung bayi (punggung kanan berarti
tangan kanan, punggung kiri berarti tangan kiri) ke vagina. Temukan bahu
posterior, telusuri lengan atas dan bantulah sendi siku menjadi fleksi (bisa
dilakukan dengan menekan fossa kubutii). Peganglah lengan bawah dan
buatlah gerakan mengusap kearah dada bayi. Langkah ini akan membuat
bahu posterior lahir dan memberikan ruang cukup bagi bahu anterior
masuk kebawah simfisis. Dengan bantuan tekanan suprasimfisis kea rah
posterior, lakukan tarikan kepala kearah posterokaudal dengan mantap
untuk melahirkan bahu anterior.1

Gambar 2.5 Melahirkan bahu posterior (Manufer Jacquimer).


Manfaat posisi merangkak didasarkan asumsi fleksibilitas sendi
sakroiliaka bisa meningkatkan diameter sagittal pintu atas panggul sebesar
1 – 2 cm dan pengaruh gravitasi akan membantu bahu posterior melewati
promontorium. Pada posisi telentang atau litotomi, sendi sakroiliaka
menjadi terbatas mobilitasnya. Pasien menopang tubuhnya dengan kedua
tangan dan kedua lututnya. Pada maneuver ini bahu posterior dilahirkan
terlebih dahulu dengan melakukan tarikan kepala.1

16
Gambar 2.6 Corkscrew Woods Manuver.

9. Pencegahan
Upaya pencegahan distosia bahu dan cedera yang dapat ditimbulkannya
dapat dilakukan dengan cara :1
a. Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vaginal berisiko
tinggi : janin luar biasa besar (> 5 kg), janin sangat besar (> 4,5 kg)
dengan ibu diabetes, janin besar (> 4 kg) dengan riwayat distosia bahu
pada persalinan sebelumnya, kala II memanjang dengan jalan lahir besar.
b. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu.
c. Selalu bersiap bila sewaktu – waktu terjadi.
d. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan
suprapubic atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera
pada janin.
e. Perhatikan waktu dan segera minta pertolongan begitu distosia diketahui.
Bantuan diperlukan untuk membuat posisi McRoberts, pertolongan
persalinan, resusitasi bayi, dan tindakan anesthesia (bila perlu).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo. S. 2016. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo ; Jakarta.
2. Allen, Robert H & Edith D Gurewitsch 2010. Shoulder
dystocia. http://emedicine.medscape.com/article/1602970-overview
3. Manuaba, Chandradinata. Manuaba, Fajar. Dan Manuaba, I.B.G. 2007.
Pengantar Kuliah Obstetri. EGC ; Jakarta.
4. Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A eds (2003). Oxford Handbook of
Obstetrics and Gynaecology. Oxford: Oxford University.
5. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012. Shoulder
dystocia. Green - top Guideline No. 42 2nd Edition. London: RCOG.
6. Cuningham, F Gary. 2006. Bab 19 Distosia: kelaianan presentasi, posisi,
dan perkembangan janin. Dalam: Obstetri William Edisi 21 Vol 1. EGC ;
Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai