Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah
takikardia supraventrikuler dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak
terkoordinasi, suatu aritmia yang ditandai oleh gangguan koordinasi dari
depolarisasi atrium. AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan. AF
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan
2,3 juta penduduk mengalami AF dengan >10% berusia diatas 50 tahun dan
diperkirakan akan terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035.2 Angka
kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia
harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung
koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari
semakin baiknya alat monitoring diagnosis.2
Atrial Fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada
pasien yang frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung
dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan
adanya 10-30% AF pada pasien gagal jantung yang simptomatik, dengan
peningkatan kematian 34% bila dibandingkan dengan gagal jantung itu sendiri.
AF juga menurunkan status kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup
seseorang. 2
Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain
seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes
melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium,
kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun
sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung
dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan

1
gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban
volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.
Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek
septal atrium.3
Hipertensi meningkatkan resiko dari peyakit kardiovaskular, termasuk
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, stroke iskemik dan perdarahan,
gagal ginjal, dan penyakit arteri perifer. Hipertensi sering berhubungan dengan
resiko penyakit kardiovaskular yang lain, dan resiko itu akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya faktor resiko yang lain. Meskipun terapi
antihipertensi sudah terbukti dapat menurunkan resiko dari penyakit
kardiovaskular dan penyakit ginjal, namun masih sangat banyak populasi dengan
hipertensi yang tidak mendapatkan terapi atau mendapat terapi yang tidak
adekuat.4
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut
sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian
kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak
ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung
dimana angka tersebut diteliti. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada
2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien
hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebutt sebagai
penyakit jantung hipertensi).5
Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi
dari adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah.
Pembesaran ventrikel kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik
adalah manifestasi yang akan menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat
berkembang menjadi gagal jantung bila tidak ditangani dengan baik. Gejala
penyakit jantung hipertensi dan gagal jantung dapat diperbaiki dengan obat-
obatan antihipertensi.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Atrial Fibrilasi
i) Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu aritmia yang ditandai oleh
disorganisasi dari depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan
fungsi mekanik atrium. Atrial fibrilasi mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
1. Interval RR tidak teratur, yaitu tidak ada pola repetitif pada
elektrokardiografi (EKG)
2. Tidak ada gambaran gelombang P yang jelas pada EKG
3. Siklus atrial (jika terlihat) yaitu interval di antara dua aktivasi atrial
sangat bervariasi >300 kali per menit1-2

ii) Patofisiologi
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu
proses aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi
fokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi
berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus
ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang dapat mempengaruhi
potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan
oleh nodus sino-atrial (SA).6
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial
aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi.
Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus
ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung pada

3
sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet
yang dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit
banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai
dengan pemendekan periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan
konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal elektrik
dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya
atrial fibrilasi.6

Gambar. 1 A. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses


Multiple Wavelet ReentryAtrial Fibrilasi

Keterangan gambar:
A. Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai
bintang) seringkali terletak diantara muara vena pulmonalis. Wavelets yang
dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet re-
entry.

4
B. Multiple-wavelet re-entry. Wavelets (tanda panah) secara acak
masuk kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi
oleh wavelets lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV-
pulmonary vein; ICV – inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA -
right atrium.
Dapat disimpulkan bahwa AF dimulai dengan adanya aktivitas
listrik secara cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis.
Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit re-entry
yang multipel. Penurunan masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan
memfasilitasi terjadinya re-entry. Setelah AF timbul secara terus-menerus
akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya
akan membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel,
namun akan menjadi permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila
AF berlangsung lama.2
Atrial fibrilasi kronik dapat menyebabkan regangan dan dilatasi
atrium dikarenakan gangguan kontraktilitas dari atrium, sehingga proses
fibrosis pada atrium tersebut justru merupakan konsekuensi dari AF .
Fibrosis interstisial, dilatasi atrium dan payah jantung akan memfasilitasi AF
menjadi persisten, sehingga hal tersebut bagaikan suatu lingkaran setan
dalam perjalanan klinis aritmia ini.2

iii) Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas.
Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan
intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan
terakhir berdasarkan bentuk gelombang P.1
Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi
atrial fibrilasi yang telah dikemukanakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
 AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih
dari 100 kali permenit

5
 AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih
kurang dari 60 kali permenit
 Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel
antara 60-100 kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi : 1
 AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina
atau infark miokard akut)
 AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi
(AF) dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu22 : 1
 AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi
AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
 AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7
hari. Lebih kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali
ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium
fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga
disebut AF Paroksimal.
 AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan
kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
 AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih
dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus (resisten).
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart
Association), atrial fibrilasi juga sering diklasifikasikan menurut lama
waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF kronik. AF akut
dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang dari
48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu atrial fibrilasi yang
berlangsung lebih dari 48 jam.1

6
Selain itu, klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya
penyakit lain yang mendasari yaitu AF primer dan AF sekunder. Disebut
AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit sistemik
lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau
penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral
dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk
gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF
jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bisa dikenali. Sedangkan
Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus.1-2

iv) Etiologi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi
menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu :7
Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
 Peningkatan katub jantung
 Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
 Hipertrofi jantung
 Kardiomiopati
 Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
 Tumor intracardiac
v) Epidemiologi
Fibrilasi atrium diderita oleh 1% - 2% penduduk dunia dengan rata-
rata usia 40 – 50 tahun, sekitar 5% - 15% penderita berusia >80 tahun.
Penduduk keturunan Eropa dikatakan memiliki risiko fibrilasi atrium
setelah usia >40 tahun, risiko pada pria (26%) sedikit lebihtinggi
dibandingkan wanita (23%).8
vi) Faktor Resiko
Penderita fibrilasi atrium umumnya memiliki kelainan struktur
jantung atau penyakit sistemik. Mekanisme fibrilasi atrium sendiri

7
dipengaruhi oleh banyak faktor. Tabel 1 memperlihatkan penyakit-
penyakit yang sering menyertai fibrilasi atrium.9

vii) Manifestasi Klinis


Fibrilasi atrium dapat tidak menimbulkan gejala; penderita fibrilasi atrium
paroksismal, biasanya tidak menyadari kelainannya. Pada 10% – 25% penderita,
diagnosis fibrilasi atrium ditemukan tanpa gejala atau didiagnosis setelah terjadi
komplikasi.
Gejala fibrilasi atrium bergantung pada banyak faktor, seperti: laju
ventrikuler, durasi fibrilasi atrium, serta ada atau tidaknya gangguan struktur
jantung. Mayoritas penderita mengeluhkan palpitasi, rasa tidak nyaman di dada,
dispnea, kelemahan atau pusing. Palpitasi merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan.
Tata laksana AF bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah
komplikasi. Pencegahan komplikasi AF diupayakan melalui terapi antitrombotik,
mengontrol laju ventrikel (rate control) dan terapi adekuat terhadap penyakit
jantung penyerta. Terapi tersebut juga akan menghilangkan symptom, tetapi untuk

8
menghilangkan symptom sepenuhnya diperlukan terapi kontrol irama (rhythm
control) melalui kardioversi, terapi antiaritmia atau bahkan ablasi.

Gambar Kaskade tata laksana AF

Pada kasus AF paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi


aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada AF
permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan2. Terapi pada pasien AF
yang persisten masih kontroversial apakah berusaha untuk mempertahankan irama
sinus atau membiarkan pasien dalam irama AF dan mengontrol laju jantung.
Sampai saat ini pada tahap awal para klinisi tetap berusaha tetap mempertahankan
irama sinus dengan kardioversi dan obat antiaritmia3. Namun apapun jenis
fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis
dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting
manajemen keseluruhan.1-2

Strategi dalam pengobatan AF yang dicetuskan oleh Hipertensi adalah


sebagai berikut :10

Atrial fibrilasi merupakan kondisi yang juga sering dijumpai pada hipertensi
baik di Eropa maupun di Amerika. Pada pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial
harus dinilai kemungkinan terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang
telah dijabarkan pada guidelines ESC, dan sebagian dari pasien tersebut harus
mendapatkan terapi antitrombotik, kecuali bila terdapat kontraindikasi.10

9
Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke
dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang
merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun),
Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1
kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin
tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokka sebagai risiko rendah, skor
1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7

Skema pemilihan antitrombotik1

Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki


laju ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian betblocker
atau CCB golongan non dihidropiridin pada kelompok pasien ini.10

Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi antitrombotik yang


adekuat dan mengontrol laju ventrikel.7 Strategi menurunan laju ventrikel dikenal
sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki pengisian diastolik, perfusi
koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati
yang diperantarai oleh takikardi.5

Akibat dari fibrilasi atrial antara lain peningkatan angka mortalitas dan
morbiditas, stroke dan gagal jantung , sehingga pencegahan terjadinya fibrilasi
atrial pada pasien hipertensi menjadi sangat penting. Banyak penelitian yang

10
menyimpulkan bahwa pemberian ARBs dan betablocker merupakan terapi pilihan
untuk pencegahan fibrilasi atrial pada pasien hipertensi terutama yang sudah
memiliki gangguan organ jantung.10

B. Hipertensi Heart Disease (HHD)


i) Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan
akumulasi dari adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan
darah. Pembesaran ventrikel kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan
disfungsi diastolik adalah manifestasi yang akan menyebabkan penyakit
jantung iskemik dan dapat berkembang menjadi gagal jantung bila tidak
ditangani dengan baik.10,11

ii) Epidemiologi
Menurut penelitian Framingham, hipertensi merupakan penyebab
seperempat gaggal jantung. Pada populasi dewasa hipertensi
berkonstribusi 68% terhadap terjadinya gagal jantung. Pasien dengan
hipertensi mempunyai resiko dua kali lipat pada laki-laki dan tiga kali lipat
pada wanita.11
Peningkatan tekanan darah sistolik seiring dengan pertambahan
umur. Peningkatan tekanan darah lebih tinggi pada laki-laki dibanding
wanita, sampai wanita mengalami menopause, dimana tekanan darah akan
meningkat tajam dan mencapai level yang lebih tinggi daripada pria.
Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria daripada wanita pada usia di
bawah 55 tahun, namun sebaliknya pada usia di atas 55 tahun. Prevalensi
gagal jantung hipertensi mengikuti pola prevalensi hipertensi.11
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara
5-10%, sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung
hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun
1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia. Sejumlah 85-90%
hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi

11
primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian hipertensi yang
dapat ditemukan penyebabnya (hipertensi sekunder).11

iii) Patofisiologi dan Patogenesis


Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi yang
kompleks dari faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan
molekular. Di satu sisi faktor-faktor ini berperan dalam perkembangan
hipertensi dan komplikasinya, sementara di sisi lain peningkatan tekanan
darah juga mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan
darah akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2
jalur: secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak
langsung melalui interaksi neurohormonal dan vaskular.10,11
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal
yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi
konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA
memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik).12
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll)
dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari hipertrofi ventrikel
kiri. Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan gangguan fungsi
endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.

v) Manifestasi Klinis

12
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakn pasien
tidak ada keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:
 Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa
melayang (dizzy), dan impoten.
 Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas,
sakit dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki
atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria,
pandangan kabur karena perdarahan retina, transient cerebral
ischemic.
 Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi,
poliuria,dan kelemahan otot pada aldosteronism primer; peningkatan
BB dengan emosi yang labi pada sindrom Cushing.
Phaeocromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri.
vi) Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan
berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith- Wagener-Barker sangat
berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis
untuk menilai stenosis atau oklusi.12
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan
untuk menilai hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung.
Impuls apeks yang prominen. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat
kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik
akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik) dapat
ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3
(gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan
S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan
apakah ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi kering.
Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati,
lien, ginjal, dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus

13
(renal artey stenosis). Areteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis
pedis harus diraba. Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali
pada hipertensi usia muda (kurang dari 30 tahun).12

vii) Penatalaksanaan

Terapi untuk HHD terbaik ada dalam konteks dari JNC 7 dan ACC
tahun 2001 / pedoman HF AHA yang menekankan pentingnya terapi
antihipertensi berdasarkan bukti klinis dan kondisi natural history.
Awalnya, HHD belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam ACC /
pedoman AHA, tetapi jelas bahwa HHD cocok sempurna dalam
keseluruhan konteks seperti diuraikan.8
Dibawah ini terapi berdasarkan stadium gagal jantung.
sebelumngya di bawah ini akan dijelaskan stadium gagal jantung.8

ACC / AHA staging gagal jantung NYHA Klasifikasi fungsional


Tahapan gagal jantung berdasarkan
Severity berdasarkan gejala
pada struktur dan kerusakan otot
dan aktivitas fisik
jantung
Tahap A Pada risiko tinggi untuk Kelas I tidak ada keterbatasan
mengembangkan gagal jantung. Tidak aktivitas fisik. Biasa aktivitas fisik
tidak

teridentifikasi abnormalitas struktural menyebabkan kelelahan yang tidak


atau fungsional, tidak ada tanda-tanda semestinya, debar jantung, atau
atau gejala. dispnea

Tahap B Dikembangkan penyakit Kelas II sedikit keterbatasan aktivitas


jantung struktural yang sangat terkait fisik. Nyaman saat istirahat, tapi
dengan perkembangan gagal jantung, kegiatan fisik dalam kelelahan, debar
tapi tanpa tanda-tanda atau gejala. jantung, atau dispnea.

Tahap C simtomatik gagal jantung Kelas III Ditandai keterbatasan


yang berhubungan dengan dasar aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat,
penyakit jantung struktural. tapi kurang dari hasil kegiatan biasa
dalam kelelahan, debar jantung, atau
dispnea.

14
Tahap D Advanced penyakit jantung Kelas IV Tidak untuk melakukan
struktural dan gejala ditandai gagal kegiatan fisik apapun tanpa rasa tidak
jantung saat istirahat meskipun terapi nyaman. Gejala saat istirahat. Jika
medis maksimal. aktivitas fisik dilakukan,
ketidaknyamanan meningkat.

Pencegahan (individu tahap A)


terapi pada tahap A (mereka yang beresiko untuk HF) adalah
penekanan faktor risiko, dengan mengontrol tekanan darah adalah hal yang
paling penting. Individu tahap A harus didorong untuk melakukan
perubahan gaya hidup, khususnya mengkontrol berat badan dan latihan
aerobik untuk mengontrol tekanan darahdan faktor risiko lain seperti
dislipidemia dan dysglycemia. Aktifitas fisik memperbaiki Fungsi jantung
dan mengurangi tekanan daah dan afterload jantung dengan cara berbagai
mekanisme, termasuk kekakuan arteri berkurang. Obat hipertensi
dianjurkan untuk individu dengan BP 140/90 mm Hg pada populasi umum
atau 130/80 mm Hg pada diabetes atau penyakit ginjal kronis. Penekanan
ditempatkan pada mencapai tujuan pengobatan, yang biasanya
membutuhkan kombinasi dari agen anti hipertensi. Terapi antihipertensi
diuretik memungkinkan pengurangan sekitar 50% terjadinya HF.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan b-bloker juga,
sedangkan kalsium antagonis dan β-blocker tampaknya kurang efektif
dalam mencegah HF.8

Gabungan pencegahan / pengobatan (tahap B dan hipertrofi ventrikel


kiri)
Tujuan perawatan khusus untuk pasien dengan tahap B tanpa
gejala'' HF''adalah untuk mengurangi, menghambat, maladaptive jantung
dan pembuluh darah, sehingga mencegah atau menunda terjadinya HF.
Kontrol tekanan darah tetap menjadi dasar dari terapi dalam tahap B,
bersama dengan manajemen faktor risiko lainnya. Tahap B harus
mencakup LVH karena banyak ahli percaya bahwa regresi LVH

15
merupakan target terapeutik penting. Data studi menunjukkan bahwa
penurunan tegangan EKG berhubungan dengan pengurangan yang
signifikan dalam kejadian CVD Dalam analisis-meta dari empat penelitian
terapi antihipertensi, pasien denganecho-regresi LVH mengalami 59%
pengurangan risiko CVD dibandingkan dengan mereka yang tidak regresi
atau dengan perkembangan selanjutnya dari LVH. Karena afterload
jantung meningkat adalah stimulus utama untuk konsentris LVH, hampir
semua rejimen terapi yang mengurangi tekanan darah sistolik mendorong
regresi LVH. Vasodilator adalah pengecualian karena obat-obatan seperti
hydralazine dan minoxidil sebaliknya tidak mengurangi LVH meskipun
Efektif menurunkan tekanan darah. 8
Beberapa peneliti telah mengusulkan bahwa efek prohypertrophic
angiotensin II menjadi dasar untuk status pilihan inhibitor ACE dan
angiotensin reseptor bloker (ARB) dalam regresi LVH; Namun, kalsium
antagonis dan diuretik, yang cenderung untuk merangsang angiotensin II,
hanya sedikit lebih buruk (sekitar 10%) dari ACE inhibitor atau ARB
dalam mengatasi regresi LVH.8
Gagal jantung (tahap C-D)
agen tertentu yang direkomendasikan oleh JNC 7 untuk
pengobatan hipertensi dan HF sebagai indikasi. adalah suatu kondisi yang
berisiko tinggi berhubungan dengan hipertensi yang ada uji klinis bukti
manfaat hasil tertentu untuk kelas tertentu obat anti hipertensi. ujuan
perawatan untuk pasien dengan HF adalah untuk mengurangi gejala,
mencegah masuk rumah sakit, mencegah remodelling lambat atau
remodelling progresif, dan menurunkan angka kematian. Tekanan darah
pada HF memnutuhkan perawatan lanjutan yang layak. Penurunan tekanan
darah yang agresif adalah sangat pentingkarena sensitivitas dari afterload
ventrikel gagal jantung meningkat. Dengan demikian, sering kali
diperlukan untuk mengurangi tekanan darah sistolik sebanyak mungkin,
bahkan sampai nilai di bawah 120 mm Hg jika pasien tidak bergejala
(ortostatik biasanya hipotensi berat atau kelelahan).

16
Untuk sistolik disfungsi, terapi obat merupakan hal terpenting
dalam manajemen. Obat yang memenuhi persyaratan sebagai JNC 7
indikasi kuat untuk pengobatan hipertensi dan HF dapat diklasifikasikan
secara luas sebagai menghambat neurohormonal (Yaitu, obat-obatan yang
mengganjal simpatik dan renin-angiotensin-aldosteron sistem). Termasuk
dalam ini adalah ACE inhibitor, b-bloker, dan antagonis aldosteron.8
Loop diuretik sangat diperlukan dalam mengelola gejala berkaitan
dengan volume overload dan dalam kontrol agresif tekanan darah di
beberapa individu. Digitalis dapat memperbaiki gejala, tetapi tidak
mempengaruhi prognosa. Tambahan modalitas seperti defibrillator
implant, counterpulsation perangkat, dan transplantasi organ kadang-
kadang digunakan dalam kasus-kasus yang kompleks.
Saat ini, tidak ada yang direkomendasikan pengobatan untuk
disfungsi diastolik karena kekurangan bukti klinis. Namun demikian, di
dalam disfungsi diastolik, terapi berbasis ARB dikaitkan dengan 11%
kecenderungan menuju perbaikan hasil penyakit kardiovaskuler, terutama
HF rawat inap. Terapi lain yang belum diuji dalam disfungsi diastolik
khusus, namun diyakini oleh beberapa ahli bahwa tingkat perlambatan
dengan β- bloker atau antagonis kalsium nondihydropyridine berguna
karena meningkatkan pengisian ventrikel. Digitalis glikosida dan agen
inotropic lainnya umumnya tidak dianjurkan karena kontraktilitas jantung
tidak terganggu.8

Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat
menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel sesuai dengan
rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada
pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat

17
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi.8
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan
tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes
atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;
aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah
pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu
obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat.8
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk
menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan
obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini
diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta berikut
dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti rasionalitas intervensi
diet:8

a) Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang


dengan berat badan ideal

b) Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)

c) Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat


menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk

d) Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga


prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat
berlanjut ke DM tipe 2. dislipidemia, dan selanjutnya ke
penyakitkardiovaskular.

e) Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.

18
f) Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan
pembatasan natrium.
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik
secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk
kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti
jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan
tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai
penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk
mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan
kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling
berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.

Penatalaksanaan Farmakologis
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, beta bloker, penghambat enzim
konversi angiotensin (ACEInhibitor), penghambat reseptor angiotensin (ARB),
dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini
baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien

19
dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini.
Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium)
mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam
mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa
2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.
Diagram di bawah ini (A, B, dan C) menunjukkan bagaimana memulai
pengobatan antihpertensi yang didasarkan pada nilai tekanan darah awal dan
jumlah total resiko kardiovaskular:8

20
21
BAB III
LAPORAN KASUS

Pasien perempuan usia 65 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri
dada sebelah kiri tembus belakang yang diikuti berkeringat dingin, nyeri dada
dirasakan seperti tertekan benda berat, dirasakan sejak 2 tahun dan memberat
sejak 3 hari sebelum masuk RS. Nyeri dada biasanya timbul pada malam hari
ketika tertidur dengan durasi kurang lebih 30 menit. Pasien juga mengeluhkan
sakit kepala, pusing. Tidak ada mual atau muntah, BAB dan BAK Biasa. Pasien
juga mengatakan memiliki riwayat hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik tampak pasien dengan keadaan umum sakit
sedang, kesadaran compos mentis dan pada pemeriksaan tanda-tanda vital di
dapatkan tekanan darah 150/70 mmhg, Nadi 112 kali/menit, pernapasan 22
kali/menit, dan suhu 37,0 derajat celcius.
Pada pemeriksaan jantung di dapatkan batas atas pada SIC II Linea
Parasteral Sinistra, batas kanan pada SIC IV linea parasternal dextra, batas kiri
pada SIC VI linea axilaris anterior dan pada auskultasi didapatkan bunyi jantung
yang ireguler dan pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada tungkai kanan
bawah.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin tidak di dapatkan hasil yang
bermakna, yakni hasil masih dalam batas normal, namun pada pemeriksaan
Glucose didapatkan sedikit peningkatan yakni 147mg/dl dari nilai rujukan 74-100
mg/dl dan peningkatan SGOT yakni 45U/L dari nilai rujukan 0-31U/L.
Pasien di diagnosis dengan ACS Nstemi, Penyakit jantung hipertensi dengan atrial
fibrilasi dan di berikan terapi IVFD RL 1 kolf/24 jam, Aspilet 80 mg 1x1
(malam), CPG 75mg 1x1 (pagi), Atorvastatin 40mg 1x1 (malam), ISDN 5mg 3x1,
Amlodipin 5mg 1x1 (malam), Beta one 2,5mg 1x1 (pagi), Lovenox 2x0,6 sc.

22
EKG

Interpretasi :
- Irama : Atrial Fibrilasi
- Heart Rate 100kali/menit
- Ritme : Ireguler
- Axis : 30
- St depresi V6

23
Foto Thorax

Kesan :
- Bronchitis
- Cardiomegaly dengan HHD
- Tulang-tulang intak

24
BAB IV
DISKUSI

Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal


dengan aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan. Hal ini
mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan impuls ke nodus AV
(atrioventrikuler) sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Kejadian atrial
fibrilasi meningkat dengan bertambahnya usia. Umumnya terjadi pada usia di atas
50 tahun.
Kejadian atrial fibrilasi dapat terjadi pada jantung dengan struktur anatomi
normal, namun umumnya lebih sering terjadi pada keadaan kelainan struktur
penyakit jantung. Penyebab atrial fibrilasi yang paling sering terjadi adalah akibat
penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensi, kelainan katup mitral,
perikarditis, kardiomiopati, emboli paru, pneumonia, penyakit paru obstruksi
kronik, kor pulmonal. Pada beberapa kasus, atrial fibrilasi tidak ditemukan
penyebabnya.
Kejadian atrial fibrilasi juga merupakan aritmia yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seseorang
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Atrial fibrilasi makin mudah terjadi
apabila terdapat kelainan anatomi jantung. Salah satu penyebab kelainan struktur
jantung adalah hipertensi lama.
Pada laporan kasus atrial fibrilasi dapat dipikirkan akibat penyakit jantung
hipertensi yang di derita pasien sejak kurang lebih 2 tahun, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali
dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung.
Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan kelainan, salah satunya hipertrofi
ventrikel kiri. Gangguan sistem konduksi, dilatasi atrium kiri, disfungsi sistolik dan
diastolik juga dapat mengalami perubahan. Hal ini mempermudah terjadinya aritmia
jantung terutama atrial fibrilasi.

25
Terapi yang di anjurkan pada pasien dengan atrial fibrilasi yang
disebabkan penyakit jantung hipertensi yaitu pemberian antitrombotik, dimana
pada pasien diberkan Aspilet 80 mg diberikan 1kali pada malam hari dan
Clopidogrel 75mg 1kali pada pagi hari. Selain pemberian antitrombotik perlu juga
pemberian betabloker dan CCB golongan non dehidroperidin untuk mengontrol
laju ventrikel, pada pasien diberikan Beta One 2,5mg 1x pada pagi hari dan
Amlodipin 5mg 1x pada malam hari.

26
BAB V
KESIMPULAN

Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah struktur


natomi jantung, termasuk struktur miokard,pembuluh darah dan sistem konduksi
jantung. Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan kelainan, salah satunya
hipertrofi ventrikel kiri. Gangguan sistem konduksi, dilatasi atrium kiri, disfungsi
sistolik dan diastolik juga dapat mengalami perubahan. Hal ini mempermudah
terjadinya aritmia jantung terutama atrial fibrilasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. European Society of Cardiology. Guidelines for the management of atrial


fibrillation. European Heart Journal. 2010. 31. p.2369–2429.
2. Dinarti LK,Suciadi LP. Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien
dengan Fibrilasi Atrium. Maj Kedokt Indon. 2009. Vol.59 (6). p. 277-284.
3. Yansen I, Yuniadi Y. Tata Laksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju
Jantung. CDK-202. 2013. Vol.40 (3). p.171-175.
4. Rienstra M et al. Symptoms and Functional Status of Patients WithAtrial
Fibrillation: State of the Art and Future Research Opportunities. Circulation.
2012. 125:p.2933-2943.
5. Fuster V, Walh RA, Harrington RA. Hurst’s the heart. 13th ed. New York: Mc
Graw Hill Medical; 2011.
6. January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al.
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial
fibrilation. Circulation
2014;129:1-124.
7. Gutierrez C et al. Atrial Fibrillation: Diagnosis and Treatment. American
Family Physician. 2011. Vol.83 (1). p. 61-68.
8. American College of Cardiology Foundation and American Heart Association.
ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With Atrial
Fibrillation (Adapted from the 2006 ACC/AHA/ESC Guideline and the 2011
ACCF/AHA/HRS Focused Updates). ACC/AHA. 2011.
9. He J et al. Long-Term Effects Of Weight Loss And Dietary Sodium Reduction
On Incidence Of Hypertension. Hypertension 2000;35:544-549
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. 2015
11. Hyman DJ et al. Characteristic Of Patients With Uncontrolled Hypertension
In The United States. NEJM 2001;345:479-486

28
12. Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.
J.Fam Pract 2001;50:707-712

29

Anda mungkin juga menyukai