Anda di halaman 1dari 13

1.

sudah

2. Hiperpigmentasi berhubungan dengan akumulasi melanin baik di


epidermis, dermis, maupun keduanya. Salah satu modalitas terapi yang
banyak direkomendasikan saat ini untuk lesi hiperpigmentasi adalah
dengan laser. Karena menggunakan prinsip fototermolisis selektif, laser
sering menjadi pilihan terbaik untuk lesi hiperpigmentasi karena dapat
mengurangi risiko terjadinya parut dan hipopigmentasi setelah
pengobatan. Sejumlah laser yang spesifik terhadap pigmen dapat
mengobati lesi hiperpigmentasi di epidermis dan dermis secara efektif
tanpa komplikasi dengan menggunakan prinsip dasar fototermolisis
selektif. Laser dengan panjang gelombang yang lebih pendek (Q-switched
Nd:YAG 532 nm, pulsed dye 510 nm) lebih efektif untuk lesi
hiperpigmentasi superfisial / epidermis, dan panjang gelombang yang lebih
panjang (QSR 694 nm, Qswitched Nd:YAG 1064 nm, Q-switched
Alexandrite 755 nm) lebih efektif untuk pigmen di dermis. Indikasi primer
adalah lentigo, makula café-au lait, nevus Ota atau Ito (ABNOM/nevus
Hori). Indikasi sekunder adalah nevus spilus, nevus Becker, dan nevus
melanositik. Laser untuk pengobatan lesi hiperpigmentasi merupakan
prosedur yang dianggap aman dan efektif, namun tetap memiliki
komplikasi dan tidak semua lesi hiperpigmentasi dapat diobati dengan
laser. Diperlukan pengetahuan mengenai indikasi, kontraindikasi, efek
samping serta komplikasi pengobatan laser sebelum menganjurkan laser
sebagai terapi pilihan.
Indikasi laser pada lesi hiperpigmentasi
a. Kelainan pigmen di epidermis
Sejumlah penelitian klinis telah melaporkan efikasi dan keamanan
laser Q-switched dan laser pulsed dye 510 nm pada pengobatan
berbagai lesi hiperpigmentasi di epidermis, contohnya efelid, lentigo,
makula café-au lait, keratosis seboroik, nevus spilus, dan nevus
Becker. Pigmen pada lesi di epidermis terletak superfisial, sehingga
panjang gelombang yang lebih pendek dapat digunakan secara efektif.
Lesi di epidermis membutuhkan 1-6 sesi pengobatan untuk sembuh.
Lesi tersebut mudah mengalami kekambuhan dan dianjurkan
penggunaan tabir surya yang adekuat untuk pemeliharaan.
 Lentigo
Lentigo merupakan makula hiperpigmentasi yang sangat sering
dijumpai, sebagian besar disebabkan oleh pajanan matahari yang
kronik. Ketiga laser Q-switched dan laser pulsed dye sangat efektif
untuk pengobatan lentigo.8,19-21 Setelah satu kali pengobatan
diharapkan diperoleh penyembuhan 50%, dan pengobatan
tambahan mungkin diperlukan untuk mengangkat sisa pigmen.
 Makula café-au lait
Makula café-au lait adalah makula berwarna coklat terang berbatas
tegas yang dapat timbul sebagai lesi terisolasi pada populasi umum
atau sebagai lesi multipel yang berhubungan dengan suatu sindrom,
misalnya neurofibromatosis dan sindrom Albright. Efikasi laser
dalam mengangkat makula café-au
lait bervariasi, dan hasilnya sering tidak dapat diprediksi. Telah
dilaporkan penyembuhan sempurna makula café-au lait setelah 8
sesi pengobatan dengan laser pulsed dye 510 nm dan setelah 3-6
sesi pengobatan dengan laser Q-witched Nd:YAG 532 nm.
 Lesi hiperpigmentasi di epidermis lainnya
Efelid (freckles) adalah makula hiperpigmentasi kecil yang terdapat
pada lokasi pajanan matahari. Lesi memberikan respons yang baik
terhadap 1 hingga 2 sesi pengobatan laser QS dan pulsed dye 510
nm.25 Wang dkk. (Taiwan, 2006) melaporkan keberhasilan
pengobatan efelid dengan laser QSA dengan risiko hiperpigmentasi
pascainflamasi yang rendah.
Keratosis seboroik yang datar juga memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan laser, namun lesi yang lebih tebal resisten dan
harus diobati dengan cryosurgery.2 Kauvar dkk. (New York, 2006)
melaporkan keberhasilan pengobatan efelid dan keratosis seboroik
dengan pengobatan modifikasi laser pulsed dye yang menggunakan
panjang gelombang 595 nm.
Nevus spilus dan nevus Becker, yang dapat mempunyai kombinasi
komponen epidermis dan dermis memiliki respons yang bervariasi
terhadap pengobatan laser.
b. Kelainan pigmen di dermis
Pengobatannya relatif tidak efektif dan hampir selalu menyebabkan
terbentuknya jaringan parut atau perubahan pigmentasi.

3. Dari 22 kasus baru tumor kulit pada penelitian ini, keratosis seboroik
(31,8%) merupakan diagnosis yang paling sering dijumpai, diikuti oleh
kasus karsinoma sel basal dan xanthelasma (18,2%). Dari 13 kasus
kelainan vaskular pada kulit pasien geriatri di penelitian ini, dermatitis
stasis (46,1%) merupakan diagnosis terbanyak diikuti oleh hematoma dan
purpura (15,4%).
Tumor kulit baik jinak maupun ganas mengalami peningkatan frekuensi
seiring dengan bertambahnya usia. Lesi proliferatif jinak meningkat
jumlah dan ukurannya seiring pertambahan usia dan harus dibedakan
dengan lesi pra kanker dan kanker. Tumor jinak yang biasa dijumpai pada
pasien geriatri antara lain keratosis seboroik, skin tags, lentigo solaris dan
cherry angioma sedangkan tumor ganas kulit yang sering dijumpai yaitu
karsinoma sel basal. Keratosis seboroik dan karsinoma sel basal masing-
masing merupakan tumor jinak dan ganas yang frekuensinya paling
banyak pada penelitian ini.

4. Proses penuaan kulit terjadi melalui dua mekanisme, yakni intrinsik dan
ekstrinsik, yang saling mempengaruhi. Teori penuaan kulit secara intrinsik
yang paling banyak diterima adalah teori stres oksidatif. Stres oksidatif
adalah kondisi ketidakseimbangan antara reactive oxygen species (ROS)
yang terbentuk dengan mekanisme pertahanan antioksidan. ROS terbentuk
melalui berbagai proses fisiologis tubuh, terutama melalui rantai
pernapasan aerobik di dalam mitokondria. Pembentukan ROS yang
berlebihan atau produksi antioksidan yang berkurang menyebabkan
munculnya stres oksidatif dan akan merusak berbagai komponen seluler
serta mengganggu jalur komunikasi antar sel. Proses penuaan secara
intrinsik ini akan mengakibatkan gambaran klinis berupa kerut halus di
area yang tidak terpajan sinar matahari, kulit kering, dan pertumbuhan
tumor jinak kulit misalnya keratosis seboroik.
Kulit mengalami proses penuaan, baik dalam struktur maupun fungsi.
Contoh perubahan struktur adalah berkurangnya kadar lipid, jumlah sel
melanosit dan sel Langerhans, penurunan sintesis kolagen, atrofi kulit,
serta perubahan distribusi lemak subkutan. Sedangkan pada perubahan
fungsi terjadi penurunan sensitivitas dan elastisitas kulit, peningkatan
sensasi rasa gatal, kulit menjadi lebih rentan terhadap trauma mekanik, dan
penurunanemampuan perbaikan jaringan. Proses penuaan kulit terjadi
melalui dua mekanisme, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Kedua mekanisme
ini saling mempengaruhi. Penuaan secara intrinsik dipengaruhi oleh faktor
waktu dan genetik, sedangkan penuaan secara ekstrinsik dipengaruhi oleh
berbagai faktor dari luar tubuh, antara lain sinar ultraviolet (UV), rokok,
alkohol, dan nutrisi yang kurang. Kedua mekanisme tersebut
menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Penuaan intrinsic
menyebabkan timbulnya kerut halus dan kulit tampak lebih pucat.
Sedangkan pada penuaan ekstrinsik muncul kerut kasar dan dalam, disertai
dengan perubahan pigmentasi, misalnya lentigo. Walaupun berbeda,
beberapa penelitian terbaru menunjukkan persamaan molekular di antara
keduanya, yakni pada pembentukan reactive oxygen species (ROS).
Terdapat berbagai macam teori mengenai penuaan kulit secara intrinsik, di
antaranya teori penuaan seluler, pemendekan telomer, DNA mitokondria
(mtDNA), mutasi genetik, hormonal, dan stres oksidatif. Sampai saat ini,
teori stres oksidatif diduga kuat sebagai penyebab utama penuaan pada
kulit, sekaligus merupakan teori yang paling banyak diterima.
Bila ROS menyerang komponen lipid, akan terjadi kerusakan oksidatif
yang dikenal dengan peroksidasi lipid. Mekanisme ini diawali dengan
ekstraksi atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh ganda/ polyunsaturated
fatty acid PUFA) oleh OH., lalu membentuk radikal lipid (L.). Kemudian
L. akan berinteraksi dengan molekul O2 dan membentuk radikal peroksil
lipid (LOO.) dan lipid peroksida (LOOH). Selanjutnya ketiga radikal
bebas ini akan terus bereaksi dengan molekul-molekul di sekitarnya dan
membentuk reaksi berantai yang berbahaya bagi sel. Reaksi berantai ini
akan terhenti bila radikal bebas bereaksi dengan sesama radikal bebas atau
dengan antioksidan.
Peroksidasi lipid mudah terjadi pada PUFA, yang banyak terdapat pada
membran sel. Komponen utama lain yang juga menyusun membran sel
adalah protein. Peroksidasi lipid tidak hanya merusak lipid, namun juga
merusak protein yang mengakibatkan kerusakan struktur membran, dan
selanjutnya menimbulkan penurunan efisiensi transpor serta gangguan
sinyal transmembran. Sebagai contoh, peroksidasi lipid pada membran
eritrosit akan menyebabkan gangguan fleksibilitas eritrosit sehingga sulit
masuk ke dalam pembuluh kapiler terkecil. Pada kulit menua, terjadi
pendataran taut dermoepidermal dan pemendekan capillary loops, yang
mengganggu hantaran nutrisi ke epidermis. Kondisi ini diperparah oleh
eritrosit yang mengalami peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid yang terjadi
pada komponen mitokondria, tepatnya pada kardiolipin di membran
dalam, akan mengakibatkan penurunan fungsi mitokondria.
Oksidasi low density lipoprotein dapat meningkatkan kadar endothelin
(ET-)1. ET-1 adalah protein yang diduga berperan dalam patogenesis
keratosis seboroik (KS). Sampai saat ini lesi KS dianggap sebagai ciri khas
penuaan kulit secara intrinsik. Terdapat dugaan bahwa keratinosit pada KS
mengekspresikan ET-1 dalam jumlah besar dan ET-1 merangsang
proliferasi melanosit yang meningkat pada KS.
Salah satu produk yang terbentuk dari hasil degradasi lipid adalah
malondialdehid. Karena sifatnya hidrofilik, malondialdehid akan masuk ke
dalam darah dan urin sehingga dapat digunakan sebagai indikator
kerusakan akibat ROS

5. Tumor jinak merupakan manifestasi dari kekacauan pertumbuhan kulit


yang bersifat kongenital atau akuisita, tanpa tendensi invasif dan
metastasis, dapat berasal dari vaskuler dan non vaskuler. Tumor jinak kulit
muka merupakan tumor jinak yang memerlukan perhatian khusus. Karena
letaknya di muka, maka aspek estetika/kosmetik memegang peranan yang
menonjol. Tumor jinak di muka yang paling sering ditemukan ialah nevus
pigmentosus (tahi lalat). Tahi lalat yang memerlukan perhatian untuk
dianjurkan lebih cepat pengangkatannya ialah bila ditemukan dimukosa
(bibir,mata) dan daerah-daerah tertentu" misalnya ujung hidung, lipatan
nasolabial atau batas antara kulit dan mukosa. 4
Tumor jinak yang lain ialah xantelasma, siringoma, adenoma sebaseum,
trikoepitelioma, keratosis seboroik, skintag, kista, limfangioma,
keratoakantoma, dermatofibroma, keloid, granuloma piogenikum dan
hemangioma. Tumor jinak ini umumnya dengan tindakan bedak skalpel
menghasilkan sikatriks yang secara kosmetik memuaskan. Tumor jinak
multipel yang sering ditemukan setelah usia 40 tahun, ialah keratosis
seboroik. Terapi yang paling mudah dan murah ialah dengan cara bedah
listrik. Penampilan tumor jinak yang dini kadang-kadang sulit dibedakan
dengan keganasan dini, misalnya trikoepitelioma soliter sulit dibedakan
dengan karsinoma sel basal. Oleh karena itu pemeriksaan histologi tumor
tumor yang tampak jinak perlu dilakukan guna kepentingan dokter
maupun kepentingan pasien.3
KERATOSIS SEBOROIKA
Keratosis seboroika adalah tumor jinak kulit yang berasal dari proliferasi
epidermis dan keratin menumpuk diatas permukaan kulit sehingga
memberikan gambaran yang (menempel) sering dijumpai pada orang tua
usia 40-50 tahun keatas, terutama pada oftulg berkulit putih. Etiologi tidak
diketahui pasti, diduga ada kecenderungan familial dan diturunkan secara
autosomal dominan. Beberapa pendapat mengklasifikasikan seperti nevus
epidermal pada stadium lanjut oleh karena memiliki gambaran klinis dan
histologis yang sama. Kreatosis Seboroika dapat merupakan komponen
dari sindroma Leser-Trelat yang banyak dan cepat berkembang, disertai
gatal, kegasan ada saluran cerna, leukemia dan limfoma.5
Keratosis Seboroika biasanya dimulai dengan lesi datar, berwarna coklat
muda sampai tua, berbatas tegas dengan permukaan licin seperti lilin atau
hiperkeratotik bisa mengelupas berulangkali. Diameter lesi bervariasi
biasanya antara beberapa milimeter sampai 3 cm. Lama kelamaan lesi
akan menebal, dan memberi gambaran yang khas yaitu menempel (stuck
on) pada permukaan kulit. Lesi yang telah berkembang penuh sering
tampak mengalami pigmentasi yang gelap dan tertutup oleh skuama
berminyak. Bentuk klinis yang lain berupa nodul soliter berwarna coklat
kehitaman dengan tumpukan keratin. Bentuk seperti papel kecil bertangkai
biasanya pada leher dan daerah aksila. Predileksi pada daerah seroboika
yaitu dada punggung, perut, wajah dan leher.
Makna klinis dari penyakit ini adalah bersifat kosmetik (gangguan
penampilan) dan juga mungkin mengacaukan dengan lesi yang mungkin
membahayakan/keganasan (diagnosis bandingnya). Secara histopatologis
epidermis mengalami hiperkeratosis, akantosis dan papilomatosis dengan
batas bawah tumor terletak segaris dengan epidermis normal. Epidermis
yang mengalami akantosis memperlihatkan pola seluler yang terorganisasi
dengan baik, terutama proliesasi sel basal dengan keratin. Pada lembaran
Jembaran akantoik juga dijumpai peningkatanm elanosit dan pigmen yang
bervariasi.
Diagnosis banding adalah Melanoma maligna, epitelioma sel basal
berpigmen dan nevus pigmentosus. Gambaran pembeda utama bahwa
keratosis seboroika hampir selalu ditutupi oleh suatu penutup keratin yang
dapat dilepaskan dengan kuku tangan.
Karena letaknya yang superfisial pengobatannya mudah dihilangkan
dengan kuretase, having, elektrodesikasi,eksisi, dermabrasi, bedah beku
dengan nitrogen selama 15-25 detik dan laser. Prognosis umumnya baik,
lesi tidak pernah berubah menjadi ganas.

6. Penuaan kulit adalah proses degeneratif pada kulit yang ditandai dengan
penurunan fungsi dan tampilan kulit. Penuaan kulit terjadi karena dua
proses utama, yaitu proses secara intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan
intrinsik terjadi pada kulit di seluruh permukaan tubuh seiring berjalannya
waktu. Faktorfaktor yang memengaruhi penuaan intrinsik adalah umur,
genetik, rasial, dan hormonal. Penuaan secara ekstrinsik terjadi akibat
faktor-faktor luar misalnya penyakit sistemik, stres, merokok, penggunaan
alkohol, nutrisi yang buruk, pajanan sinar matahari, dan lainnya yang
sebenarnya dapat dihindari. Penuaan ekstrinsik akan menghasilkan kulit
menua dini, yaitu lebih cepat dari seharusnya. Pajanan sinar matahari
merupakan faktor eksogen paling utama yang menyebabkan timbulnya
penuaan dini. Secara khusus, penuaan kulit akibat pajanan sinar matahari
disebut photoaging.
Kerusakan akibat pajanan sinar matahari yang bertahun-tahun
bermanifestasi secara klinis sebagai lentigo aktinik yang dapat berupa
keratosis seboroik berpigmen dan bintik-bintik hiperpigmentasi,
manifestasi klinis yang lain dapat berupa perabaan kasar pada kulit
maupun halus.
Secara histologis, efek penuaan ekstrinsik ini biasanya terbatas di
epidermis dan dermis, sehingga dapat diperbaiki dengan berbagai jenis
laser ablative dan nonablatif, bahan-bahan peeling kimiawi, dan
dermabrasi. Penggunaan peeling kimiawi yakni asam glikolat sebagai
terapi pada kulit wajah yang mengalami penuaan menghasilkan risiko
minimal bila dilakukan oleh praktisi yang terlatih. Peeling asam glikolat
bersifat kaustik yakni dapat merusak lapisan kulit, sehingga dalam
beberapa hari, lapisan kulit yang rusak tersebut akan mengelupas.
Kemudian terjadi peningkatan ketebalan kulit yang disebabkan oleh
peningkatan glikosaminoglikan dan kolagen sehingga memperbaiki
epidermis dan dermis. Cara kerja peeling walaupun terbatas pada
epidermis, tetapi dapat merangsang regenerasi melalui jalur khusus di
dermis.

7. KS merupakan suatu kelainan yang bersifat kosmetik dan biasanya


asimptomatik kecuali lesi mengalami iritasi. KS secara umum berbentuk
plak eksofitik sedikit meninggi dengan batas tegas, berwarna coklat muda
hingga coklat kehitaman. KS dapat juga berupa papul verukosa, dengan
tampilan “stuck on” disertai skuama kotor & rapuh. Terdapat beberapa
varian dari KS, dimana area timbulnya lesi berhubungan dengan varian
dari KS yang terjadi, antara lain common keratosis seboroik, reticulated
keratosis seboroik, stucco keratosis, melanoacanthoma, dermatosis
papulosa nigra dan Laser-trelat sign.
Prevalensi KS meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Biasanya
tampak pada dekade kelima pada daerah beriklim sedang tetapi dapat
ditemukan lebih awal pada daerah beriklim tropis. Namun KS juga bisa
terdapat pada usia muda. Terdapat sedikit kecenderungan untuk
menghilang secara spontan dan lesi baru dapat terus muncul selama
bertahun-tahun. Keratosis seboroik dapat terjadi pada setiap bagian tubuh,
namun paling sering terjadi pada dada, punggung, wajah dan leher. Lesi
dapat timbul soliter namun lebih sering tersebar dalam jumlah banyak,
terutama pada pasien usia lanjut.
Sebuah studi yang dilakukan di Belanda mendapatkan korelasi positif
antara prevalensi dengan usia, prevalensi pada kelompok usia 24-49 tahun
adalah sebesar 38%, kelompok usia 50-59 tahun sebesar 69%, kelompok
usia 60-69 tahun sebesar 86% dan kelompok usia 70-79 tahun sebesar
90%. Sebuah studi di Korea melaporkan prevalensi keratosis seboroik
sebesar 88%, dimana terjadi peningkatan prevalensi dari 79% pada usia 40
tahun menjadi 99% pada usia lebih dari 60 tahun.6 Sedangkan di Indonesia
yaitu di rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2016
terdapat 18 kasus baru keratosis seboroik yang berkunjung ke poliklinik
kulit dan kelamin.
Keratosis seboroik merupakan tumor jinak, namun terdapat berbagai
indikasi untuk menghilangkan lesi, yaitu bila terdapat tanda keganasan
(apabila secara klinis meragukan), iritasi disertai inflamasi dan terutama
untuk kepentingan kosmetik pada pasien dengan lesi multipel. Terdapat
berbagai modalitas terapi untuk keratosis seboroik diantaranya adalah
kuretase, eksisi shave, elektrodesikasi dengan electrosurgery, bedah beku
dan laser ablatif (contoh: laser ablasi CO2).
Keratosis seboroik dikenal juga sebagai veruka seboroik atau kutil senilis.
Keratosis seboroik merupakan tumor jinak, sering berpigmen, lebih sering
terjadi pada usia tua dan terdiri dari keratinosit epidermis. Lesi pada KS
umumnya dimulai pada usia dewasa muda dan akan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Pada studi di Australia, lesi ini terdapat
30 % pada orang berusia dibawah 30 tahun, dan meningkat menjadi 100 %
pada orang yang berusia diatas 50 tahun. Tidak terdapat perbedaan
prevalensi antara laki – laki dan perempuan. Lokasi predileksi keratosis
seboroik dapat terjadi di area tubuh mana saja namun paling sering terjadi
pada area badan bagian atas, wajah, leher dan lengan atas. Predileksi
paling sering terjadi pada area yang terpapar sinar matahari. Pada kasus
terjadi pada wanita yang berusia 46 tahun, lesi terjadi pada wajah, leher
dan dada bagian atas hal ini diduga disebabkan karena paparan sinar
matahari yang berlebihan.
Etiologi mendasar terhadap kejadian keratosis seboroik hingga saat ini
belum sepenuhnya dipahami. Genetik, paparan sinar matahari, infeksi
merupakan faktor yang diduga berperan dalam proses terjadinya keratosis
seboroik. Angka kejadian keratosis seboroik dikatakan meningkat seiring
dengan terdapatnya anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa. Hal
ini pun telah dikonfirmasi ada penelitian terdahulu bahwa terdapat faktor
genetik yang diturunkan secara autosomal dominan. Penelitian terbaru
dewasa ini menunjukkan adanya mutasi pada gen Fibroblast Growth
Factor 3 (FGFR3) yang memegang kunci penting terhadap perkembangan
keratosis seboroik. Tingginya angka kejadian KS pada individu dengan
riwayat paparan sinar matahari yang tinggi menyebabkan timbulnya
dugaan bahwa paparan sinar matahari memegang peranan penting dalam
proses terjadinya KS.2 Meskipun keratosis seboroik dapat terjadi pada
areal kulit yang terpapar UV langsung maupun pada areal kulit yang tidak
terpapar, namun paparan kumulatif sinar UV telah dibuktikan sebagai
faktor risiko independen terjadinya keratosis seboroik. Beberapa penelitian
telah dikembangkan untuk mempelajari mekanisme bagaimana paparan
UV dapat memicu tumorigenesis sel-sel kulit. Patogenesis keratosis
seboroik berkaitan dengan adanya mutasi fibroblast growth factor receptor
3 (FGFR3) teraktivasi somatik dan perubahan ekspresi gen phosphatase
and tension homoloque deleted on chromosome 10 (PTEN). Proses
terakhir tersebut ternyata berkaitan dengan paparan sinar UV. Infeksi virus
juga dipertimbangkan sebagai penyebab keratosis seboroik berdasarkan
penampakan klinis yang serupa dengan veruka vulgaris. Meskipun tidak
ada DNA Human PapillomaVirus (HPV) yang terdeteksi pada 40 sediaan
biopsi keratosis seboroik genital, biopsi dari kulit non genital
menunjukkan hasil yang berbeda. Epidermodisplasia verucciformis terkait
dengan DNA HPV ditemukan pada 76% biopsi keratosis seboroik
nongenital dibandingkan hanya 27% pada kontrol sehat. Temuan ini
mengindikasikan kemungkinan peranan infeksi virus pada perkembangan
keratosis seboroik pada kulit non genital.
Beberapa varian klinikopatologi pada keratosis seboroik. Common
keratosis seboroik (papiloma sel basal) merupakan jenis yang klasik dan
sering dijumpai dengan gambaran papul atau plak verukosa yang
menempel pada kulit dengan pseudohorn cyst. Meningkatnya jumlah
melanosit memberikan warna coklat, coklat tua sampai hitam pada lesi ini.
Lesi ini memiliki perlekatan yang longgar dan keratin berminyak pada
permukaannya. Lesi biasanya asimptomatik tetapi dapat gatal. Bentuk lesi
bulat atau oval dan lesi yang multipel dapat searah dengan lipatan tubuh.
Ukuran bervariasi dari 1 milimeter sampai beberapa centimeter.
Reticulated Seborrheic Keratosis. dengan gambaran klinis berupa bercak
atau papul hiperpigmentasi. Stucco keratosis yang disebut juga sebagai
keratosis alba, merupakan bentuk khusus dari keratosis seboroik. Lesi
berupa papul verukosa dengan warna putih atau putih keabuan, dengan
ukuran hanya beberapa milimeter.2 Stucco keratosis biasanya mengenai
usia tua. Biasanya terdapat dalam jumlah besar (100 atau lebih), dengan
predileksi pada permukaan ekstensor lengan bawah dan tungkai bawah
serta dorsum manus dan pedis. Melanoacanthoma (pigmented keratosis
seboroik). Varian ini dikenal sebagaipigmented SK. Varian ini bersifat
jinak dan tumbuh secara lambat. Lesi umumnya ditemukan pada daerah
badan, kepala, dan leher. Istilah melanoacanthoma diperkenalkan tahun
1960 untuk menggambarkan lesi berpigmen jinak yang jarang dan terdiri
dari melanosit dan keratinosit.
Beberapa ahli menggolongkan Dermatosis papulosa nigra sebagai varian
dari keratosis seboroik. Secara klinis berupa papul kecil multipel berwarna
coklat tua sampai hitam yang kadang dapat ditemukan dalam bentuk
bertangkai, sering ditemukan pada area malar pada wajah. Leher dan
batang tubuh bagian atas juga dapat terlibat.
Sindroma Leser-Trelat merupakan sindroma yang ditandai oleh erupsi
mendadak dan pertumbuhan keratosis seboroik yang banyak, terutama
pada badan, dan berkaitan dengan keganasan yang melibatkan organ
dalam. Adenokarsinoma pada traktus gastrointestinal merupakan
keganasan terkait yang paling sering dijumpai. Keganasan lain yang sering
dijumpai adalah limfoma, kanker payudara, serta karsinoma sel skuamosa
paru. Pertimbangan diagnosis Leser-Trelat adalah keratosis seboroik yang
timbul bersamaan dengan kanker, onset yang cepat dan berjalan paralel
dengan pertumbuhan dan remisi. Lesi seringkali menimbulkan keluhan
gatal, dan dapat disertai dengan akantosis paruparu dan usus. Gambaran
lain yang umumnya ditemukan pada KS yang bersifat eruptif ini meliputi
leukemia, limfoma, kusta tipe lepromatosa, infeksi HIV, erythrodermic
eczema, dan melanoma. Hal ini menyebabkan dugaan adanya peranan
respon imun yang abnormal terhadap gambaran klinis yang terjadi.
Pemeriksaan dermoskopi dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pada kasus-kasus yang meragukan. Pada kasus yang masih meragukan,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan histopatologis untuk
menyingkirkan adanya suatu keganasan. Beberapa fitur dermoskopi pada
keratosis seboroik meliputi milia like cyst, comedo like opening,
hyperkeratosis, fissures, ridges, pembuluh darah “hairpin”, tampilan
cerebriform (sulci dan gyri), struktur seperti jari berwarna coklat terang,
sharp demarcation, moth eaten border. Berdasarkan penelitian Braun dan
kawan-kawan, meskipun kriteria dermoskopi yang klasik seperti milia like
cyst dan comedo like opening mempunyai prevalensi yang tinggi, struktur
tambahan seperti pembuluh darah “hairpin”, fissures, sulci dan gyri akan
meningkatkan akurasi diagnosis keratosis seboroik.
Indikasi biopsi pada keratosis seboroik hanya dilakukan apabila terdapat
keraguan membedakannya dengan lesi yang mengarah ke keganasan.
Pemeriksaan histopatologi common keratosis seboroik didapatkan pola
acanthotic (solid) terdiri dari lembaran sel basaloid yang luas dengan
campuran horn cyst. Keratosis seboroik terdiri dari sel basaloid dengan
campuran berbagai sel skuamosa. Keratin filled invagination dan horn cyst
adalah gambaran karakteristik. Histopatologi pada pigmented keratosis
seboroik terdapat kemiripan dengan keratosis seboroik acanthotic,
epidermis sedikit verukosa terdiri dari sel basaloid dan sel spinous.
Sejumlah melanosit dendritik tersebar melewati lesi. Melanosit
mengandung melanosom matur dan berpigmen. Biasanya terdapat pigmen
pada makrofag di dermis atas.
Keratosis seboroik dapat dibedakan dengan aktinik keratosis secara klinis
dan pemeriksaan dermoskopi. Aktinik keratosis merupakan lesi prekanker
akibat photodamaged hingga karsinoma sel skuamosa dengan faktor risiko
adanya kerentanan individual, paparan radiasi sinar ultraviolet kumulatif,
imunosupresi, riwayat kanker kulit sebelumnya dan sindrom genetik. Lesi
aktinik keratosis sering ditemukan pada area tubuh yang terpapar sinar
matahari seperti badan, kepala, leher, lengan bawah dan dorsal tangan
dengan gejala yang sering ditemui berupa rasa gatal, tersengat, nyeri dan
terbakar. Gambaran lesi aktinik keratosis yang khas yaitu berupa lesi papul
eritematosa dengan permukaan rata yang kasar dan berskuama berukuran
2-6 mm. Gambaran dermoskopi yang khas dari aktinik keratosis adalah
ditemukannya 4 gambaran dermoskopi yang disebut strawberry pattern
antara lain eritema pada folikel rambut menyerupai gambaran pink to red
pseudonetwork, skuama putih kekuningan, pembuluh darah wavy yang
halus dan muara folikel rambut yang dikelilingi halo putih serta
ditengahnya terdapat keratotic plug kekuningan.
Kecepatan pertumbuhan, gambaran morfologi yang atipikal, lokasi
timbulnya lesi dan keluhan yang terjadi merupakan hal yang harus diamati
dalam evaluasi KS. Walaunpun lesi keratosis seboroik merupakan lesi
yang jinak, terdapat berbagai indikasi untuk menghilangkan lesi antara
lain, apabila dicurigai adanya keganasan, iritasi disertai inflamasi dan
terutama kepentingan kosmetik pada pasien dengan lesi KS multipel.
Pilihan terapi yang dilakukan mencakup terapi di rumah sakit seperti
bedah beku, laser ablatif (CO2 ablatif), kuretase, eksisi shave,
elektrodesikasi. Tindakan destruksi dengan menggunakan bedah beku,
ekstrodesikasi diikuti tindakan kuretase, dan laser ablatif memberikan hasil
yang memuaskan. Terapi topikal dan sistemik untuk lesi keratosis seboroik
belum diterapkan secara luas.
Laser CO2 merupakan suatu modalitas serbaguna yang memiliki
kemampuan ablatif serta mampu memenuhi kebutuhan praktik
dermatologi rutin dalam segmen kosmetik, estetik dan peremajaan kulit.
Laser CO2 merupakan modalitas baku emas dalam bidang laser ablatif
sehingga pengetahuan mendetail mengenai alat ini sangatlah penting.
Dalam dekade terakhir. Kemajuan dalam teknologi laser telah membantu
ahli dermatologi dalam memperbaiki tampilan skar dan kerutan serta
menghilangkan pertumbuhan lesi kulit yang jinak. Penatalaksanaan
menggunakan laser CO2 hanya memberikan sedikit ketidaknyamanan dan
penyembuhan yang cepat sehingga pasien mampu kembali ke rutinitas
harian. Laser CO2 menembakkan sinar inframerah yang kasat mata
pada 10.600 nm, menargetkan baik pada air yang terdapat pada intraseluler
maupun ekstraseluler. Saat energi cahaya diabsorbsi oleh jaringan yang
mengandung air, terjadilah penguapan pada kulit. Laser CO2 mampu
penetrasi hingga kedalaman 20 μm, dengan kata lain energi laser mampu
diabsorbsi oleh jaringan yang mengandung air hingga kedalaman spesifik
tertentu menyebabkan laser CO2 merupakan suatu modalitas yang relatif
aman dengan residual thermal damage (RTD) yang mampu mencapai
kedalaman jaringan hingga 100-150 μm.Titik didih air yang terdapat pada
hampir 70% jaringan yang mengandung air adalah 100°, apabila
komponen jaringan tersebut diberikan panas melebihi titik didihnya
menggunakan energi laser CO2, menghasilkan penguapan air dan gas,
volume meningkat dan menyebabkan kulit dan jaringan konektif, sel,
membrane sel, organel intraseluler dihilangkan melalui fragmentasi,
vaporisasi dan ablasi. Selalu terdapat RTD di tepi area yang dilakukan
laser CO2 ablatif Thermocoagulation juga terjadi pada area tersebut
sehingga terjadi hemostasis pada pembuluh darah kecil sehingga
menyebabkan area tersebut menjadi kering.
Indikasi terapeutik penggunaan laser CO2 antara lain pada lesi keratosis
seboroik, aktinik keratosis, veruka, skin tags, tahi lalat dan xanthelasma.
Kondisi lain yang efektif dengan laser karbondioksida adalah keloid, skar
akne, rhinofima dan angiofibroma. Kontraindikasi absolut pada terapi laser
CO2 antara lain adalah penggunaan isotretinoin oral dalam 6 bulan
terakhir, infeksi aktif bakteri atau virus pada area yang akan diterapi, dan
ektropion (untuk resurfacing intraorbital sedangkan kontraindikasi relatif
termasuk riwayat keloid atau skar hipertrofik, paparan sinar ultraviolet
berlebihan, terapi radiasi sebelumnya pada area yang akan ditindak dan
penyakit kolagen vaskular. Diperlukan perhatian khusus pada pasien yang
merokok, menggunakan pengelupasan kimiawi dengan fenol, dermabrasi
dan transcutaneous blepharoplasty. pigmented SK. Varian ini bersifat
jinak dan tumbuh secara lambat. Lesi umumnya ditemukan pada daerah
badan, kepala, dan leher. Istilah melanoacanthoma diperkenalkan tahun
1960 untuk menggambarkan lesi berpigmen jinak yang jarang dan terdiri
dari melanosit dan keratinosit.
Laser resurfacing karbondioksida dapat menyebabkan reaksi termal pada
kulit sekitar lesi, oleh karena itu efek samping seringkali dapat terjadi,
namun hal ini harus bisa dibedakan dengan komplikasi paska tindakan
laser. Hampir seluruh pasien yang diterapi dengan laser CO2 mengalami
efek samping minor seperti nyeri dan edema paska tindakan hingga rasa
gatal dan rasa tegang kulit wajah ‘tightness’. Edema paska tindakan laser
dapat terjadi yang akan menghilang dengan kompres dingin dan obat anti
inflamasi non-steroid, sekret serous ringan akan keluar pada hari kedua
dan ketiga paska tindakan yang akan hilang dengan sendirinya.
Komplikasi yang dapat terjadi paska tindakan laser CO2 merupakan
komplikasi minor dengan konsekuensi yang minimal seperti terbentuknya
milia, dermatitis perioral, eksaserbasi akne, dermatitis kontak dan
hiperpigmentasi paska inflamasi. Hiperpigmentasi atau eritema sering
terjadi paska tindakan laser pada kulit tipe Fitzpatrick IV atau diatasnya
dan menyebabkan kecemasan pada pasien, namun hal tersebut hanya
terjadi sementara, biasanya bertahan paling lama minggu dan makin lama
akan memudar. Krupa Shankar et al melaporkan bahwa hiperpigmentasi
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi paska tindakan laser,
namun sampai saat ini patogenesisnya masih belum jelas diduga karena
adanya trauma pada dermal yang kemudian menyebabkan proses inflamasi
dan mengaktivasi melanosit dermal.
Perawatan kulit yang tepat paska tindakan dan penggunaan tabir surya
dapat mencegah terjadinya komplikasi ini. Komplikasi yang lebih serius
antara lain adalah infeksi lokal dari virus, bakteri dan jamur, eritema yang
menetap, hipopigmentasi yang berkepanjangan dan penyembuhan yang
lama. Komplikasi paling berat yang dapat terjadi adalah terjadinya skar
hipertrofik, infeksi sistemik dan ektropion. Deteksi awal terjadinya
komplikasi dan penatalaksanaan yang tepat dan cepat merupakan hal yang
penting. Penatalaksanaan yang terlambat dapat menyebabkan akibat yang
lebih buruk yaitu skar permanen dan gangguan pigmentasi.
Perawatan paska laser diantaranya pengaplikasian antibiotik topical selama
seminggu, biarkan krusta mengelupas dengan sendirinya, tidak boleh di
kelupas dengan paksa. Penekanan penggunaan tabir surya pada pagi hari
dapat dilakukan pengolesan ulang hingga 3 kali sehari. Pemberian
antibiotik sistemik sebagai antibakteri profilaksis dilakukan pada beberapa
ahli dermatologi. Walaupun data menunjukkan rendahnya infeksi bakterial
paska prosedur tindakan. Pemilihan antibiotik sistemik tergantung dari
pilihan masing-masing pasien antara lain golongan sefalosporin, penisilin
semisintetik, makrolid dan kuinolon yang dapat diberikan pada hari
dilakukan prosedur. Edema paska tindakan hilang dengan kompres dingin
dan obat anti inflamasi non steroid.
Keratosis seboroik adalah suatu tumor kulit jinak tanpa suatu tendensi
yang signifikan terhadap malignansi. Sesudah pembuangan lesi, rekurensi
local dapat terjadi. Tidak ada angka tepat tentang rekurensi. Hafner dan
vogt melaporkan bahwa setelah pembuangan lesi keratosis seboroik,
rekurensi local dapat terjadi dikarenakan hubungan antara meningkatnya
insiden keratosis seboroik seiring dengan meningkatnya usia. Munculnya
lesi baru juga dapat terjadi setelah diangkatnya lesi multipel. Pada
penelitian yang membandingkan efektivitas modalitas elektrosurgery dan
laser CO2, dilakukan evaluasi histologi paska tindakan dari kedua
modalitas tersebut dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna yaitu
epidermis menipis, hilangnya rete ridges, papilomatosis dan pseudohorn
cyst serta edema dan meningkatnya vaskularisasi pada dermis. Namun, 3
orang pasien yang menggunakan laser CO2, masih tersisa gambaran
mikroskopik KS yang kemudian menjadi lesi KS di pengamatan lanjutan,
hal ini mungkin disebabkan karena lesi tersebut terdapat pada area yang
terpapar sinar matahari dan tingginya frekuensi paparan sinar matahari
pada pasien tersebut yang menyebabkan rekurensi KS yang cepat setelah
proses laser ablasi atau dikarenakan sebagian komponen KS secara tidak
sengaja terdapat di dermal sedangkan CO2 hanya mengablasi komponen
KS di epidermis sehingga terjadi proses penghilangan yang tidak
sempurna.

Anda mungkin juga menyukai