RUPTUR UTERI
Oleh :
Preseptor:
Dr. Syahrial Syukur, SpOG (K)
PENDAHULUAN
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada
umur kehamilan lebih 28 minggu. Manifestasi perdarahan masih merupakan trias penyebab
ibu akibat perdarahan yang disebabkan ruptur uteri berkisar 17,9% sampai 62,6%. Saat
persalinan kala I dan awal kala II batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim
dinamakan lingkaran retraksi fisiologis, jika bagian terbawah tidak mengalami kemajuan akan
timbul retraksi patologis (Bandl’s ring). Apabila saat persalinan tetap tidak ada kemajuan
maka akan terjadi ruptur uteri dan menyebabkan komplikasi berupa kematian maternal.1
Ruptur uteri atau robekan uterus adalah peristiwa dimana terjadi robekan pada uterus
sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan kavum peritoneum. Robekan
pada uterus ditemukan sebagian besar pada bagian bawah uterus. Ruptur uteri secara anatomi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptur uteri komplit dan inkomplit.2,3
Kejadian ruptur uteri sebagian besar terjadi pada wanita yang memiliki bekas luka
uterus, yang sebagian besar merupakan bekas seksio sesarea sebelumnya. Bekas seksio
sesarea satu kali meningkatkan angka ruptur uteri keseluruhan 0,5%, sedangkan pada bekas
seksio sesarea dua kali atau lebih meningkat menjadi 2%. Faktor risiko lain yang dapat
meningkatkan kejadian ruptur adalah penutupan histerektomi seksio sesarea single layer, jarak
antar kehamilan yang pendek setelah seksio sesarea sebelumnya, kelainan uterus kongenital,
2
janin makrosomia, pemberian prostaglandin dan kegagalan suatu percobaan persalinan atau
Menurut penelitian WHO prevalensi ruptur uteri cenderung lebih rendah di negara
maju daripada negara berkembang dengan tingkat prevalensi 0,006%. Ruptur uterus di negara
maju sebagian besar terjadi sekunder akibat operasi caesar sebelumnya. Di Indonesia, angka
kejadian rupture uteri berkisar antara 1 dalam 93 persalinan sampai 1 dalam 1280 persalinan.
Telah dilakukan penelitian kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit
jejaringnya pada periode 1999-2003 dan didapatkan insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan
Sadikin 0,09% (1:1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996).
Di 3 RS jejaring didapatkan juga angka kematian ibu sebesar 0,4 %. Kematian perinatal di
RSHS mencapai 90 % sedangkan di rumah sakit jejaring 100%. Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa kasus ruptur uteri memberikan dampak yang negatif baik pada ibu
maupun bayi.4,5,6
Clinical Science Session ini ditulis setelah mencari sumber tinjauan pustaka yang ada
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ruptur uteri atau robekan uterus adalah suatu peristiwa robeknya dinding uterus
sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan rongga peritoneum. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. Sebagian besar kasus ditemukan ruptur di
Ruptur uteri dapat dibagi dua, ruptur komplit dan ruptur inkomplit. Apabila
peritoneum viseral uterus ikut robek, dinamakan ruptur uteri komplit. Jika peritoneum viseral
uterus masih intak, dinamakan ruptur uteri inkomplit. Ruptur uteri harus dibedakan dari
dehisens. Dehisens adalah peristiwa terbukanya kembali luka operasi. Pada dehisens bekas
seksio sesarea, kantong ketuban masih utuh dan prosesnya terjadi secara perlahan dengan
perdarahan minimal atau tanpa perdarahan, sedangkan ruptur uteri biasanya terjadi secara
dramatis dengan perdarahan yang banyak dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas.2,3
2.2. Epidemiologi
Menurut penelitian WHO prevalensi ruptur uteri cenderung lebih rendah di negara
maju daripada negara berkembang dengan tingkat prevalensi 0,006%. Ruptur uterus di negara
maju sebagian besar terjadi sekunder akibat operasi caesar sebelumnya. Di Indonesia, angka
kejadian rupture uteri berkisar antara 1 dalam 93 persalinan sampai 1 dalam 1280 persalinan.
Telah dilakukan penelitian kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit
4
jejaringnya pada periode 1999-2003 dan didapatkan insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan
Sadikin 0,09% (1: 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1%
(1:996). Di 3 RS jejaring didapatkan juga angka kematian ibu sebesar 0,4 %. Kematian
Kejadian ruptur uteri sebagian besar terjadi pada wanita yang memiliki bekas luka
uterus, yang sebagian besar merupakan bekas seksio sesarea sebelumnya. Bekas seksio
sesarea satu kali meningkatkan angka ruptur uteri keseluruhan 0,5%, sedangkan pada bekas
2.3. Klasifikasi7
a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus,
abdomen).
lapisan serosa (peritoneum) tetap utuh , disebut juga dehisensi. Diagnosis pasti
c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita
merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba
5
Menurut waktu terjadinya
a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada
disebabkan oleh: bekas seksio sesaria, bekas enukleasi mioma uteri, bekas
b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering
pada SBR karena bagian terbawah janin tidak dapat turun yang dapat
Menurut lokasi
a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju).
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.
c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi
Menurut etiologi
Ruptur uteri spontan merupakan ruptur uteri yang terjadi secara spontan
pada uterus tanpa parut (utuh) dan tanpa adanya manipulasi dari penolong.
Faktor utama pada ruptur uteri spontan ialah persalinan tidak maju karena
lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin
6
meregang. Faktor predisposisi terhadap terjadinya ruptur uteri adalah
gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus
di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan dan
rotundum tegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita kesakitan sekali
dan merasa seperti ada yang robek dalam perutnya, tidak lama kemudian ia
menunjukkan gejala-gejala kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan
terjadi perdarahan, pada ruptur uteri komplit sebagian mengalir ke rongga perut
dan sebagian ke vagina. Sering seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam
rongga perut. Pada pemeriksaan vagina bagian bawah janin tidak teraba lagi
atau teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada ruptur uteri inkomplit perdarahan
Segera setelah ruptur uteri terjadi dan janin masuk ke dalam rongga
perut, ia dapat diraba dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di sampingnya
ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut
janin lebih sukar diraba. Pada ruptur uteri komplit kadang-kadang juga pada
7
pemeriksaan vaginal, robekan dapat diraba, demikian pula usus dalam rongga
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,
kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa
terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot
segmen bawah uterus dan usaha vagina untuk melahirkan janin sehingga terjadi
ruptur uteri Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang
dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga setelah ekstraksi
dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan
tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio
sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk
mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan
parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio
sesarea, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering
Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen
8
bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa
nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri
pada bekas seksio bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih
dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam
hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat
laun jaringan disekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali
dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta,
sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan
arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di
ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal
dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita
merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria
besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam
uterus meninggal.9
Ruptur uteri timbul sebagai akibat adanya perlukaan atau anomali. Hal ini
dihubungkan dengan trauma atau komplikasi persalinan. Penyebab terbanyak dari ruptur uteri
9
Penjahitan kembali bekas ruptur uteri.
endometrium.
Ruptura uteri yang tidak memberi tanda (silent rupture) pada kehamilan
sebelumnya.
Sebelum kelahiran :
Versi dalam.
Ekstraksi sungsang.
10
Dorongan pada fundus yang kuat untuk melahirkan bayi.
Kongenital :Kehamilan pada uterus yang tumbuh tak sempurna atau pada kornu
uterus.
Didapat :
c. Adenomiosis.
seksio sesarea sebelumnya, makrosomia janin, induksi persalinan, instrumentasi uterus dan
trauma uterus, semuanya meningkatkan risiko ruptur uteri, sedangkan keberhasilan persalinan
pervaginam sebelumnya dan jarak antar kehamilan setelah seksio sesarea mungkin
memberikan perlindungan secara relatif. Berbeda dengan tersedianya cara untuk memprediksi
potensi keberhasilan suatu trial of labor (TOL) setelah seksio sesarea sebelumnya, cara yang
akurat untuk memprediksi seseorang secara spesifik berisiko terjadinya ruptur uteri pada
• Bekas SC klasik
• Bekas SC multipel
11
b. Parut bekas miomektomi (baik transabdominal atau laparoskopi)
a. Grande multipara
b. Umur ibu
a. Sebelum persalinan
b. Persalinan spontan
e. Lama persalinan
f. Persalinan macet
12
a. Penggunaan instrumen seperti forsep ekstraksi
Faktor predisposisi 1
1. Faktor uterus
2. Faktor ibu
Grande/multiparitas
Usia tua
3. Faktor janin
Hamil ganda
Makrosomia
Letak lintang
Presentasi bokong
4. Faktor plasenta
Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta.
13
5. Faktor persalinan
Induksi persalinan
Persalinan lama
Persalinan macet
Manual plasenta
Versi luar
2.5 Patofisiologi5
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding
korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi
lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen
bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi
lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan
sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya:
panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu
ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran
retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis
yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus
kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya
14
oleh ligamentum – ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan
dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina).
Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung
turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen
bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan
telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen
bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating, terjadilah perdarahan yang banyak
Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada
bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini
disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki
kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio
klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan
pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi
lambat laun pada jaringan – jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama
sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya
keluar.
Biasanya ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri yang membakat, yaitu his
yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu
ditekan, gelisah, nadi dan pernapasan cepat. Selain itu, segmen bawah uterus tegang, nyeri
15
pada perabaan, lingkaran retraksi (Van Bandle Ring) meninggi sampai mendekati pusat, dan
ligamentum rotunda menegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita dapat merasa
sangat kesakitan dan seperti ada robek dalam perutnya. Perdarahan terjadi pada saat terjadi
robekan pada uterus. Pada ruptur uteri komplit darah selain keluar pervaginam sebagian dapat
mengalir ke rongga perut. Pada ruptur uteri inkomplit perdarahan biasanya tidak terlalu
1. Setelah terjadi ruptur uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan pervagina sampai
perdarahan intraabdomen, anemia, nadi cepat dan halus (filipormis), pernapasan cepat
2. Jika kejadian ruptur uteri telah lama, maka akan timbul gejala-gejala meteorismus dan
defans muskular yang menguat sehingga sulit untuk meraba bagian-bagian janin.
2.7 Diagnosis5
a. Anamnesis5
1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit
seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keringat
4. Syok, nadi halus dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur.
5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau
bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.
16
7. Kontraksi uterus biasanya hilang.
- Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria. enukleasi mioma atau
B. Pemeriksaan Fisik1
dapat terjadi anemia sampai syok (nadi filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan
darah turun).
Pemeriksaan Luar:1
Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin teraba di
samping uterus
17
Pemeriksaan Dalam:1
Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi
dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah janin dengan mudah dapat
didorong ke atas hal ini terjadi akrena seringkali seluruh atau sebagian janin masuk
Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding rahim dan jika jari tangan
dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian janin.
Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah peritoneum atau
2.8 Penatalaksanaan
Kasus ruptur uteri harus dilakukan tindakan segera. Apabila sudah terjadi ruptur uteri,
tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa
pembukaan uterus (jika janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan
histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya
dalam uterus dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan
18
terhadap diagnosis ruptur uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan
satu tangan dalam uterus apakah ada ruptur uteri. Pada umumnya pada ruptur uteri tidak
dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus.Hanya dalam keadaan
yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir
luka harus rata seperti pada ruptur parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Pengobatan untuk mencegah syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita
2.9 Komplikasi5
Syok hipovolemik dan sepsis merupakan penyebab utama yang meningkatkan angka
kematian ibu dalam obstetri. Syok hipovolemik dikarenakan perdarahan yang hebat dan tidak
segera mendapatkan penatalaksanaan. Sepsis akibat infeksi biasanya terjadi pada pasien
kiriman dimana ruptur uteri terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai
19
manipulasi termasuk pemeriksaan dalam yang berulang. Kedua komplikasi ini merupakan
komplikasi yang fatal, meskipun pasien bisa diselamatkan namun angka morbiditas dan
2.10 Prognosis
Prognosis ruptur uteri bergantung pada keadaan apakah uterusnya masih utuh atau
ada bekas seksio sesaria atau suatu dehisens. Bila bekas seksio sesaria atau dehisens
perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan
perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi prognosis adalah kecepatan pasien menerima
tindakan bantuan. Ruptur uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh
mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke
lateral dan mengenai cabang-cabang a. uterina atau ke dalam ligamentum latum atau meluas
ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi
dan kematian perinatal yang jauh lebih tinggi. Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat,
ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi antibiotik merupakan perbaikan prognosis
yang sangat besar bagi wanita dengan ruptur uteri yang hamil.3,5
20
BAB III
PENUTUP
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut
dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat
umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3
yaitu: faktor trauma pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi
secara spontan. Selain itu pula, faktor prediposisi terjadinya ruptur uteri dipengaruhi oleh
Di Indonesia, ruptur uteri merupakan salah satu penyebab kematian janin dalam rahim
paling tinggi. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka harus dapat mendiagnosis adanya
ruptur uteri sehingga dapat segera menatalaksana dengan cepat serta meningkatkan
kecermatan dan kehati-hatian dalam memimpin persalinan. Selain itu pula tatalaksana yang
baik terhadap syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan ruptur uteri.1
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sari RDP. Ruptur Uteri. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
3. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ. 2010.Williams Obstetrics, 23 st Ed. The Mc
4. Hofmeyr GJ, Say L, Gulmezoglu AM. WHO systematic review of maternal mortality
5. Chalik TMA et al. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan.Dalam : Ilmu
Obstetrics, 4 th Ed. New Central Book Agency (P) Ltd, Calcutta 1998 : 348-52.
8. Hacker NF and Moore George, 2012. Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd
Livingstone : 285-90.
22