Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Reading

DERMATITIS ATOPIK

OLEH
Nadhirah Sa’an 1840312661
Chua Fu Lin 1740312773

PRESEPTOR
dr. Gardenia Akhyar, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 1


Kapur et al.
Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52
Allergy, Asthma & Clinical
https://doi.org/10.1186/s13223-018-0281-6 Immunology

REVIEW Akses Terbuka

Dermatitis Atopik
Sandeep Kapur1*, Wade Watson1 and Stuart Carr2

*Correspondence: sandy.kapur@gmail.com
1 IWK Health Centre, Division of Allergy, Department of Pediatrics,
Dalhousie University, Halifax, NS, Canada
Full list of author information is available at the end of the article

Abstrak
Dermatitis atopik (DA) adalah gangguan kulit kronis umum yang secara signifikan dapat
berdampak pada kualitas hidup individu terkait maupun keluarga mereka. Meskipun patogenesis
gangguan tersebut tidak sepenuhnya dipahami, tampaknya ia merupakan hasil dari interaksi
kompleks antara defek pada fungsi pelindung kulit, lingkungan dan agen infeksi serta disregulasi
imun. Tidak ada tes diagnostik untuk DA; oleh karena itu, diagnosis didasarkan pada kriteria klinis
spesifik yang memperhitungkan riwayat dan manifestasi klinis pasien. Manajemen yang sukses
memerlukan pendekatan beragam yang melibatkan pendidikan, praktik perawatan kulit yang
optimal, pengobatan anti-inflamasi dengan kortikosteroid topikal dan / atau inhibitor kalsineurin
topikal, pengelolaan pruritus, dan pengobatan infeksi kulit. Agen imunosupresif sistemik juga dapat
digunakan, tetapi umumnya dianjurkankan untuk gejala parah atau penyakit yang lebih sulit
dikendalikan. Kortikosteroid topikal adalah pengobatan farmakologis lini pertama untuk DA, dan
bukti menunjukkan bahwa agen ini juga dapat bermanfaat untuk profilaksis dari flare-up penyakit.
Meskipun prognosis untuk pasien-pasien dengan DA umumnya baik, pasien-pasien dengan penyakit
yang parah dan tersebar luas dan kondisi atopik bersamaan, seperti asma dan rinitis alergi,
cenderung mengalami hasil yang lebih buruk.

Kata Kunci: Dermatitis atopik, Diagnosis dan tatalaksana, Emollients, Perawatan kulit,
Kortikosteroid topikal, Inhibitor Kalsineurin topikal.

Latar Belakang
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit yang kronis, penyakit radang kulit yang sangat pruritik
(gatal), dan merupakan salah satu kelainan kulit yang paling umum pada anak-anak [1]. Gangguan
ini menyebabkan morbiditas yang signifikan dan berdampak buruk pada kualitas hidup [2]. Tidak
hanya pasien yang terkena stigma sosial dari kondisi kulit yang terlihat, tetapi intensitas
karakteristik gatal dari penyakit sering menyebabkan trauma kulit dan gangguan tidur yang
signifikan. Sebagai tambahan, manajemen kondisi mengharuskan sering menggunakan emolien

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 2


(agen yang menenangkan, melembabkan dan melembutkan kulit) dan obat topikal, juga kunjungan
dokter. DA juga menyebabkan beban ekonomi yang signifikan dengan perkiraan biaya tahunan di
Kanada sebesar $ 1,4 miliar [3].
Bukti terkini menunjukkan bahwa DA merupakan defek pelindung kulit primer yang
memfasilitasi perkembangan kondisi atopik lainnya [4, 5]. Faktanya, DA sering kali merupakan
langkah awal dalam "pawai atopik" (pengembangan berurutan dari manifestasi penyakit alergi saat
di usia awal anak-anak), yang memicu kepada asma dan/atau rinitis alergi pada mayoritas penderita
[6]. DA yang awal bisa menjadi faktor kausal dalam perkembangan alergi makanan [7].
Pengamatan baru terhadap DA menunjukkan bahwa keduanya kelainan struktural kulit dan
disregulasi imunitas tubuh berperan penting dalam patofisiologi penyakit ini. Oleh karena itu,
manajemen DA yang optimal membutuhkan pendekatan beragam yang ditujukan untuk
penyembuhan dan melindungi pelindung kulit dan mengatasi imunopatogenesis kompleks penyakit
ini[8, 9]. Artikel ini memberikan ikhtisar literatur terkini yang terkait dengan epidemiologi,
patofisiologi, diagnosis, dan manajemen DA yang tepat.

Patofisiologi
Patogenesis AD tidak sepenuhnya dipahami, namun, kelainan tersebut muncul akibat interaksi
kompleks antara defek pada fungsi pelindung kulit, disregulasi imun, dan lingkungan serta agen
infeksi [4, 5, 10]. Kelainan pelindung kulit tampaknya terkait dengan mutasi di dalam gen atau
gangguan ekspresi dari gen filaggrin, yang mengkode struktural protein essensial untuk
pembentukan pelindung kulit. Kulit individu dengan DA juga telah terbukti kurang ceramides
(molekul lipid) serta antimikroba peptida seperti cathelicidins, yang mewakili lini pertama
pertahanan terhadap banyak agen infeksius. Kelainan pelindung kulit ini menyebabkan kehilangan
air transepidermal (aliran air dari dalam tubuh melalui lapisan epidermis kulit ke atmosfer
sekitarnya) dan peningkatan penetrasi alergen dan mikroba ke dalam kulit. Agen infeksi paling
sering terlibat dalam DA adalah Staphylococcus aureus (S. Aureus), yang berkolonisasi sekitar 90%
dari pasien DA. Respons imun bawaan yang defek juga tampak berkontribusi terhadap peningkatan
infeksi bakteri dan virus pada pasien dengan DA. Interaksi faktor-faktor ini menyebabkan respons
sel T di kulit (awalnya predominan T helper-2 [Th2] dan kemudian lebih predominan respon Th1)
dengan pelepasan chemokine yang dihasilkan dan sitokin proinflamasi (mis., interleukin [IL] - 4,
IL-5 dan faktor nekrosis tumor) yang memicu produksi imunoglobulin E (IgE) dan respons
inflamasi sistemik, menyebabkan inflamasi pruritus dari kulit.

Epidemiologi
Prevalensi DA telah meningkat dalam 30 tahun. Diperkirakan saat ini 10-20% anak-anak dan 1-3%
orang dewasa di negara maju mengalami gangguan ini [11]. DA sering dimulai pada masa awal
bayi; sekitar 45% dari semua kasus dimulai pada 6 bulan kehidupan pertama, 60% selama tahun
pertama, dan 85% sebelum usia 5 tahun. Bahkan, banyak neonatus yang menderita DA sudah
terjadi peningkatan kehilangan air transepidermal pada hari kedua kehidupan mereka [12], dan
temuan ini sangat memprediksi alergi makanan di masa depan [13]. Untungnya, hingga 70% anak-
anak dengan DA akan mengalami remisi klinis sebelum masa remaja [14, 15].
Seperti yang disebutkan sebelumnya, anak-anak dengan DA beresiko tinggi
mengembangkan alergi makanan, asma dan rinitis alergi. DA berat pada masa bayi menjadi faktor
risiko utama alergi terhadap telur dan kacang tanah [7, 13, 16]. Hasil terbaru tinjauan sistematis

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 3


menunjukkan bahwa DA semakin parah dan kronis terutama jika terkait dengan makanan alergi,
dan DA mendahului perkembangan alergi makanan, menunjukkan hubungan sebab akibat [7]. Bukti
juga menunjukkan bahwa mereka yang menderita DA sebelum usia 2 tahun, 50% akan menderita
asma selama tahun berikutnya. Selanjutnya, anak-anak dengan DA yang menderita asma dan rinitis
alergi lebih cenderung memiliki penyakit yang lebih parah[17].

Diagnosis
Tidak ada tes diagnostik khusus untuk DA. Diagnosis dari gangguan ini didasarkan pada kriteria
spesifik yang memperhitungkan riwayat penyakit pasien dan manifestasi klinis. Meskipun berbagai
kriteria diagnostik untuk DA telah diusulkan dan divalidasi, penerapan dari kriteria yang banyak ini
memakan waktu dan sering memerlukan pengujian yang invasif. Tabel 1 menunjukkan kriteria
sederhana yang diusulkan oleh Williams et al. yang mudah digunakan, tidak perlu pengujian invasif,
dan telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnosis DA [18-21].
Menggunakan kriteria ini, diagnosis DA memerlukan adanya kondisi kulit yang gatal (atau laporan
orang tua / pengasuh menggaruk atau menggosok anak) ditambah tiga atau lebih kriteria minor,
yang bervariasi tergantung pada usia pasien.

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 4


Manifestasi klinis DA bervariasi sesuai usia (Tabel 2). Pada bayi, kulit kepala, wajah, leher,
tungkai dan permukaan ekstensor (luar) pada ekstremitas umumnya terkena, sedangkan area popok
biasanya terhindar. Anak-anak biasanya memiliki keterlibatan permukaan fleksi ekstremitas (mis.,
lipat / tekuk di siku dan belakang lutut), leher, pergelangan tangan dan pergelangan kaki (Gambar
1). Di masa remaja dan dewasa, permukaan fleksi dari ekstremitas, tangan dan kaki biasanya terkait
(Gambar 2). Bagaimanapun juga tanpa mengira usia, gatal-gatal yang terkait dengan DA umumnya
berlanjut sepanjang hari dan memburuk di malam hari, menyebabkan tidur terganggu dan gangguan
substansial dalam kualitas hidup [2, 9].

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 5


Terkadang sulit untuk membedakan DA dari kondisi kulit yang lain (mis., dermatitis
seboroik, dermatitis kontak, psoriasis, scabies); bagaimanapun, riwayat atopi keluarga dan distribusi
lesi sangat membantu dalam membuat diagnosis dalam banyak kasus. Psoriasis, misalnya, biasanya
mempengaruhi permukaan ekstensor daripada fleksor, dan sering melibatkan kuku, telapak tangan
tangan dan telapak kaki. Dermatitis seboroik biasanya melibatkan area popok dan kulit kepala pada
bayi, dan wajah pada orang dewasa (mis., sisi hidung, alis, saluran telinga eksternal). Lebih-lebih
lagi, tidak seperti AD, riwayat penyakit atopik keluarga kurang umum pada pasien dengan
dermatitis seboroik atau kontak. Scabies umumnya terkait dengan adanya pustula di telapak tangan,
telapak kaki, genitalia dan di antara jari-jari. Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding DA adalah defisiensi nutrisi, keganasan, dan keratinisasi atau gangguan
imunodefisiensi terkait dengan manifestasi kulit (Tabel 3) [9].

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 6


Asesmen Alergi
Peran yang tepat dari makanan dan aeroallergens dalam patogenesis dan eksaserbasi DA masih
kontroversial. Meskipun sebagian besar pasien dengan DA menunjukkan antibodi IgE spesifik
terhadap makanan dan / atau aeroalergen pada skin prick testing (SPT) dan pengukuran level IgE

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 7


spesifik serum, signifikansi klinisnya masih belum jelas [17, 22]. Dengan kata lain, sementara SPT
atau tes serum spesifik IgE positif menunjukkan sensitisasi terhadap alergen tertentu, ia tidak
membuktikan hipersensitivitas atau penyebab klinis.
Dalam studi klinis, sekitar 35% anak-anak dengan DA sedang hingga berat telah ditemukan
kontribusi alergi makanan [22]. Secara umum, semakin muda pasien dan semakin parah DA,
semakin besar kemungkinannya bahwa alergen makanan tertentu dapat memperburuk penyakit,
namun ini biasanya terlihat dalam riwayat klinis. Sebaliknya, alergi makanan tampaknya memiliki
sedikit peran, jika ada pada DA dewasa [17].
Tes acak atau skrining terhadap alergen makanan tidak direkomendasikan karena ini dapat
menyebabkan pembatasan diet yang tidak perlu pada pasien dengan DA. Nilai prediktif positif dari
panel skrining alergen makanan dalam kasus tersebut serendah 2%, dan dikaitkan dengan
pemanfaatan penjagaan kesehatan yang signifikan.[23]. Karena itu, keputusan untuk melakukan tes
alergi terhadap makanan harus didasarkan pada apakah ada atau tidak riwayat pasien sangat sugestif
terhadap alergi makanan [22]. Perhatikan bahwa anak-anak dengan DA yang dipicu makanan sering
diberikan instruksi untuk memulai diet eliminasi ketat makanan yang menjadi punca. Namun, bukti
terbaru menunjukkan bahwa diet eliminasi ini harus diresepkan dengan hati-hati karena dapat secara
tidak sengaja menyebabkan hilangnya toleransi makanan dan meningkatkan risiko langsung, reaksi
makanan yang dimediasi IgE [24].
Paparan aeroallergens seperti tungau debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, dan jamur
dapat memperburuk DA pada beberapa pasien. Dalam hal ini, identifikasi sensitisasi oleh SPT
mungkin bermanfaat. Jika sensitisasi terrjadi, dan riwayat menunjukkan peran kausatif dalam
memperburuk DA, maka langkah-langkah penghindaran spesifik harus dipertimbangkan karena
pemindahan alergen dari lingkungan pasien dapat memperbaiki gejala DA. Tes patch Atopy masih
dianggap investigasi pada pasien dengan DA karena tidak ada standar metode penerapan atau
interpretasi tes. Namun, tes tempel mungkin berguna untuk menyingkirkan diagnosis dermatitis
kontak bersamaan [17].

Kapur et al. Allergy Asthma Clin Immunol 2018, 14(Suppl 2):52 8

Anda mungkin juga menyukai