Anda di halaman 1dari 14

REFLEKSI KASUS FEBRUARI, 2019

DERMATITIS KONTAK ALERGI

DISUSUN OLEH:

IRA ANDINI PARANSA


N 111 18 026

PEMBIMBING KLINIK
dr. Hj. SENIWATI ISMAIL, Sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU

I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama pasien : Ny. N
2. Umur : 41 Tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : BTN PALUPI PERMAI
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7. Tanggal pemeriksaan : Kamis, 14 Februari 2019

II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama:
Gatal pada kedua telapak tangan.

2. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien perempuan berumur 41 tahun datang ke poliklinik kesehatan
kulit dan kelamin hendak memeriksakan tangannya yang terasa gatal pada
kedua bagian telapak tangan. Keluhan tersebut muncul sejak pasien
sehabis melahirkan. Pasien mengatakan bahwa keluhannya memberat
akhir-akhir ini saat pasien melakukan aktivitas pasien mencuci pakaian
dengan menggunakan sabun detergen bubuk terutama saat detergen baru
dituangkan dan bercampur dengan pakaian saat hendak mencuci baju.
Pasien juga sering menggunakan balsem dan minyak kayu putih yang
dihirup aromanya melalui hidung, saat melakukan hal tersebut pasien
merasakan gatal pada hidung, dan hidung menjadi kemerahan. Aktivitas
lain yang biasanya sering timbul adalah pasien sering bersin-bersin
terutama saaat membersihkan rumah.

2
3. Riwayat penyakit terdahulu:
- Riwayat Alergi (+)

4. Riwayat penyakit keluarga:


- Adik pasien juga menderita hal serupa seperti yang dirasakan oleh
pasien apabila mencuci pakaian menggunakan sabun detergen.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status generalis:
Kondisi umum : Sakit sedang
Status gizi : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
2. Tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Suhu : Tidak diperiksa
Respirasi : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit
3. Hygiene : Baik
4. Status dermatologis :
Kepala : Tidak ada ujud kelainan kulit
Wajah : Tidak ada ujud kelainan kulit
Leher : Tidak ada ujud kelainan kulit
Ketiak : Tidak ada ujud kelainan kulit
Payudara : Tidak ada ujud kelainan kulit
Perut punggung : Tidak ada ujud kelainan kulit
Bokong : Tidak ada ujud kelainan kulit
Genitalia : Tidak ada ujud kelainan kulit

Ekstremitas atas : Terdapat lesi eritematous dengan tampakan vesikel


eksudasi yang sebagian telah pecah dan menimbulkan erosi. Sebagian
lesi telah mengalami skuama.

3
Ekstremitas bawah : Tidak ada ujud kelainan kulit
Kel. limfa : Tidak ada pembesaran

5. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit :


- Rasa raba : Tidak dilakukan
- Rasa nyeri : Tidak dilakukan
- Rasa suhu : Tidak dilakukan

IV. GAMBAR

Gambar 1. Terdapat lesi eritematous dengan tampakan vesikel eksudasi


yang sebagian telah pecah dan menimbulkan erosi. Sebagian lesi telah
mengalami skuama.

4
V. RESUME
Ny. N, berumur 41 tahun datang ke poliklinik kesehatan kulit dan kelamin
memeriksakan pruritus pada regio plantar dextra et sinistra. Keluhan muncul
sejak pasien mmelahirkan, akhir-akhir ini muncul kembali apabila pasien
mencuci pakaian dengan tangan menggunakan sabun detergen bubuk. Pasien
juga sering menggunakan balsem dan minyak kayu putih yang dihirup
aromanya melalui hidung, saat melakukan hal tersebut pasien merasakan gatal
pada hidung, dan hidung menjadi kemerahan.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien adalah 130/80
mmHg, Nadi 80x/menit, Pernafasan 20 kali/menit. Pada Pemeriksaan
efloresensi kulit ditemukan lesi eritematous dengan tampakan vesikel eksudasi
yang sebagian telah pecah dan menimbulkan erosi. Sebagian lesi telah
mengalami skuama.

VI. DIAGNOSA KERJA


Dermatitis Kontak Alergi

VII. DIAGNOSIS BANDING


a. Dermatitis Kontak Iritan
b. Dermatitis Atopik

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN


- Patch Test
- Laboratorium darah lengkap

IX. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Menjaga higienitas kulit.
- Menghindari gesekan pada area lesi.
- Hindari untuk menggaruk

5
b. Medikamentosa:
- Desoximethason Cream 0.25% 5gr 2x1 (pagi dan malam)
- Fusicom Cream 2% 5 gr 2x1 (pagi dan malam)
- Vaseline Album 2x1 (pagi dan malam)
- Ceterizine Tab. 10 mg 1x1
- Metilprednisolon 2 x 1

X. PROGNOSIS
1. Qua ed vitam : ad bonam
2. Qua ed funsionam : ad bonam
3. Qua ed cosmetican : ad bonam
4. Qua ed sanationam : dubia ad bonam

6
PEMBAHASAN

Ny. N, berumur 41 tahun datang ke poliklinik kesehatan kulit dan kelamin


memeriksakan pruritus pada regio plantar dextra et sinistra. Keluhan muncul sejak
pasien melahirkan, akhir-akhir ini muncul kembali saat pasien melakukan aktivitas
mencuci pakaian dengan tangan menggunakan sabun detergen bubuk. Pasien juga
sering menggunakan balsem dan minyak kayu putih yang dihirup aromanya melalui
hidung, saat melakukan hal tersebut pasien merasakan gatal pada hidung, dan
hidung menjadi kemerahan.

Hasil pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien adalah 130/80 mmHg,
Nadi 80x/menit, Pernafasan 20 kali/menit. Pada Pemeriksaan efloresensi kulit
ditemukan lesi eritematous dengan tampakan vesikel eksudasi yang sebagian telah
pecah dan menimbulkan erosi. Sebagian lesi telah mengalami skuama.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan


Dermatitis Kontak Alergi (DKA). Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi
peradangan kulit imunologik karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit
terjadi didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen (fase sensitisasi) yang
umumnya berlangsung 2-3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan allergen
yang sama atau serupa, periode hingga terjadinya gejala klinis umumnya 24-48
jam (fase elisitasi). Alergen paling sering berupa bahan kimia dengan berat
molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh adanya
sensitisasi alergen derajat pajananm dan luasnya penetrasi di kulit. 1

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang dengan keadaan kulit yang sangat peka (hipersensitif).
Dahulu perkirakan bahwa kejadian DKA sebanyak 20% dan DKI sebanyak 80%,
tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitits
kontak alergi akibat kerja ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-60%.1

7
Penyebab dari dermatitis kontak alergi ini berasal dari bahan kimia sederhana
dengan berat molekul rendah (<1000 dalton), disebut juga sebagai hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai
sel epidermis bagian dalam yang hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap
kejadian dermatitits kontak alergi, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu, dan kelembaban
lingkungan. Juga faktor individu misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(keadaan stratum korneum), status imun (misalnya sedang mengalami sakit atau
terpajan sinar matahari).[1]

Faktor Resiko terjadinya dermatitis kontak alergi:


a. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan alergen.
b. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada waktu tertentu.
c. Riwayat dermatitis atopic atau riwayat atopi diri dan keluarga. [1]

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons


imun yang diperantai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui
dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elitisasi. Hanya individu yang telah
mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.[2]

Fase sensitisasi
Hepten yang masuk ke dalam epidermis melawati stratum korneum akan di
tangkap olej sel langerhans dengan cara pinositosis, dan di proses secara kimiawi
oleh enzim lisosom atau sitosol serta di konjugasikan pada molekul HLA-DR untuk
menjadi antigen lengkap. Sel langerhans awalnya hanya beristirahat dan menjadi
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Setelah keratinosit
terpajan oleh hepten yang memiliki sifat iritan, keratinosit melepaskan sitokin (IL-
1) yang akan mengaktivasi sel langerhans dan menstimulasi sel-T. Aktivasi tersebut
menstimulasi untuk meningkatkan sekresi sitokin tertentu (IL-1) serta ekspresi
molekul permukaan sel termasuk MCH kelas I, dan II, ICAM-1, LFA-3, dan B7.

8
Sitokin proinflamasi yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF-ɑ yang dapat
mengaktivasi sel T, makrofag dan granulosit , menginduksi perubahan molekul
adhesi sel dan pelepasan sitokin serta juga meningkatkan MHC kelas I dan II. [2]

TNF-ɑ menekan produksi E-Chaderin yang mengikat sel langerhans pada


epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan
kompleks antigen HLA-DR yang di presentasikan oleh sel langerhans, dan
kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses.
Keberadaan sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik. [2]

Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi


IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi dan diferensiasi Sel-T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan
berubah menjadi Sel-T memori. Sel-T teraktivasi yang meninggalkan kelenjar
getah bening dan beredar ke seluruh tubuh individu yang tersensitisasi. Fase ini
rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. [2]

Fase Elisitasi
Fase kedua (Elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi pada paparan
ulang alergen (hepten) yang sama atau serupa (pada reaki silang) seperti pada fasse
sensitisasi, hepten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secra kimiawi
menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada Sel-T yang
telah tersensitisasi (Sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi yang mengeluarkan IFN-y yang akan mengaktifkan
keratonosit dan mengekspresikan ICAM-1 dan HLA-DR. ICAM-1 memungkinkan
keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang mengaktivasi LFA-1,
sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi langsung dengan sel-
T CD4+. Serentetan proses-proses tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA.

9
Fase ini umumnya berlangsung selama 24-48 Jam. DKA akut ditempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada
vesikel.1 Pada stadium sub akut tampak eritema dan edema berkurang, eksudat
mengering menjadi krusta. Sedangkan stadium yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, hiperpigmentasi, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya
tidak jelas, mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. [2]

Berbagai lokasi terjadi DKA, antara lain:


1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering
digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja
sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi
pada penderita. Pada pekerjaan yang basah (wet work), misalnya memasak
makanan, mencuci pakaian pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis
tangan lebih tinggi. Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak
sekali faktor yang berperan di samping atopi. Contoh bahan yang dapat
menimbulkan dermatitis tangan, misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran,
semen, dan pestisida. [3]

2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada di pakaian. [3]

3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca
mata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka,
ketopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.

10
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut,
maskara, eye shadow, obat tetes mata, salap mata. [3]

4. Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, hearing-aids, gagang telepon. [3]

5. Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian. [3]

6. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat wama,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. [4]

7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanitia, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.Bila
mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid. [4]

8. Paha dan tungkai bawah


Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai. [4]

9. Dermatitis kontak sistemik


Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu
alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi tebatas

11
pada tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan
sampai eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid. [4]

Untuk penatalaksanaan kasus dermatitis kontak alergi dapat di lakukan


dengan medikamentosa dan non medikamentosa. Penanganan non medikamentosa
seperti menghindari faktor penyebab dan faktor resiko seperti:
1. Menghindari kontak dengn bahan alergen
2. Menggunakan sarung tangan ketika hendak kontak dengan bahan
detergen/sabun.
3. Menghentikan pemakaian kosmetik/obat yang tidak cocok
4. Menjaga kebersihan kulit, jika terkena bahan alergen cepat dibersihkan. [5]

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah


mengindari pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya keluhan kulit akan
mereda dalam beberapa hari. [5]

Penatalaksanaan
a. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa (Medikamentosa):
1. Topikal (2x sehari)
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
• Kortikosteroid
Desonid krim 0.05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan
fluosinolon asetonid krim 0.025%).
• Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim
0.1% atau mometason furoat krim 0.1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal. [6]

12
2. Oral sistemik
• Antihistamin hidroksisin (2 x 1 tablet) selama maksimal 2 minggu,
atau
• Loratadine 1x10 mg/ hari selama maksimal 2 minggu. [6]
b. Non Medikamentosa:
1. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan-bahan yang
bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai
sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai
alat pelindung diri untuk menghindari kontak alergen saat bekerja. [6]
2. Konseling dan Edukasi
• Konseling untuk menghindari bahan alergendi rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
• Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan
sepatu boot.
• Memodifikasi lingkungan tempat bekerja. [6]

Kriteria rujukan
a. Apabila dibutuhkan melakukan patch test.
b. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan
sudah menghindari kontak. [6]

Dermatitis akut atau basah harus diobati secara basah (kompres luka). Bila
subakut diberikan losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentun (pasta
pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedangkan pasta pada
daerah yang tidak berambut. Bila kronik diberikan salep. [5]

Prognosis pasien adalah dubia ad bonam secara vitam, fungtionam,


senationam, maupun cosmetican. Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya
baik. Sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. [5]

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, S.A., Soebaryo, R.W. Dermatitis Kontak: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Ed 7th. Jakarta : Badan Penerbit FKUI; 2015
2. Tersinanda, T.Y, Rusiyati L.M.M. Dermatitis Kontak Alergi. Hal.1-13;
2012
3. Marwali, H. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. Jakarta; 2008
4. Dewato, HR. Farmakologi dan Terapi. Ed 5. : histamin dan antianalgetik.
Jakarta; 2010
5. Sulistyaningrum, S.K., dkk. Dermatitis Kontak Iritan dan Alergik pada
geriatri. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas
Indonesia. Vol. 8. No. 1; 29-40; 2014.
6. Djuanda, A., Hamzah, M., dan Aisah, S. 2013, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Keenam, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai