Anda di halaman 1dari 17

REFLEKSI JURNAL

ANAK DENGAN HIRSCHPRUNG

Penyakit hirschsprung merupakan penyakit kelainan kongenital yang masih


menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Penatalaksanaan hirschsprung
anorektal ada 3 tahap yaitu pembuatan kolostomi, pembuatan saluran anus atau PSARP
(paskaerior sagital ano recto plasty), dan yang terakhir tutup kolostomi (Betz &
Sowden, 2009). Pentalaksanaan pada penyakit hirschsprung terdiri dari tindakan non
bedah dan bedah. Tindakan non bedah dilakukan untuk perawatan penyakit hirschsprung
ringan bertujuan untuk menghilangkan konstipasi kronik dengan pelunak feses dan
irigasi rektal. Hirschsprung sedang sampai berat dilakukan tindakan pembedahan.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada
tahap ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan
akan memperbaiki kondisi pasien. Tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.
Colostomy merupakan sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses (Bouwhuizen, 1999 dalam Murwani, 2009).
Lubang kolostomi yang muncul dipermukaan abdomen yang berupa mukosa
kemerahan disebut dengan stoma. Kolostomi dapat dibuat secara permanen ataupun
temporer (sementara) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Murwani, 2009).
Kolostomi bisa memberikan kesempatan pada pasien untuk hidup dan beraktivitas
layaknya manusia normal (Wong et al., 2009). Namun tidak menutup kemungkinan
dampak dari pemasangan kolostomi tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Anak yang terpasang stoma akan mengalami perubahan dari segi fisik dan psikososial
hal ini memengaruhi proses tumbuh kembang anak, anak akan merasa terbatas dalam
melakukan aktivitas. Franz & Wright (2004 dalam Sodikin, 2011) menjelaskan
adanya komplikasi psikologi karena pembedahan kolostomi yaitu perasaan takut
terhadap stigma sosial yang dirasakan terkait penggunaan kantong kolostomi.
Pasien mungkin saja merasa rendah diri karena kondisi tubuhnya yang tidak
normal setelah prosedur colostomy. Klien terlihat agak malu dengan kondisinya ketika
dilihat oleh perawat. Klien An. A ketika dilakukan pembersihan kantong colostomy
merintih nyeri. Klien diberikan teknik distraksi dengan menonton kartun di handphone
ibunya. Setelah itu, klien menjadi lebih tenang dan tidak merintih nyeri lagi.

SUMBER : Nurhidayati, D., Mardhiyah A., Adistie, F. (2017). Kualitas Hidup Anak
Usia Toddler Paska Kolostomi di Bandung. Nurse Line Journal Vol. 2 No. 2.
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN SINDROMA NEPHROTIK

Nefrotik syndrome adalah penyakit glomerulus atau cacat pada permeabilitas


glomerulus yang ditandai dengan manifestasi klinik berupa proteinuria massif,
hipoalbumin berat, edema, dan hiperkolestrol. Kegawatan yang dapat terjadi pada
penderita nefrotik sindrom adalah kelebihan volume cairan. Volume yang berlebihan
(hypervolemia) akan menimbulkan edema dan menyebabkan berbagai masalah baru,
seperti sesak nafas sehingga terjadi masalah keperawatan pola nafas tidak efektif. Dari
sisi medis, apabila tidak ditangani dengan segera dan benar dapat menyebabkan gagal
ginjal.
Masalah keperawatan hipovolemia dapat diberikan intervensi dengan tujuan asupan
cairan menurun, keluaran urine meningkat, edema menurun, tekanan darah membaik,
tugor kulit membaik, dan denyut nadi membaik. Perawat dapat melakukan pemeriksaan
tanda dan gejala hypervolemia (misal ortopnea, dyspnea, edema, JVP meningkat,
refleks hepatojugular, dan suara nafas tambahan), identifikasi penyebab hypervolemia,
monitor status hemodinamik, monitor input dan output cairan, batasi asupan cairan, dan
berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian diuretik.

SUMBER : Putra, G.P. 2020. Studi Dokumentasi Hipervolemia Pada Anak Dengan
Nefrotik Sindrom. Yogyakarta: Akademi Keperawatan YKY
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN RETARDASI MENTAL

Retardasi mental adalah gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan nilai
IQ di bawah rata – rata orang normal dan kemampuan untuk melakukan keterampilan
sehari – hari yang buruk. Retardasi mental juga dikenal dengan nama gangguan
intelektual. Terjadinya gangguan pada kondisi atau perkembangan otak menjadi
penyebab seseorang menderita retardasi mental. Butuh waktu dan keterlibatan banyak
pihak untuk membantu pasien retardasi mental beradaptasi dengan kondisinya
(Rokhman dan Rohmah, 2015).
Anak dengan retardasi mental cenderung tergantung pada orang lain, yang dapat
dilihat dalam aktivitas sehari – harinya seperti kegiatan makan dan minum yang masih
memerlukan bantuan dari orang lain, sehingga anak sulit untuk memenuhi kebutuhan
makan dan minumnya sendiri khususnya dalam hal merawat diri sehingga mereka perlu
diajarkan/dilatih secara khusus dalam bentuk bimbingan dan latihan (Rahmawati et al.,
2012, Somantri, 2012).
Faktor yang mempengaruhi kemampuan anak retardasi mental dalam melakukan
perawatan diri berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
diantaranya berasal dari faktor usia dimana usia pada anak retardasi mental tidak dapat
disamakan dengan usia perkembangan anak normal. Usia pada anak retardasi mental
lebih ditekankan pada perkembangan mentalnya yang setara dengan 8 bulan per tahun
kalender (Semiun, 2010). Selain itu juga faktor internal bisa juga berasal dari
kemampuan kognitif, kondisi fisik, pertumbuhan, dan perkembangan sehingga
perkembangan anak retardasi mental sangat terlambat dibandingkan anak normal.
Terutama dalam perkembangan motorik, bahasa, sosial dan kognitif (Sandra, 2010).
Sedangkan faktor eksternal diantaranya berasal dari faktor lingkungan dan keluarga.
Penanganan umum pada anak retardasi mental adalah masalah pendidikan, edukasi,
dan latihan. Bentuk latihan atau terapi yang sering diajarkan untuk anak retardasi mental
antara lain seperti terapi perilaku, terapi bermain, dan terapi okupasi. Terapi yang paling
cocok digunakan dalam mengatasi masalah dalam merawat diri dari ketiga terapi
tersebut adalah dengan terapi okupasi. Terapi okupasi adalah perpaduan antara seni dan
ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif agar kesehatan
dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan atau
kesibukan kerja untuk penderita cacat mental maupun fisik (Nasir and Muhith, 2011).

SUMBER : NASIR, A. & MUHITH, A. 2011. Dasar-dasar keperawatan jiwa:


pengantar dan teori, Jakarta, Salemba Medika.
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN LUKA BAKAR

Luka bakar adalah cedera jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan panas
kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi (seperti bahan korosif),
barang elektrik (aliran listrik atau lampu), atau energi elektromagnetik dan radiasi.
Laporan WHO tahun 2008, angka kematian tertinggi akibat luka bakar terdapat di Asia
Tenggara yaitu 11,6 per 100 000 populasi dengan penyebab terbanyak adalah api. Tahun
2010 Global Burden of Disease Project melaporkan angka kematian anak akibat luka
bakar di dunia yaitu 4.9 : 100.000 populasi. Di negara maju angka kematian anak luka
bakar sebesar 3% dari seluruh trauma, sedangkan pada negara berkembang 10%.
Luka bakar merupakan salah satu penyebab kecacatan sementara, permanen,
maupun kematian pada anak. Etiologi luka bakar dapat dibedakan menjadi termal, luka
bakar listrik, luka bakar kimiawi, dan radiasi. Menurut World Health Organization
(WHO), angka kematian akibat luka bakar tertinggi di Asia tenggara yaitu 11,6 per
100.000 populasi dengan risiko tertinggi adalah anak – anak. Pada tahun 2014, World
Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 265.000 kematian setiap tahunnya
di seluruh dunia akibat luka bakar. Penilaian klinis berat ringannya sakit merupakan
elemen penting dalam menentukan prognosis dan pelayanan rujukan pada pasien kritis
baik yang dirawat di instalasi gawat darurat (IGD) maupun intensive care unit (ICU).
Sistem rujukan pasien yang kurang tepat akan memengaruhi mortalitas anak dengan
luka bakar. Keterlambatan penanganan merupakan hal yang sangat lazim dijumpai.
Luka bakar pada anak merupakan masalah kesehatan yang penting namun belum
banyak diungkap dibandingkan dengan dewasa. Banyak penelitian di dunia yang
mengaitkan mortalitas dengan karakteristik luka bakar antara lain usia, jenis kelamin,
penyebab luka bakar, kedalaman, luas luka bakar, ada atau tidaknya trauma inhalasi,
penyebab kematian dan sebagainya. Tidak sedikit pasien anak dengan luka bakar yang
dirujuk ke rumah sakit rujukan setelah beberapa lama pasca trauma, yang menyebabkan
penanganan resusitasi awal maupun tindakan operasi terlambat.
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan etiologi, kedalaman, serta luasnya luka
bakar yang menentukan gejala klinis serta beratnya luka bakar. Berdasarkan etiologi,
luka bakar dapat dibagi menjadi empat, yaitu luka bakar termal, luka bakar listrik, luka
bakar kimiawi, dan radiasi. Luka bakar termal adalah luka bakar yang disebabkan oleh
air panas (scald), jilatan api ke tubuh (flash), kobaran api di tubuh (flame) dan akibat
terpajan atau kontak dengan objek panas lainnya (misalnya plastik logam panas, dan lain
– lain). Sementara itu luka bakar listrik adalah kerusakan yang disebabkan arus listrik,
api, dan ledakan. Selanjutnya luka bakar kimiawi adalah luka bakar yang terjadi akibat
pajanan zat yang bersifat asam maupun basa. Yang terakhir luka bakar radiasi (radiation
exposure) adalah luka bakar yang disebabkan pajanan dengan sumber radioaktif.
Luka bakar derajat 1 hanya melibatkan epidermis yang umumnya disebabkan
pajanan sinar matahari dan dapat mengalami penyembuhan cepat. Luka bakar derajat II
mengenai permukaan superfisial dermis disebut dengan partial thickness burn yang
ditandai dengan terbentuknya bula dan umumnya sembuh kurang dari 21 hari. Pada luka
bakar derajat III, terlihat kerusakan yang lebih dalam seperti persarafan bahkan
mengenai tulang. Penilaian luasnya luka bakar memilki peran yang penting dan
berpengaruh terhadap banyaknya cairan yang diberikan. Luas luka bakar ditentukan
berdasarkan total body surface area (TBSA) atau luas permukaan tubuh. Metode yang
seringkali dipakai untuk menentukan luas luka bakar pada anak adalah mengacu pada
Lund Browder chart.
Tatalaksana pada kasus luka bakar pada anak antara lain pertolongan pertama pada
pasien luka bakar oleh tenaga medis maupun orang sekitar dapat mencegah
berkembangnya luka menjadi lebih parah, mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada pasien luka bakar antara lain,
menghentikan kontak korban dengan sumber luka bakar dengan cara melepaskan
pakaian atau menjauhkan kulit penderita. Selanjutnya bagian tubuh yang terkena luka
bakar didinginkan dengan air mengalir selama 10 – 20 menit dan tidak dianjurkan
menggunakan air es ataupun bahan seperti mentega, odol, atau kecap karena dapat
mengiritasi atau infeksi kulit yang terbakar serta menyebabkan kerusakan jaringan lebih
lanjut. Dapat diberikan salep pelembab dan menutup area luka dengan kassa bersih.
Elevasi ekstremitas dilakukan untuk mengurangi edema dan dapat diberikan obat seperti
parasetamol pada anak sebagai anti nyeri. Tatalaksana di rumah sakit yaitu, pasien luka
bakar yang dirujuk ke rumah sakit setelah dilakukan pertolongan pertama, harus ditata
laksana secara tepat, antara lain Penilaian Primer dan Sekunder (Primary and
Secondary Survey), Resusitasi Cairan, Pemberian Nutrisi Adekuat, Medikamentosa,
Perawatan Luka.

SUMBER :
Agbenorku P, Agbenorku M, Filfi-Yankson PK. (2013). Pediatric Burn Mortality Risk
Factors in A Developing Country’s Tertiary Burns Intensive Care Unit.
International Journal Burn Trauma Vol. 32 : 151-8.
Cuttle L, Pearn J, McMillan J, Kimlbe R. (2009). A Review of First Aid Treatment of
Burn Injuries. Burns 35 : 768-75.
Cuttle L, Kempf M, Liu P, Kravchuck O, Kimble R. (2010). The Optimal Duration and
Delay of First Aid Treatment for Deep Partial Thickness Burn Injuries. Burns 36
: 673-9.
Krishnamoorthy V, Ramaiah R, Bhananker. (2012). Pediatric Burn Injury.
International Journal Critical Injury Science Vol. 2 : 128-34.
Lima LS, Sousa Correira VO, Nascimento TK, Chaves BJ, Silva JR, Alves JA. (2017).
Profile of burn victims attended by an emergency unit. Arch Intern Med. Vol. 10
: 1-9.
Moneadjat Y. (2016). Luka Bakar Pediatrik : Kedalaman Luka dan Luas Luka Bakar
Pediatrik. Jakarta : Sagung Seto.
World Health Organization. (2010) About the Global Burden of Disease Project. 2010.
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN FRAKTUR

Kemajuan teknologi saat ini membawa dampak positif dan negatif bagi
kehidupan. Salah satu dampak negatifnya ialah sering terjadi berbagai kecelakaan.
Kecelakaan kendaraan bermotor dan kecelakaan kerja merupakan contoh kejadian
yang dapat menyebabkan fraktur. Pasien yang mengalami fraktur diperlukan
penanganan yang kompeten yaitu tidak hanya mengandalkan pengetahuan atau
teknologi saja melainkan harus ditangani oleh kombinasi pengetahuan dan juga
teknologi. Menurut WHO, pada tahun 2010 angka kejadian fraktur akibat trauma
mencapai 67 juta kasus. Secara nasional, angka kejadian fraktur akibat trauma pada
tahun 2011 mencapai 1,25 juta kasus sedangkan di Provinsi Jawa Timur pada tahun
2011 tercatat 67.076 ribu kasus. Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2011, sebanyak 45.987 kejadian terjatuh dan yang mengalami
fraktur sebanyak 1.775 orang atau 3,8 %. Kejadian kecelakaan lalu lintas sebanyak
20.829 dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang atau 8,5 % serta dari
14.127 kejadian trauma benda tajam atau tumpul yang mengalami fraktur sebanyak
236 orang atau 1,7 %. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan orang yang
mengalami kecelakaan beresiko tinggi mengalami fraktur. Prinsip penanganan
pertama pada fraktur berupa tindakan reduksi dan imobilisasi. Tindakan reduksi
dengan pembedahan disebut dengan reduksi terbuka yang dilakukan pada lebih dari
60% kasus fraktur, sedangkan tindakan reduksi tertutup hanya dilakukan pada
simple fracture dan pada anak – anak. Imobilisasi pada penatalaksanaan fraktur
merupakan tindakan untuk mempertahankan proses reduksi sampai terjadi proses
penyembuhan. Pemasangan screw dan plate atau dikenal dengan pen merupakan
dilakukan dengan prosedur pembedahan, dikenal dengan Open Reduction and
Internal Fixation (ORIF).
Alat fiksasi yang digunakan terdiri dari beberapa logam panjang yang
menembus axis tulang dan dihubungkan oleh penjepit sehingga tulang yang
direduksi dijepit oleh logam tersebut Nyeri pasca pembedahan ORIF disebabkan
oleh tindakan invasif bedah yang dilakukan. Walaupun fragmen tulang telah
direduksi, tetapi manipulasi seperti pemasangan screw dan plate menembus tulang
akan menimbulkan nyeri hebat. Nyeri tersebut bersifat akut yang berlangsung
selama berjam jam hingga berhari – hari. Hal ini disebabkan oleh berlangsungnya
fase inflamasi yang disertai dengan edema jaringan. Lamanya proses penyembuhan
setelah mendapatkan penanganan dengan fiksasi internal akan berdampak pada
keterbatasan gerak yang disebabkan oleh nyeri maupun adaptasi terhadap
penambahan screw dan plate tersebut. Kondisi nyeri ini seringkali menimbulkan
gangguan pada pasien baik gangguan fisiologis maupun psikologis Kompres dingin
dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin dapat mengurangi aliran darah
ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan edema yang diperkirakan menimbulkan
efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls
nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Pemberian kompres dingin dapat
meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga
menstimulasi serabut saraf yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga
menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut kecil α-Delta dan serabut saraf
C. Nyeri yang dirasakan setelah prosedur pembedahan dapat diatasi dengan kompres
dingin. Kompres dingin merupakan suatu terapi es yang dapat menurunkan
prostaglandin yang memperkuat sensitivitas nyeri dan subkutan lain pada tempat
cedera dengan menghambat proses inflamasi. Kompres dingin ini menggunakan
handuk yang dimasukkan ke dalam es batu yang dicampur dengan air dan
meletakkannya di kulit yang dilakukan selama 5 – 10 menit. Secara fisiologis, pada
10 – 15 menit pertama setelah pemberian kompres dingin terjadi vasokonstriksi
pada pembuluh darah. Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan
endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut
saraf yang memiliki diameter besar α-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls
nyeri melalui serabut kecil Delta dan serabut saraf C.
Mekanisme penurunan nyeri dengan pemberian kompres dingin berdasarkan
atas teori gate control. Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi nyeri. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut
C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi
nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen seperti endorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Semakin tinggi kadar endorphin
seseorang, semakin ringan rasa nyeri yang dirasakan. Produksi endorphin dapat
ditingkatkan melalui stimulasi kulit. Stimulasi kulit meliputi massase, penekanan
jari-jari dan pemberian kompres hangat atau dingin.

SUMBER :
Muttaqin A. Buku saku gangguan muskuloskeletal: aplikasi pada praktik klinik
keperawatan. Jakarta: EGC; 2012
Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC; 2007
World Health Organization. Statistics of road traffic accident. Geneva: UN Publications;
2011
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan defek jantung struktural yang terjadi
akibat perkembangan jantung embriologis yang abnormal, atau persistensi dari beberapa
bagian dari sirkulasi fetus saat lahir. Penyakit ini dibagi menjadi dua kategori yaitu
penyakit jantung bawaan non sianosis dan yang sianosis. Penyakit jantung bawaan
disebabkan oleh interaksi antara predisposisi faktor eksogen dan faktor endogen
Penyakit jantung bawaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu PJB dan PJB non
sianotik (asianotik). PJB sianotik merupakan penyakit jantung pada anak yang ditandai
dengan adanya sianosis sentral dikarenakan adanya pirau dari kiri ke kanan sedangkan
PJB asianotik pada anak tidak.
Ditandai dengan sianosis dan memiliki kebocoran pada sekat jantung disertai
dengan adanya pirau atau tidak. Contoh dari pada PJB sianotik ialah tetralogi Fallot
(TOF), transposisi arteri besar, dan atresia trikuspid, sedangkan contoh PJB asianotik
ialah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh
darah seperti pada duktus arteriosus persisten.
Penyakit jantung bawaan sangat sulit untuk dideteksi, hanya sekitar 30% bayi
dengan gejala yang timbul pada minggu pertama dan sekitar 30% pada masa neonatal
yang dapat menyebabkan kematian pada minggu – minggu pertama apabila tidak
terdeteksi dan ditangani sedini mungkin. Anamnesis perlu dilakukan sejak sebelum bayi
lahir karena kebanyakan anomali terjadi sejak bulan keenam kehidupan intrauterin,
yang mungkin menjadi bayi yang lahir hidup.
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) adalah suatu unit yang melakukan perawat-
an intensif pada bayi yang baru lahir, yang memiliki masalah seperti berat badan lahir
rendah, pernapasan yang kurang sempurna, bayi lahir prematur, bayi yang mengalami
kesulitan saat lahir, bayi yang memiliki kelainan jantung, dan memiliki gejala dan tanda
yang mengkhawatirkan sehingga membutuhkan perawatan atau perlakuan khusus. Bayi
yang dirawat di NICU ialah bayi neonatus yang baru lahir hingga 4 minggu awal
kehidupan, yang memiliki kelainan – kelainan bawaan dan penyakit tertentu sehingga
memerlukan perawatan intensif agar bayi tetap hidup. Pada penelitian ini, gejala klinis
berupa sesak napas, demam, napas cepat, kebiruan, kekuningan, muntah, perut
kembung, pembengkakan ekstremitas, kejang, merintih, tidak sadar, kelemahan, dan
berlendir ditemukan bervariasi karena PJB itu sendiri atau oleh karena penyakit
penyerta lainnya. Kinsey dan Whitemenyatakan bahwa gagal jantung secara langsung
dapat menyebabkan terjadinya demam oleh karena peningkatan metabolisme, walaupun
kebanyakkan demam disebabkan karena infeksi dari paru. Penyakit jantung
menyebabkan terjadinya demam dengan mekanisme peningkatan metabolisme
(hipermetabolisme) yaitu melalui peningkatan kerja dari miokardium dan respirasi, serta
ekskresi ketokolammin yang berlebihan. Salah satu penyakit yang menyebabkan
tumpang tindihnya gejala khas gagal jantung ialah sepsis neonatorum yang dapat
menimbulkan gejala demam, distres pernapasan, sianosis, apneu, dan gejala tidak
spesifik lainnya. Pneumonia pada bayi yang baru lahir juga dapat menimbulkan gejala
yang mirip dengan gagal jantung seperti takikardia, retraksi, hipoksemia, dan grunting.
Gejala sianosis pada gagal jantung oleh karena kurangnya perfusi pada jaringan tubuh
karena kegagalan jantung memompa darah ke seluruh jaringan. Gejala sesak napas pada
gagal jantung dapat terjadi disebabkan oleh adanya perubahan patologik pada denyut
jantung dan saturasi oksigen sehingga terjadi kesulitan dan terhentinya napas.

SUMBER :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/22124
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN LEUKEMIA

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum
tulang. Biasanya ditandai oleh proliferasi sel – sel darah putih dengan manifestasi
adanya sel – sel abnormal dalam darah tepi (sel blast) secara berlebihan dan
menyebabkan terdesaknya sel darah yang normal yang mengakibatkan fungsinya
terganggu. Penyakit ini paling banyak di jumpai di antara semua penyakit keganasan
pada anak. Di negara berkembang ALL dijumpai sebanyak 83% dan paling banyak
ditemukan pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Secara epidemiologi, ALL
merupakan 30 – 40% dari keganasan pada anak, puncak kejadian pada usia 2 – 5 tahun
(Kemenkes RI, 2011).
Penatalaksanaan medis untuk penyakit ALL yaitu dilakukan kemoterapi dan
penanganan suportif seperti pemberian tranfusi komponen darah yang diperlukan,
pemberian komponen untuk meningkatkan kadar leukosit, pemberian nutrisi yang baik
dan memadai, pemberian antibiotik, anti jamur, dan anti virus bila diperlukan,
pendekatan psikososial, perawatan di ruang yang bersih dan kebersihan oro-anal (mulut
dan anus) (Kemenkes RI, 2011).
Leucovorin adalah salah satu obat yang digunakan untuk kemoterapi. Leucovorin
adalah obat metabolik aktif asam folat dan koenzim esensial untuk sintesis asam
nukleat. Leucovorin dapat digunakan secara selektif sebagai pendamping obat MTX
yang berfungsi untuk meningkatkan keefektifan fluorourasil. MTX menghambat sintesis
asam nukleat dengan memblokir aktivasi asam folat, sedangkan leucovorin adalah
sebuah asam folat aktif (BC Cancer Drug Manual, 2019).
Efek samping dari pemakaian obat Leucovorin antara lain fatigue, gatal – gatal,
eritema, pruritus, stomatitis, dan diare (BC Cancer Drug Manual, 2019). Sesuai dengan
teori, klien tidak mengalami mual dan muntah, namun klien mengalami penurunan
nafsu makan. Hal yang dapat dilakukan ketika seorang anak mengalami penurunan
nafsu makan yaitu memberikan makanan sesuai dengan keinginan, namun tetap
memperhatikan asupan yang seharusnya dibutuhkan tubuh. Menurut SIKI (2018),
manajemen nutrisi yang dapat dilakukan yaitu dengan menyajikan makanan yang
menarik dan disukai klien, memberikan makanan sedikit tapi sering, dan memberikan
makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi. Intervensi tersebut dapat diajarkan
kepada orangtua klien agar anak tetap mendapatkan nutrisi yang baik.
Selain penatalaksanaan medis, menurut saya dukungan psikologis juga perlu
diberikan. Menurut Hockenberry et al. (2010), selain masalah fisik, anak yang
menjalani kemoterapi juga dapat mengalami masalah psikososial, seperti gangguan
mood, kecemasan, kehilangan kepercayaan diri, penurunan persepsi diri, depresi, dan
perubahan perilaku yang berdampak anak tidak dapat bersekolah. Semua masalah ini
sangat berpengaruh besar terhadap kualitas hidup anak. Kualitas hidup pada anak dapat
menurun. Hasil pengkajian dengan keluarga dan pengamatan saya, karena proses
kemoterapi membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga memungkinkan klien
maupun keluarga merasa hopeless dengan kemoterapi yang sedang dijalani. Selain
waktu, efek samping yang dirasakan klien juga bermacam – macam.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling sering kontak dengan pasien anak
dengan kanker harus dapat meningkatkan asuhan keperawatan pada anak dengan kanker
untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Nurhidayah, 2016). Oleh karena itu, diakhir
saya berbincang dengan keluarga, saya memberikan sedikit semangat untuk keluarga
dan klien, serta doa untuk kelancaran dan kesembuhan klien.

SUMBER :
BC Cancer Drug Manual. (2019). Drug Name : Leucovorin. Revised : 19 August 2019.
Kemenkes RI. (2011). Pedoman Penemuan Dini Kanker Pada Anak. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2010). Wong’s Essential of Pediatric Nursing (8th
edition). Missouri : Mosby Company.
Nurhidayah, I., Hendrawati, S., Mediani, H.S., Adistie, F. (2016). Kualitas Hidup pada
Anak dengan Kanker. Jurnal Keperawatan Padjajaran Vol. 4 No. 1.
REFLEKSI JURNAL
ANAK DENGAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru – paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah
penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan
penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya
sendiri NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi
peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping yang serius dari
imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid dapat dimulai dalam dosis
tinggi.
Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat
terapeutik. Hal ini penting untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan
meruncing ketika saatnya untuk menghentikan obat. Jenis obat yang paling ampuh yang
digunakan untuk mengobati SLE parah termasuk agen imunosupresif. Obat – obat ini
digunakan ketika penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius dimana tanda –
tanda parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada
kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid. Keputusan untuk menggunakan
immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius karena efek samping
signifikan, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi umum.
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi
pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia
subur. systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15 – 40 tahun (selama masa reproduktif)
dengan perbandingan wanita dan laki – laki 5:1).
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan
peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan
peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti
inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan untuk
mengontrol gejala radang sendi, ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan.
Perawat perlu memberitahu orang tua yang kadang-kadang memakan waktu lama
sebelum terapi efek obat antimalaria yang jelas. Perawatan SLE membutuhkan
penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika anak tidak
merespon NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam
mengurangi peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping
yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid dapat
dimulai dalam dosis tinggi.
Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya adalah meruncing ke terendah
tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus
perlahan meruncing ketika saatnya untuk menghentikan obat. Jenis obat yang paling
ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah termasuk agen imunosupresif.
Obat – obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius
di mana tanda – tanda parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat
ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid. Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius karena efek
samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi umum.

SUMBER :
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC.
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus
Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published By
Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue

Anda mungkin juga menyukai