Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kronis merupakan kondisi dimana mempengaruhi kegiatan sehari-hari
selama lebih dari 3 bulan dalam setahun, sehingga menyebabkan anak menjalani
proses perawatan di rumah sakit lebih dari 1 bulan dalam 1 tahun. Penyakit kronis
yang sering terjadi pada anak-anak diantaranya penyakit kordiovaskuler, penyakit
kanker dan hematologi, penyakit kronis pada pernapasan, gangguan endokrin,
gangguan sistem imun, gagal ginjal, penyakit kulit dan disabilitas. Data statistik
menunjukkan bahwa setidaknya terdapat satu dari sepuluh (1:10) anak usia dibawah
15 tahun mengalami sakit kronis. Studi epidemiologis lainnya memperkirakan bahwa
satu pertiga (1/3) anak dibawah usia 18 tahun mengalami satu atau lebih kondisi atau
penyakit kronis. Sakit kronis dapat memengaruhi kondisi anak dan keluarga. Anak
dan keluarga dapat mengalami mental shock, sentiments of anger, berduka, dan
distres berkepanjangan (Nurhidayah, 2018). Kanker dan thalasemia merupakan salah
satu penyakit kronis yang paling sering diderita oleh anak.
Kanker tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi orang dewasa, kanker juga
menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada anak-anak. Kanker berada pada
urutan kedua dari sepuluh penyebab kematian anak dibawah usia 9 tahun di Amerika
Serikat pada tahun 2012 dengan presentasi 12.7%, urutan pertama sebesar 32%
disebabkan oleh kecelakaan dan cedera (National Vital Statistics System, 2015).
Menurut WHO, jumlah angka kejadian kanker pada anak terus meningkat setiap
tahunnya mencapai 110 hingga 130 kasus per satu juta anak pertahun. Menurut data
Union for International Cancer Control (UICC) setiap tahun sekitar 176.000 anak
didiagnosis kanker, mayoritas berasal dari negara berpenghasilan rendah dan
menengah. ICCCPO (International Confederation of Childhood Cancer Parents
Organizations) memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 anak dengan kanker
meninggal setiap tahun atau sekitar 250 anak per hari atau 10 anak per jam. Di
Indonesia terdapat sekitar 11.000 kasus kanker anak setiap tahunnya, dan terdapat
sekitar 650 kasus kanker anak di Jakarta (Kementrian Kesehatan RI). Leukemia
merupakan kanker yang paling sering dialami oleh anak-anak. Pada tahun 2012
terdapat sebanyak 661.191 kasus baru leukemia dan 278.854 kematian akibat
leukemia (GLOBOCAN, International Agency for Research on Cancer).
Selain kanker, penyakit yang juga sering diderita oleh anak adalah thalasemia.
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi
produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia
merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetik ini
diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang untuk membentuk protein yang
dibutuhkan tubuh agar dapat memproduksi hemoglobin. Hemoglobin merupakan
protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong,
2010).
Kemoterapi merupakan treatment primer yang digunakan anak untuk mengatasi
kanker. Terdapat berbagai macam jenis obat kemoterapi yang diberikan dengan suatu
protokol tertentu disesuaikan dengan jenis kanker yang dialami oleh anak. Selain
kemoterapi yang merupakan pengobatan pada kanker terdapat beberapa pengobatan
untuk penyakit kronis lainnya. Salah satunya adalah desferal untuk mengobati
thalasemia, dan beberapa terapi kronik lainnya seperti aquatic therapi untuk anak
dengan cerebral palsy.
Dampak kemoterapi yang diatasi dengan baik mampu meningkatkan kualitas
hidup anak. WHO menjelaskan bahwa dalam menghadapi suatu penyakit paliatif
pada anak, selain diberikan pencegahan dan penanganan, identifikasi dini dengan
pengkajian yang rutin serta penanganan yang baik terhadap nyeri, masalah fisik,
psikologis, psikososial, dan spiritual dapat meningkatkan kualitas hidup anak dan
keluarga (WHO, 2012). Oleh karena itu dalam artikel ini penulis ingin mengetahui
dampak dari kemoterapi, pemberian desferal dan terapi untuk penyakit kronis lainnya
pada anak.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat dalam artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana efek pengobatan kemoterapi pada anak dengan kanker kronis
2. Bagaimanakah efek pengobatan dengan desferal pada anak dengan
thalasemia pada anak?
3. Apakah pengobatan penyakit kronis pada anak banyak memberikan dampak
yang menguntungkan atau sebaliknya?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dampak dari pengobatan kanker dengan kemoterapi pada
anak
2. Untuk mengetahui dampak pemberian desferal untuk anak dengan penyakit
thalasemia serta terapi penyakit kronis lainnya.

1.4 Manfaat
Memberikan informasi kepada pasien, keluarga dan tenaga kesehatan tentang
dampak dari pengobatan dengan kemoterapi, penggunaan dasferal, dan obat-obatan
untuk mengobati penyakit kronis lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengobatan dengan Kemoterapi pada Anak


2.1.1 Kanker
Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar
penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh. Kanker merupakan
neoplasma yang ditandai dengan pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang
kemudian dapat menyerang dan menyebar ke organ lain, proses ini disebut
metastasis. Kerusakan pada DNA (Deoxiribosa Nucleat Acid) sel kanker
menyebabkan mutasi gen vital yang berfungsi untuk mengontrol pembelahan sel,
sehingga pada sel kanker terjadi pertumbuhan sel-sel baru secara terus-menerus, tidak
terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya, tidak terbatas, dan tidak berfungsi secara
fisiologis (WHO, 2009).
Kasus kanker pada anak menjadi penyebab kematian pada anak (Rahmawati,
Gamayanti, & Setyarini, 2016). Salah satunya jenis kanker yang sering dijumpai pada
anak adalah leukemia. Berdasarkan data Yayasan Onkologi Anak Indonesia (2012),
di seluruh Indonesia terdapat sekitar 11.000 kasus kanker baru pada anak yang
ditemukan setiap tahunnya dan 70% dari kasus tersebut merupakan leukemia atau
sekitar 7.700 kasus. Terapi yang dinilai sangat efektif untuk leukemia dan jenis
kanker lainnya adalah kemoterapi.

2.1.2 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan jenis pengobatan yang dinilai paling efektif untuk
mengobati semua jenis kanker. Kemoterapi bersifat kuratif bila dapat mengeradikasi
semua sel-sel kanker sebelum obat tersebut menjadi resisten. Berdasarkan konsep
tersebut, maka pemberian kemoterapi dilakukan secara kombinasi dengan beberapa
jenis obat kemoterapi, seperti pengobatan fase induksi dan profilaksis (SSP) pada
leukemia limfoblastik akut (LLA) (Pui, 1994 dalam Ariawati dkk., 2016). Mekanisme
kerja obat-obat dalam golongan kemoterapi tidak bersifat selektif, artinya obat ini
akan membasmi semua sel yang aktif membelah baik itu sel kanker ataupun sel
normal, contoh sel normal yang aktif membelah yaitu sel sumsum tulang, saluran
pencernaan, folikel rambut, dan sistem reproduksi juga ikut terkena pengaruhnya.
Selama pengobatan dengan kemoterapi, pasien akan mengalami beberapa efek
samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kemoterapi
dapat berupa akut dan jangka panjang. Efek samping akut akan terjadi beberapa jam
sampai beberapa minggu setelah proses kemoterapi. Efek samping ini berupa
mielosupresi, mual, muntah, alopesia, mukositis orointestinal, kelainan fungsi hati,
alergi serta ulserasi lokal.

2.1.3 Efek Kemoterapi pada Anak


Dampak kemoterapi pada anak merupakan hal yang penting untuk dikaji
sebagai deteksi awal menghadapi perubahan fisik dan psikologis, serta mampu
menjadi tindakan pencegahan untuk komplikasi atau efek samping lainnya (Gibson &
Soanes, 2008). Pengkajian perlu ditanyakan pada anak dan orang tua. Namun, anak
dengan usia terlalu muda atau anak usia sekolah pun terkadang sulit untuk
menjelaskan perasaan dan hal yang dialami. Oleh karena itu, pengkajian kepada
orang tua dinilai akan lebih mudah dan efektif karena selama ini orang tua menjadi
jembatan penghubung antara anak dan petugas kesehatan (Dupuis, Milne-Wren, &
Barrera, 2010). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kanada menunjukan hasil
dampak kemoterapi yang dianggap paling berat adalah mood swing (85%), fatigue
(80%), dan tidak bisa bermain (74%), sedangkan dampak yang dirasa paling
mengganggu adalah tidak bisa bermain (50%) dan perasaan cemas (43%) (Dupuis,
Milne-Wren, & Barrera, 2010).
Ranaila dkk., (2016) dalam penelitiannya melaporkan berdasarkan sampel yang
diambil adalah orang tua dari anak dengan penyakit kanker sebagai respondennya
ditemukan bahwa sebanyak 18 responden (60%) mengalami dampak kemoterapi yang
tidak berat, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 12 responden (40%) mengalami
dampak kemoterapi yang berat. Dampak kemoterapi yang paling dirasakan berat oleh
anak adalah rambut rontok, kedua yaitu merasa marah, lalu ketiga suasana hati
berubah-ubah, kehilangan nafsu makan berada dan mual atau perasaan akan muntah
berada pada urutan kelima.
Hasil dari penelitian Ranaila dkk., (2016) menurut orang tua diketahui bahwa
40% anak mengalami dampak kemoterapi yang berat. Sub variabel fisik yang paling
dirasakan berat oleh anak menurut orang tua adalah sub variabel sistem pencernaan
dan perkemihan terutama pada item dampak kehilangan nafsu makan, mual, dan
muntah. Sub variabel psikologis yang paling dirasakan berat oleh anak menurut
orang tua adalah perasaan dan suasana hati terutama pada item dampak perubahan
suasana hati dan merasa marah yang berada pada posisi kedua dan ketiga dari urutan
dampak yang dirasakan berat secara keseluruhan.
Pada aspek fisik, efek yang disebabkan oleh kemoterapi berupa rambut rontok
dan efek ini dianggap paling berat oleh orang tua anak. Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi keparahan tingkat kerontokan rambut diantaranya adalah obat,
dosis, dan jadwal pemberian kemoterapi. Reaksi pasien terhadap kerontokan yang
terjadi akibat efek samping kemoterapi berbeda-beda, sebagian pasien khususnya
wanita menyatakan kehilangan rambut membuat jati diri mereka hilang dan mereka
menjadi tidak percaya diri. Namun pada anak-anak, rambut rontok tidak terlalu
mengganggu.
Sub variabel fisik lainnya adalah gangguan pada sistem pencernaan dan
perkemihan seperti mual dan muntah, variabel ini termasuk dampak kemoterapi yang
dirasa berat oleh orang tua terhadap anaknya. Mual dan muntah yang terjadi pada
anak bisa jadi disebabkan oleh obat kemoterapi yang dikonsumsi anak dalam
pengobatan. Obat kemoterapi yang dikonsumsi anak diantaranya adalah
cyclophospamide, ifospamide, carboplatin, methotrexate, cytabirin,
vincristin,doxorubicin, kortikosteroid (prednisone dan dexamethason) yang memiliki
berbagai macam efek samping. Beberapa obat yang disebutkan oleh orang tua yang
menimbulkan anak mengalami mual dan muntah diantaranya adalah Vincristin,
Methotrexate, dan yang paling sering menyebabkan mual dan muntah adalah
Doxorubicin. Obat kemoterapi menghasilkan 5-HT atau serotonin yang berasal dari
mukosa saluran pencernaan dan mengaktifkan saraf aferen yang berada diperut,
kemudian disalurkan ke pusat muntah sehingga mual dan muntah dirasakan berat oleh
anak. Selain pengaruh obat, faktor lain seperti cemas dan stress juga mungkin bisa
menjadi pemicu mual dan muntah pada anak.
Anak dengan penyakit kanker sangat membutuhkan asupan nutrisi yang cukup
untuk menjaga sistem kekebalan tubuh dan sumber energi bagi anak. Kekurangan
asupan makanan akan membuat anak kekurangan kalori dalam tubuh yang berfungsi
sebagai suplai energi sehingga tubuh menjadi lemas, kadar protein atau albumin
dalam tubuh akan berkurang sehingga bahan pembentuk imunitas tubuh menjadi
berkurang sehingga rentan terhadap infeksi, kekurangan kalori dan albumin juga akan
membuat sel dalam tubuh kelaparan (starving) sehingga akan terjadi pemecahan otot
dan lemak dalam tubuh yang menyebabkan anak akan mengalami penurunan berat
badan serta kehilangan masa otot. Selain berdampak pada aspek fisik anak,
kehilangan nafsu makan juga memberikan efek negatif bagi kualitas hidup anak
(Brisbois, de Kock, & Watanabe, 2011).
Selanjutnya pada efek psikologis, anak yang mendapat kemoterapi sering
merasa marah dan mood swing. suasana hati berubahubah dan mudah marah atau
merasa tidak bahagia adalah salah satu karakteristik dari gangguan perilaku pada
aspek eksternal (perilaku yang terekspresikan). Terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan gangguan perilaku anak berubah diantaranya adalah faktor biologis
(keadaan fisik anak), faktor psikososial (hubungan anak dengan keluarga dan teman
sebaya), faktor sosiokultural (objektifitas dari masyarakat), faktor durasi penyakit dan
lama pengobatan, serta status sosial ekonomi. Hal ini mungkin terjadi karena
beberapa faktor diantaranya adalah faktor biologis yaitu kelelahan yang dialami oleh
anak karena menjalani pengobatan secara terus menerus maka anak akan mengalami
kelelahan sehingga anak harus mengurangi aktivitas. Faktor durasi penyakit dan
lamanya proses pengobatan. Pada penelitian ini didapatkan hasil berdasarkan
lamanya anak menderita kanker, sebagian besar responden menderita kanker selama 1
tahun sebanyak 63,3%.
2.2 Pengobatan dengan Pemberian Desferal pada Anak
Transfusi darah yang dibutuhkan pasien thalasemia berupa PRC (Packed Red
Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien turun dibawah normal (< 10
g/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB. Pemberian transfusi darah akan menyebabkan
pemecahan Hb yang menghasilkan Fe yang dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit
yang baru, namun dengan pemberian transfusi darah secara rutin (berulang) akan
menimbulkan komplikasi dari pemecahan Hb yang berlebih yang dapat menghasilkan
Fe dalam jumlah yang berlebih sehingga sisa Fe ini akan menumpuk atau tertimbun
dalam tubuh manusia, diantaranya :
1. Hemosiderosis, yaitu penumpukan Fe dalam organ baik itu dalam hepar
(berakibat hepatomegali), spleen (berakibat splenomegali), jantung,
pancreas, atau kelenjar hypofise (penurunan growth hormone).
2. Hemocromatosis, yaitu penumpukan Fe di bawah kulit sehingga warna kulit
tampak hitam keabuan.

Penderita thalassemia pada anak membutuhkan transfusi darah berulang untuk


mempertahankan kelangsungan hidupnya. Thalasemia adalah penyakit kelainan
genetik pada darah. Sejak balita, anak-anak yang menderita penyakit ini sudah harus
melakukan transfusi darah setiap 4-6 bula sekali seumur hidup mereka. Efek samping
dari transfusi darah tersebut adalah kelebihan zat besi yang tidak dapat dikeluarkan
oleh tubuh secara alami. Namun apabila tidak dikeluarkan zat ini akan menumpuk di
organ-organ tubuh anak, dan akan menyebabkan komplikasi seperti penyakit jantung
dan liver atau bahkan kematian. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, perlu
pengobatan untuk mengeluarkan kadar zat besi di dalam tubuh anak. Salah satu obat
yang paling sering digunakan untuk terapi ini adalah desferal (desferrioxamine).
Desferal diberikan secara suntikan di bawah kulit. Suntikan ini dilakukan setiap hari,
biasanya berlangsung berjam-jam dengan bantuan alat khusus yaitu syringe driver
(pemompa).
Ternyata, penggunaan desferal juga dapat mengakibatkan kelasi beberapa
mineral penting dalam tubuh termasuk seng, sehingga dapat mengganggu
emostasisnya. Status gizi akan menentukan ketersediaan albumin dan transferin
sebagai alat transpor seng dalam darah, sehingga dapat mempengaruhi juga 8 kadar
seng dalam tubuh (Hallberg et al., 1993 dalam Rachman dkk., 2009). Pada anak yang
menderita thalasemia, untuk mengoptimalkan kualitas hidupnya dibutuhkan kadar
seng yang cukup dalam tubuh. Untuk itu, anak dengan thalasemia yang juga
mendapatkan terapi dengan desferal sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar seng
plasmanya secara rutin.

2.3 Terapi Lain pada Anak dengan Penyakit Kronis atau Terminal
Selain kanker dan thalasemia, terdapat beberapa penyakit kronis lainnya yang
pengobatannya menimbulkan efek merugikan bagi anak. Salah satunya adalah
cerebral palsy atau kelumpuhan otak pada anak. Ada beberapa tipe terapi untuk
meningkatkan kualitas hidup anak yang menderita cerebral palsy. Terapi fisik ini
bertujuan untuk memperbaiki gerakan motorik anak dan keseimbangan tubuh pada
anak yang menderita cerebral palsy, sehingga anak dapat beraktivitas sehari-hari.
Untuk memberikan latihan motorik yang maksimal, anak yang menderita CP harus
secara aktif berperan dalam terapi. Selain terapi fisik dilakukan juga terapi secara
farmakologis menggunakan obat-obatan seperti diazepam, baclofen, diantrolen,
levodopa, dan injeksi toksin.
Terapi-terapi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup anak tidak
selamanya berjalan lancar, terdapat sejumlah efek samping yang ditimbulkan pasca
terapi. Hal yang paling terasa berat yang dijalani anak dengan berbagai jenis penyakit
kronik selain efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan obat adalah kesehatan
mental. Anak-anak yang tumbuh dengan serba kekurangan akan memiliki kesehatan
mental yang buruk. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan hidup yang memandangnya
berbeda atau tidak normal dan juga peran orang tua sangat mempengaruhi kesehatan
mental anak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa terapi untuk
penyakit kronik pada anak, selain dapat meningkatkan kualitas hidup juga dapat
menimbulkan efek samping yang merukan. Oleh karena itu, pentingnya pengawasan
dari tenaga kesehatan serta peran keluarga dan orang tua untuk membantu anak
menjalani pemulihannya.

3.2 Saran
Perlunya dilakukan studi lebih lanjut mengenai dampak dari pengobatan
terhadap semua jenis penyakit kronik pada anak supaya dengan adanya data yang
valid tersebut dapat membantu tenaga kesehatan dalam menjelaskan mengenai
dampak tersebut pada orang tua, sehingga orang tua bisa ikut berperan dalam
mendampingi anak menjalani pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Ariawati, K., Windiastuti, E., & Gatot, D.(2016). Toksisitas Kemoterapi Leukemia
Limfoblastik Akut pada Fase Induksi dan Profilaksis Susunan Saraf Pusat
dengan Methotrexat 1 gram. Sari Pediatri. Vol. 9. No. 4. Hal. 252-258.
Brisbois, T., de Kock, L., & Watanabe, S. (2011). Characterization of
chemotheraphy alteration in advanced cancer reveals pesific chemosensory
phenotypes impacting dietary intake and quality of life. Journal of Pain
Symptom Manage, (pp.673-683).
Dupuis, L., Milne-Wren, C., & Barrera, M. (2010). Symptom Assessment in Children
Receiving Cancer Therapy: The Parents' Perspective. Support Care Cancer,
(pp.281-299).
Gibson, F., & Soanes, L. (2008). Cancer in Children and Young People. Chichester:
John Wiley & Sons Ltd.
GLOBOCAN, International Agency for Research on Cancer (IARC). (2012).
Estimasi Presentasi Kasus Baru dan Kematian Akibat Kanker pada
Penduduk di Dunia. Kementrian Kesehatan RI.
National Vital Statistics System (NVSS). (2015). Death Leading Cause for 2012.
NVSS.
Nurhidayah Ikeu, Hendrawai Sri, dan Sutini Titin. 2018. Pemberdayaan Social
dalam Adaptasi Normalisasi pada Orangtua dengan Anak Kanker di Kota
Bandung. Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat. Vol. 7, No. 2, Juni 2018:
126 – 133.
Rahmawati, E., Gamayanti, I. L., & Setyarini, S. (2016). Pocket Book of Anxiety. For
Parents of Children With Acute Lymphoblastic Leukemia. International
Journal of Research in Medical Sciences , 1438.
Rachmat Ivan, Fadil R., Azhali. 2009. Hubungan Jumlah Darah Transfusi,
Pemberian Deferoksamin, dan Status Gizi dengan Kadar Seng Plasma pada
Penderita Thalasemia Mayor Anak. UNPAD Press, Bandung.
Ranaila R., Mardhiyah Ai, dan Hidayah NO. 2016. Gambaran Dampak Kemoterapi
pada Anak Menuruut Orang Tua di Rumah Cinta Bandung. Jurnal
Keperawatan UNPA.Volume 12, No.2, Oktober 2016, (Hal.143-158)
WHO. (2012). Palliative Definition. Dalam A. Goldman, R. Hain, & L. Stephen,
Oxford Text of Palliative Care for Children Second Edition (hal. 58). New
York: Ocford University Press.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia. (2012). November 23 2020
http://www.yoaifoundation.org.

Anda mungkin juga menyukai