PENDAHULUAN
1
Estimad cases for chilhood cancer USA (2014) memperkirakan >6 juta
penderita baru penyakit kanker setiap tahunnya, 26% diantaranya menyerang
anak. Di Indonesia insidensi kanker pada anak usia 0-14 tahun dijumpai sekitar
2,5% dari insidensi secara keseluruhan kanker pada semua usia, insidensi
leukemia sebesar 44,8%, kanker otak dan sistem saraf sebesar 9,7%, non-Hodgkin
limfoma sebesar 7,5%, tumor wilms sebesar 3,7% (IARC, 2008).
Berdasarkan buku registrasi di Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita selama
2 bulan terakhir (November-Desember 2016), didapatkan penyakit terbanyak
yang dirawat adalah ALL (38%), Thalasemia (31,9%), AML (13%), Nefrotik
Sindrom (9,7%), Hemofilia (6,9%), Anemia Aplastik (6,9%), Tumor Wilms
(5,5%). Dari empat kasus yang dipilih merupakan gangguan hemato onkologi
yaitu AML dan ALL High Risk.
Penanganan kanker pada anak adalah dengan melakukan operasi atau
pembedahan, kemoterapi dan radioterapi, atau gabungan antara kemoterapi dan
radioterapi, selain itu dukungan psikososial juga dibutuhkan pada pasien dengan
kanker (Otto, 2001; Tomlinson & Kline, 2005; Hockenberry & Wilson, 2009).
Terapi yang diberikan pada pasien kanker bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit atau memperpanjang umur, serta meningkatkan kualitas hidupnya
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Prinsip kerja dari kemoterapi adalah membunuh sel-sel kanker yang
berkembang dengan cepat, namun kemoterapi juga menimbulkan efek negatif
yaitu selain membunuh sel-sel kanker juga membunuh sel-sel yang sehat. Efek
negatif atau efek samping pemberian kemoterapi diantaranya mual-muntah,
anoreksia, mielosupresi (menekan produksi darah), kelelahan, rambut rontok dan
sariawan atau mukositis (Otto, 2001, Tomlinson & Kline, 2005; Roe, 2011).
Pemberian radioterapi juga diketahui menimbulkan beberapa efek samping
diantaranya berupa perubahan pada kulit atau mukosa mulut (Tomlinson & Kline,
2005; Otto,2001), selain itu transplantasi stem sel atau transplantasi sumsum
tulang pada pasien kanker juga menimbulkan efek samping yaitu mual, muntah,
diare, anoreksia, mukositis, parotitis, eritema kulit, dan infeksi (Tomlinson &
Kline,2005; Otto, 2001).
2
Penyakit kronik pada anak membutuhkan suatu pendekatan khusus untuk
dapat mengerti kebutuhan anak. Pada beberapa dimensi kondisi penyakit kronik,
masih ada hal yang dirasa kurang adekuatnya pengetahuan mengenai pengaruh
dimensi penyakit kronik pada anak dan keluarga. Kondisi kronik merupakan
kondisi patologis yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif pada semua aspek
kehidupan (Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2005). Kemampuan yang harus
dimiliki oleh anak tidak diperoleh secara lansung, tetapi secara bertahap dan
tergantung pada banyaknya stimulus dan ruang gerak anak dalam mengeksplorasi
lingkungannya. Orang tua memiliki tanggung jawab memberi kesempatan kepada
anak untuk selalu belajar dan banyak mengeksplorasi tubuh dan lingkungannya
pada fase penting perkembangan otak anak sehingga sensomotorik anak
berkembang optimal (Gandasetiawan, 2009). Penyakit kronik pada anak juga akan
mepengaruhi kehidupan keluarga. Respons orang tua ketika anaknya menderita
penyakit kronik dapat bermacam-macam. Orang tua dengan anak yang memasuki
kondisi kronik akan mengalami Chronic Sorrow, dimana orang tua akan merasa
sedih, marah, ragu, dan gagal. Merasa tidak percaya merupakan reaksi emosional
yang sering dialami oleh orang tua (Bowden, Dickey, & Greenberg, 1998).
Koping yang digunakan orang tua dalam menghadapi stressor akan
mempengaruhi koping anak. Hasil penelitian Lasio (1998) menggambarkan
tentang hubungan koping anak, koping orang tua dan penyesuaian psikososial
pada anak dengan LLA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping
yang digunakan oleh anak dan orang tua ada yang positif dan ada yang negatif.
Respon koping berupa distraksi, beribadah, mengkritik diri, menarik diri dari
lingkungan sosial, mencari dukungan sosial, restruktur kognitif, pengaturan
emosi, berfikir penuh harapan, menyalahkan orang lain, pasrah dan pemecahan
masalah. Kritik diri oleh ibu meningkatkan 19% resiko terjadinya masalah
perilaku pada anak.
Teori chronic sorrow merupakan salah satu teori keperawatan yang
termasuk kedalam teori middle range (Alligood, 2014). Chronic sorrow adalah
duka cita yang berkepanjangan yang dihasilkan dari sebuah kehilangan yang
dikateristikkan dengan pervasif (menyebar) dan permanen (menetap) (Alligood,
2014). Pada gejala kehilangan berulang pada waktu tertentu dan gejala ini
3
berpotensi progresif (semakin bertambah parah). Chronic sorrow merupakan
kehilangan yang berulang periodik dan permanen, kesedihan yang perfasif
(meratapi kesedihan) atau kesedihan yang terkait dengan perasaan berhubungan
dengan kehilangan (Eakes, G., Burke, M., Hainsworth, M., 1998). Dalam teori ini
menjelaskan dan memahami orang yang mengalami kehilangan tunggal atau yang
sedang berlangsung. Teori ini digunakan untuk menganalisis respon individu yang
mengalami kesedihan yang berkepanjangan karena penyakit kronis, tanggung
jawab pengasuhan, kehilangan dan berkabung.
Anak tidak dapat dipisahkan dari keluarga. Asuhan keperawatan pada anak
diberikan dengan berfokus pada keluarga atau yang lebih dikenal dengan “Family
Centered Care (FCC)”. Dalam FCC keluarga dipandang sebagai lingkungan
konstan yang berpengaruh dalam kehidupan anak. Anggota keluarga khususnya
orang tua memiliki informasi dan potensi yang penting dalam memperbaiki
kesehatan anak dan kesembuhannya. Keluarga adalah sumber kekuatan dan
semangat primer yang dimiliki oleh anak. Pemberi pelayanan hendaknya
mendukung, menghormati, memberi semangat dan meningkatkan kemampuan
serta kompetensi keluarga melalui kerjasama dengan keluarga (Hockenberry &
Wilson, 2009).
Pada anak dengan leukemia gangguan segi biologis mungkin dapat diatasi
melalui pengobatan dan perawatan yang intensif, salah satunya melalui
kemoterapi, tetetapi untuk masalah psikologis saat ini masih perlu digali lebih
dalam lagi. Dukungan dari orang tua dan lingkungan seharusnya dapat
mengurangi stresor pada anak akibat penyakit yang dialaminya agar anak dapat
memenuhi tugas pertumbuhan dan perkembangannya dengan optimal. Disisi lain,
orang tua sebagai pemberi perawatan utama pada anak juga mengalami stres
karena menghadapi kondisi kronis pada anaknya. Maka dari itu pengembangan
terhadap ilmu pengetahuan dibidang perawatan sangat diperlukan untuk
membantu anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Melalui asuhan
keperawatan yang berfokus pada keluarga (Family centered care) intervensi pada
koping orang tua diharapkan dapat mengoptimalkan pencapaian tumbuh kembang
anak. Kemampuan orang tua untuk menghadapi stres tersebut tergantung pada
mekanisme koping yang digunakan. Koping yang positif akan meningkatkan dan
4
membantu orang tua dalam melewati proses berduka dan tahap penerimaan
terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan orang tua. Hal inilah yang
menjadi latar belakang penulis menerapkan teori chronic sorrow untuk mengatasi
masalah berduka pada anak yang dirawat dengan leukemia di ruang Anggrek di
RSAB Harapan Kita Jakarta.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran kegiatan pelaksanaan praktik aplikasi mahasiwa
magister keperawatan anak dengan penyakit leukemia, mengaplikasikan
model chronic sorrow pada asuhan keperawatan berduka pada anak yang
mengalami penyakit leukemia di ruang Anggrek RSAB Harapan Kita Jakarta
5
gambaran kasus, tinjauan teoritis, integrasi teori dan konsep keperawatan dalam
proses keperawatan, aplikasi teori keperawatan pada kasus terpilih. Bab tiga
mencakup pencapaian kompetensi praktik keperawatan anak. Bab empat adalah
pembahasan yang terdiri dari penerapan Model Chronic sorrow dalam asuhan
keperawatan berduka pada orang tua yang merawat anak dengan penyakit
leukemia dan pembahasan praktik aplikasi keperawatan anak dalam pencapaian
target kompetensi. Karya ilmiah ini diakhiri dengan Bab lima mencakup simpulan
dan saran untuk proses perbaikan praktik aplikasi keperawatan anak serta
lampiran-lampiran yang terkait dengan pelaksanaan praktik ini.