PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mengetahui mutu pengobatan dan perawatan pasien anak leukemia
limfoblastik akut secara signifikan menggunakan kualitas hidup. Dengan
meningkatnya kualitas hidup anak leukemia limfoblastik akut, menunjukkan
bahwa meskipun dalam kondisi sakit dan pengobatan, anak tetap dapat
menjalani kehidupan dengan baik.(Novrianda, 2021).
Dalam mengukur kualitas hidup dari segi kemampuan atau fungsi pasien
selama sakit. Secara konseptual di dunia keperawatan, kualitas hidup bersifat
unik dikarenakan bisa memberikan pengaruh prognosis kondisi penderita.
Terutama pasien dengan penyakit kronis, kualitas hidup menjadi berguna
sebagai satu diantara indikator kelangsungan hidup pasien.(Novrianda, 2016).
Kualitas hidup terkait pandangan masyarakat tentang kualitas terutama
terkait budaya, kehidupan sosial, serta lain-lain, yang mencakup tujuan hidup,
harapan, standar, dan elemen tentang kehidupan mereka. Kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan adalah perbedaan antara perasaan, interaksi
sosial, lingkungan, hubungan, kepuasan, harapan dan tujuan, dan kepuasan
keseluruhan dengan hidup. Kualitas hidup terbagi banyak dimensi: kesehatan
fisik dan mental, lingkungan, dan interaksi sosial. (Corella Aznar et al., 2019).
Kanker darah, juga disebut leukemia, terjadi pada sel darah. Ini dapat
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, dan memiliki angka yang tinggi di
Indonesia. Pengobatan leukemia tergantung pada risiko penyakit serta jenis
penyakitnya., dan pada pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kematian
yang umum terjadi pada anak-anak dengan leukemia. Ada banyak cara untuk
mengobati leukemia. Untuk tipe yang kurang agresif, hanya pemantauan yang
mungkin diperlukan. Jenis yang lebih agresif memerlukan kemoterapi dan,
dalam beberapa kasus, terapi radiasi dan transplantasi sel induk. Leukemia
dapat menyerang orang-orang dari segala usia, termasuk anak-anak. Tidak
seperti leukemia dewasa, tidak ada tindakan pencegahan untuk leukemia anak.
Penyebab leukemia pada anak masih belum pasti. Faktor risiko leukemia anak
termasuk radiasi, faktor genetik, karsinogen kimia, dan virus. Kanker
darah/leukemia menjadi satu diantara hal yang menyebabkan kematian bagi
anak dibandingkan dengan jenis kanker lainnya (Yusuf, 2017)
Sel darah menjadi berlipat ganda secara tidak terkendali ketika sistem
hematopoietik terkena leukemia. Sumsum tulang, di mana sebagian besar sel
hematopoietik ditemukan, tidak dapat berfungsi dengan baik ketika sel hall
berkembang dalam sel sehat karena berkurangnya apoptosis dan peningkatan
proliferasi sel. Leukemia biasanya menyerang anak-anak. (Kulsum, Mediani, &
Bangun, 2017).
Pada tahun 2019, 16.291 anak di Indonesia telah terdiagnosis kanker.
Menurut Survei Kesehatan Dasar (Riskesdas), penyakit leukemia menyerang 1
dari setiap 3 penderita kanker anak. Leukemia adalah penyakit yang
mempengaruhi sel darah di sumsum tulang, dan bisa sangat berbahaya. Angka
kejadian leukemia secara nasional di usia sekolah tergolong tinggi. Gejala
leukemia termasuk demam yang tidak dapat dijelaskan, nyeri tulang,
pendarahan dan memar, penurunan berat badan, pucat, kejang, dan kehilangan
kesadaran. Setiap anak yang menunjukkan tanda-tanda ini harus dibawa ke
dokter sesegera mungkin untuk memverifikasi diagnosis leukemia.
Deteksi dini leukemia memiliki dampak besar pada efektivitas pengobatan
yang lebih efektif. Perawatan yang dapat diberikan termasuk kemoterapi dan
perawatan suportif seperti transfusi darah, peningkatan jumlah sel darah putih,
nutrisi, atau pendekatan psikososial. Di Indonesia, angka harapan hidup anak
penderita leukemia limfoblastik akut (LLA) yang dilaporkan adalah 70-80%.
( IDAI, 2021).
Seperti orang dewasa, leukemia kanak-kanak memerlukan serangkaian
perawatan obat, terutama kemoterapi setelah operasi, untuk menghancurkan sel
kanker sepenuhnya. Namun, penelitian oleh Hashemi et al. (2011) tentang
dampak pendidikan orang tua terhadap kualitas hidup anak dengan leukemia,
peneliti menemukan terkait anak dengan leukemia dapat mengalami efek
pengobatan berupa penurunan kualitas hidup fisik dan emosional. Fungsi sosial
dan kemampuan psikologis dan kognitif harus diperhitungkan karena
perubahan kualitas hidup berdampak besar pada kualitas hidup anak.
Lebih lanjut disebutkan Perencanaan intervensi pendidikan yang efektif
dari orang tua, akan menurunkan tingkat stres serta kualitas hidup yang
cenderung tinggi pada anak-anak dengan leukemia. Studi ini menjelaskan
ketentuan mendidik orang tua tentang efek leukemia pada kualitas hidup anak-
anak yang terkena dampak dari keluarga mereka, dan metode yang tepat untuk
menghadapi masalah konsekuensial. Anggota tim terapi, terutama perawat,
harus dilatih dalam hal ini untuk dapat untuk memenuhi persyaratan orang tua
ini. Sebaiknya siapkan klinik konsultasi di pusat-pusat memberikan perawatan
kesehatan kepada anak-anak leukemia, di mana perawat menawarkan
sosialisasi untuk orang tua anaktersebut dan memungkinkan mereka untuk
menghadapi dan menyelesaikan masalah berikutnya secara mandiri.
(Novrianda, 2021).
Berdasarkan data dari Ruangan Lili dan Poli Seruni, diperoleh data
penderita leukemia anak di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau selama
Januari 2019 – Januari 2021 berjumlah 75 orang. Rata-rata menyerang rentang
usia 7-10 tahun sebesar 39,5%, dengan kata lain anak usia 7-10 merupakan
anak pada usia sekolah (Sumber: RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Tahun
2021).
Dampak yang merugikan bagi pasien anak usia sekolah dengan Leukemia
dan yang menjalani kemoterapi menyebabkan gangguan fisik anak meliputi
sakit karena mukosistis, anemia aplastik, muntaber, rambut merontok,
gangguan kulit, nausea dan vomitus, serta gangguan kesehatan mulut dimana
efek tersebut dapat menimbulkan kecemasan pada pasien Leukemia terutama
pada pasien anak (Smeltzer & Bare, 2020). Tidak hanya itu, kemoterapi
menyebabkan perubahan psikologis anak penderita Leukemia yang sedang
menjalani kemoterapi diantaranya adalah timbulnya kecemasan menjadikan
anak enggan bersosialisasi bersama sekitarnya. Perubahan yang terjadi pada
pasien terutama pada anak-anak akibat efek kemoterapi merupakan salah satu
kejadian yang paling menakutkan dan dapat menjadi perhatian pasien dan
keluarga, sehingga dukungan keluarga sangat penting.
Peran keluarga terutama kedua orang tua amat penting dalam pengambilan
keputusan untuk anak dengan penyakit leukemia. Sebuah keluarga diperlukan
selama perawatan. Rawat inap sering kali membawa stres dasar pada anak,
seperti kecemasan akan perpisahan, trauma fisik, dan rasa sakit (Wong et al.,
2018). Anak membutuhkan dukungan keluarga karena hal ini dapat
mempengaruhi pengobatan dan kesehatan anak. Jika dukungan keluarga baik
maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan relatif stabil, namun jika
dukungan keluarga kurang baik maka akan menimbulkan hambatan pada anak
dan mengganggu psikologi anak. merupakan faktor terbesar dalam
membesarkan anak. Meskipun petugas kesehatan memberi perawatan, mereka
kesulitan menggantikan peran anggota keluarga.
Dukungan Keluarga membantu anggota lainnya agar menyiapkan barang,
jasa, informasi dan nasihat menjadikan mereka yang menerima merasa dicintai,
dihargai dan nyaman. Dukungan berupa sikap, tindakan dan penerimaan dari
keluarga pasien. Anggota keluarga mempercayai untuk memberi mereka
bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan. Dukungan keluarga
menjalankan fungsi suatu keluarga. Jenis dukungan mental dan material yang
dimiliki anggota keluarga terhadap anggota lainnya. Diberikannya dukungan
keluarga mempengaruhi kepercayaan pasien saat pengobatan penyakitnya
(Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Keluarga menjadi salah satu dukungan sosial sebagai faktor kunci bagi
perawatan anggota yang sakit. Sementara petugas kesehatan hanya memberi
perawatan, sehingga tidak bisa menggantikan peran anggota keluarga
(Videbeck, 2016). Seperti prinsip perawatan yang berpusat pada keluarga,
fungsi keluarga menjadi kekuatan dan dukungan mendasar bagi anak-anak
yang sakit ketika mereka dirawat secara klinis. Peran perawat dalam prinsip ini
adalah untuk mendorong anggota keluarga untuk terus mendukung orang
tersebut bahkan di rumah sakit, dan kekuatan keluarga seperti kasih sayang dan
perhatian harus dipertimbangkan sebagai sumber daya bagi individu.
Pentingnya dukungan keluarga bagi pasien leukemia dalam menjalani
kemoterapi telah diperkuat oleh adanya hasil penelitian terkait hubungan
dukungan sosial keluarga bagi tingkat kecemasan serta kepatuhan pasien
Leukemia ketika perawatan kemoterapi.
Studi Setyaningsih, Makmuroch, dan Andayani (2015) sebanyak 50
penderita kanker dirawat dengan kemoterapi dalam RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, menghasilkan Dukungan emosional keluarga meningkatkan
kerentanan terhadap leukemia pada pasien anak. Dukungan sosial keluarga
baik internal serta eksternal. Dukungan sosial keluarga dari anggota inti,
sedangkan dukungan luar berasal dari keluarga inti lainnya seperti mertua,
saudara jauh atau teman sebaya (Friedman et al. 2015). Selain itu, dukungan
keluarga diartikan sebagai sikap, perilaku penerimaan anggota keluarga, dan
bentuk pertukaran informasi antarpribadi, diantaranya emosional, harga diri,
jaringan, evaluasi, altruistik, dll. Jadi dukungan keluarga berupa jalinan
antarindividu yang diantaranya perhatian, perilaku serta penghargaan yang
membuat lebih dipedulikan.
Dalam studi percontohan yang dilakukan oleh para ilmuwan pada 13
September 2021, datanya berasal dari wawancara dengan lima anak leukemia
usia 9-17 tahun dan 5 orang tua yang menunggu anaknya yang menderita
leukemia di Ruangan Lili RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Hal ini dapat
dilihat dari pasien anak leukemia usia 9 tahun yang pertama diwawancara pada
sebelumnya putus berobat tidak mau kemoterapi karena sakit di tusuk jarum
dan mual muntah. Dukungan keluarga sebagai ayah dan ibu kandung yang
diberikan pada anak memotivasinya untuk berobat kembali. Pasien anak
leukemia yang kedua usia 17 tahun sudah menjalankan kemoterapi selama 3
bulan, pasien tampak murung, lemas, berbaring di tempat tidur dan menarik
diri tidak mau di ajak bicara dan tidak kooperatif. Dukungan yang diberikan
ibu kepada anaknya memberi semangat untuk bertahan hidup anaknya yang
saat ini menjalani pengobatan dan mengantar ke rumah sakit untuk kemoterapi.
Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti terdorong meneliti terkait
“Gambaran Dukungan Keluarga dan Kualitas Hidup Anak Leukemia Usia
Sekolah”.
B. Rumusan Masalah
Kanker darah atau yang lebih dikenal dengan Leukemia merupakan
penyebab kematian tersering pada anak usia sekolah (6-12 tahun). Diagnosis
leukemia pada masa kanak-kanak dapat mempengaruhi kualitas hidup anak,
terutama saat mereka tumbuh dan berkembang. Banyak faktor yang akan
mempengaruhi kualitas hidup anak, sehingga anak penderita kanker darah akan
memiliki kualitas hidup yang sangat baik. Dukungan keluarga adalah
membantu anggota keluarga lainnya dengan barang, jasa, informasi, dan saran
untuk membantu membuat mereka yang menerima dukungan merasa dicintai,
dihargai, dan nyaman.
Atas dasar diskusi awal, pertanyaan penelitian diajukan: "Apakah
dukungan keluarga mempengaruhi kualitas hidup anak usia sekolah dengan
leukemia?"
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan umum yaikni menggambarkan dukungan keluarga dan kualitas
hidup anak leukemia usia sekolah.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus diantaranya:
1. Mengindentifikasi karakteristik responden, termasuk Jenis Kelamin,
Usia, Pendidikan.
2. Mengetahui bagaimana dukungan keluarga.
3. Mengindentifikasi bagaimana kualitas hidup anak leukemia usia
sekolah.
D. Manfaat Penelitian
Berikut merupakan manfaat dari penelitian ini:
a. Manfaat bagi perkembangan keilmuan keperawatan
Penelitian ini juga dijadikan sebagai bentuk sumbangan referensi bagi
penelitian lainnya tentang dukungan keluarga dan kualitas hidup anak
leukemia usia sekolah.
b. Manfaat bagi Rumah sakit
Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi yang bermanfaat bagi anak
penderita leukemia dan keluarganya untuk memberikan pelayanan yang
komprehensif.
c. Manfat bagi Keluarga dan Anak Penderita Leukemia
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai infromasi dan pengetahuan bagi
keluarga dengan anak penderita leukemia.
d. Manfaat bagi Peneliti Berikutnya
Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi yang berguna untuk
penelitian lebih lanjut tentang dukungan keluarga terhadap kualitas hidup
anak usia sekolah dengan leukositosis.
E. Keaslian Penelitian
Peneliti menentukan keaslian penelitian peneliti dan berdasarkan
pengetahuan peneliti sebagai penulis penelitian dengan judul Pengaruh
Dukungan Keluarga Terhadap Kualitas Hidup Anak Leukemia Usia Sekolah,
peneliti yakin tidak ada penelitian yang memiliki judul yang sama dengan
penelitian saya, tapi mungkin ada penelitian serupa dengan penelitian yg
ditulis oleh peneliti, seperti:
Tabel 1
Keaslian Penelitian
No Judul Penelitian Persamaan Perbedaan
1. Hubungan Dukungan - Penggunaan - Teknik pengambilan sampel
Keluarga Dengan Tingkat kuesioner dengan metose sensus
Kecemasan Pada Anak - Jenis penelitian - Fenomena dalam masalah
Leukemia Akibat kuantitatif penelitian
Kemoterapi Di RSUD - Variabel penelitian - Grand teori yang digunakan
Arifin Achmad Provinsi yaitu dukungan - Menggunakan teknik analisa
Riau keluarga regresis linear sederhana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Konsep Dukungan Keluarga
a)Pengertian
Friedman (2015) menyatakan bahwa dukungan keluarga adalah
suatu sikap, yaitu penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga, dan
bentuknya meliputi dukungan informasi, dukungan evaluasi, dukungan
alat, dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga merupakan
suatu bentuk hubungan interpersonal yang melibatkan sikap, perilaku,
dan penerimaan anggota keluarga yang membuat mereka khawatir.
Orang-orang dalam lingkungan sosial yang mendukung sering kali
mengungguli mereka yang tidak karena dukungan keluarga diyakini
dapat mengurangi atau mengurangi pengaruh individu terhadap
kesehatan mental. Dukungan keluarga adalah bantuan yang diberikan
kepada anggota keluarga lainnya dalam bentuk barang, jasa, informasi
dan nasehat untuk membantu membuat mereka yang menerima
dukungan merasa dicintai, dihargai dan nyaman.
Dukungan ini merupakan sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap pasien. Anggota keluarga percaya bahwa pendukung
akan ada untuk memberikan bantuan dan dukungan yang mereka
butuhkan. Dukungan keluarga yang diterima oleh anggota keluarga dari
anggota keluarga lainnya untuk menjalankan fungsi keluarga. Bentuk
dukungan anggota keluarga terhadap anggota keluarga bersifat spiritual
atau material. Adanya dukungan keluarga dapat berdampak pada
peningkatan kepercayaan pasien terhadap pengobatan (Misgiyanto &
Susilawati, 2015).
1. Usia
Usia memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas hidup manusia, dan
dengan bertambahnya usia kualitas hidup manusia semakin menurun.
Seiring bertambahnya usia, Anda putus asa bahwa hal-hal yang lebih baik
akan terjadi di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer
(2016), orang dewasa memiliki rata-rata kebahagiaan yang lebih tinggi di
masa dewasa
2. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup,
menurut Wahl et al. (2014), mereka menemukan bahwa kualitas hidup
meningkat dengan semakin tingginya pendidikan yang diperoleh
seseorang. Hal ini dikarenakan masyarakat dengan tingkat pendidikan
rendah merasa minder dan merasa tidak berguna.
3. Status Pernikahan
Individu yang telah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi
daripada individu yang tidak menikah. Karena pasangan yang menikah
akan merasa lebih bahagia dengan adanya pasangan yang selalu
menemaninya.
4. Keluarga
Keluarga menjadi penentu dalam kualitas hidup. Orang dengan keluarga
yang lengkap dan harmonis memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.
Karena keluarga dapat memberikan dukungan dan perawatan untuk
meningkatkan kualitas hidup anak leukemia.
Secara umum, terdapat 2 tipe utama instrument QoL yaitu umum dan
khusus penyakit (disease-spesific). Instrumen QoL umum dirancang untuk
mengukur kualitas hidup melalui berbagai kondisi penyakit dan populasi, serta
subjek sehat. Instrument ini mencakup spectrum luas dari fungsi sehari hari
meliputi fisik, sosial, psikologis; kecacatan dan disstres yang relevan dengan QoL
individu .Instrumen QoL khusus penyakit dirancang untuk digunakan dengan
populasi tertentu atau kondisi penyakit dan focus pada area yang menjadi
perhatian khusus bagi kelompok target. Instrumen ini sangat bermanfaat ketika
mengukur efek dari intervensi medis pada kualitas hidup pasien (Novrianda,
2016).
Gambar. 1
Instrumen QoL Umum di Unit Hematologi - Anak
Sumber: Novrianda, 2016.
3. Konsep Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah adalah usia paruh baya 6-12 tahun (Santrock, 2018),
dan menurut Yusuf (2017), anak usia sekolah yang mampu merespon
Biasanya, anak-anak mulai sekolah pada usia 6 tahun dan sejak saat itu
orang luar,, mereka beradaptasi bersama. Saat anak memasuki usia sekolah,
hal-hal baru dapat berpengaruh terkait pola makan. Anak-anak merasa senang
di sekolah dan rajin, yang dapat menjadikan anak-anak tersebut pola makannya
Menurut Hardinsyah dan Suparias (2017), anak sekolah dicirikan oleh anak
sekolah yang sehat (6-12 tahun) yang ditandai dengan bermain di luar ruangan,
aktivitas fisik yang intens, paparan sumber penyakit dan gaya hidup yang tidak
sehat. tidak sehat. Secara fisik, dalam kehidupan sehari-hari, anak sangat aktif
bergerak, berlari, melompat, dll. Karena anak-anak sangat aktif, pasokan zat
gizi yang tidak seimbang dapat menyebabkan berbagai masalah gizi, termasuk
kekurangan gizi (kekurangan energi dan protein), anemia defisiensi besi,
defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium.
Anak sekolah membutuhkan gizi penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kognitif mereka, sehingga mereka membutuhkan zat gizi makro:
karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi mikro, termasuk vitamin dan kana
secronto, dan gigi permanen akan menua. Anak-anak juga lebih aktif dalam
memilih makanan kesukaannya. Kebutuhan energi mereka lebih besar karena
mereka lebih banyak melakukan aktivitas fisik (Hardinsyah dan Supariasa,
2017).
4. Konsep Leukemia Pada Anak
Darah terdiri dari banyak sel yang berbeda. Leukemia adalah
penyakit di mana proliferasi sel darah yang belum matang menjadi tidak
terkendali, menyebabkan pertumbuhan sel abnormal di sumsum tulang. Sel
leukemia juga menyerang limpa, hati, dan jaringan retikuloendotelial lainnya.
Leukemia adalah penyakit ganas. (Wirawan R. 2016).
Kanker darah atau sumsum tulang disebut leukemia. Leukemia
mempengaruhi sumsum tulang dan kelenjar getah bening, menyebabkan
pertumbuhan sel menjadi cepat di luar kendali. Penyakit ini terjadi pada sel
darah putih (leukosit), menggantikan sel-sel yang ada sebelumnya dengan sel
yang berbeda dan tidak sehat. Leukemia juga dapat ditemukan pada darah
penderita leukemia (Wirawan R. 2016).
Leukemia dikategorikan menurut jenis sel apa yang terlibat: baik pada
tahap apa sel itu berada, dan dari garis mana sel itu berasal. Jika sel-sel ganas
sebagian besar adalah sel-sel yang belum matang, seperti blas, maka leukemia
dianggap leukemia akut. Jika sel yang dominan adalah jenis sel dewasa, maka
leukemia dianggap leukemia kronis. Ada dua jenis utama leukemia: limfoid
dan myeloid. Leukemia mieloid meliputi garis keturunan sel granulositik,
monositik, megasitik, dan eritrositik (Launder TM, 2015).
Berikut empat jenis leukemia:
1) leukemia mieloid akut. LMA menyerang sel-sel sistem hematopoietik,
yang kemudian berdiferensiasi menjadi semua sel sumsum, monosit,
granulosit, eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok umur dapat terkena
dan insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Ini adalah leukemia
non-limfositik yang paling umum.
2) Leukemia mieloid kronis. LMC juga merupakan bagian dari sistem
keganasan sumsum tulang. Namun, dibandingkan dengan bentuk akut,
banyak sel normal dan oleh karena itu penyakitnya lebih ringan. LMC
jarang menyerang orang di bawah usia 30 tahun. Presentasinya mirip
dengan AML, tetapi dengan gejala yang lebih ringan, pasien tidak
menunjukkan gejala selama bertahun-tahun, memiliki jumlah sel darah
putih yang tinggi, dan limpa yang membesar.
3) Pertumbuhan abnormal limfosit disebut leukemia limfositik. Ini paling
sering terjadi pada anak-anak, dan lebih sering pada pria daripada wanita.
Insiden tertinggi untuk anak-anak antara 4 dan 5 tahun, dan setelah 15
tahun, leukemia tidak umum. Leukemia menyebabkan sel-sel getah bening
tumbuh secara tidak normal di sumsum tulang dan area tubuh lainnya,
menyebabkan sel-sel berkembang tidak semestinya.
4) Leukemia limfositik kronis. LLC adalah penyakit ringan yang diakui pada
orang berusia 50-70 tahun. Gejala Pasien tidak menunjukkan gejala dan
hanya didiagnosis dengan pemeriksaan fisik atau pengobatan untuk
gangguan lain (Arif, 2015).
Kegagalan sumsum tulang biasanya merupakan masalah klinis terbesar
dengan Leukemia Limfoblastik Akut (ALL), karena akumulasi sel yang
disebut blast hemopoetic progenitor. Penyakit ini juga dapat menyebabkan
keganasan, dan perkembangan penyakit ini dianggap agresif.
LLA adalah proliferasi sel ganas limfoid yang dihambat pada tahap awal
diferensiasi, terdiri dari limfosit imatur, prekursor B (pre-B) atau T (pre-T)
yang dikenal sebagai limpoblas dan sekitar ¾ merupakan limfositik akut dari
semua kasus leukemia. Kasus terbanyak terjadi di anak yang berusia 3-7 tahun
serta diikuti di usia 10 tahun.
Penyebab pasti LLA belum diketahui. Biasanya akibat radiasi tinggi,
bahan kimia, obat-obatan, virus dan kelainan genetik telah dilibatkan sebagai
etiologi Leukemia Limfoblastik Akut. Penyebab LLA masih belum diketahui
faktor genetik dan kromoson abnormal kemungkinan memberikan kontribusi
dalam perkembangannya. Pada LLA, limfoblas abnormal memenuhi jaringan
pembentuk darah. Limfoblas adalah sel darah putih normal yang fragil dan
imatur sehingga kurang kemampuannya dalam melawan infeksi.
Pada LLA, pertumbuhan kimfoblas berlebihan dan sel abnormal
menggantikan sel normal pada sumsum tulang. Proliferasi sel leukemia
menyebabkan kebutuhan metabolik masif dan pengambilan kebutuhan nutrien
sel-sel normal sehingga terjadi fatigue (kelelahan), kehilangan berat badan atau
pertumbuhan terhambat, dan otot mengecil.
Sumsum tulang tidak dapat mempertahankan level normal dari eritoris,
leukosit dan trombosit sehingga terjadilah anemia, netropenia dan
trombositopenia. Ekspansi sumsum tulang atau infiltrasi sel leukemia kedalam
tulang dapat menyebabkan nyeri tulang dan sendi. Sel leukemia menembus
nodus limfa, menyebabkan difus limfadenopati atau pada hati dan limpa
menyebabkan hepatosplenomegali. Penyebaran ke susunan saraf pusat
menimbulkan muntah, sakit kepala, kejang, koma, gangguan penglihatan atau
kelumpuhan saraf kranial.
5. Kemoterapi Pada Anak
Kemoterapi, juga dikenal sebagai "kemoterapi" dan terapi radiasi,
adalah dua jenis pengobatan kanker yang paling umum. Keduanya bekerja
dengan membunuh sel kanker yang tumbuh terlalu cepat. Sayangnya, jenis sel
sehat lainnya yang berkembang pesat, seperti sel darah dan rambut, juga dapat
rusak bersama dengan sel kanker selama perawatan, yang menyebabkan efek
samping.
Kemoterapi adalah proses pengobatan yang menggunakan agen anti
kanker untuk membunuh sel kanker dan memperlambat pertumbuhannya
dengan mengganggu fungsi dan reproduksi sel. Kemoterapi juga dapat
menghilangkan sel kanker yang terlepas dari inangnya atau yang telah
menyebar dari aliran darah dan saluran limfatik ke bagian tubuh lainnya.
(Smeltzer, et.al., 2008 dalam Apriany, 2016).
Kemoterapi pula menjadi pengobatan dasar atau simultan setelah
pembedahan dan terapi radiasi dapat mengurangi besarnya tumor sesaat akan
pembedahan atau untuk menghancurkan sel kanker yang tersisa setelah
pembedahan. (Smeltzer, et.al., 2008 dalam Apriany, 2016). yang tidak dapat
disembuhkan sepenuhnya terutama dengan obat-obatan atau radioterapi
(Bowden et al. 1998 dalam Apriany 2016).
Grundberg (2016), kemoterapi bertujuan agar mengatasi maupun
menghambat sel kanker serta meminimalisir gejala melalui:
1) Pengobatan terjadi ketika kanker benar-benar dapat diobati hanya kemoterapi
atau kombinasinya.
2) Kemoterapi hanya dimaksudkan sebatas mengontrol pertumbuhan sel kanker
supaya mati atau menyerang bagian lain di dalam tubuh dan pasien dapat hidup
normal.
3) Kemoterapi yang digunakan untuk mengurangi gejala tidak menghilangkan
kanker, tetapi dapat mengurangi gejala penyebab kanker lainnya, seperti
menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan kesehatan, serta mengurangi
ukuran tumor di tubuh yang terkena.
Insiden mual dan muntah setelah kemoterapi dikaitkan dengan faktor
internal (kondisi penyakit) dan eksternal (terkait obat) (Grunberg, 2016). (Pasien)
Faktor internal meliputi usia di bawah 50 tahun, wanita, riwayat konsumsi
alkohol, riwayat mual dan muntah selama kehamilan atau mabuk perjalanan,
riwayat mual muntah setelah kemoterapi sebelumnya, fungsi sosial yang buruk,
dan faktor eksternal (obat-obatan, obat-obatan). , obat yang menginduksi mual
dan muntah) tergantung pada jenis obat, dosis, kombinasi dan cara pemberian
(Grunberg, 2016 dalam Apriany, 2016).
Faktor risiko lain sesudahnya kemoterapi termasuk mual dan muntah setelah
kemoterapi dan beberapa program kemoterapi. Pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan kemoterapi memiliki risiko tersebut daripada pasien yang belum
kemoterapi (Grunberg dan Ireland, 2005 dalam Apriany, 2016). American Cancer
Society pada tahun 2013 mengatakan bahwa meskipun mual dan muntah sering
terjadi bersamaan, mereka juga bisa menjadi masalah yang terpisah. Muntah
sering disebabkan oleh mual, menurut Glenburg (2014), namun bukan hanya dari
mual.
Mual didefinisikan menjadi sensasi kurang menyenangkan pada
kerongkongan, perut (lambung) atau di sekitar perut, sering digambarkan sebagai
perasaan 'sakit perut'. Muntah dapat didefinisikan sebagai “muntah”, pengusiran
paksa isi lambung melalui mulut atau hidung (Garret et al., 2013). Mual dan
muntah ialah reaksi pasca kemoterapi yang kerap terjadi pada pasien kanker
(Otto, 2015). Mual dan muntah umumnya akibat dari kemoterapi serta terjadi
hingga 24 jam pasca kemoterapi, menurut Smeltzer dan Bare (2017). Firmansyah
(2015) menemukan bahwa 70-80% pasien mengalami mual dan muntah setelah
kemoterapi.
B. Kerangka Teori
Gambar 2.
Kerangka Teori
Penyakit Leukemia
Dukungan Keluarga
1) Dukungan emosional.
2) Dukungan instrumental. 1) Dimensi kesehatan fisik
3) Dukungan 2) Dimensi fungsional
penilaian/penghargaan. 3) Dimensi psikologis
4) Dukungan informasional. 4) Dimensi hubungan sosial
C. Kerangka Konsep
Noor-Ulan mengembangkan skala untuk mengukur dukungan keluarga,
berdasarkan teori Friedman (diriwayatkan oleh penulis), pada tahun 2017.
Skala tersebut terdiri dari tiga aspek yang diukur:
Bantuan emosional.
Dukungan instrumental.
Mendukung peringkat/hadiah.
Dukungan informasi.
Lain sisi, De Haan et al. dalam Naga (2015) kualitas hidup dalam
lingkup kesehatan mesti meliputi dimensi di bawah:
1) Dimensi kesehatan fisik. Berkenaan dengan tanda-tanda yang
berhubungan dengan sakit serta perawatan yang diberikan.
2) Dimensi fungsional. Berkenaan dengan pengobatan diri, pergerakan, dan
tingkat aktivitas fisik misalnya kemampuan di keluarga dan kehidupan
kerja.
3) Dimensi psikologis. Ini termasuk kognisi, keadaan emosional, dan
persepsi kesehatan, kepuasan hidup, dan kesejahteraan.
4) Dimensi hubungan sosial. Ini mencakup penilaian kualitatif dan kuantitatif
dari semua aspek kontak dan interaksi sosial.
Kerangka konsep dalam penelitian ini disusun dalam bentuk skema
yang menggambarkan hubungan variabel yang akan diteliti, sebagaimana
tergambar sebagai berikut:
Gambar 3
Kerangka Konsep
Penyakit Leukemia
b. Kriteria Eksklusi
1) Responden tidak bisa baca tulis
2) Responden yang anaknya dengan kesadaran tidak composmentis
D. Defenisi Operasional
Definisi operasional ialah deskripsi dari seluruh variabel dan berbagai
istilah yang dipergunakan penelitian untuk membantu pembaca menafsirkan
makna penelitian (Setiadi, 2013).
Tabel 3.
Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Cara Alat Skala Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Dukungan Dukungan keluarga Mengisi lembaran Lembar Interval 1. Sangat tidak
. Keluarga merupakan bentuk kuesioner dukungan Kuesioner baik (1-8)
hubungan keluarga dengan pilihan 2. Tidak baik
interpersonal yang jawaban (9-16)
melibatkan sikap, (1) Sangat tidak 3. Kurang baik
perilaku dan setuju (17-26)
penerimaan anggota (2) Tidak setuju 4. Baik (27-32)
keluarga yang (3) Ragu-ragu 5. Sangat baik
membuat mereka (4) Setuju (33-40)
merasa diperhatikan. (5) Sangat setuju
(Friedman, 2013)
2 Kualitas Kualitas Hidup Mengisi lembaran Lembar Interval 1. Sangat tidak
. Hidup Anak Leukemia kuesioner kualitas Kuesioner baik (1-8)
Anak Usia Sekolah adalah hidup anak leukemia 2. Tidak baik
Leukemi kondisi hidup anak usia sekolah dengan (9-16)
a Usia yang menderita jawaban 3. Kurang baik
Sekolah penyakit kanker (1) Sangat tidak (17-26)
jaringan pembentuk setuju 4. Baik (27-32)
darah, termasuk (2) Tidak setuju 5. Sangat baik
tulang sumsum/ (3) Ragu-ragu (33-40)
Leukemia dalam (4) Setuju
usia sekolah antara (5) Sangat setuju
6-12 tahun
(Sumber:Hardinsy
ah dan Supariasa,
2017).
F. Etika Penelitian
Setiap penelitian kesehatan sukarelawan harus didasarkan pada tiga prinsip
etika mendasar, yaitu:
1. Menghormati orang (lain): umumnya bertujuan untuk menghormati otonomi
dalam membuat keputusan independen (penentuan nasib sendiri) dan untuk
melindungi orang yang bergantung atau rentan dari penyalahgunaan (bahaya
dan penyalahgunaan)
2. Manfaat dan tidak berbahaya: prinsip berbuat baik untuk memastikan
manfaat terbesar dan risiko paling kecil, misalnya risiko harus masuk akal,
ada proyek penelitian, dan ilmuwan memiliki kemampuan untuk berbuat
baik, sehingga tidak berbahaya, prinsip tidak berbahaya , tidak berbahaya)
3. Prinsip-prinsip etika keadilan menekankan hak setiap orang untuk keadilan
distributif dan keadilan. Jangan mengekspos kelompok yang kurang
beruntung untuk masalah yang tidak adil. Sponsor dan peneliti umumnya
tidak bertanggung jawab atas perlakuan tidak adil ini. Kelompok rentan tidak
boleh dieksploitasi, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
Keadilan membutuhkan penelitian untuk peka terhadap kesehatan dan
kebutuhan kelompok rentan.
2. Analisis data
Analisis satu dimensi digunakan untuk menggambarkan atau menjelaskan
sifat-sifat variabel dalam penelitian. Analisis satu dimensi dapat
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase untuk setiap variabel
(Notoadmodjo, 2012). Analisis satu dimensi membantu menyimpulkan
dataset dari pengukuran. Oleh karena itu, dataset dianggap informasi yang
berguna dan data hanya untuk satu variabel. Itulah mengapa disebut satu
dimensi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian sudah berlangsung semenjak tanggal 08 Juni 2022 – 15 Juli 2022,
terkait pengaruh dukungan keluarga terhadap kualitas hidup anak leukemia usia
sekolah di ruang RSUD Arifin Achmad. Data yang dikumpulkan dari 50
responden, yaitu orang tua dengan anak leukemia usia sekolah. Penelitian ini
termsauk deskriptif yang hasilnya dijabarkan pada berupa tabel frekuensi yang
terdiri atas karakteristik responden serta variabel penelitian.
A. Karakteristik responden
Tabel 4
1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=50)
Karakterisitik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
1 Jenis Kelamin
Laki-Laki 18 36,00%
Perempuan 32 64,00%
2 Usia
26 - 35 Tahun 32 64,00%
36 - 45 Tahun 18 36,00%
3 Pendidikan
SD Sederajat 5 10,00%
SMP 8 16,00%
SMA 32 64,00%
PT 5 10,00%
4 Pekerjaan
Bekerja 31 62,00%
Tidak Bekerja 19 38,00%
BAB V
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan 50 orang yang terbagi 25 orang berasal
Keluarga Anak Penderita Leukemia dan 25 orang berasal dari Anak Penderita
Leukemia. Di pembahasan merinci terkait karakterisitik responden berupa jenis
kelamin, usia, dan pendidikan serta gambaran mengenai pengaruh dukungan
keluarga terhadap kualitas hidup anak leukemia usia sekolah.
1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Karakteristik gender responden dianalisis, dan terdapat sebanyak 50
responden yang terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 32 (64,00%).
Menurut data yang diperoleh penulis, responden utama dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien leukemia memiliki di Rumah Sakit Umum
Daerah Pekanbaru lebih banyak berjenis kelamin perempuan selain itu
keluarga yang paling sering memberikan dukungan kepada anak penderita
leukemia ini berasal dari jenis kelamin perempuan yaitu ibu dengan anak
leukemia.
b. Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia yang telah diteliti dari
50 orang responden, dimana diketahui usia responden dari keluarga anak
penderita leukemia diketahui sebanyak 32 orang (46,00%) di dominasi
oleh responden usia dewasa awal yaitu usia 26 -35 tahun (Notoatmodjo,
2012). Oleh karena itu semakin bertambahnya usia seseorang maka akan
semakin kuat rasa ingin mendapatkan kesembuhan karena ada dorongan
dalam dirinya untuk menggapai keinginan dan cita-cita yang menjadi
harapan hidupnya.
Usia memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas hidup
manusia, dan dengan bertambahnya usia, kualitas hidup manusia semakin
menurun. Seiring bertambahnya usia, putus asa bahwa hal-hal yang lebih
baik akan terjadi di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh Ryff dan
Singer (2016), orang dewasa memiliki rata-rata kebahagiaan yang lebih
tinggi di masa dewasa
c. Pendidikan
Untuk tingkat pendidikan responden penelitian ini diketahui
responden dari keluarga anak penderita leukemia diketahui sebanyak 32
orang (64,00%) dengan latar belakang berpendidikan SMA. Pendidikan
juga merupakan faktor kualitas hidup, menurut Wahl et al. (2014)
mengatakan kualitas hidup membaik karena tingkat pendidikan seseorang.
Disebabkan masyarakat ber pendidikan rendah merasa minder.
d. Pekerjaan
Mayoritas responden sudah bekerja dengan jumlah 31 responden
(62%). Pada keluarga yang tidak bekerja akan sangat berpengaruh
terhadap penanganan anak leukemia baik dalam segi pengobatan maupun
dalam segi penanganan selama sakit.
Keluarga kelas menengah demokratis dan adil, sedangkan keluarga
kelas bawah sebaliknya. Selain itu, orang tua kelas menengah memiliki
tingkat dukungan, kasih sayang, dan komitmen yang lebih tinggi daripada
orang tua kelas bawah. Pendidikan adalah faktor lain, dan semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin besar kemungkinan keluarga mendukungnya.
2. Gambaran Dukungan Keluarga Dari Anak Usia Sekolah
Berdasarkan tabel deskriptif variabel dukungan keluarga diperoleh
variabel dukungan keluarga yang diterima anak dengan penyakit leukimia usia
sekolah yang dijawab oleh 50 orang responden menghasilkan nilai rata-rata
jawaban sebesar 3,58. Artinya, setiap pertanyaan terkait variabel dukungan
keluarga yang dijawab responden bernilai Baik. Pentingnya pentingnya
dukungan keluarga yang diterima oleh anak dengan penyakit leukimia usia
sekolah supaya anak-anak tersebut terjaga mentalnya sehingga dapat
berpengaruh terhadap proses penyempuhan dari penyakit yang dideritanya.
Adanya dukungan keluarga, semangat berobat, dan optimisme terhadap
kesembuhan pasien leukemia merupakan faktor penting dalam penanganan
anak usia sekolah dengan leukemia.
Peran dan dukungan keluarga adalah sistem pendukung dan penolong bagi
anak leukemia, dan keluarga mendukung setiap kegiatan yang dirancang untuk
membantu anak leukemia. Ada literatur yang menunjukkan bahwa penyedia
perawatan di rumah dapat memberikan hasil yang lebih buruk bagi pasien. Hal
ini disebabkan kekurangan pengetahuan serta sosialisasi keluarga, ada yang
mengatakan tidak mengerti sakit yang diderita anak leukemia, gejalanya, serta
manajemen keluarga.
Sejalan bersama pengamatan penulis, selama penyebaran kuesioner
penelitian ditemukan umumnya penderita leukemia anak mengidap depresi
serta kecemasan. Oleh karena itu, peran dan dukungan keluarga di sini adalah
dukungan psikologis bagi anak yang menderita leukemia, yang tidak dapat
diberikan oleh setiap anggota keluarga. Hanya keluarga yang memiliki
pengetahuan dan pelatihan dalam pengelolaan anak leukemia yang bisa
memberikan support psikologis kepada anak penderita leukimia.
Terkait pentingnya dukungan keluarga terhadap anak dengan leukimia usia
sekolah ini sesuai dari temuan penelitian shinta diah utama (2021) dengan
judul Hubungan Dukungan Orang Tua Dan Kualitas Hidup Pada Anak Usia 2-
18 Tahun Dengan Leukemia: Literature Review, dari temuannya bahwa ada
hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dan kualitas hidup.
Dukungan orang tua termasuk dalam kategori baik dan mendominasi (33,3%).
Kualitas hidup anak tergolong baik dan dominan (50,0%).
Selanjutnya berdasarkan tabel deskriptif variabel kualitas hidup anak
leukimia usia sekolah diketahui bahwa variabel kualitas hidup anak leukimia
usia sekolah yang dijawab oleh 50 orang responden menghasilkan nilai rata-
rata jawaban sebesar 3,94. Artinya, setiap pertanyaan terkait variabel
dukungan keluarga yang dijawab responden bernilai Baik. Secara konseptual,
kualitas hidup bisa dinilai serta diamati terutama kemampuan maupun pola
aktivitas penderita ketika dirawat. Pada tahun 2000, kualitas hidup merupakan
konsep yang unik karena dapat mempengaruhi prognosis kondisi pasien.
Terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti leukemia, kualitas hidup
sangat penting karena merupakan salah satu indikator kehidupan pasien.
(Novrianda et al., 2016). Jadi bagi seorang anak dengan leukemia, kualitas
hidup harus benar-benar dijaga dan dipertahankan untuk memastikan
kepercayaan diri dan pemulihan, dan kualitas hidup yang baik akan
memberikan anak dengan leukemia lebih banyak motivasi untuk melakukan
kegiatan sekolah normal di sekolah.
Terkait kualitas hidup anak leukimia usia sekolah ini didukung dengan
data penelitian dari Mira Irmawaiti (2018) berjudul Penilaian Kualitas Hidup
Anak Penderita Kanker Leukimia, dimana dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan anak penderita kanker tidak hanya
bergantung pada kesehatan fisik anak, tetapi juga pada pencapaian kualitas hidup
yang baik, baik spiritual maupun psikososial. Penilaian kualitas hidup anak penderita
kanker membutuhkan alat khusus. Modul Kanker PedsQL 3.0 adalah alat yang
objektif untuk menilai kualitas hidup anak-anak penderita kanker dan keluarganya.
Kemudian penelitian dari Arslan Kamil Aries (2020) dengan judul
Kualitas Hidup Pasien Leukemia, dimana dari hasil penelitiannya
menunjukkan Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien
leukemia, antara lain pengobatan, lingkungan, dan peran pengasuh.
Penatalaksanaan yang tepat pada anak dengan leukemia dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka.
Berlawanan dengan studi dari Ike Nurhidayah (2021), berjudul Kualitas
Hidup Pada Anak Kanker Leukimia, Menurut temuannya, 32 (53,3%) anak-
anak dengan leukemia memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dengan hasil
terendah dalam fungsi sekolah dan ketakutan anak-anak terhadap obat-obatan
dan penyakit. Kualitas hidup yang buruk ini mempengaruhi fungsi fisik,
emosional, sosial, psikologis, sekolah dan kognitif, serta mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup anak adalah dengan memberikan kesempatan kepada anak
untuk terus belajar dan berinteraksi satu sama lain, serta mendukung perawat.
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan masih dapat ditemukan dalam penelitian ini. Namun peneliti
tidak menemukan keterbatasan yang signifikan dari penelitian ini yaitu waktu
penelitian dilakukan secara paralel dengan aktivitas orang tua mengasuh
anaknya di Unit Keperawatan Lily RSU Arifin, Ahmed, Riau, dan semakin
sakit Anak Leukemia Lemah yang tidak mencapai target menyebabkan
beberapa responden melakukan kesalahan karena kurang perhatian dalam
memberikan jawaban yang lebih akurat dan terukur.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian yang telah dilaksanakan tentang gambaran dukungan keluarga
dengan anak leukemia usia sekolah pada 50 responden, dapat disimpulkan
bahwa sesuai jenis kelamin sebanyak 50 yang didominasi perempuan sebanyak
32 orang (64,00%). Sesuai usia yang telah diteliti dari 50 orang responden,
dimana diketahui usia responden dari keluarga anak penderita leukemia
diketahui sebanyak 32 orang (46,00%) di dominasi oleh responden usia dewasa
awal yaitu usia 26 -35 tahun. Tingkat pendidikan responden penelitian ini
diketahui responden dari keluarga anak penderita leukemia diketahui sebanyak
32 orang (64,00%) dengan latar belakang berpendidikan SMA dan mayoritas
responden sudah bekerja dengan jumlah 31 responden (62%). Sedangkan
mayoritas responden menjawab dukungan keluarga pada kategori tidak
menjawab, yaitu sebanyak 2 (4,00%), 13 menjawab kurang (26,00%), 22
menjawab baik (44,0%), dan sebanyak 13 menjawab sangat baik (26,0%).
Dukungan keluarga sampai 3 dalam kategori jawaban salah (6,00%), hingga 2
menjawab kurang (4,00%), hingga 21 juga menjawab (42,0%), hingga 2
menjawab sangat baik (4, 0%) . 24 (48,0%).
B. Saran
1. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
penyakit leukimia.
leukemia.