Dosen Fasilitator:
Lingga Curnia Dewi, S.Kep., Ns., M.Kep
Disusun Oleh :
Syarifah Qurrotu A’yun 132011123032
Adi Sukma Septiana 132011123033
Muhammad Iqbal 132011123034
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan selesai tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang “Asuhan
Keperawatan Anak Dengan Gangguan Onkologi Dengan Pendekatan FCC (LLA)”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Keperawatan Onkologi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu penulis mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun. Kritik dari pembaca penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Harapan penulis semoga berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun
dapat menjadi bekal penulis untuk penyempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca
BAB 1
PENDAHULUAN
Leukemia atau yang dikenal sebagai kanker darah merupakan keganasan yang
menyerang jaringan pembentuk darah atau yang dikenal sebagai sumsum tulang (Keene,
2018). Leukemia dapat menyerang semua jenis usia dengan insidensi yang paling sering
terjadi adalah pada anak (WHO, 2015). Dari semua jenis kanker pada anak-anak, leukemia
merupakan jenis kanker yang terjadi sekitar 29% pada anak-anak yang berusia 0-14 tahun
(ACS, 2018). Sebagian besar leukemia yang dialami oleh anak adalah yaitu leukemia
limfoblasitk akut (LLA) (Emadi & Karp, 2017). Leukemia limfoblastik akut (LLA)
merupakan bentuk leukemia yang paling lazim dan paling umum dijumpai pada anak yaitu
terhitung sekitar 74% (ACS, 2018).
Prevalensi leukemia dari seluruh negara ditemukan sebanyak 2,4% kasus baru dan
3,2% kasus kematian yang terjadi di tahun 2018 (Global Cancer Statistic, 2018). Data dari
American Cancer Society (ACS) menunjukkan bahwa di Amerika Serikat kejadian leukemia
pada tahun 2016 sampai 2017 mengalami peningkatan, sedangkan pada tahun 2018 terjadi
sedikit penurunan, dan diperkirakan pada tahun 2019 akan terjadi peningkatan kembali. Pada
tahun 2016 terdapat sekitar 60.140 kasus baru dan 24.500 kasus kematian, terjadi
peningkatan pada tahun 2017 yaitu 62.130 kasus baru dan 24.500 kasus kematian, sedangkan
pada tahun 2018 mengalami sedikit penurunan sekitar 60.300 kasus baru dan 24.370 kasus
kematian. (ACS, 2016, 2017, 2018). Diperkirakan 61.780 kasus baru 12 leukemia akan
didiagnosis dan diperkirakan 22.840 kasus kematian leukemia akan terjadi di AS pada tahun
2019 (American Cancer Society, 2019). Di Indonesia, kasus baru dan kasus kematian akibat
leukemia cenderung meningkat setiap tahunnya, dimana pada tahun 2010 terdapat 19 kasus
baru dan 31 kasus kematian, pada tahun 2011 tidak terjadi peningkatan kasus baru yaitu
tetap pada angka 19 kasus baru, namun terjadi peningkatan kasus kematian menjadi 35
kasus, pada tahun 2012 terjadi peningkatan kasus baru dan kematian menjadi 23 kasus baru
dan 42 kasus kematian, dan tahun 2013 terjadi peningkatan lagi menjadi 30 kasus baru dan
55 kasus kematian (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2014 mengalami peningkatan kembali
menjadi 46 kasus leukemia (Kemenkes, 2015). Pada tahun 2016 tercatat 51 kasus anak
penderita LLA, lalu terjadi peningkatan pada tahun 2017 yaitu tercatat 89 kasus anak
penderita LLA, dan terjadi peningkatan kembali pada tahun 2018, yaitu tercatat sebanyak
144 anak penderita LLA (Data Rekam Medik Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. M. Djamil
Padang, 2016, 2017, 2018).
Pada penelitian Nurgali, Jagoe & Abalo (2018) gejala fisik yang ditimbulkan akibat
kemoterapi ialah mual, munttidah, mukositis, gangguan gastrointestinal, anoreksia,
malabsorpsi, penurunan berat badan, anemia, kelelahan dan peningkatan resiko sepsis.
Kemoterapi juga memiliki dampak signifikan pada status psikologis pasien yaitu harga diri
yang rendah pada anak anak (Sherief, 2015). Pasien yang hidup dengan kanker stadium lanjut
mengalami gejala psikologis yaitu, kecemasan, gejala depresi, dan keputusasaan (Bail et al,
2018). Gejala fisiologis yang tidak ditangani secara tepat dapat mempengaruhi psikologis
pasien, yang mana gejala fisiologis yang timbul akibat kemoterapi dapat menimbulkan stres
bagi pasien (Djoerban, 2014). Hal ini dibuktikan dengan Penelitian Mcculloch, Hemsley &
Kelly (2018) mengatakan bahwa gejala-gejala fisiologis yang dialami pasien selama
kemoterapi seperti nyeri, mukositis, mual, muntah, perubahan berat badan, kekurangan
nutrisi, kelelahan, gangguan tidur, 4 dapat menimbulkan gejala psikologis yang akan terjadi
seperti perasaan sedih, depresi, cemas, takut, dan khawatir akan terjadi gejala yang lebih
parah selama perawatan mereka. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan terhadap gejala
fisiologis kemoterapi terlebih dahulu untuk mengurangi gejala psikologis yang akan terjadi.
2.1.2 Patofisiologi
Patogenesis leukemia secara genetik terjadi akibat tidak seimbangnya kerja proto
onkogen dan gen supresor. Gen-gen berperan pada patogenesis terjadinya kanker
melalui dua mekanisme umum. Mekanisme pertama adalah gangguan struktur gena
yang normal (proto-oncogene) yang akan menghasilkan gena baru (sebagai oncogene)
menghasilkan protein yang berperan pada sel pejamunya untuk menginduksi terjadinya
6
malignansi. Produk protein biasanya berperan pada proliferasi sel, diferensiasi, atau
survival. Mekanisme kedua adalah hilang atau tidak aktif gen yang menyandi protein
penekan kanker. Gen klas ini dikenal sebagai tumor- suppressor genes atau anti-
oncogenes (Cline, M.J, 2004).
Pada leukemia anak gen yang banyak berperan salah satunya adalah gen
Translocation Ets Leukemia-Acute Myeloid Leukemia1(TEL-AML1). Fusi gen TEL-
AML1 menyebabkan peningkatan secara tidak terkendali kapasitas perbanyakan diri
(self-renewel), kegagalan kontrol proliferasi normal, terhalangnya diferensiasi dan
terjadi resistensi terhadap sinyal apoptosis. Fusi gen TEL-AML1 banyak ditemukan
pada anak dengan LLA dan dapat dijadikan sebagai penilaian prognosis (Mulatsih,
Set al., 2009).
Leukemia akut menyebabkan morbiditas dan mortalitas melalui defisiensi jumlah
dan fungsi sel darah, invasi organ vital, gangguan sistemik oleh ketidakseimbangan
metabolik. Pada LLA, sel progenitor limfoid berubah secara genetik kemudian
mengalami proliferasi disregulasi dengan ekspansi klonal. Sel limfoid yang berubah
mencerminkan perubahan ekspresi gen yang biasanya terlibat dalam perkembangan
normal dari sel B dan sel T. Terdapat sel induk leukemia pada jenis LLA tertentu
(Kanwar, 2017).
2.1.3 Etiologi
Penyakit leukemia akut pada anak masih belum diketahui jelas penyebabnya,
kemungkinan disebabkan oleh zat-zat kimiawi, fisis, infeksi virus dan atau bakteri.
Ada beberapa faktor-faktor yang membantu meningkatkan angka kejadian LLA
seperti faktor lingkungan, faktor genetik, dan faktor paparan terhadap radiasi pada saat
sedang dalam kandungan maupun pada saat kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus
Epstein-barr serta sel limfosit B juga berperan terhadap kejadian LLA pada negara
berkembang (Tubergen dan Bleyer, 2007).
Paparan kronis dari bahan kimia seperti benzen telah dikaitkan dengan
perkembangan AML pada orang dewasa. Walaupun belum ada bukti langsung yang
menghubungkan paparan terhadap perkembangan LLA anak. Namun, riset terbaru
NAD (P) H: quinone oxidoreductase 1 merupakan salah satu enzim yang bertanggung
jawab untuk benzena dan kuinon lainnya. Metabolismenya memiliki mutasi dengan
penurunan aktivitas enzimatik yang telah dikaitkan dengan perkembangan AML dan
ALL pada orang dewasa. Pada penderita yang rendah NAD (P) H, aktivitas quinone
oxidoreductase 1 kurang mampu merespon stres oksidatif, mengalami peningkatan
jumlah translokasi kromosom, dan memiliki peningkatan risiko terkena leukemia
secara umum (Pizzo et al., 2001).
Anak-anak dengan beberapa sindrom genetik lebih cenderung terkena LLA
daripada anak-anak lain. Sindrom tersebut adalah down syndrome, bloom syndrome,
dan anemia fanconi (Lanzkowsky, P, 2011). Kelainan kromosom lain seperti sindrom
klinefelter atau sindrom trisomi G walaupun jarang tetapi juga dihubungkan dengan
leukemia pada anak. Anak dengan neurofibromatosis dan sindrom schwachman juga
dilaporkan memiliki risiko yang lebih tinggi terkena leukemia. Risiko lebih tinggi
terjadinya leukemia anak juga dihubungkan dengan peningkatan usia kehamilan. Hal ini
dapat mencerminkan peningkatan kejadian kelainan kariotipe pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang lebih tua (Pizzo et al, 2001).
Penyebab yang pasti untuk LLA ini belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu : (Sibuea,2009)
1. Faktor genetik : virus tertntu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (Tcell
Leukimia-Lhympoma virus/HLTV)
2. Radiasi
3. Obat–obat imunosupresi, obat-obat kardiogenik seperti diet hylstilbestrol
4. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
5. Kelainan kromoson missal nya pada down sindrom leukemia biasanya mengenai sel-
sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui.
Pemaparan terhadap penyinaran radiasi dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena)
dan pemakain obat anti kanker, meningalkan resoko terjadinya leukemia. Orang yang
memiliki kelainan genetic tertentu (misalnya down sindrom dan sindrom fanconi),
juga lebih peka terhadap leukemia.
2.1.4 WOC
Virus
(Enzym Retrovirus Transcriptase) Genetik Sinar Radioaktif
Leukemia Limfoblastik
Akut
Anoreksia
Hemoglobin
Intoleransi
Aktivitas
2.1.5 Faktor risiko
1. Jenis kelamin
Insiden LLA terjadi lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan dan
paling tinggi pada remaja. Anak laki-laki memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan perempuan (Hunger et al., 2012). Hal ini kemungkinan karena
relaps testis, namun dengan perkembangan teknologi buruknya prognosis pada
laki-laki dipengaruhi beberapa hal seperti jenis leukemia sel T, index DNA yang
lebih kecil, adanya kromosom abnormal pseudo diploid, kromosom
philadelphia, Rearrangement of The Mixed Lineage Leukemia (MLL-r) serta
perbedaan metabolik dan endokrin yang belum dapat dijelaskan secara pasti
(Pollock et al., 2007; Conter et al., 2010; Pui et al., 2000; Silverman, 2000).
2. Usia
Leukemia akut pada anak-anak mencakup 30%-40% dari keganasan pada anak
yang dapat terjadi pada semua umur, dengan angka kejadian tertinggi pada usia
2-5 tahun (Widiaskara et al, 2010). Ditemukan pula adanya hubungan antara umur
pasien saat diagnosis dan hasil pengobatan yaitu pasien dengan umur dibawah
18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk daripada usia
diantaranya. Khusus pasien < 1 tahun terutama < 6 bulan mempunyai prognosis
paling buruk. Hal ini karena kelainan biomolekuler tertentu.
3. Paparan
Paparan sinar-x prenatal menyumbang sebagian kecil dari kasus LLA anak. Salah
satu studi menunjukkan bahwa sekitar 1% dari semua kasus leukemia dewasa
dapat diasumsikan sebagai hasil paparan radiografi diagnostik. Penyinaran
terapeutik dikaitkan dengan risiko leukemia akut yang lebih tinggi pada pasien
dengan ankylosing spondylitis yang diobati dengan radiasi dosis relatif tinggi dan
pada neonatus yang diberikan iradiasi timus. Tingkat kematian leukemia
meningkat juga diamati dalam satu penelitian untuk anak-anak yang menerima
radiasi kulit kepala untuk pengobatan tinea capitis (Pizzo et al., 2001).
Penduduk yang hidup di kota dan daerah industri umumnya terpapar benzena
dalam kadar yang lebih tinggi daripada yang hidup di pedesaan. Hal ini
disebabkan karena tinggal di dekat tempat pembuangan limbah yang mengandung
benzena, cerobong asap pabrik, kilang minyak, pabrik petrokimia, atau pompa
bensin. Paparan radiasi ionisasi dan bahan kimia beracun tertentu dapat
mempermudah perkembangan leukemia akut (Khalade A., 2010).
4. Riwayat leukemia dalam keluarga
Frekuensi leukemia lebih tinggi pada keluarga yang menderita leukemia. Saudara
kandung dengan LLA memiliki kira-kira dua kali sampai empat kali lipat lebih
besar mengembangkan penyakit dibanding populasi umum. Pada anak kembar
identik jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia dibawah 5 tahun,
risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%. Kejadian leukemia pada
saudara kandung dari pasien leukemia adalah 4x lebih besar dibandingkan dengan
populasi umum mungkin karena klon leukemia atau pre leukemia menyebar ke
saudara kembar melalui anastomosis vaskular plasenta (Greaves MF et al., 2013).
5. Suku
Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian LLA antara ras kulit hitam dan
kulit putih, dimana anak-anak kulit putih memiliki insiden hampir 2 kali lipat
lebih besar (Robinson, 2011).
6. Status gizi
Status gizi merupakan keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan gizi untuk
pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan fungsi normal tubuh, produksi energi
dan intake zat gizi lain serta pemeliharaan kehidupan. Terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi status gizi pada balita misalnya kondisi sosial ekonomi,
asupan makanan, serta penyakit yang sedang diderita (Rachmawati, 2014).
Kanker dan pengobatannya dapat mempengaruhi asupan energi dan
penggunaannya. Peningkatan kerusakan lipid yang mengakibatkan berkurangnya
penyimpanan lipid, dan perubahan dalam metabolisme karbohidrat, sehingga
menyebabkan kehilangan energi. Umumnya pada penderita kanker akan terjadi
perubahan termasuk turunnya berat badan serta konsentrasi plasma protein
tertentu seperti albumin dan transferin menjadi rendah abnormal. Perubahan ini
terjadi karena asupan protein dan energi yang tidak adekuat yang merupakan efek
samping dari kemoterapi dan/atau penyakit itu sendiri (Delbeque-Bouchard et al.,
1997).
Pasien dengan penyakit keganasan seringkali menjadi rentan terhadap penyakit
akibat penyakit yang mendasarinya ataupun akibat terapi yang diberikan.
Beberapa keganasan berhubungan dengan defek imun spesifik yang mendasari
infeksi oleh patogen tertentu. Pasien LLA mempunyai risiko tinggi terkena infeksi
bacterial Gram negatif karena neutropenia secara kuantitatif maupun fungsional
(Bosnjak S, 2004).
2.1.6 Gejala dan Tanda Klinis
Leukemia limfoblastik akut biasanya dimulai perlahan-lahan sebelum menjadi
parah karena jumlah sel darah putih yang belum matang meningkat dalam darah.
Sebagian besar gejala tersebut disebabkan oleh kurangnya sel darah putih normal
dalam darah (Lanzkowsky, 2011). Tanda dan gejala dari anak LLA menunjukan kadar
infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia dan menyebar ke ekstramedular. Gejala
klinis yang paling sering ditemui adalah anemia (lelah, pucat, penurunan kesadaran),
trombositopenia (memar, petekie, dan perdarahan mukosa), dan leukopenia (demam,
infeksi) yang menunjukan kegagalan dari proses pembuatan darah (hematopoiesis)
(Brix N et al., 2014).
Kelelahan dan kelesuan adalah manifestasi umum anemia pada pasien dengan
ALL. Pada pasien yang lebih tua, anemia terkait dyspnea (Kaushansky and Williams,
2016). Sekitar 50% pasien datang dengan demam, berasal dari infeksi yang disebabkan
neutropenia atau sel leukemia yang melepaskan sitokin misal interleukin- 1,
interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor (Kaushansky and Williams, 2016).
Pada 40-50% pasien, terutama anak kecil pincang karena nyeri tulang atau
artralgia, disebabkan oleh infiltrasi leukemia periosteum, tulang, atau sendi atau
perluasan rongga sumsum oleh sel leukemia (Brix N et al., 2014). Lokasi terutama di
tulang panjang. Nyeri tulang yang signifikan dihubungkan dengan jumlah darah yang
lebih normal dibanding pasien tanpa nyeri tulang (Jonsson OG et al.,1990 ; Brix N et
al., 2015). Sakit punggung juga memperingatkan dokter untuk kemungkinan adanya
massa intradural. Nyeri punggung harus diwaspadai dokter kemungkinan terjadi patah
tulang belakang. Enam belas persen anak yang memiliki fraktur vertebral saat
diagnosis, 55% diantaranya memiliki nyeri punggung dan 35% pasien yang
mengalami nyeri punggung akan mengalami fraktur vertebral (Halton J et al., 2009).
Limfadenopati, hepatomegali, dan splenomegali adalah manifestasi leukemia pada
ekstramedular. Hepatosplenomegali biasanya muncul pada dua pertiga pasien dan
biasanya tidak disadari (asimptomatik). Limfadenopati biasanya tidak terasa sakit,
bisa teraba secara lokal atau general (Pizzo et al., 2001).
Tanda atau gejala dari keterlibatan CNS jarang diamati pada saat diagnosis awal,
8-10% pasien terdeteksi adanya blast pada cairan serebrospinal saat diagnosis (Pui CH
et al., 2008; Sirvent N et al., 2011) tetapi kurang dari 5% datang dengan gejala
neurologis. Sindrom meningeal ditemui dengan peningkatan tekanan intrakranial
(sakit kepala, muntah, papiledema), kejang, mual dan muntah, penglihatan kabur dan
diplopia. Pemeriksaan fundus dapat memperlihatkan adanya papiledema dan kadang-
kadang pendarahan. Manifestasi yang lebih jarang terjadi adalah pembengkakan testis
atau tanda-tanda kompresi mediastinum di LLA-T. Infiltrasi lokal dapat menyebabkan
kelumpuhan saraf kranial, paling sering syaraf wajah yang dapat salah didiagnosis
sebagai gejala Bell’s Palsy atau gejala hipotalamus dan serebelum (Krishnamurthy S
et al., 2002).
Subtipe T-sel ALL sering mempengaruhi timus, yaitu organ kecil di bagian tengah
dada di belakang tulang dada (tulang dada) dan di depan trakea (tenggorokan). Timus
yang membesar bisa menekan trakea, menyebabkan batuk atau sulit bernafas. Secara
umum gejala klinis LLA yaitu demam (61%), perdarahan (48%) misal petechiae atau
purpura sakit tulang (23%), limfadenopati (50%), splenomegali (63%), dan
hepatosplenomegali (68%) (Lanzkowsky, 2011).
2.1.7 Penatalaksanaan
Hambatan mobilitas fisik umpai Gangguan pola tidur Pengobatan pada anak
dengan LLA tergantung pada gejala, umur, kromosom dan tipe penyakit, pengobatan
LLA yang utama adalah kemoterapi terdiri dari 6 fase yaitu:
1) Fase induksi
Terjadinya pengurangan secara lengkap dan pengurangan lebih 50% sel leukemia
pada sumsung tulang yang disebut dengan remisi.
2) Terapi profilatik
Berfungsi untuk mencegah sel leukemia masuk kedalam sistem saraf pusat. 3)
Terapi konsolidasi Membasmi sisa sel leukemia diikuti dengan terapi intensifikasi
lanjutan untuk mencegah resistensi sel leukemia.
3) Kemoterapi
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase
digunakan.
4) Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia
5) Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang
rusak karena dosis tinggi kemoterapi atau radiasi (penyinaran). Selain itu
transplantasi sumsum tulang berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak
karena kanker (NANDA, 2015).
2.1.8 Terapi
Menurut penelitian Cooper and Brown (2015) ada 4 komponen utama pengobatan
pada Leukemia Limfoblastik Akut yaitu :
1. Induksi Remisi
Keadaan ini didefinisikan sebagai jumlah sel blas < 5% dalam sumsum tulang,
hitung darah tepi normal, dan tidak ada gejala lain. Tujuan terapi remisi-induksi
adalah untuk membunuh sebagian besar sel tumor secara cepat dan
mengembalikan hematopoiesis normal.
2. Terapi konsolidasi/ Intensifikasi
Tujuan dari terapi ini adalah memberantas sel-sel leukemia residu submikroskopis
yang tersisa untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya resisten terhadap obat
dengan menggunakan kemoterapi multi-obat dosis tinggi Terapi ini diberikan
setelah memperoleh remisi lengkap. Terapi ini diberikan selama 6-9 bulan dengan
rawat jalan.
3. Terapi pada Sistem Saraf Pusat (CNS)
Terapi ini diberikan pada pasien dengan diagnosis penyakit SSP klinis dan
profilaksis pada pasien subklinis.
4. Maintenance/ pemeliharaan jangka panjang
Bisa dengan preparat 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat setiap minggu
selama 2-3 tahun. Vinkristin intravena dengan kortikosteroid oral singkat selama 5
hari ditambahkan dengan interval bulanan atau 3 bulan pada dewasa. Selama terapi
ini anak yang tidak mempunyai imunitas terhadap virus-virus akan memiliki risiko
tinggi menderita varicella atau campak.
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
1) Darah tepi adanya pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan
gambaran darah tepi monoton terdapat sel blast, yang merupakan gejala
patognomonik untuk leukemia.
2) Sumsum tulang Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang
monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem yang
lain terdesak.
3) Pemeriksaan lain : Biopsi Limpa. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000-
200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitive (NANDA, 2015).
2.2 Family Centered Care (FCC)
2.2.1 Pengertian
FamilyCentered Care didefinisikan oleh Association for the Care of Children's
Health (ACCH) sebagai filosofi dimana pemberi perawatan mementingkan dan
melibatkan peran penting dari keluarga, dukungan keluarga akan membangun kekuatan,
membantu untuk membuat suatu pilihan yang terbaik, dan meningkatkan pola normal
yang ada dalam kesehariannya selama anak sakit dan menjalani penyembuhan.
Family centered care didenifisikan menurut Hanson (199, dalam dunst dan
Trivette 2009) sebagai pendekatan inovatif dalam merencanakan, melakukan, dan
mengevaluasi tindakan keperawatan Yang diberikan didasarkan pada manfaat
hubungan antara perawat dan keluarga yaitu orang tua.
Stower (1992 dalam Fiane, 2012), Family Centered Care merupakan suatu
pendekatan yang holistik. Pendekatan Family Centered Care tidak hanya memfokuskan
asuhan keperawatan kepada anak sebagai klien atau individu dengan kebutuhan
biologis, pisikologi, sosial, dan spiritual (biopisikospritual) tetapi juga melibatkan
keluarga sebagai bagian yang konstan dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak.
2.2.2 Tujuan family centered care
Tujuan penerapan konsep Family Centered Care dalam perawatan anak, menurut
Brunner and Suddarth (1986 dalam Fretes, 2012) adalah memberikan kesempatan bagi
orangtua untuk merawat anak mereka selama proses hospitalisasi dengan pengawasan
dari perawat sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain itu Family Centered Care juga bertujuan untuk meminimalkan trauma
selama perawatan anak dirumah sakit dan meningkatkan kemandirian sehingga
peningkatan kualitas hidup dapat tercapai.
1. Element Family Centered Care
Menurut Shelton (1987, dalam Fretes 2012), terdapat beberapa elemen Family
Centered Care, yaitu:
a. Perawat menyadari bahwa keluarga adalah bagian yang konstan dalam
kehidupan anak, sementara system layanan dan anggota dalam system
tersebut berfluktuasi.
Kesadaran perawat bahwa keluarga adalah bagian yang konstan,
merupakan hal yang penting. Fungsi perawat sebagai motivator menghargai
dan menghormati peran keluarga dalam merawat anak serta bertanggung
jawab penuh dalam mengelola kesehatan anak. Selain itu, perawat
mendukung perkembangan sosial dan emosional, serta memenuhi
kebutuhan anak dalam keluarga. Oleh karena itu, dalam menjalankan
sistem perawatan kesehatan, keluarga dilibatkan dalam membuat
keputusan, mengasuh, mendidik, dan melakukan pembelaan terhadap hak
anak-anak mereka selama menjalani masa perawatan. Keputusan keluarga
dalam perawatan anak merupakan suatu pertimbangan yang utama karena
keputusan ini didasarkan pada mekanisme koping dan kebutuhan yang ada
dalam keluarga. Dalam pembuatan keputusan, perawat memberikan saran
yang sesuai namun keluarga tetap berhak memutuskan layanan yang ingin
didapatkannya. Beberapa hal yang diterapkan untuk menghargai dan
mendukung individualitas dan kekuatan yang dimiliki dalam satu keluarga
seperti
1) Kunjungan yang dibuat dirumah keluarga atau ditempat lain dengan
waktu dan lokasi yang disepakati bersama keluarga,
2) Perawat mengkaji keluarga berdasarkan kebutuhan keluarga,
3) Orangtua adalah bagian dari keluarga yang menjadi fokus utama dari
perawatan yang diberikan mereka turut merencanakan perawatan dan
peran mereka dalam perawatan anak.
4) Perencanaan perawatan yang diberikan bersifat komprehensif dan
perawatan memberikan semua perawatan yang dibutuhkan misalnya
perawatan pada anak, dukungan kepada orangtua, bantuan keuangan,
hiburan dan dukungan emosional (Shelton 1987, dalam Fretes, 2012).
b. Memfasilitassi kerjasama antara keluarga den perawat di semua tingkat
pelayanan kesehatan, merawat anak secara individual, pengembangan
program, pelaksanaan dan evaluasi serta pembentukan kebijakan hal ini
ditujukan ketika:
Kalaborasi untuk memberikan perawatan kepada anak peran kerjasama
antara orangtua dan tenaga perofesional sangat penting dan vital. Keluarga
bukan sekedar sebagai pendamping, tetapi terlibat didalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada anak mereka. Tenaga professional
memberikan pelayanan sesuai dengan keahlian dan ilmu yang mereka
peroleh sedangkan orangtua berkontribusi dengan memberikan imformasi
tentang anak mereka. Dalam kerja sama antara orangtua dengan tenaga
professional, orangtua bisa memberikan masukan untuk perawatan anak
mereka. Tapi, tidak semua tenaga professional dapat menerima masukan
yang diberikan. Beberapa disebabkan karena kurangnya pengalaman tenaga
professional dalam melakukan kerjasama dengan orang tua (Shelton 1987,
dalam Fretes, 2012).
1) Kerjasama dalam mengembangkan masyarakat dan pelayanan rumah
sakit Pada tahap ini anak-anak dengan kebutuhan khusus merasakan
mampaat dari kemamfuan orangtua dan perawat dalam
mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi program. Hal yang
harus diutamakan pada tahap ini adalah kalaborasi dengan bidang yang
lain untuk menunjang proses perawatan. Family Centered Care
memberikan kesempatan kepada orangtua dengan professional untuk
berkontribusi melalui pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki
untuk mengembangkan perawatan terhadap anak di rumah sakit.
Pengalaman merawat anak membuat orangtua dapat memberikan
perspektif yang penting, berkaitan dengan perawatan anak serta cara
perawat untuk menerima dan mendukung keluarga (Shelton 1987,
dalam Fretes, 2012).
2) Kolaborasi dalam tahap kebijakan Family Centered Care dapat tercapai
melalui kolaborasi orangtua dan tenaga professional dalam tahap
kebijakan. Kalaborasi ini untuk memberikan mamfaat kepada orangtua,
anak dan tenaga professional. Orangtua bisa menghargai kemampuan
yang mereka miliki dengan memberikan pengetahuan mereka tentang
sistem pelayanan kesehatan serta kompotensi mereka. Keterlibatan
mereka dalam membuat keputusan menambah kualitas pelayanan
kesehatan.
c. Menghormati keanekaragaman ras, etnis budaya dan sosial ekonomi dalam
keluarga. Tujuannya adalah untuk menunjang keberhasilan perawatan anak
mereka dirumah sakit dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan
anak diagnosa medis. Hal ini akan menjadi sulit apabila program perawatan
diterapkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga
(Shelton, 1987, dalam Fretes, 2012).
d. Mengakui kekuatan keluarga dan individualitas serta memperhatikan
perbedaan mekanisme koping dalam keluarga elemen ini mewujudkan 2
konsep yang seimbang pertama, Family Centered Care harus
menggambarkan keseimbangan anak dan keluarga. Hal ini berarti dalam
menemukan maslah pada anak, maka kelebihan dari anak dan keluarga
harus dipertimbangkan dengan baik. Kedua menghargai dan menghormati
mekanisme koping dan individualitas yang dimiliki oleh anak maupun
keluarga dalam kehidupan mereka.
e. Memberikan imformasi yang lengkap dan jelas kepada orangtua dan secara
berkelanjutan dengan dukungan penuh. Memberikan imformasi kepada
orangtua bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan orangtua
terhadap perawat anak mereka. Selain itu, dengan demikian imformasi
orangtua akan merasa menjadi bagian yang penting dalam perawatan anak.
Ketersedian imformasi tidak hanya memiliki pengaruh emosional,
melainkan hal ini merupakan faktor kritikal dalam melibatkan partisifasi
orangtua secara penuh dalam proses membuat keputusan terutama untuk
setiap tindakan medis dalam perawatan anak mereka (Shelton, 1987, dalam
Fretes, 2012).
f. Mendorong dan mempasilitasi keluarga untuk saling mendukung. Pada bagian
ini, Shelton menjelaskan bahwa dukungan yang lain yang dapat diberikan
kepada keluarga adalah dukungan antar keluarga. Elemen ini awalnya
diterapkan pada perawatan anak-anak dengan kebutuhan kusus misalnya down
syndrome atau autisme. Perawat ataupun tenaga professional yang lain
memfasilitasi keluarga untuk mendapatkan dukungan dari keluarga lain yang
juga memiliki masalah yang sama mengenai anak mereka. Dukungan antara
keluarga ini berfungsi untuk: 1). Saling memberikan dukungan dan menjalin
hubungan persahabatan dan 2). Bertukar imformasi mengenai kondisi dan
perawatan anak dan 3).Memamfaatkan dan meningkatkan system pelayanan
yang ada untuk kebutuhan perawatan anak mereka.
g. Memahami dan menggabungkan kebutuhan dalam setiap perkembangan
bayi, anak-anak, remaja dan keluarga mereka ke dalam system perawatan
kesehatan. Pemahaman dan penerapan setiap kebutuhan dalam
perkembangan anak mendukung perawat untuk menerapkan pendekatan
yang komprehensif terhadap anak dan keluarga agar mereka mampu dalam
melewati setiap tahap perkembangan dengan baik (Shelton, 1987, dalam
Fretes, 2012)
h. Menerapkan kebijakan yang komprehensif dan program program yang
memberikan dukungan emosional dan keuangan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Dukungan kepada keluarga bervariasi dan berubah
setiap waktu sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut. Jenis dukungan
yang diberikan misalnya mendukung keluarga untuk memenuhi waktu
istrahat mereka, pelayanan home care, pelayan konseling, promosi
kesehatan, program bermaian, serta koordinasi layanan keseehatan yang
baik untuk membantu keluarga memamfaatkan layanan kesehatan yang ada
untuk menunjang kebutuhan layanan kesehatan secara pinansial.
i. Merancang system perawatan kesehatan yang fleksibel, dapat dijangkau
dengan mudah dan responsip terhadap kebutuhan keluarga teridentifikasi
Sistem pelayanan kesehatan yang fleksibel didasarkan pada pemahaman
bahwa setiap anak memiliki kebutuhan terhadap layanan kesehatan yang
berbeda maka layanan kesehatan yang ada harus menyesuaikan dengan
kebutuhan dan kelebihan yang dimiliki oleh anak dan keluarga. Oleh
karena itu, tidak hanya satu intervensi kesehatan untuk semua anak tetapi
lebih dari satu intervensi yang berbeda untuk setiap anak.
Selain layanan yang fleksibel, dalam Family Centered Care juga
mendukung agar layanan kesehatan mudah diakses oleh anak dan keluarga
misalnya sistem pembayaran layanan kesehatan yang dipakai selama anak
menjalani perawatan dirumah sakit baik menggunakan asuransi atau
jaminan kesehatan pemerintah dan swasta, konsultasi kesehatan, prosedur
pemeriksaan dan pembedahan, layanan selama anak menjalani rawat inap
dirumah sakit dan sebagainya. Oleh karena itu perawat harus mengkaji
kebutuhan anak atau keluarga terhadap akses layanan kesehatan yang
dibutuhkan lalu melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan anak dan
keluarga. Apabila layanan kesehatan yang direncanakan fleksibel dan dapat
diakses oleh anak dan keluarga maka layanan kesehatan tersebut akan lebih
responsif karena memproritaskan kebutuhan anak dan keluarga (Shelton,
1987, dalam Fretes, 2012)
2.2.3 Prinsip FCC menurut Potter & Perry (2007)
1. Martabat dan kehormatan
Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati pandangan dan pilihan
pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang budaya pasien dan
keluarg abergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan.
2. Berbagi informasi
Praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang
berguna bagi pasien dan keluarga denganbenar dan tidak memihak kepada
pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu,
lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan
keputusan.
3. Partisipasi
Pasien dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam perawatan dan
pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat.
4. Kolaborasi
Pasien dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi.
Perawat berkolaborasi dengan pasien dan keluargadalam pengambilan
kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi, desain
fasilitas kesehatan dan pendidikan profesional terutama dalam pemberian
perawatan. (Potter & perry 2007)
Klien masuk rumah sakit 18 Oktober 2021. An. C menderita penyakit Leukemia Limfoblastik
akut sejak 2016. Ibu An.C mengatakan sebelum dibawa RS Universitas Airlangga klien
terlihat lemas, mengalami batuk pilek lima hari yang lalu, nyeri dibagian kedua kaki dan
rencana untuk kemoterapi lanjut yang ke 18 kali pada tanggal 24 Oktober 2021 saat di
lakukan pengkajian ibu klien mengatakan klien sering mengeluh nyeri dibagian kaki,
mengeluh susah berjalan sering memegang kedua kaki nya dan mengatakan sakit, dan susah
menjaga keseimbangan tubuh nya saat berdiri. kekuatan otat 5/5/3/3, ibu klien mengatakan
anak nya sulit tidur dimalam hari, jarang tidur siang , klien terlihat mengantuk dipagi hari ,
pola tidur malam hanya 4-5 jam terlihat lingkaran hitam dibawah mata.
- Kapan :-
- Jenis operasi :-
5. Lain-lain :-
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
1. Prenatal
Ibu mengatakan hamil Anak C selama 39 Minggu dan Anak C merupakan anak ke 2
2. Intranatal
Ibu mengatakan selama hamil Anak C pernah mengalami Tekanan Darah Tinggi
3. Postnatal
Ibu mengatakan melahirkan Anak C secara cesar dengan berat badan 3600 gram
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Ya tidak
- Jenis : Pasien mengatakan dari keluarga ada yang mempunyai penyakit seperti sang
anak Leukemia Limfoblastik akut
- Genogram: -
c. Hidung
Tidak ada pernafasan cuping hidung, posisi septum nasal ditengah, lubang hidung
bersih, tidak ada secret, tulang hidung dan septum nasi tidak ada pembengkakan dan
tidak ada polip
d. Mulut dan lidah
Keadaan mukosa bibir kering dan pucat. Tonsil ukuran normal uvula letak simetris
ditengah
e. Telinga
Bentuk telinga sedang, simetris kanan dan kiri. Lubang telinga bersih, dan
menegeluarkan c, pendengiran bening di telinga sebelah kanan pendengran berfungsi
dengan baik
f. Leher
Kelenjar getah bening tidak teraba, tiroid tidak teraba, posisi trakea letak ditengah
tidak ada kelainan
c. Kelainan ekstremitas : ya tidak
d. Kelainan tulang belakang : ya tidak
e. Fraktur : ya tidak
f. Traksi : ya tidak
g. Penggunaan spalk/gips : ya tidak
h. Keluhan nyeri : ya tidak
P : saat kaki digerakkan, Q : seperti ditimpa beban berat, R : kedua sendi kaki, S : 4
(0-10), T : Hilang timbul.
i. Sirkulasi perifer : Baik
j. Kompartemen syndrome : ya tidak
k. Kulit : ikterik sianosis kemerahan
l. Turgor : baik kurang jelek
m. ROM : Aktif
11. Sistem Integumen
a. Warna: Kemerahan
b. Pitting edema: - grade:-
c. Lain-lain:
12. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid : ya tidak
b. Pembesaran kelenjar getah bening : ya tidak
c. Hipoglikemia : ya tidak
d. Hiperglikemia : ya tidak
2. Terapi
a. Santagesik (IV) 3 x 250 mg
b. Ceftriaxone (IV) 2 x 50 mg
c. D5 (IVFD) 15 tpm
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Analisa data
No Data Fokus Etiologi Masalah
DS : Nyeri kronis b.d.
Leukemi
Ibu klien mengatakan anaknya Limfoblastik Akut
infiltrasi tumor d.d.
sering mengeluh kakinya sakit mengeluh nyeri,
DO : Proliferasi Sel Darah tampak meringis
Putih Immatur
- Klien terlihat meringis (D.0078)
kesakitan
Imunosupresi
- P : nyeri saat kaki digerakkan Sumsum Tulang
1. - Q : seperti ditimpa beban
berat Nyeri Kronis
(D.0078)
- R : nyeri dirasakan dikedua
sendi
- S:4
- T : hilang timbul
- TTV : Nadi 100 x/menit, RR
25 x/menit, suhu 36,2°C
2. DS : Data su
Sel-Sel Leukemik
Ibu klien mengatakan anaknya
sulit tidur. Pola tidur hanya 4-5
jam dimalam hari, jarang tidur Penumpukan di
Sumsum Tulang
siang
DO :
Nyeri Tulang
- Terlihat lingkaran hitam
disekitar mata
Gangguan pola tidur
- klien terlihat mengantuk (D.0055)
dipagi hari
DS: Gangguan mobilitas
Kekuatan Otot
Ibu klien mengatakan anaknya Menurun fisik b.d. nyeri d.d.
mengalami kesulitan dalam mengeluh sulit
berjalan dan nyeri saat bergerak Kelemahan berjalan, nyeri saat
3. DO : bergerak, dan
Kekuatan otot kekuatan otot
5 5 Gangguan
mobilitas Fisik menurun (D.0054)
3 3
(D.0054)
2. Diagnosis keperawatan
a. Nyeri kronis b.d. infiltrasi tumor d.d. mengeluh nyeri, tampak meringis (D.0078)
b. Gangguan pola tidur b.d. kurang kontrol tidur d.d. pola tidr hanya 4-5 jam
dimalam hari, dan istirahat tidak cukup (D.0055)
c. Gangguan mobilitas fisik b.d. nyeri d.d. mengeluh sulit berjalan, nyeri saat
bergerak, dan kekuatan otot menurun (D.0054)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan dan
No Diagnosa Keperawatan Intervensi TTD
kriteria hasil
1. Nyeri kronis b.d. infiltrasi Setelah dilakukan Pemantauan Nyeri
tumor d.d. mengeluh nyeri,
tindakan selama 2 (I.08242)
tampak meringis (D.0078)
x 24 jam Observasi :
diharapkan nyeri f. Monitor faktor
berkurang atau pencetus nyeri
hilang, dengan g. Monitor kualitas
kriteria hasil: nyeri
g. Skala nyeri 1- h. Monitor lokasi dan
3 (1-10) penyebaran nyeri
h. Meringis i. Monitor skala nyeri
menurun 5 (1- j. Monitor durasi dan
5) frekuensi nyeri
i. Gelisah Dukungan koping
keluarga (I.09260)
menurun 5 (1-
Observasi :
5) b. Identifikasi
j. Kesulitan tidur kesesuaian antara
menurun 5 (1- harapan pasien,
5) keluarga, dan tenaga
k. Pola tidur kesehatan
membaik 5 (1- Terapeutik:
c. Diskusikan rencana
5)
medis dan
l. Nafsu makan
perawatan
meningkat 5
d. Dengarkan masalah,
(1-5)
perasaan, dan
(L.08066)
pertanyaan keluarga
Pemberian Analgesik
(I.08243)
Observasi :
b. Monitor TTV
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
Kolaborasi :
b. Santagesik (IV) 3 x
250 mg
2. Gangguan pola tidur b.d. Setelah dilakukan Dukungan Tidur
kurang kontrol tidur d.d.
tindakan selama 2 (I.09265)
pola tidr hanya 4-5 jam
dimalam hari, dan istirahat x 24 jam Observasi
tidak cukup (D.0055)
diharapkan pola c. Identifikasi pola
tidur klien aktivitas dan tidur
membaik, dengan d. Identifikasi faktor
kriteria hasil: penggangu tidur
c. Keluhan sulit Terapeutik
tidur menurun e. Modifikasi
d. Keluhan lingkungan
istirahat tidak f. Lakukan prosedur
cukup untuk meningkatkan
menurun kenyamanan
(L.05045) g. Tetapkan jadwal
tidur rutin
h. Fasilitasi
menghilangkan
stress sebelum tidur
Edukasi
b. Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
3. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
b.d. nyeri d.d. mengeluh
tindakan selama 2 (I.05173)
sulit berjalan, nyeri saat
bergerak, dan kekuatan x 24 jam Observasi :
otot menurun (D.0054)
diharapkan d. Identitikasi nyeri
mobilitas fisik dan keluhan fisik
meningkat, lainnya
dengan kriteria e. Identifikasi
hasil: toleransi fisik
d. Pergerakan melakukan
ekstremitas 5 pergerakan
(1-5) f. Monitor kondisi
e. Kekuatan otot umum selama
5 5 melakukan
5 5 mobilisasi
f. Rentang Terapeutik :
gerak (ROM) c. Fasilitasi aktifitas
5 (1-5) mobilisasi dengan
(L.05042) alat bantu missal
pagar tempat tidur
d. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi :
b. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (misal duduk
ditempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi)
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Dx
Tanggal Jam Implementasi Respon TTD
Kep
19-21 1,2,3 07.0 Mencuci tangan sebelum -
dan sesudah kontak
Oktober 0
dengan pasien dan
2021 lingkungan pasien
1 07.0 - Memonitor faktor TTV :
RR : 25x/menit,
5 pencetus nyeri
N : 100 x/menit
- Memonitor kualitas TD : 120/80 x/menit
suhu 370C.
nyeri
Skala nyeri : 2
- Memonitor lokasi dan
penyebaran nyeri
- Memonitor skala nyeri
- Memonitor durasi dan
frekuensi nyeri
- Mengidentifikasi
kesesuaian antara
harapan pasien,
keluarga, dan tenaga
kesehatan
- Mendiskusikan rencana
medis dan perawatan
- Mendengarkan
masalah, perasaan, dan
pertanyaan keluarga
2 07.2 - Mengidentifikasi pola Ibu klien mengatakan
0 aktivitas dan tidur bahwa anaknya mulai
- Mengidentifikasi faktor bertambah waktu tidurnya
penggangu tidur (7-8 jam waktu tidur
- Memodifikasi malam)
lingkungan
- Melakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyamanan
- Menetapkan jadwal
tidur rutin
- Menjelaskan
pentingnya tidur cukup
selama sakit
3 08.1 - Mengidenti Pasien mengatakan sudah
menggerakkan kedua
5 fikasi nyeri dan keluhan kakinya secara perlahan,
fisik lainnya Keluarga mampu terlibat
dalam membantu
- Mengidenti meningkatkan pergerakan
fikasi toleransi fisik pasien
melakukan pergerakan Kekuatan otot
- Memonitor 5 5
kondisi umum selama 4 4
melakukan mobilisasi
- Memfasilita
si aktifitas mobilisasi
dengan alat bantu yaitu
pagar tempat tidur
- Melibatkan
keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
- Menganjur
kan melakukan
mobilisasi dini
- Mengajarka
n mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan
(duduk ditempat tidur,
pindah dari tempat tidur
ke kursi)
1,2,3 14.0 - Mencuci -
0 tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
1 14.0 - Memonitor Pasien kooperatif, dan tidak
ada tanda tanda alergi obat
0 TTV sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
- Memberika
n Santagesik (IV) 3 x
250 mg
- Memonitor
efektifitas pemberian
analgesik
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Hari,
Dx Kep Jam Evaluasi Keperawatan (SOAP) TTD
Tanggal
Kamis, 21 1 14.00 S:
- Pasien mengatakan nyeri
Oktober
berkurang
2021
O:
- Skala nyeri : 2 (0-10)
- Pasien tidak tampak meringis
- Pasien tidak tampak gelisah
A : Masalah nyeri teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
Monitor skala dan durasi nyeri serta pemberian
analgesik
2 14.00 S:
Ibu klien mengatakan bahwa anaknya mulai
bertambah waktu tidurnya (7-8 jam waktu tidur
malam)
O:
Pasien terlihat segar, dan tidak mengantuk
dipagi hari
A : Masalah teratasi
P : pertahankan intervensi modifikasi
lingkungan, lakukan prosedur meningkatkan
kenyamanan dan tetapkan jadwal rutin.
3 14.00 S:
Pasien mengatakan sudah menggerakkan kedua
kakinya secara perlahan
O:
- Keluarga mampu terlibat dalam membantu
meningkatkan pergerakan pasien
- Kekuatan otot
5 5
4 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
Anjurkan mobilisasi sederhana
BAB 4
PEMBAHASAN
5.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari dan semoga makalah dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.