Anda di halaman 1dari 5

UNIVERSITAS INDONESIA

REFLEKTIF II
KEPERAWATAN KRONIS DI RG HEMODIALISA ANAK RSCM

ERMAWATI UKI
2206100054

PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2022
REFLEKTIF JURNAL

DOUBT/DIFFERENCE
Apakah penerapan FCC dalam CAPD pada anak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah??

DESCRIPTION
Pada kasus yang saya jumpai di ruangan HD pada.An U (4462762). Pada saat dijumpai
orangtua (Ibu) pasien sedang melakukan tindakan CAPD. Ibu mengatakan pada saat melakukan
tindakan CAPD dan anak rewel ibu jadi tidak fokus. Keterlibatan keluarga dalam perawatan
pasien sangat penting dan sangat bermanfaat bagi pasien. Saya berfikir ketika orang tua
melakukan tindakan CAPD kemungkinan untuk resiko infeksi akan terjadi karena menurut saya
pelaksanaan CAPD lebih baik dilakukan oleh perawat.

DISSECTION

Menurut residen pelaksanaan CAPD perlu dilakukan oleh tenaga terlatih dan berkompeten
mengingat resiko infeksi yang mungkin dapat terjadi jika dilakukan oleh tenaga terlatih.
Begitupun untuk ruangan dan tempat dilakukan tindakan CAPD harus benar-benar di tempat
dengan lingkungan yang memadai. FCC berpengaruh terhadap keberlangsungan tindakan
keperawatan, dimana melibatkan keluarga dalam perawatan klien. Contoh FCC yang dilakukan
pada pasien on CAPD yaitu catatan perkembangan klien. Akan tetapi masalah yang terjadi
dimana pencatatan klien tidak tercatat, sehingga membuktikan bahwa dibutuhkan evaluasi untuk
monitoring catatan pasien dan mungkin untuk pengingat bisa dilakukan oleh tenaga non medis.
akan tetapi untuk tindakan CAPD pada anak menurut residen sebaiknya dilakukan oleh tenaga
terlatih karena tindakan tersebut merupakan tindakan invasive dan juga membutuhkan waktu
dalam pelaksanaanya sehingga dapat mengganggu kualitas hidup keluarga. Berbeda dengan
CAPD pada orang dewasa dimana orang dewasa sudah bisa bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri dan kelangsungan hidupnya tidak bergantung pada orang lain. Sehingga menjadi bahan
reflektif bagi residensi terkait perawatan CAPD.
DISCOVER
Menurut kemkes 2016 Pelayanan CAPD merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam
mendekatkan akses dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan mengatasi keterbatasan
tenaga kesehatan (perawat, dokter, dan dokter sub spesialis).terutama kurangnya perawat
tersertifikasi CAPD sehingga dilaksanakan pelatihan CAPD bagi perawat dengan kurikulum
terakreditasi. Pelatihan tersebut memperhatikan SOP dengan mendapatkan pelatih professional
yang tersertifikasi, dan berbasis kompetensi.

Menurut moloi et al tahun 2018 menyebutkan bahwa Peritonitis tetap menjadi komplikasi CAPD
yang paling umum pada pasien yang diobati dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) .6–8
Secara global, tingkat peritonitis terkait CAPD diperkirakan 0,24–1,66 episode per pasien-tahun,
melebihi 9, di banyak kasus negara berpenghasilan menengah dan berpenghasilan menengah,
rekomendasi pedoman tidak lebih dari 0,5 episode per pasien-tahun.8 Meskipun negara maju
telah mengamati penurunan bertahap dalam prevalensi peritonitis terkait CAPD karena perbaikan
dalam teknik CAPD, tren yang sama belum dilaporkan di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.10 Berbagai faktor sosiodemografi, termasuk ketersediaan listrik dan air ledeng,
jumlah penghuni di rumah, 5 tingkat pendidikan, jarak dari unit dialisis11 serta faktor klinis dan
biokimia12 telah dikaitkan dengan peritonitis terkait CAPD di Afrika. eritonitis terkait CAPD
secara independen dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari semua penyebab, kematian
terkait kardiovaskular dan infeksi dan risiko ini meningkat dengan penggunaan CAPD yang
berkepanjangan.14 Diperkirakan bahwa untuk setiap peningkatan 0,5 per tahun pada tingkat
peritonitis, risiko kematian meningkat sebesar 4% -18% .7 Dalam satu penelitian, 15 meskipun
tingkat peritonitis ditemukan 0,60 episode per pasien-tahun, kematian di antara pasien CAPD
dilaporkan 5,9% sementara peritonitis terlibat langsung pada 15,2% semua kematian, dan infeksi
yang tidak terkait peritonitis menyebabkan 68,5% kematian

Cironda et al tahun 2018 juga menyebutkan bahwa Penderita penyakit ginjal kronis (PGK)
mengandalkan tenaga kesehatan nonprofesional, yaitu caregiver untuk menangani kondisi jangka
panjangnya. Meskipun literatur yang berkembang tentang pasien CKD, sedikit yang diketahui
tentang persepsi perawat tentang manajemen terpadu CKD. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengeksplorasi persepsi pengasuh terkait dengan manajemen terintegrasi pasien CKD.
Tempat: Studi berlangsung di rumah sakit umum terpilih di Provinsi KwaZulu-Natal, Afrika
Selatan. Metode: Desain studi kasus kualitatif digunakan. Metode purposive sampling digunakan
untuk memilih partisipan penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui jadwal wawancara
semi terstruktur yang dikembangkan dari studi pustaka. Data dianalisis melalui pendekatan
template tematik dengan menggunakan konstruk Health Belief Model. Hasil: Hipertensi dan
diabetes mellitus merupakan faktor risiko yang memperburuk perkembangan PGK.
Pengangguran, perubahan gaya hidup dan interaksi sosial yang terbatas terungkap sebagai efek
negatif dari CKD. Pengasuh menyadari konsekuensi dari tidak adanya keterlibatan dengan
manajemen terintegrasi. Manfaat positif yang terungkap dari manajemen terintegrasi terutama
terkait fisiologis dan sistem. Hambatan untuk terlibat dengan manajemen terintegrasi adalah efek
samping dari diet dan hemodialisis, cuaca panas, pengangguran, persepsi yang salah tentang
kesehatan yang baik dan kekurangan ginjal untuk transplantasi. Kesimpulan Pasien penyakit
ginjal kronis memerlukan dukungan perawat untuk membantu perubahan yang diperlukan untuk
mengatasi dan beradaptasi dengan manajemen penyakit yang terintegrasi. Pengasuh dapat
mengalami efek CKD, konsekuensi non-keterlibatan dan juga hambatan untuk manajemen
terintegrasi. Identifikasi persepsi pengasuh harus diberikan pemahaman yang lebih baik dari
petugas kesehatan dan perumusan strategi yang dapat menawarkan dukungan yang memadai

DECISION
Pada pasien CAPD pada anak perlu mempertimbangkan managemen terintegrasi dan
memperhitungkan kualitas hidup caregiver/pengasuh dan sebaiknya untuk menjaga
kelangsungan hidup caregiver diperlukan perawatan home care dari perawat professional yang
telah tersertifikasi untuk meminimalkan resiko. Dan jika berkaitan dengan masalah social
ekonomi sehingga mewajibkan nonmedis untuk melakukan CAPD sebaiknya diberikan pelatihan
khusus yang tersertifikasi agar dapat terevaluasi dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

REFERENSI
Cironda. Geldine & Bhengu. Busiwe., (2018). Perception of caregivers regarding engagement
with integrated management of chronic kidney disease patients in selected public hospital
of Kwazulu-Natal region, South Africa.
https://remote-lib.ui.ac.id:2078/docview/2178131966?pq-origsite=summon
DOI:10.4102/hsag.v23i0.1104

Kemkes., (2016)., Kurikulum pelatihan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)


untuk Perawat., http://siakpel.bppsdmk.kemkes.go.id
Moloi. M. W, Kajawo. S, Noubiap. J. J, Mbah. I. O, Ekrikpo. U, Kengne. A. P, Bello. A. K,
Okpechi. I. G., (2018). Prevalence of peritonitis and mortality in patients treated with
continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) in Africa: a protocol for a systematic
review and meta-analysis.,
https://remote-lib.ui.ac.id:2078/docview/2099495753/fulltextPDF/498F4F2A20D349BAPQ/1?
accountid=17242 DOI:10.1136/bmjopen-2017-020464

Anda mungkin juga menyukai