Anda di halaman 1dari 122

LAPORAN TUGAS AKHIR

GAMBARAN PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN


PADA NY.T G3P2A0 DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT DI
PUSKESMAS KUTAWALUYA
KABUPATEN KARAWANG
TAHUN 2018

DISUSUN OLEH:

MAULIDYA ALISTA
NIM. P17324415013

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
2018
LAPORAN TUGAS AKHIR

GAMBARAN PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN


PADA NY. T G3P2A0 DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT DI
PUSKESMAS KUTAWALUYA
KABUPATEN KARAWANG
TAHUN 2018

Karya Tulis Ini Diajukan Sebagai Salah Satu


Ujian Akhir Program Pada Program Studi Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

DISUSUN OLEH :
MAULIDYA ALISTA
NIM. P17324415013

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
2018
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

PERNYATAAN ORISINALITAS

LTA ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Maulidya Alista


NIM : P17324415013
Tanda Tangan :

Materai

Tanggal : 8 Juni 2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa


mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Tugas Akhir (LTA) dengan judul “Gambaran Penatalaksanaan
Asuhan Kebidanan Pada Ny.T G3P2A0 dengan Preeklampsia Berat di
Puskesmas Kutawaluya Kabupaten Karawang Tahun 2018”.
Laporan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
dalam menyelesaikan Pendidikan Diploma III Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Bandung Program Studi Kebidanan Karawang.
Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang
dimiliki sehingga Laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Atas
bimbingan, pengarahan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya
penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan baik. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat kepada :
1. Dr. Ir. H. R Oesman Syarif, SKM, MKM selaku Direktur Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung.
2. Dr. Jundra Darwanty, S.ST., M.Pd selaku Ketua Program Studi Kebidanan
Karawang Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung
3. Eneng Solihah, S.ST., M.Keb selaku Pembimbing dan Penguji I dalam
penyusunan Laporan Tugas Akhir ini yang telah banyak meluangkan
waktu dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan selalu
memberikan dukungan sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan.
4. Wariyah, S.pd., M.Kes selaku Ketua Penguji dalam pelaksanaan sidang
Laporan Tugas Akhir ini.
5. Ida Farida H, SST., M.Keb selaku penguji 2 dalam pelaksanaan sidang
Laporan Tugas Akhir ini.
6. Seluruh Dosen dan Staff Program Studi D III Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya
7. Bidan Yeni Renjani, S.ST selaku bidan koordinator PONED Puskesmas
Kutawaluya dan jajarannya yang telah yang telah memberikan izin dan
membantu saya dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.
8. Kepada Ny.T beserta keluarga, selaku subjek dalam melaksanakan laporan
tugas akhir ini, saya mengucapkan terimakasih atas kerjasama dan
ketersediannya menjadi subjek kasus yang telah membantu dalam
pengumpulan data, sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
9. Terimakasih banyak untuk kedua orang tua saya, Bapak Aat Suhanda dan
Ibu Eulis Juliah serta adik saya yang tak pernah bosan memberikan
semangat dan dukungan dalam segi moril maupun materil, memberikan
perhatian dan motivasi yang tak terhingga kepada saya sehingga Laporan
Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
10. Sahabat saya Nurmahalina Triani Putri Agustin yang telah banyak terlibat
di dalam pengambilan subjek kasus, Suci Rahmawati Lestari, Sarah
Purwanti Hakim, Richa Yulinda, Fetriana Nur Indahsari, Nurkhopipah,
Sunarti Febrianti yang selalu memberikan dukungan dalam penyusunan
Laporan Tugas Akhir ini sampai terselesaikan.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 23 Prodi Kebidanan
Karawang Poltekkes Kemenkes Bandung
12. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dan mendukung sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam isi Laporan Tugas Akhir ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu penulis mengharapkan
adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat membantu
dalam penyempurnaan Laporan tugas Akhir (LTA) selanjutnya. Akhir kata
semoga Laporan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca, tenaga
kesehatan umumnya dan tenaga kebidanan khususnya. Aamiin Ya Robbal
Alamiin.
Karawang, Juni 2018

Maulidya Alista
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
LAPORAN TUGAS AKHIR, JUNI 2018

MAULIDYA ALISTA
NIM P17324415013

“GAMBARAN PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA


NY.T DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT DI PUSKESMAS
KUTAWALUYA KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2018”

ABSTRAK
Latar Belakang : Menurut World Health Organization (WHO), angka kejadian
preeklampsia berat di dunia berkisar antara 0,5% -38,4%. Di Negara maju angka
kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Preeklampsia
merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya
disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan koagulasi. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Sedangkan di Kabupaten Karawang kasus
preeklampsia berat menyumbang sebanyak 11 kasus kematian (19,32%). Tujuan
: untuk mengetahui gambaran penatalaksanaan asuhan kebidanan Ny. T G3P2A0
dengan Preeklampsia Berat di Wilayah Kerja Puskesmas Kutawaluya tahun 2018.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode pendekatan studi kasus, melalui
observasi dan pengumpulan data. Hasil : penatalaksanaan asuhan kebidanan pada
kasus Ny.T dengan preeklampsia berat di Puskesmas Kutawaluya tidak sesuai
dengan teori dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku yaitu tidak
melakukan salah satu prasyarat pemberian MgSO4 dan RSUD Karawang sudah
sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku. Saran : Diperlukan
adanya upaya preventif dalam menegakkan kemungkinan terjadinya preeklampsia
secara dini dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan. Serta
diperlukan adanya asuhan yang komprehensif dengan cara melakukan follow up
setelah pasien dipulangkan dari tempat rujukan untuk mendeteksi adanya
komplikasi yang mungkin terjadi.

Kata Kunci : Preeklampsia Berat, Asfiksia


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i

PENYATAAN ORISINALITAS........................................................................ii

LEMBAR PESETUJUAN LTA ........................................................................iii

LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

ABSTRAK ........................................................................................................vii

DAFTAR ISI....................................................................................................viii

DAFTAR TABEL..............................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 6

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 6

1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................... 6

1.2.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 6

1.3 Manfaat Penulisan .......................................................................................


7

1.3.1 Manfaat Bagi Penulis ........................................................................ 7

1.3.2 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan .................................................... 7

1.3.3 Bagi Tempat Praktik ......................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 8

2.1 Preeklamsia Berat ........................................................................................


8

2.1.1 Pengertian Preeklampsia.................................................................. 8

2.1.2 Epidemiologi ................................................................................... 9

2.1.3 Etiologi .......................................................................................... 10


2.1.4 Patofisiologi................................................................................... 10

2.1.5 Faktor Resiko................................................................................. 12

2.1.6 Deteksi Dini................................................................................... 16

2.1.7 Penegakkan Diagnosis ................................................................... 17

2.1.8 Pencegahan .................................................................................... 19

2.1.9 Penanganan Preeklampsia Berat.................................................... 21

2.1.10 Komplikasi..................................................................................... 39

2.2 Sistem Rujukan.......................................................................................... 46

2.3 Kewenangan Bidan Pada Kasus Preeklampsia Berat ................................ 52

2.4 Asuhan Kebidanan..................................................................................... 53

2.4.1 ANC ............................................................................................... 53

2.4.2 INC ................................................................................................. 58

2.4.3 PNC ................................................................................................ 58

2.4.4 BBL ................................................................................................ 60

BAB III Kronologi dan Kasus........................................................................ 63

3.1 Kronologi kasus ......................................................................................... 63

3.2 Data Sekunder............................................................................................ 77

3.2.1 Berdasarkan Buku KIA ................................................................... 77

3.2.2 Hasil Wawancara ............................................................................ 78

3.3 Pembahasan ............................................................................................... 80

3.3.1 Faktor Resiko Preeklampsia Berat .................................................. 80

3.3.2 Deteksi Dini Preeklampsia Berat .................................................... 81

3.3.3 Penegakkan Diagnosis .................................................................... 83

3.3.4 Penatalaksanaan .............................................................................. 86


3.3.5 Sistem Rujukan ............................................................................... 89

3.3.6 Komplikasi Preeklampsia Berat...................................................... 90

3.3.7 Asuhan Postnatal care ..................................................................... 93

3.3.8 Asuhan Bayi Baru Lahir dan Neonatus........................................... 94

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 96

4.1 Kesimpulan................................................................................................ 96

4.2 Saran .......................................................................................................... 97

DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Cara Pemberian MgSO4 ....................................................................... 24

Tabel 2.2 Pemberian Diazepam Pada Preeklampsia dan Eklampsia .................... 25

Tabel 2.3 Dosis Obat Antihipertensi..................................................................... 25

Tabel 2.4 SOP Penanganan Preeklampsia Berat di Puskesmas Kutawaluya........ 35

Tabel 2.5 SOP Penanganan Preeklampsia Berat di RSUD Karawang ................. 36

Tabel 2.6 Penilaian APGAR Skor......................................................................... 44

Tabel 2.7 Prosedur Rujukan Pasien Puskesmas Kutawaluya ............................... 52

Tabel 2.8 Standar Pelayanan Bayi Baru Lahir dan Neonatus ............................... 61
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Persetujuan Klien

Lampiran 2 : Buku KIA

Lampiran 3 : Transkip Wawancara Klien

Lampiran 4 : Transkip Wawancara Bidan

Lampiran 5 : Foto Kunjungan Nifas


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

menilai tidak saja derajat kesehatan perempuan tetapi juga derajat

kesejahteraan perempuan. AKI adalah jumlah kematian ibu selama masa

kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan,

persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab

lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup.

Indikator ini tidak hanya mampu menilai program kesehatan ibu, terlebih

lagi mampu menilai derajat kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya

terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun

kualitas.

Penurunan AKI merupakan salah satu target yang perlu kerja keras

(dalam Pembangunan Kesehatan Pasca 2015 atau Pembangunan

Berkelanjutan 2030 Kementrian Kesehatan RI dalam SDG’s (Sustainable

Development Goals) yaitu pada Goals ketiga (Kemenkes RI, 2015).

Angka Kematian Ibu menurut WHO tahun 2014 didunia mencapai angka

289.000 jiwa. Dimana terbagi atas beberapa Negara, seperti Amerika

Serikat mencapai 9300 jiwa, Afrika Utara 179.000 jiwa dan Asia Tenggara

16.000 jiwa (WHO, 2014).

Angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia

berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan mengalami penurunan sejak

2015 hingga semester pertama 2017. Jumlah kasus kematian bayi turun dari
33.278 kasus pada 2015 menjadi 32.007 kasus pada 2016. Sementara hingga

pertengahan tahun atau semester satu 2017 tercatat sebanyak 10.294 kasus

kematian bayi. Demikian pula dengan angka kematian ibu saat melahirkan

turun dari 4.999 kasus pada 2015 menjadi 4.912 kasus di tahun 2016,

sementara hingga semester satu di tahun 2017 terjadi 1.712 kasus kematian

ibu saat proses persalinan. (Kutipan Republika, 2017 dari Kementerian

Kesehatan, 2017)

Angka Kematian Ibu berdasarkan laporan profil dinas kesehatan Provinsi

Jawa Barat tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu sebanyak 799 orang

(84,78/100.000KH), dengan proporsi kematian pada ibu hamil 227 orang

(20,09/100.000), pada ibu bersalin 202 orang (21,43/100.000KH), dan pada

ibu nifas, 380 orang (40,32/100.000KH), jika dilihat berdasarkan kelompok

umur presentasi kematian pada kelompok umur <20 tahun sebanyak 71

orang (8,89%), kelompok umur 20-34 tahun sebanyak 509 orang (63,70%)

dan >35 tahun sebanyak 219 orang (27,41%). (Dinkes Jabar, 2016)

Adapun Angka Kematian Ibu (AKI) berdasarkan data dari dinas

kesehatan kabupaten karawang pada tahun 2017 sebanyak 59 kasus per

100.000 kelahiran hidup, penyebab AKI terbanyak disebabkan oleh

preeclampsia berat yaitu sebanyak 11 kasus (19,32%) Sedangkan Angka

Kematian Bayi pada tahun 2017 sebanyak 173 kasus. Penyebab utama AKB

diakibatkan oleh BBLR sebanyak 70 kasus, asfiksia sebanyak 51 kasus.

(Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2017)


Tiga penyebab utama kematian ibu di dunia adalah perdarahan (30%),

hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO

memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di Negara

berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara

maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% -

18%.

Adapun di Indonesia penyebab tertinggi kematian ibu di tahun 2016,

sebanyak (32%) diakibatkan perdarahan. Sementara (26%) diakibatkan

hipertensi yang menyebabkan terjadinya kejang, keracunan kehamilan

sehingga menyebabkan ibu meninggal. Penyebab lain kematian ibu, adalah

karena penyebab lain seperti faktor hormonal, kardiovaskuler, dan infeksi.

(Kutipan Viva, 2017 dari Kementerian Kesehatan, 2017)

Di Provinsi Jawa Barat penyebab kematian ibu secara langsung di

akibatkan oleh perdarahan, hipertensi dalam kematian, infeksi, abortus, dan

lain sebagainya. Kemudian penyebab tidak langsung seperti pelayanan

kesehatan, waktu tempuh, jarak. Sedangkan penyebab mendasar ialah

penyebab yang berkaitan dengan kemiskinan, ketidaktahuan, lingkungan dan

sejenisnya. (Kutipan Jurnal pos media, 2016)

Angka kematian ibu di kabupaten Karawang pada tahun 2017 paling

banyak disebabkan oleh preeclampsia berat yaitu sebanyak 11 kasus

(19,32%). (Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2017).

Menurut WHO angka kejadian preeklampsia berat di dunia berkisar

antara 0,5% -38,4%. Di Negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar

6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Sedangkan angka kematian ibu yang


diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di Negara berkembang masih

tinggi. (Kutipan Santosa, 2015 dari WHO)

Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau

sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak

terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia,

berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan

perkembangan temuan antibiotik. (PNPK, 2016)

Jawa barat ternyata masih menjadi salah satu provinsi teratas sebagai

penyumbang angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Angka kejadian

kasus PEB di Jawa Barat pada tahun 2013 adalah 229 kasus dengan

penyumbang terbesar adalah Sukabumi dengan 78 kasus dan terendah

adalah Kota Cirebon dan Kota Banjar masing-masing 3 kasus. (Kutipan

Pikiran Rakyat, 2016 & Kutipan Mulyana, 2015)

Angka kejadian preeclampsia berat di Kabupaten Karawang masih tinggi

dan menjadi penyumbang angka kematian ibu terbanyak pada tahun 2017

dengan jumlah sebanyak 11 kasus kematian (19,32%). (Dinas Kesehatan

Kabupaten Karawang, 2017).

Berdasarkan data yang didapatkan, kejadian preeclampsia di Puskesmas

Kutawaluya Kabupaten Karawang Tahun 2017 terdapat 41 kasus

preeclampsia baik pada masa kehamilan maupun pada saat persalinan tetapi

tidak ada kasus kematian yang diakibatkan oleh preeclampsia berat.

Meskipun tidak ada kasus kematian akibat kasus preeclampsia berat, tetapi

menyumbang angka mordibitas. (Rekam Medik PONED Puskesmas

Kutawaluya)
Sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui Kementerian

Kesehatan sejak tahun 1990 telah meluncurkan safe motherhood initiative,

sebuah program yang memastikan semua wanita mendapatkan perawatan

yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan

persalinannya. Upaya tersebut dilanjutkan dengan program Gerakan Sayang

Ibu di tahun 1996 oleh Presiden Republik Indonesia. Program ini melibatkan

sektor lain di luar kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan

untuk mengatasi masalah kematian ibu yaitu penempatan bidan di tingkat

desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses

pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Upaya lain yang

juga telah dilakukan yaitu strategi Making Pregnancy Safer yang

dicanangkan pada tahun 2000.

Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin

agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas,

seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca

persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi

komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan

pelayanan keluarga berencana.

Melihat permasalahan dan implementasi asuhan kebidanan di Puskesmas

Kutawaluya, maka peneliti tertarik untuk menyusun Laporan Tugas Akhir

yang berjudul Gambaran Asuhan Kebidanan pada Ny T G3P2A0 dengan

Preeklampsia Berat di Puskesmas Kutawaluya tahun 2018.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah

yaitu: Bagaimana gambaran asuhan kebidanan pada Ny.T G3P2A0 dengan

Preeklampsia Berat di Puskesmas Kutawaluya tahun 2018.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dibuatnya Laporan Tugas Akhir ini adalah untuk

mengetahui gambaran penatalaksanaan asuhan kebidanan pada Ny. T

G3P2A0 dengan preeklampsia berat di Puskesmas Kutawaluya

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penyusunan Laporan Tugas Akhir ini adalah

1. Mengetahui faktor resiko terjadinya preeclampsia berat pada

Ny.T G3P2A0 di Puskesmas Kutawaluya

2. Mengetahui deteksi dini preeclampsia berat pada Ny.T G3P2A0

di Puskesmas Kutawaluya

3. Mengetahui penegakan diagnosa preeklamsia berat yang

dilakukan oleh bidan pada Ny. T G3P2A0 di Puskesmas

Kutawaluya dan RSUD Karawang

4. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan oleh

bidan dalam kasus Ny. T G3P2A0 dengan Preeklamsia berat di

Puskesmas Kutawaluya dan RSUD Karawang

5. Mengetahui bagaimana sistem rujukan yang dilakukan oleh bidan

dalam kasus Ny. T G3P2A0 dengan Preeklamsia berat di

Puskesmas Kutawaluya
6. Mengetahui komplikasi dan penanganan yang terjadi pada kasus

Ny.T G3P2A0 dengan Preeklamsia berat di Puskesmas

Kutawaluya

7. Mengetahui asuhan kebidanan pada post partum Ny. T G3P2A0

dengan Preeklamsia berat di Puskesmas Kutawaluya

8. Mengetahui asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir pada kasus Ny.

T G3P2A0 dengan Preeklamsia berat di Puskesmas Kutawaluya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Penulis

Untuk menambah pengetahuan tentang asuhan dan tindakan yang

diberikan kepada pasien dengan kasus Preeklamsia berat di

Puskesmas Kutawaluya

1.4.2 Manfaat bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian tentang gambaran penatalaksanaan asuhan

kebidanan pada pasien dengan kasus preeclampsia berat di

Puskesmas Kutawaluya diharapkan dapat berguna sebagai bahan

bacaan dan untuk menambah wawasan bagi seluruh civitas Poltekkes

Kemenkes Bandung Prodi Kebidanan Karawang pada kasus

preeklampsia berat.

1.4.3 Manfaat bagi Tempat Penelitian

Menjadi bahan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan dalam

memberikan pelayanan tentang Penatalaksanaan Asuhan Kebidanan

preeklampsia berat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia Berat

2.1.1 Pengertian

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang

ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap

adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik

yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ

lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya

selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru

terjadi pada kehamilan (new onsethypertension with proteinuria).

Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik

karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

(PNPK,2016)

Preeklampsia juga dapat terjadi tanpa proteinuria, dengan hepatic,atau

menifestasi klinis lainnya.Hipertensi, proteinuria dan gejala-gejala

pendukung lainnya menguatkan sindrom preeclampsia. Gejala

preeclampsia meliputi sakit kepala, perubahan visual, nyeri epigastrik atau

kuadran kanan atas, dan napas pendek.

Kriteria American Congress of Obstetricians and Gynecologist

(ACOG) untuk preeclampsia berat mencakup komplikasi organ maternal

(hipertensi parah dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg (Sabarudin,

dkk : 2015)
Preeklampsia berat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Preeclampsia berat tanpa impending eklampsia

2. Preeklampsia dengan impending eklampsia.

Disebut impending eklampsia bila preeclampsia berat disertai gejala

gejala subjektif berupa nyeri kepala yang hebat, gangguan visus, muntah-

muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

(Saifuddin, 2014)

2.1.2 Epidemiologi

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa gangguan

hipertensi menyumbang 16% dari semua kematian ibu di negara maju, 9%

kematian ibu di Afrika dan Asia, dan setinggi 26% di Amerika Latin dan

Karibia. Dimana ibu mortalitas tinggi, sebagian besar kematian disebabkan

oleh eklamsia, daripada preeklampsia. Berdasarkan data dari Survei

Pengeluaran Rumah Sakit Nasional Amerika Serikat, tingkat preeklamsia

saat masuk untuk persalinan dan persalinan meningkat sebesar 25% dari

1987 hingga 2004, sementara tingkat eklamsia menurun sebesar 22%,

meskipun tidak signifikan secara statistik. Morbiditas berat yang terkait

dengan preeklampsia dan eklamsia termasuk gagal ginjal, stroke, disfungsi

atau henti jantung, gangguan pernapasan, koagulopati, dan gagal hati.

Dalam sebuah penelitian tentang rumah sakit yang dikelola oleh Perawatan

Kesehatan America Corporation, preeklampsia adalah penyebab utama

kedua dari perawatan unit perawatan intensif terkait kehamilan setelah

perdarahan obstetrik. (Jeyabalan, 2014)


2.1.3 Etiologi

Faktor-faktor etiologi yang berperan dalam perkembangan

preeclampsia masih belum diketahui dengan pasti. Sindrom preeclampsia

ditandai dengan adanya vasokontriksi, hemokonsentrasi, serta

kemungkinan perubahan iskemik dalam plasenta, ginjal, hati dan otak.

Kondisi-kondisi ini biasanya tampak pada wanita yang menderita

preeclampsia berat. (Sabarudin,dkk, 2015).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati (2016) Ibu

yang mengalami preeklampsia sebagian besar memiliki perilaku hidup

yang tidak sehat sebanyak (60,7%). Temuan ini sesuai dengan hasil

penelitian Malakouti, Sehhati, Mirghafourvand, & Nahangi (2015) yang

menunjukan bahwa perilaku hidup sehat pada ibu preeklampsia pada level

menengah dengan nilai mean 2,4 pada range 1-4. Aspek perilaku hidup

sehat tertinggi adalah pemenuhan nutrisi, dan terendah adalah olah raga.

(Ratnawati, 2016)

2.1.4 Patofisiologi

Diperkirakan 2-8% kehamilan dipersulit oleh preeklampsia, dengan

morbiditas dan mortalitas maternofetal terkait.Pada janin, preeklamsia

dapat menyebabkan ensefalopati iskemik, retardasi pertumbuhan, dan

berbagai gejala kelahiran prematur.Eklampsia diperkirakan terjadi pada 1

dari 200 kasus preeklamsia ketika profilaksis magnesium tidak diberikan.

(Lim, Kee-Hak, dkk : 2018)


Patofisiologis dari preeclampsia masih belum diketahui dengan pasti.

Banyak teori-teori dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan

penyebabnya, oleh karena itu preeclampsia disebut sebagai the diseases of

theories.(Fauziyah, 2012)

Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam

kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak

benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

4. Teori adaptasi kardiovaskularori genetic

5. Teori defisiensi gizi

6. Teori inflamasi (Saifuddin, 2014)

Pengawasan ketat terhadap pasien dengan preeclampsia harus

dilakukan dengan baik karena tingkat keparahan penyakit dapat

berkembang tiba-tiba. Oleh sebab itu, semua wanita penderita

preeclampsia harus melaporkan gejala-gejala yang dialami seperti :

1. Mual dan muntah

2. Sakit kepala yang parah dan terjadi terus menerus

3. Nyeri epigastrik atau dibagian kuadran kanan atas

4. Skotomata

5. Penglihatan kabur

6. Napas pendek

7. Penurunan pergerakan janin


8. Kontraksi uterus yang terjadi teratur (Sabarudin,dkk, 2015)

2.1.5 Faktor Resiko Preeklampsia

Faktor Resiko preeklampsiamenurut buku American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2013 dan Lim, 2018 adalah sebagai

berikut:

1. Primiparitas

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fatkhiyah, dkk pada tahun

2016 mengemukakan bahwa faktor paritas (anak pertama) berisiko

mengalami preeclampsia sebesar 1,56 kali dibandingkan ibu hamil

yang kedua atau lebih (multiparitas) sehingga primigravida sebagai

faktor predisposisi terjadinya preeclampsia. (Fatkhiyah, dkk, 2016)

2. Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

Riwayat preeclampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan

faktor resiko utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga

tujuh kali lipat. Kehamilan pada wanita dengan riwayat

preeclampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian

preeclampsia berat, preeclampsia onset dini dan dampak perinatal

yang buruk. (Sunarto, 2015). Adapun, menurut hasil penelitian

yang dilakukan oleh Nuning Saraswati dan Mardiana menunjukan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat preeklampsia

dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil, artinya bahwa ibu

hamil yang memiliki riwayat preeklampsia sebelumnya

mempunyai risiko 20,5 kali mengalami kejadian preeklampsia


dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat

preeklampsia.(Saraswati & Mardiana, 2016)

Kehamilan dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berisiko

mengalami preeklampsia kembali pada kehamilan sekarang. Dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyarini, didien ika dan

Suprapti menunjukkan bahwa resiko frekurensi (terjadinya

preeklampsia kembali) jika kehamilan sebelumnya preeclampsia :

14-20% dan risiko frekurensi lebih besar (s/d 38%) jika

menghasilkan persalinan prematur (early-onset preeklampsia).

(Setyarini, didien ika dan Suprapti, 2016)

Selain itu, faktor riwayat preeklampsia mempunyai risiko 3,26 kali

terjadi preeklampsia dibandingkan ibu hamil tanpa riwayat

preeklampsia.. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa ibu

hamil dengan riwayat preeklampsia terdapat kecenderungan

diwariskan, preeklampsia sebagai penyakit yang diturunkan pada

anak atau saudara perempuan. (Fatkhiyah, dkk, 2016)

3. Ibu yang sangat muda atau ibu yang berusia lebih dari 30 tahun

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatkhiyah, dkk,

tahun 2016 menunjukkan bahwa faktor umur ibu yang hamil pada

umur < 20 tahun dan > 35 tahun berisiko terjadi preeklampsia

7,875 kali dibandingkan ibu usia reproduksi sehat (20-35 tahun).

Insiden preeklampsia tertinggi pada wanita hamil dengan usia

paling muda. Kecenderungan umur ibu yang kurang dari 20 tahun

mempunyai resiko terjadi preeclampsia. (Fatkhiyah, dkk, 2016)


4. Riwayat hipertensi

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatkhiyah, dkk, pada

tahun 2016 menunjukkan bahwa faktor riwayat hipertensi

mempunyai risiko 6,42 kali terjadi preeklampsia dindingkan

dengan ibu hamil yang tidak ada riwayat hipertensi.(Fatkhiyah,

dkk, 2016)

5. Kehamilan multifetal

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Komalasari, dkk

tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa ibu yang mengalami

kehamilan ganda perlu mendapatkan perhatian khusus karena

selain berisiko mengalami preeklampsia berat juga ibu hamil yang

mengalami kehamilan ganda perlu mendapatkan penanganan

khusus agar bayi yang dikandungnya dapat berkembang dengan

baikdan lahir dua-duanya dengan selamat.Adapun berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Maria & Dyah bahwa preeklampsia

dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari

105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeclampsia dan satu

kematian ibu karena eklampsia.

6. Obesitas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dumais,

dkkmengemukakan bahwa terdapat hubungan antara obesitas pada

kehamilan dengan pre-eklampsi dari pasien di RSUP Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado. (Dumais, dkk, 2016)


Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Lombo, dkk pada

tahun 2017 menunjukkan bahwa karakteristik pasien preeklampsia

berdasarkan status gizi (IMT) menunjukkan indeks masa tubuh

(IMT) kategori obesitas lebih dominan, dimana obesitas pada

preeklampsia ringan sebanyak 12 orang (20%) dan preeklampsia

berat sebanyak 20 orang (33,3%). (Lombo, dkk, 2017)

7. Kehamilan Pertama Dengan Pasangan Baru

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Sunarto pada

tahun 2015 memperlihatkan bahwa kehamilan pertama oleh

pasangan yang baru dianggap sebagai faktor resiko, walaupun

bukan nulipara karena resiko meningkat pada wanita yang

memiliki paparan rendah terhadap sperma. (Sunarto, 2015)

8. Ibu Rumah Tangga

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lombo, dkk 2017

menunjukkan bahwa pasien dengan kelompok ibu rumah tangga

lebih dominan baik pada preeklampsia ringan sebanyak 11 orang

(18,3%) dan pada preeklampsia berat sebanyak 24 orang (40%).

Penelitian ini diperkuat oleh Djannah,dkk (2010) yang

menunjukkan bahwa kejadian preeklampsia didominasi oleh

kelompok ibu yang hanya bekerja di rumah sebanyak 63,5%.25

Karena pekerjaan dikaitkan dengan adanya aktifitas fisik dan stress

yang merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia. (Lombo,

dkk, 2017)
2.1.6 Deteksi Dini

Preeklampsia tidak dapat dicegah, yang terpenting adalah bagaimana

penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin. Deteksi dini terhadap kasus

preeklampsia dapat dilakukan dengan cara yang sederhana seperti

pengkajian yang komprehensif agar semua riwayat dan faktor risiko dapat

diketahui, sehingga diagnosis dini dapat ditegakkan dan intervensi yang

tepat dapat diberikan. (Djami, 2016)

Selain itu, deteksi dini didapatkan dari pemeriksaan tekanan darah

secara rutin pada saat pemeriksaan kehamilan (antenatal care). Karena itu

pemeriksaan kehamilan rutin mutlak dilakukan agar preeklamsia dapat

terdeteksi cepat untuk meminimalisir kemungkinan komplikasi yang lebih

fatal. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan seksama, dan

usahakan dilakukan oleh orang yang sama misalnya bidan atau dokter.

(Kutipan RSIAtambak, 2011)

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuning Saraswati dan

Mardiana menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil.

Responden yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal mempunyai

risiko 17,111 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan

responden yang melakukan pemeriksaan antenatal.(Saraswati & Mardiana,

2016)
2.1.7 Penegakkan Diagnosis

Menurut PNPK tahun 2016 preeklampsia didefinisikan sebagai

hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20

minggu disertai adanya gangguan organ. Beberapa gejala klinis

meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia, dan jika

gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi

pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria

gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia

atau preklampsia berat adalah dengan adanya protein urin, namun jika

protein urin tidak didapatkan, salah satu tanda dan gejala dan gangguan

lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia berat,

yaitu:

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110

mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

menggunakan lengan yang sama

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada

kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali

normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan

atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus


7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)

atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

(PNPK,2016)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumulyo, dkk tahun

2017 Penegakkan diagnosis preeclampsia yaitu :

1. Hipertensi:

a. Sistolik >140 mmHg atau diastolik >90 mmHg pada dua

kesempatan berjarak 4 jam dengan di antaranya pasien dalam

keadaan istirahat (kecuali terapi antihipertensi dimulai sebelum

saat ini). Ditemukan pada usia kehamilan 20 minggu pada wanita

yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.

b. Sistolik >160 mmHg atau diastolic >110 mmHg, hipertensi

dikonfirmasi segera agar dapat diberi terapi antihipertensi.

2. Trombositopenia (jumlah trombosit<100.000).

3. Gangguan fungsi hati (peningkatan enzim transaminase hati dua kali

konsentrasi normal), nyeri kuadran kanan atas persisten berat atau

nyeri epigastrium tidak responsif terhadap pengobatan dan tidak ada

diagnosis alternatif, atau keduanya.

4. Insufisiensi ginjal (peningkatan kreatinin serum lebih besar dari 1,1

mg/dL, atau dua kali lipat dari kreatinin serum baseline laboratorium

rumah sakit yang bersangkutan tanpa penyakit ginjal lainnya.

5. Edema paru.
6. Timbulnya onset gejala neurologis seperti nyeri kepala atau gangguan

visual.

Saat ini, diagnosis preeclampsia berat tidak lagi tergantung pada

adanya proteinuria. Manajemen preeklampsia tanpa proteinuria tidak boleh

ditunda. Task Force onHypertension in Pregnancy juga menyarankan

untuk mengeliminasi kriteria proteinuria masif, yang didefinisikan sebagai

proteinuria >5 g, karena kurangnya bukti bahwa kuantitas protein

berhubungan dengan luaran kehamilan dengan preeklampsia. Pertumbuhan

janin terhambat juga bukan lagi indikasi preeklampsia berat mengingat

tatalaksana PJT pada kehamilan dengan atau tanpa preeklampsia tidak

berbeda. (Sumulyo, dkk, 2017)

2.1.8 Pencegahan

Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya

preeklampsia pada perempuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya

preeklampsia. Preeklampsia adalah perempuan hamil yang mempunyai

risiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia adalah suatu sindroma dari

proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan dapat dicegah.

Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal.

1. Pencegahan dengan nonmedical

Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak

memberikan obat, cara yang paling sederhana ialah melakukan

tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada

mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya preeklampsia

meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya


preeklampsia dan mencegah persalinan preterm. Retriksi garam

tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeklampsia.

Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung

a. Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,

misalnya omega-3 PUFA.

b. Antioksidan : Vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, N-

Asetilsistein, asam lipoik.

c. Elemen logam berat : zinc, magnesium, kalsium.

2. Pencegahan dengan medikal

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat

meskipun belum ada bukti yang kuat dan sahih. Pemberian diuretik

tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia bahkan

memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah

terjadinya preeklampsia.

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan suplemen

kalsium dan vitamin C dan E pada populasi berisiko rendah tidak

menemukan penurunan insidensi preeklamsia. Dalam uji

multisenter, acak, terkontrol, Villar et al menemukan bahwa pada

dosis yang digunakan untuk suplementasi, vitamin C dan E tidak

terkait dengan pengurangan preeklamsia, eklamsia dan hipertensi

gestasional.

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Lim, 2018

menyimpulkan bahwa aspirin mengurangi risiko preeklamsia dan

kematian perinatal, meskipun tidak secara signifikan


mempengaruhi berat lahir. Aspirin dosis rendah pada wanita

nulipara yang tidak terpilih tampaknya mengurangi insidens

preeklamsia hanya sedikit.Untuk wanita dengan faktor risiko

preeklampsia, memulai aspirin dosis rendah (umumnya, 1 tablet

aspirin per hari), dimulai pada usia kehamilan 12-14 minggu,

adalah wajar. Keamanan penggunaan aspirin dosis rendah pada

trimester kedua dan ketiga sudah ditetapkan dengan baik.

American Congress of Obstetricians and Gynecologist (ACOG)

menguatkan rekomendasi untuk kemungkinan penggunaan aspirin

dosis rendah (81 mg / hari), diperkenalkan antara 12 dan 28

minggu kehamilan, untuk mencegah preeklampsia pada wanita

yang berisiko tinggi. (Lim, 2018)

2.1.9 Penanganan

2.1.9.1 Penanganan Preeklampsia Secara Umum

Menurut Abdul Bari Saifudin (2014) dijelaskan bahwa penanganan

preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus

berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia.

1. Penanganan kejang

a. Beri obat antikonvulsan

b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan,

masker oksigen, oksigen)

c. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma

d. Aspirasi mulut dan tenggorokan


e. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk

mengurangi risiko aspirasi

f. Beri O2 4-6 liter/menit.

2. Penanganan umum

a. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi,

sampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.

b. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar (16 atau lebih)

c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload

d. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan proteinuria

e. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat

mengakibatkan kematian ibu dan janin

f. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin

setiap jam

g. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru, jika ada

edema paru, stop pemberian cairan, dan berikan diuretik

misalnya furosemide 40 mg

3. Antikonvulsan

Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan

mengatasi kejang pada preeklampsia dan eklampsia. Berikan

magnesium sulfat untuk preeklampsia berat dan eklampsia:

a. Pada pasien preeklampsia berat atau eklampsia, berikan dosis

awal 4g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang atau

kejang berulang
b. Apabila rujukan terlambat, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4

dalam 6 jam sesuai prosedur

c. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,

frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah

urin

Tabel 2.1

Cara pemberian MgSO4

Magnesium Sulfat untuk Preeklampsia dan Eklampsia


Alternatif I
Dosis awal:
- MgSO4 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5 menit
Dosis Pemeliharaan:
- Segera dilanjutkan dengan 15 ml MgSO4 (40%) 6 g dalam larutan
Ringer Asetat / Ringer Laktat selama 6 jam
- Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 (40%) 2 g
IV selama 5 menit
- MgSO4 1 g / jam melalui infus Ringer Asetat / Ringer Laktat
yang diberikan sampai 24 jam postpartum

Alternatif II
Dosis awal:
- MgSO4 4 g IV sebagai larutan 40% selama 5 menit
Dosis pemeliharaan:
- Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g IM dengan 1 ml Lignokain
(dalam semprit yang sama)
- Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian MgSO4
Hentikan pemberian MgSO4, jika:
- Frekuensi pernapasan < 16 kali/menit
- Refleks patella (-), bradipnea (<16 kali/menit)
Jika terjadi henti napas:
- Bantu pernapasan dengan ventilator
- Siapkan antidotum: Berikan Kalsium glukonas 1 g (20 ml dalam
larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi

(Saifuddin, 2014)
Tabel 2.2

Pemberian diazepam pada preeklampsia dan eklampsia

Pemberian diazepam pada preeklampsia dan eklampsia


Pemberian intravena:
- Dosis awal
a. Diazepam 10 mg I.V pelan-pelan selama 2 menit
b. Jika kejang berulang, ulangi dosis awal
- Dosis pemeliharaan
a. Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan RL per infuas
b. Depresi pernapasan ibu mungkin terjadi jika dosis > 30 mg/jam
c. Jangan berikan >100 mg/24 jam
Pemberian melalui rectum
- Jika pemberian IV tidak mungkin, diazepam dapat diberikan
pereektal, dengan dosis awal 20 mg dalam semprit 10 ml

- Jika masih terjadi kejang, beri tambahan 10 mg/jam


- Dapat pula diberikan melalui kateter urin yang dimasukkan ke
dalam rectum
(Saifuddin, 2014)

4. Antihipertensi

Di bawah ini merupakan pilihan obat untuk menurunkan

tekanan darah pada kehamilan dengan hipertensi.

Tabel 2.3

Dosis obat antihipertensi

Nama Obat Dosis Keterangan


Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral (short Dapat menyebabkan
acting) hipoperfusi pada ibu
1 x 20-30 mg per oral (long janin bila diberikan subling
acting/Adalat OROS)
Nikardipin 1 mg/kg BB/menit IV (dapat Efek samping :
dititrasi). Dosis maksimum hipotensi, flushing,
120 mg/hari sakit kepala
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral
(dosis maksimum 2000
mg/hari)
5. Selama merujuk pasien dengan preeklampsia dan eklampsia ke

rumah sakit

a. Nilai adanya perburukan preeklampsia

b. Apabila terjadi eklampsia, lakukan penilaian awal dan

tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 g IV

perlahan (15-20 menit)

c. Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang,

dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama

2 menit

d. Rujuk pasien ke pusat rujukan tertinggi jika:

1) Kreatinin serum ≥ 2 mg/dL

2) Produksi urin < 30 ml/jam

3) Koma bertahan > 24 jam (bila eklampsia)

6. Lakukan pemeriksaan yang diperlukan

a. Lakukan pemeriksaan USG obstetri untuk menilai taksiran

berat janin dan jumlah cairan ketuban jika USG tersedia di

ruang pemeriksaan

b. Pemeriksaan penunjang lanjutan meliputi:

1) Hitung darah perifer lengkap (DPL)

2) Golongan darah ABO, Rh dan uji pencocokan silang

3) Fungsi hati (SGOT dan SGPT)

4) Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin serum)

5) LDH dan asam urat


6) Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen) apabila ada

indikasi

7. Lakukan pemantauan

a. Apabila tekanan darah sudah terkontrol dengan pemberian

antihipertensi, pengobatan dapat dilanjutkan dengan

memperhatikan pilihan obat yang aman digunakan selama

kehamilan dan dilakukan pemeriksaan tekanan darah minimal

setiap 2 minggu sekali

b. Untuk pasien preeklampsia yang mendapat manajemen

ekspektatif dan dirawat, perbolehkan pasien pulang bila refleks

patella normal, TD <140/90 mmHg, dan fungsi ginjal dan hati

berada dalam kisaran normal. Pantau kondisi janin:

1) denyut jantung janin

2) pertumbuhan janin

3) kesejahteraan janin menggunakan CTG dan USG (apabila

tersedia).

8. Persalinan

Pertimbangkan waktu yang tepat untuk persalinan

a. Pada kasus preeklampsia berat, persalinan diharapkan dapat terjadi

paling lambat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis

1) Periksa serviks

2) Jika serviks matang, lanjutkan induksi persalinan dengan

oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose 10 tetes/menit atau

dengan prostaglandin
b. Jika persalinan pervaginam diperkirakan tidak terjadi dalam 24 jam

atau bila terjadi gawat janin (denyut jantung janin <100 kali/menit

atau >180 kali/menit atau ketuban berwarna hijau kental), lakukan

seksio sesarea.

1) Untuk melakukan seksio sesarea:

2) Perhatikan ada atau tidak adanya koagulopati. Anestesia yang

aman adalah anestesia regional, anesthesia yang aman/terpilih

adalah anestesi umum. Jangan lakukan anastesi local, sedang

anastesi spinal berhubungan dengan risiko hipotensi.

3) Jika anestesia tidak tersedia, atau jika janin mati, atau terlalu

kecil, usahakan janin lahir pervaginam. Matangkan serviks

dengan misoprostol, prostaglandin, atau kateter Foley.

c. Preeklampsia berat tanpa ada perburukan, persalinan dapat ditunda

hingga usia kehamilan 34 minggu lengkap (manajemen

ekspektatif) atau disesuaikan dengan kemampuan unit perinatologi

rumah sakit

1) Kortikosteroid untuk pematangan paru dapat diberikan pada

pasien preeklampsia dengan usia kehamilan < 34 minggu.

Kortikosteroid yang dapat diberikan adalah betametason IV

1x12 mg selama 2 hari atau dexametason IV 2x6 mg selama

2 hari.

2) Pemilihan waktu dan jenis persalinan tergantung pada kondisi

ibu, janin, adanya indikasi obstetrik dan kondisi fasilitas

pelayanan kesehatan.
9. Perawatan postpartum

a. Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau

kejang terakhir

b. Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic masih

>110mmHg

c. Pantau urin

d. Rujukan

e. Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika:

1) Terdapat oliguria (<400 ml/24 jam)

2) Terdapat sindrom HELLP

3) Koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang

2.1.9.2 Penanganan Preeklampsia di Fasilitas Kesehatan Dasar

Bila ditemukan tekanan darah tinggi, lakukan pemeriksaan kadar

protein urin dengan tes celup urin. Bila ada pre eklampsia berat,

pasang kanul intravena ukuran 16 atau 18, lalu berikan cairan

Kristaloid (Ringer Laktat/Ringer asetat) dengan kecepatan 60 ml/jam

(20 tetes per menit). Pastikan pasien selalu di dampingi. Berikan

Magnesium Sulfat untuk preeklampsia berat dan eklampsia.

1. Cara pemberian dosis awal:

a. berikan 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan

larutkan dengan 10 ml akuades, suntikan secara perlahan IV

selama 20 menit.
b. Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4

(12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM dibokong kiri dan kanan.

2. Cara pemberian dosis rumatan

a. Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larurtan MgSO4 40%) dan larutkan

dalam 500 ml larutan ringer laktat/ringer asetat, lalu berikan

secara IV dengan kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam,

dan diulangi hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang

berakhir (bila eklampsia).

Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,

frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, reflex patella, dan

jumlah urin.

2. Syarat pemberian MgSO4:

a. Tersedia kalsium glukonas 10%

b. Ada reflex patella

c. Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg BB per jam

d. Frekuensi napas 12-16x/menit.

Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4 seperti reflex

patella menghilang, depresi pernapasan maka diberikan

antidotum yaitu kalsium glukjonas 10% sebanyak 10 cc IV

disuntikan selama 10 menit sampai pernapasan timbul kembali.

3. Selama merujuk pasien dengan PEB dan Eklamsia ke rumah

sakit

a. Nilai adanya perburukan preeklampsia


b. Apabila terjadi eklampsia atau kejang berulang, lakukan

penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan

kembali MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah

pemberian ulangan masih terdapat kejang, dapat

dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2

menit.

4. Pemberian Nifedipin

Bila tekanan darah > 180/110 mmHg, berikan satu tablet

nifedipin 10 mg oral, kemudian dirujuk.(Sumber: Dinas

Kesehatan Kabupaten Karawang, 2014).

2.1.9.3 Penanganan Preeklampsia di Rumah Sakit

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala

preeklampsia berat selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi:

1. Penerimaan Pasien di Poliklinik atau Instalasi Rawat Darurat (IRD)

a. Dokter dibantu perawat/ bidan melakukan pemeriksaan tanda

vital yang meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu

tubuh.

b. Dokter menentukan jenis dan frekuensi pemeriksaan

laboratorium yang diperlukan: darah rutin, proteinuri, fungsi

hepar dan ginjal, elektrolit, HbsAg, gula darah, analisis gas

darah (jika diperlukan).

c. Perawat/ bidan memasang infus dengan cairan kristaloid

(Ringer Laktat, Asering) 20 tetes/ menit dan memasang

kateter karet tinggal.


1) Dokter/ bidan memberikan suntikan Magnesium Sulfat.

2) Dosis awal: 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4

40%) dan larutan dengan 10ml akuades, secara perlahan

IV selama 20 menit

3) Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g

MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri

dan kanan.

d. Pasien dikirim ke unit maternal Instalasi Maternal Perinatal

2. Perawatan pasien di Unit Maternal Internal Maternal Perinatal

a. Pasien dirawat di ruang yang tenang (ruang eklampsia/

preeklampsia).

b. Dokter/ bidan melakukan pemeriksaan tanda vital: tekanan

darah, nadi, respirasi dan suhu tubuh. Tekanan darah diukur 2

kali dalam posisi berbaring dengan interval waktu 4-6 jam.

c. Dokter dibantu perawat/ bidan memberikan suntikan dosis

pemeliharaan Magnesium Sulfat 4 gr IM larutan setiap 6 jam,

dengan catatan: syarat pemberian Magnesium Sulfat adalah

refleks patella (+), respirasi 16-24 x per menit, produk urine

paling tidak 100 ml/ 4 jam terakhir, terdapat antidotum yaitu

kalsium glukonat 10%.

d. Dokter melakukan balans cairan setiap 6 jam.

e. Dokter memberikan obat antihipertensi bila tekanan sistolik

≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg: Nifedipin 3 x 10 mg


dengan setiap pemberian dilakukan pemeriksaan tekanan

darah ulang.

f. Dokter melakukan jenis dan frekuensi pemeriksaan

monitoring janin, (Kardiotokografi dan USG bila diperlukan).

g. Dokter menentukan tindakan obstetrik:

1) Konservatif

Jika kehamilan < 36 minggu

2) Aktif

Indikasi, bila terdapat satu atau lebih keadaan dibawah

ini:

a) Umur kehamilan ≥ 37 minggu

b) Terdapat gejala impending eklampsia

c) Kegagalan terapi konservatif medikamentosa:

Enam jam sejak pengobatan medisinal terjadi

kenaikan tekanan darah

Tidak terdapat perbaikan setelah 24 jam

perawatan, dengan kriteria: tekanan darah

diastolik ≥ 100 mmHg dan indeks gestosis ≥ 6

d) Terdapat tanda-tanda gawat janin

e) Terdapat tanda-tanda IUGR yang kurang dari 10

persentil dari kurva normal

f) Terdapat HELLP syndrome


Cara terminasi kehamilan:

Belum dalam persalinan:

a) Induksi (sesuai protokol) setelah 30 menit terapi

medicinal.

b) Seksio sesarea bila:

Terdapat kontraindikasi terhadap oksitosin

Setelah 12 jam dalam induksi tak masuk fase

aktif

Primigravida lebih cenderung ke arah bedah

caesar

Sudah dalam persalinan:

a) Kala I fase laten: seksio sesarea

b) Kala I fase aktif: amniotomi, bila 6 jam setelah

amniotomi tidak tercapai pembukaan lengkap

=> Seksio sesarea

c) Kala II: ekstraksi vakum, ekstraksi forsipal.

h. Dokter memberikan diuretik jika terdapat edema paru-paru,

kegagalan jantung

i. Dokter mengijinkan pasien pulang apabila:

1) Perawatan obstetrik sudah selesai dan tidak didapatkan

kelainan

2) Evaluasi terhadap jantung, ginjal, mata dan lain-lain

sudah memungkinkan untuk dirawat secara rawat jalan.

(Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2014)


2.1.9.4 Standar Prosedur Operasional (SOP) Preeklampsi Berat di

Puskesmas Kutawaluya

Tabel 2.4

SOP penanganan Preeklampsia Berat di Puskesmas Kutawaluya

1. Pengertian Preeklampsia Berat adalah terjadinya kenaikan Tekanan


Darah ≥160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu, tes urine
menunjukkan Proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil > 5g/24 jam, atau disertai keterlibatan organ lain
seperti, trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati,
peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas, sakit
kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion,edema paru dan/atau gagal jantung kongestif,
oliguria (< 500ml/24 jam), dan kreatinin>1,2 mg/dl.

2. Tujuan Mengenali dan menemukan secara dini hipertensi pada


kehamilan dan melakukan tindakan yang diperlukan. Penurunan angka
kematian dan kesakitan ibu hamil akibat eklampsia.

3. Referensi Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas


Kesehatan Dasar dan Rujukan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Tahun 2013.
4. Langkah- Petugas kesehatan memastikan gejala dan tanda preeklamsi
Langkah berat
1. Petugas memeriksa tekanan darah ibu dengan jarak
pengukuran 15-30 menit sekali (dengan kenaikan tekanan diastolic
15 mmhg atau > 110 mmhg).
2. Petugas merujuk ibu ke laboratorium untuk melakukan
pemeriksaan proteinuria, apakah angka hasil
laboratorium proteinuria mencapai 2+ atau lebih.
3. Petugas melakukan pemeriksaan reflek pattela pada kedua
kaki ibu, apakah terjadi hiperrefleksia.
4. Petugas menanyakan kepada ibu apakah ibu mengalami gangguan
penglihatan.
5. Petugas memberikan nifedipine 4 x 10-30 mg, kemudian pantau
kembali keadaan ibu.
6. Bila tidak ada perubahan, berikan 4 gr larutan MgSO4 (10 ml
larutan MgSO4 40 %) dan larutkan dengan 10 ml aquabidest ,
berikan larutan secara IV selama 20 menit. Jika akses intravena
sulit, berikan masing-masing 5 gr MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4
40%) IM di bokong kiri dan kanan.
7. Melakukan pemasangan infus RL.
8. Melakukan pemasangan Dower Cateter.
9. Rujuk ke RS.
10. Petugas mencatat semua temuan dan tindakan kedalam
buku ibu, buku kesehatan ibu dan anak, buku register
harian, dan buku rujukan.
(Sumber : PONED Puskesmas Kutawaluya)

2.1.9.5 Standar Prosedur Operasional (SOP) Preeklampsi Beratdi RSUD

Karawang

RSUD Karawang merupakan rumah sakit pusat rujukan kasus

preeklampsi yang terjadi di wilayah Kabupaten Karawang. Sehingga

harus diperhatikan tatalaksana penanganan kasus preeklampsi yang

terjadi di RSUD Karawang. Adapaun Kasus preeklampsi yang terjadi

di RSUD Karawang ditanganani berdasarkan standar operasional

prosedur penanganan Preeklampsi dan eklampsi RSUD Karawang

tahun 2016. Penatalaksanaan Preeklamsi dan Eklamsi di RSUD

Karawang Tahun 2016.

Tabel 2.5

SOP preeclampsia Berat di RSUD Karawang

Prosedur Anamnesa
Hamil 5 bulan atau lebih
Kaki terasa bengkak/bisa tidak ada oedema/oedema anasarka
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah diatas normal: ≥140/90 mmHg s/d ≥160/110
mmHg
Obstetri: besar rahim sesuai dengan usia kehamilan atau
lebih kecil apabila PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : protein urine, hb, Ht, Trombosit, asm urat,
fungsi ginjal dan fungsi hati
(pada PEB: protein urine +1 (positif 1 atau lebih)
Diagnosa banding
Hipertensi menahun, kelainan ginjal dan epilepsi
Penatalaksanaan
1. Pre Eklamsi
a. Rawat Jalan
1) Banyak istirahat dengan tidur miring
2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak
dan garam
3) Nifedipine 3x10 mg
4) Kunjungan ulang tiap minggu
b. Rawat Inap
Pada kehamialn pre aterm (<37 minggu)
1) Bila tekanan darah normal selama perawatan
pertahankan persalinan samapi aterm
2) Bila tekanan darah turun tidak sampai normal,
kehamilan diterminasi pada usia kehamilan 37 minggu
3) Pada kehamilan aterm (37 minggu) persalinan ditunggu
spontan atau persalinan pada tanggal taksiran
persalinan (persalinan dapat dilakukan spontan atau
kalau perlu memperpendek parts kalaII dengan extasi
vakum atau forceps
c. Pengobatan obstetric
Terminasi kehamilan dengan cara sesuai
Bila belum inpartu:
1) Induksi persalinan, kateter folley dilanjutkan dengan
infus oksitosin dan amniotomi
2) Seksio sesaria sasaran bila induksi pesalinan gagal
yaitu 12 jam sejak mulai oksitosin belum masuk fase
aktif
Bila sudah inpartu:
1) Kala I: fase laten : sectio caesaria
Fase aktif: amniotomi, bila kemudian pembukaan
belum lengkap, section
2) Kala II: persalinan pervagina, dibantu extraksi forceps
dan vakum
d. Perawatan konservatif
1) Indikasi kehamilan pre aterm (<37 minggu) tanpa
disertai tanda-tanda inpending eklamsi dengan keadaan
anin buruk
2) Pengobatan medisinal:Sama dengan pengobatan
medisinal perawatan aktif, hanya disini tidak dilakukan
terminasi
3) Pengobatan obstetric
Selama pengobatan konservatif dilakukan observasi
dan evaluasi sama seperti pada perawatan aktif,
hanya disini tidak dilakukan terminasi
MgSO4 dihentikan bila sudah mencapai tanda-
tanda pre eklamsi ringan, selambat-lambatnya
dalam 24 jam
bila sudah 24 jam tidak ada perbaikan, dianggap
pengobatan gagal dan dilakukan terminasi
2. Pre Eklamsi berat
segera dirawat dan tentukan jenis perawatan/tindakan yang
akan diambil, aktif atau konservatif
Tindakan aktif: kehamilan di akhiri bersama dengan
pengobatan medicinal.
Tindakan konservatif: kehamilan tetap dipertahankan
bersama dengan pengobatan medicinal.
a. Perawatan aktif
indikasi: bila perlu didapatkan su atau lebih keadaan di
bawah
1) kehamilan >37 minggu
2) adanya tanda-tanda/gejala inpending Eklamsi
3) kegagalan perawatan konservatif
4) dalam waktu 6 jam setelah pengobatan tekanan darah
naik/setelah 24 jam pengobatan tidak ada perbaikan
pada janin:
adanya tanda-tanda gawat janin
adanya tanda-tanda PJT (Pertumbuhan Janin
terhambat)
5) laboratrik: protein urine +1 atau lebih, gangguan
fungsi hati dan ginjal
6) ditemukan syndrom HELPP
pengobatan medisinal
1) segera masuk rumah sakit tirah baring miring ke sisi
kiri secara intermitten
2) infus asering, ringer laktat atau ringer dextrose 5%
pemberian MgSO4
dosis awal (pilih salah satu saja)
MgSO4 40% 8 gr boka/boki
MgSO4 20% 4 gr IV
MgSO4 5 gr IV
Dosis pemeliharaan:\MgSO4 40% 6 gr dlam
cairan infus RL 500 cc selama 6 jam
Jika terjadi konvulsi setelah 15 menit, berikan
MgSO4 40% 2 gram IV
Syarat-syarat:
Tersedia kalsium glukona 10%
sebagaiantodotum MgSO4, diberikan 10 ml
secara intervena selama 3 menit
Refleksia patella (+)
Frekuensi pernafasan >16 kali/menit
Produksi urine dalam 4 jam sebelumnya >100
ml
Pemberian MgSO4 harus dihentikan apabila
Ada tanda-tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pasca persalinan
Dalam 6 jam pasca persalianan sudah terjadi
perbaikan tekanan darah
3) Anti hipertensif diberikan hanya bila tekanan darah
≥180/110 mmhg
Jenis obat: Nifedipine 10-20 mg oral, diulangi setelah
30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
Anti diuretika hanya diberikan apabila ditemukan:
Edema paru-paru
Paal antng kongesif
Oedema anasarka
Diet: diberikan secara seimbang, hindari protein dan
kalori yang berlebihan
3. Perawatan eklamsi
a. Perawatan medicinal
1) Obat kejang, 4 gr MgSO4 40% intravena selama 4
menit, di lanjutkan dengan dosis maintenance 6 gr
MgSO4 40% dalam infus RL 500ml selama 6
jam/botol. Apabila terjadi kejang berulang dapat di
berikan tambahan MgSO4 40% 2 gr intravena setelah
pemberian terakhir.
Pengawasan tanda-tanda keracunan MgSO4 harus di
lakukan terus menerus.
2) Obat-obat lain seperti hipertensi, anti diuretika,
antibiotika, kardiotika, di berikan apabila ada indikasi
3) Perawatan serangan kejang
a) Di rawat di kamar yang cukup terang
b) Di pasang oropharyngeal airway (guedel) ke
dalam mulut penderita
c) Kepala di rendahkan dan orofharing di bersihkan
dengan penghisap lendir
d) Fiksasi badan penerita pada tempat tidur jangan
terlalu kuat untuk menghindari terjadinya fraktur
4) Perawatan penderita koma
a) Pasang bed said monitor, monitoring kesadaran
dan dalamnya koma
b) Perhatikan pencegahan dekubitus dan pemenuhan
kebutuhan nutrisi
5) Perawatan obstetric
Pada dasarnya semua kehamilan dengan eklamsi harus
di lakukan terminasi tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin.
Kehamilan di akhiri apabila sudah terjadi stabilisasi
hemodinamika dan metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam
setelah (salah satu atau lebih )
a) Pemberian anti obat kejang terakhir
b) Setelah kejang berakhir
c) Penderita mulai sadar
Cara terminasi kehamilan sama seperti pada
preeklampsia berat
Konsultasi
Apabila di perlukan konsultasi spesialis penyakit
dalam,syaraf,mata dan anestesi
Perawatan rumah sakit
Pasien pre eklamsi ringan di rawat apabila setelah 2
minggu rawat jalan tidak menunjukan adanya
perbaikan pasien pre eklamsi harus di rawat
Penyulit
Gagal ginjal, gagal jantung, edema paru-paru, kelainan
pembekuan darah, pendarahan otak, dan kematian janin
Informed concent
Perlu di jelaskan kepada keluarga pasien mengenai
kondisi pasien dan janin serta rencana
perawatan/tindakan yang akan di lakukan
Tenaga standar
Dokter spesialis kebidanan, dokter umum dan bidan
terlatih
Lamanya rawatan
Pasien di rawat sampai 5 hari pasca persalinan
Masa pemulihan 6 minggu
Output
Sembuh total bila tanpa komplikasi
Patologi anatomi
Tidak di lakukan
(Sumber: RSUD Karawang, 2016)

2.1.10 Komplikasi

2.1.10.1 Bagi Ibu

1. Perdarahan Post Partum

Ibu dengan preeklampsia akan memberikan peluang 1.725 kali

terjadinya perdarahan postpartum karena preeklampsia terjadi

perubahan pada organ-organ penting di dalam tubuh, salah satunya

adalah disfungsi sel endotel, yaitu kerusakan sel endotel oleh

peroksida lemak yang bersifat toksik yang beredar keseluruh tubuh

yang dapat merusak sel endotel, begitu pula sel endotel yang ada di

uterus, sehingga perlu diwaspadai adanya perdarahan pada pasca


persalinan sebagai akibat dari kegagalan miometrium untuk

berkontraksi. (Anjelin, 2014)

2. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet

count)

Sindrom HELLP umumnya dianggap sebagai varian preeklampsia

berat atau eklampsia yang mengakibatkan disfungsi multisistem

akibat vasospasme arteri, kerusakan endotel dan agregasi

trombosit. (Anjelin, 2015)

3. Gagal Ginjal

Fungsi ginjal umumnya dipertahankan hingga stadium lanjut,

namun mengalami kerusakan pada preeklampsia berat akibat

vasokonstriksi dan penurunan perfusi. Peningkatan kadar keratin

serum dan proteinuria mengindikasikan gangguan fungsi

glomerulus, sedangkan peningkatan kadar asam urat serum

mengindikasikan gangguan fungsi tubulus. Kebanyakan kasus

gagal ginjal disebabkan nekrosis tubulus akut yang umumnya

sembuh tanpa kerusakan jangka panjang. Meskipun demikian,

nekrosis kortikal akut yang terjadi pada kurang dari 4% kasus

gagal ginjal akibat preeclampsia mengakibatkan gagal ginjal

permanen. (Anjelin, 2015)


2.1.10.2 Bagi Bayi

1. Intrauterine Growth Restriction (IUGR)

Preeklampsia mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan janin

dalam kandungan, hal ini disebabkan karena

preeklampsia/eklampsia pada ibu akan menyebabkan perkapuran di

daerah plasenta, sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen

dari plasenta. Perkapuran di daerah plasenta menyebabkan suplai

makanan dan oksigen yangmasuk ke janin berkurang (Rievaz,

2012).

2. BBLR

Dalam penelitian Tintyarza (2013) di Jepara didapatkan bahwa ibu

dengan preeklamsia/eklamsia berisiko 2,3 kali melahirkan bayi

dengan berat lahir rendah. Penelitian Lestariningsih dan Duarsa

(2013) menunjukkan bahwa ibu dengan preeklamsia kemungkinan

berisiko 12,69 kali lebih besar melahirkan bayi berat lahir rendah.

3. Asfiksia

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mundari

menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian preeklampsia

dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Wates kulon Progo.

Menurut hasil penelitiannya, ibu yang menderita preeklampsia

mempunyai risiko 1,7 kali lebih besar dibanding yang tidak

menderita preeklampsia, untuk melahirkan bayi dengan asfiksia

neonatorum. (Mundari, 2017)


Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak

dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan

oksigen dan makin meningkatkan karbondioksida yang

menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Penyebab

asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya

hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional

dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian

asfiksia.

Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah

menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan

melaksanakan tindakan yang telah ditentukan. Penilaian untuk

melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda

penting yaitu pernafasan, denyut jantung dan warna kulit. Nilai

Apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan kita memulai

resusitasi atau untuk membuat keputusan mengenai jalannya

resusitasi.Walaupun nilai Apgar tidak dipakai dalam pengambilan

keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya

penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi.

(Saifuddin, 2014)
Tabel 2.6

Penilaian APGAR Skor

Penilaian
Klinis
0 1 2
Detak Jantung Tidak ada < 100 x/menit >100 x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat
jalan nafas Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
dibersihkan
Fleksi Fleksi kuat
Tonus otot Lunglai ekstrimitas gerak aktif
(lemah)
Tubuh merah
Merah seluruh
Warna kulit Biru pucat ekstrimitas biru
tubuh
Keterangan Nilai Apgar:

Nilai 0-3 : Asfiksia berat

Nilai 4-6 : Asfiksia sedang

Nilai 7-10 : Normal atau sedikit asfiksia

Langkah Awal Resusitasi :

1. Tempatkan bayi dibawah pemanas radian/infant warmer.

2. Letakkan bayi terlentang pada posisi setengan tengadah untuk

membukan jalan nafas. Sebuah gulungan handuk diletakkan

dibawah bahu untuk membantu mencegah fleksi leher dan

penyumbatan jalan nafas.

3. Bersihkan jalan nafas atas dengan mengisap mulut terlebih

dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe,

alat hisap lendir, atau kateter penghisap. Perhatikan untuk

menjaga bayi dari kehilangan panas setiap saat.


4. Pengisapan yang kontinu dibatasi 3-5 detik pada satu

pengisapan. Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah

aspirasi.

5. Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat

mekonium pada jalan nafas (kondisi ini dapat mengarah ke

bradikardia).

6. Keringkan, stimulasi, ganti kain yang basah dengan kain yang

kering, dan reposisi kepala.

7. Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi

kepala dilakukan lebih dari 30 detik.

8. Menilai pernafasan.

Jika bayi mulai bernafas secara teratur dan memadai, periksa

denyut jantung. Jika denyut jantung melebihi 100 kali/menit

dan bayi tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Akan

tetapi, jika sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif :

1. Jika tidak terdapat pernafasan atau bayi megap-megap,

ventilasi tekanan positif (VTP) diawali dengan menggunakan

balon resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi 40-60

kali/menit.

2. Jika denyut jantung < 100 kali/menit , bahkan dengan

pernafasan memadai, VTP harus dimulai dengan kecepatan 40-

60 kali/menit.
3. Intubasi endotrakea diperlukan jika bayi tidak berespon

terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup.

Lanjutkan VTP dan bersiaplah untuk memindahkan bayi ke

Neonatal Intensive Care Unit (NICU).

Kompresi Dada :

1. Jika denyut jantung masih < 60 kali/menit setelah 30 detik VTP

yang memadai, kompresi dada harus dimulai.

2. Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari prosesus

sifoideus, jangan menekan/ diatas sifoid.

3. Kompresi dada diselingi ventilasi secara sinkron terkoordinasi

dengan rasio

Pemberian Obat :

1. Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap < 60

kali/menit setelah 30 detik VTP dan 30 detik lagi VTP dan

kompresi dada.

Perawatan Lanjutan:

1. Catat Nilai Apgar untuk menit ke-1 dan ke-5 dalam rekam

medis.

2. Jika bayi memerlukan asuhan intensif, rujuk ke rumah sakit

terdekat yang memiliki kemampuan memberikan dukungan

ventilator, untuk memantau dan memberikan perawatan pada

neonatus.

3. Jika bayi dalam keadaan stabil, pindahkan ke ruang neonatal

untuk dipantau dan ditindak lanjuti.


4. Di ruang neonatal, ikuti panduan asuhan neonatus normal

untuk pemeriksaan fisik dan tindakan profilaksis.

5. Jika sudah tidak terdapat komplikasi setelah 24 jam, neonatus

dapat keluar dari unit neonatal. (setyarini, didien ika &

Suprapti 2016)

2.2 Sistem Rujukan

Menurut Permenkes No 001 Tahun 2012, sistem rujukan pelayanan

kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur

pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal

baik baik secara vertical maupun horizontal.

2.2.1 Prosedur Rujukan Pasien dari Puskesmas ke RS Secara Umum

2.4.1.1 Prosedur Klinis:

1. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

medic untuk menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding.

2. Memberikan tindakan stabilisasi sesuai kasus berdasarkan Standar

Prosedur Operasional (SPO).

3. Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan dan memastikan bahwa

unit pelayanan tujuan dapat menerima pasien

4. Untuk pasien gawat darurat harus didampingi tenaga kesehatan yang

kompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.

5. Pasien (pada point 4) diantar dengan kendaraan ambulans dan diserah

terimakan oleh petugas, agar petugas dan kendaraan pengantar tetap

menunggu sampai pasien di IGD mendapat kepastian pelayanan,


apakah akan dirujuk atau ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan

setempat.

6. Rujukan kasus yang memerlukan standart kompetensi tertentu (sub

spesialis) Pemberi Pelayanan Kesehatan tingkat I (Puskesmas,Dokter

Praktek, Bidan Praktek, Klinik) dapat merujuk langsung ke rumah

sakit rujukan yang memiliki kompetensi tersebut

2.4.1.2 Prosedur Administratif:

1. Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan medis.

2. Membuat rekam medis pasien.

3. Menjelaskan/memberikan Informed Consernt (persetujuan/penolakan

rujukan)

4. Membuat surat rujukan pasien rangkap 3, lembar pertama dikirim ke

tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua

untuk surat rujukan balik ke puskesmas, dan yang ke 3 untuk arsip

pasien.

5. Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.

6. Menyiapkan sarana transportasi

7. Menghubungi rumah sakit yang akan dituju dengan menggunakan

sarana komunikasi dan menjelaskan kondisi pasien.

8. Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat

rujukan yang dituju. (Topan, 2015)


2.2.2 Sistem Rujukan SIJARIEMAS

Sistem Informasi Jejaring Rujukan Maternal dan Neonatal atau yang

dikenal dengan SIJARIEMAS adalah sebuah sistem informasi terpadu

yang dirancang khusus untuk mengoptimalkan proses pertukaran

informasi dan komunikasi rujukan gawatdarurat ibu dan bayi baru lahir.

SIJARIEMAS khusus dikembangkan guna mendukung program

pemerintah Republik Indonesia dalam percepatan penurunan AKI (angka

kematian ibu) and AKB (angka kematian bayi) di tanah air.Berikut

merupakan penjabaran alur rujukan SIJARIEMAS gawat darurat secara

garis besar :

1. Perujuk memutuskan untuk melakukan rujukan ibu ataupun neonatus.

2. Perujuk melakukan komunikasi rujukan SIJARIEMAS menggunakan

SMS dan Call Center.

3. Untuk penggunaan telepon, bidan IGD Maternal dan Neonatal RS

wajib untuk input informasi yang didapatkan kedalam SIJARIEMAS

sesuai dengan form yang ada. Apabila terjadi sesuatu hal sehingga

tidak memungkinkan untuk diinput secara langsung, maka bidan wajib

mencatatnya dalam format manual yang tersedia.

4. Apabila bidan tidak menentukan tujuan pertama rujukan, maka secara

otomatis SIJARIEMAS akan mengirimkan informasi rujukan tersebut

ke prioritas tujuan rujukan sesuai dengan alur rujukan yang disepakati.

Pada umumnya, prioritas rujukan diatur sesuai dengan jarak. Untuk

kasus khusus, maka alur rujukan diatur berdasarkan kompentensi dan

kesiapan sarana prasarana gawat darurat.


5. Bidan IGD Maternal dan Neonatal RS melakukan konsultasi dengan

dokter jaga. Untuk kasus-kasus tertentu, dokter jaga atau bidan wajib

mengkonsultasikannya dengan dokter spesialis baik secara langsung

tatap muka ataupun melalui telepon. Untuk konsultasi melalu telepon,

bidan wajib untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya dan

mencatat instruksi dari dokter spesialis. Selain dicatat, intruksi tersebut

wajib untuk dibacakan kembali dan mendapat konfirmasi dari dokter

spesialis. Konsultasi tersebut wajib dimasukkan kedalam

SIJARIEMAS ataupun kedalam form manual yang tersedia. Catatan

paling tidak berisikan: nama pasien, kasus, tindakan pra rujuk, dokter

spesialis yang dikonsul, waktu konsultasi, instruksi dan konfirmasi

instruksi. Apabila konsultasi dilakukan per telepon, maka bidan wajib

merekap form konsultasi untuk kemudian dimintakan tandatangan

kepada dokter spesialis tersebut pada saat bertemu.

6. Dokter spesialis memberikan advis sesuai kasus rujukan dan

memberikan instruksi persiapan gawat darurat.

7. Bidan IGD Maternal dan Neonatal RS melakukan notifikasi

kewaspadaan kepada unit/staf terkait lainnya seperti bagian

administrasi, bagian UPTD, ambulance, bagian perinasia, bagian

kebidanan, dan lain-lain.

8. Bidan IGD Maternal dan Neonatal RS menjawab rujukan (Terima,

Alihkan, Kembalikan) disertai saran tata laksana stabilisasi yang sudah

dikonsultasikan dengan dokter spesialis/dokter jaga. Dalam kasus


tertentu bidan senior juga dapat memberikan advis tata laksana sesuai

dengan protap yang berlaku.

9. Bidan perujuk melakukan kofirmasi rujukan gadar, dan membawa

pasien ke lokasi rujukan penerima.

10. SIJARIEMAS merekam setiap proses dan waktu dalam penanganan di

IGD maupun perawatan. Selain itu Bidan di IGD, maupun perawatan

wajib untuk mengisi kesimpulan/summary tindakan di masing-masing

bagian/ proses.

11. Pasien pulang hidup, meninggal atau dirujuk kembali ke tujuan

rujukan yang lebih tinggi.

12. Resume medis diinput oleh penanggung jawab di ruang perawatan.

Atau apabila tidak ada fasilitas SIJARIEMAS di maternal, lembar

tersebut bisa diinput kemudian di komputer yang menggunakan

SIJARIEMAS.

13. Bidan desa/puskesmas melakukan kunjungan tindak lanjut/follow up

dan follow on. (Sumber: Panduan Teknis SIJARIEMAS, 2014)


2.2.3 Prosedur Rujukan Pasien Puskesmas Kutawaluya

Tabel 2.7

Prosedur Rujukan Pasien Puskesmas Kutawaluya

Pengertian Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan


pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab pelayanan secara timbal balik baik vertikal
maupun horizontal.
Tujuan Untuk memberikan penanganan kesehatan lebih lanjut yang tidak
bisa diberikan di Puskesmas.
Prosedur / 1. Melakukan pertolongan pertama dan atau tindakan stabilisasi
Langkah- kondisi pasien sesuai indikasi medis.
langkah 2. Menginformasikan kepada keluarga pasien tentang diagnosis
dan terapi dan atau tindakan medis yang dilakukan, rencana
rujukan, alasan dan tujuan dilakukan rujukan, risiko yang dapat
timbul apabila rujukan tidak dilakukan, transportasi rujukan dan
risiko atau penyulit yang dapat timbul selama perjalanan.
3. Petugas meminta persetujuan/penolakan untuk tindakan
rujukan dari keluarga pasien secara tertulis.
4. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan
memastikan penerima rujukan bahwa penerima rujukan dapat
menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat. Membuat
5. surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima
rujukan.
6. Menyiapkan transportasi rujukan dan petugas kesehatan
pendamping yang berkompeten.
7. Untuk pasien yang memerlukan asuhan medis yang terus menerus
harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi petugas kesehatan
yang berkompeten.
8. Dalam hal tidak tersedia ambulans, rujukan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat transportasi lain yang layak dan didampingi oleh
petugas kesehatan yang berkompeten.
9. Petugas yang mendampingi harus memantau keadaan keadaan
pasien selama perjalanan rujukan ke tempat rujukan.
10. Apabila terjadi kegawatdarutan pasien selama perjalanan petugas
pendamping harus melakukan tindakan penanganan sesuai
kompetensinya dan apabila tidak dapat ditangani
petugas wajib mencari bantuan ke fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat.
11. Sesampainya di tempat penerima rujukan, dilakukan serah
terima pasien yang ditandai dengan bukti serah terima pasien yang
ditandatangani oleh petugas penerima dan di stempel oleh institusi
penerima rujukan.
2.3 Kewenangan Bidan Pada Kasus Preeklampsia Berat

Dalam menjalankan praktiknya, bidan harus mengikuti aturan agar

asuhan yang diberikan sesuai dengan kewenangan dan dilindungi oleh

payung hukum yang tepat.

2.3.1 Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Dalam melakukan tugasnya, bidan memiliki kewajiban yang harus

dilakukan seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor 1464/MENKES/PER/X/2010. Adapun pasal

yang berkaitan dengan kasus preeklampsia berat dan rujukan antara lain

terdapat pada pasal 10 nomor 3 poin c yang berbunyi :

“Bidan dalam memberikan pelayanan sebagimana dimaksud pada ayat

(2) berwenang untuk : penanganan kegawat-daruratan dilanjutkan dengan

rujukan”. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)

Dan pada pasal 18 poin c yang berbunyi :

“Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk:

Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani

dengan tepat waktu.” (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010)


2.4 Asuhan Kebidanan

2.4.1 ANC (Antenatal Care)

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali

tanda-tanda preeclampsia berat sedini mungkin. Deteksi dini terhadap

kasus preeklampsia dapat dilakukan dengan cara yang sederhana seperti

pengkajian yang komprehensif agar semua riwayat dan faktor risiko dapat

diketahui, selain itudidapatkan dari pemeriksaan tekanan darah secara rutin

pada saat pemeriksaan kehamilan (antenatal care) sehingga diagnosis dini

dapat ditegakkan dan intervensi yang tepat dapat diberikan. (Djami,

2016)&(Kutipan RSIAtambak, 2011)

Menurut buku KIA tahun 2015 pemeriksaan kehamilan paling sedikit 4

kali selama kehamilan yaitu :

a. 1 kali pada usia kandungan sebelum 3 bulan

b. 1 kali pada usia kandungan 4-6 bulan

c. 2 kali pada usia kandungan 7-9 bulan

(Buku KIA tahun 2015)

2.4.1.1 Standar Pelayanan Antenatal Care

Pastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan yang

meliputi :

1. Pengukuran tinggi badan cukup satu kali

Bila tinggi badan <145cm, maka faktor resiko panggul sempit,

kemungkinan sulit melahirkan secara normal

Penimbangan berat badan setiap kali periksa. Sejak bulan ke 4

pertambahan BB paling sedikit 1kg/bulan. Kenaikan BB ½ kg setiap


minggu masih normal tetapi kalau kenaikan BB 1 kg atau lebih setiap

minggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan

terhadap timbulnya preeklamsia.

2. Pengukuran tekanan darah (tensi)

Tekanan darah normal 120/80 mmHg. Bila tekanan darah lebih besar

atau sama dengan 140/90 mmHg, ada faktor resiko hipertensi (tekanan

darah tinggi) dalam kehamilan.

3. Pengukuran lingkar lengan atas (LiLA)

4. Pengukuran tinggi rahim

Pengukuran tinggi rahim berguna untuk melihat pertumbuhan janin

apakah sesuai dengan usia kehamilan.

5. Penentuan letak janin (presentasi janin) dan penghitungan denyut

jantung janin

Apabila trimester III bagian bawah janin bukan kepala atau kepala

belum masuk panggul, kemungkinan ada kelainan letak atau ada

masalah lain. Bila denyut jantung janin kurang dari 120 kali/menit atau

lebih dari 160 kali/menit menunjukkan ada tanda gawat janin, segera

rujuk

6. Penentuan status imunisasi tetanus toksoid (TT)

Oleh petugas untuk selanjutnya bilamana diperlukan mendapatkan

suntikan tetanus toksoid sesuai anjuran petugas kesehatan untuk

mencegah tetanus pada ibu dan bayi

7. Pemberian tablet darah


Dan ibu hamil sejak awal kehamilan minum 1 tablet tambah darah

setiap hari minimal selama 90 hari. Tablet tambah darah diminum pada

malam hari untuk mengurangi rasa mual.

8. Tes laboratorium

a. Tes golongan darah

b. Tes hemoglobin

c. Tes pemeriksaan urine, untuk mengetahui protein urine ibu

9. Tes pemeriksaan darah lainnya sesuai indikasi Konseling atau

penjelasan

Tenaga kesehatan memberi penjelasan mengenai perawatan kehamilan,

pencegahan kelainan bawaan, menghindari stress, persalinan dan

inisiasi menyusu dini (IMD), nifas, perawatan bayi baru lahir, ASI

eksklusif, keluarga berencana dan imunisasi pada bayi. Penjelasan ini

diberikan secara bertahap pada saat kunjungan ibu hamil.

10. Tatalaksana atau mendapatkan pengobatan

a. Bidan menyarankan ibu untuk segera datang memeriksakan diri, bila

tedapat gejala sakit kepala, mata kabur, edema mendadak atau berat

badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri ulu hati, kesadaran

makin berkurang, gerak janin berkurang, pengeluaran urin

berkurang.

b. Bidan melakukan pemeriksaan pengukuran tekanan darah secara

teratur untuk mengetahui kenaikan tekanan darah dan segera

dilakukan rujukan jika diketahui ibu mengalami preeclampsia berat.

(Buku KIA tahun 2015).


Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi Pada Kehamilan

1. Tujuan :

Mengenali dan menemukan secara dini hipertensi pada kehamilan dan

melakukan tindakan yang diperlukan

2. Pernyataan standar :

Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada

kehamilan dan mengenal tanda serta gejala pre-eklampsia lainnya, serta

mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya

3. Hasilnya:

Ibu hamil dengan tanda preeklamsi mendapat perawatan yang memadai

dan tepat waktu, penurunan angka kesakitan dan kematian akibat

eklampsi

4. Persyaratannya :

Bidan melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur, pengukuran

tekanan darah

5. Bidan mampu :

Mengukur tekanan darah dengan benar, mengenali tanda-tanda

preeklmpsia, mendeteksi hipertensi pada kehamilan, dan melakukan

tindak lanjut sesuai dengan ketentuan. (Sumber: Buku Standar Pelayanan

Kebidanan)
KEPMENKES 369 tahun 2007

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor

369/MENKES/SKIII/2007 pada Asuhan dan Konseling Selama

Kehamilan kompetensi ke-3 yang berbunyi :

“Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk

mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi

dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu.”

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008)

2.4.1.2 Stress Pada Ibu Hamil

Stress dapat mempengaruhi hipertensi pada ibu hamil karena tidak

mampu mengatasi masalah yang dihadapi misalnya mental, fisik,

emosional. Stress dapat disebabkan oleh berbagai penyebab dalam istilah

yang umum disebut dengan stressor. Stressor adalah suatu keadaan atau

situasi individu yang menimbulkan stress. Stress dibagi menjadi tiga

bagian yaitu stressor psikologi, stressor sosial, stressor fisik. Apabila

seseorang sering dalam ketidakpastian dan berada dalam keraguan, serta

selalu merasa bingung, tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan

inferior. Bentuk dari stresor fisik misalnya suhu (panas dan dingin),

suara bising, polusi udara, keracunan, obat-obatan dari bahan kimiawi.

Ada beberapa hal dan cara yang dapat mengurangi tingkat stres selama

kehamilan, yaitu: dukungan suami, menghindari pekerjaan yang

beresiko, melakukan yoga, mengikuti senam hamil. (Ningsih, 2018)


2.4.2 INC (Intranatal Care)

2.4.2.1 Standar Pertolongan Persalinan

Terdapat empat standar dala standar pertolongan persalinan seperti

berikut ini:

1. Standar 9 : asuhan persalinan kala I

2. Standar 10 : persalinan kala II yang aman .

3. Standar 11 : penatalaksanaan aktif persalinan kala III

4. Standar 12 : Penanganan kala II dengan Gawat janin melalui

Episiotomi

2.4.3 PNC (Postnatal Care)

Masa nifas (purperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir

ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa

nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu atau 42 hari pasca persalinan.

(prawirohardjo, 2014). Kujungan nifas dilakukan minimal 3 kali untuk

menilai status ibu dan bayi baru lahir dan untuk mencegah, mendeteksi dan

menangani masalah-masalah yang terjadi.

Pada pasien dengan preeclampsia berat, bidan secara rutin memantau

ibu selama periode postpartum terhadap tanda dan gejala preeklamsia

termasuk pengukuran tekanan darah. Keluhan terkait kondisi kegawat

daruratan pada ibu post partum perlu dicurigai adanya preeklampsia berat

atau preeklampsia pasca persalinan, dimana gejala yang muncul berupa

data subyektif serta obyektif.Pelayanan kesehatan ibu nifas oleh bidan dan

dokter dilaksanakan minimal 3 kali yaitu :

1. Pertama: 6 jam-3 hari setelah melahirkan


2. Kedua: hari ke 4-28 hari setelah melahirkan

3. Ketiga: hari ke 29-42 hari setelah melahirkan

(Buku KIA 2015)

2.4.3.1 Standar Pelayanan Nifas

Terdapat tiga standar dalam standar pelayanan nifas seperti berikiut ini:

1. Standar 13: perawatan bayi baru lahir

2. Standar 14: penanganan pada dua jam pertama setelah persalinan

3. Standar 15: pelayanan bagi ibu dan bayi pada masa nifas

Pernyataan standar:

Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan

rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam setelah

persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui

penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau

rujukan komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta

memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum, kebersihan

perorangan, makanan bergizi, perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI,

imunisasi dan KB.

Adapun PERMENKES 97 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan

Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah

Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan

Kesehatan Seksual dalam pasal 15.

Pelayanan masa sesudah melahirkan :

a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu;

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri;


c. Pemeriksaan lokhia dan perdarahan;

d. Pemeriksaan jalan lahir;

e. Pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI Eksklusif;

f. Pemberian kapsul vitamin A;

g. Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan;

h. Konseling; dan

i. Penanganan risiko tinggi dan komplikasi pada nifas.

2.4.4 Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir (Neonatus) adalah bayi yang baru mengalami proses

kelahiran, berusia 0-28 hari. Masa Neonatal adalah masa sejak lahir

sampai dengan 4 minggu (28hari) sesudah kelahiran dimana ada tiga masa

yaitu Neonatus adalah bayi berumur 0 (baru lahir) sampai dengan usia 1

bulan sesudah lahir, Neonatus dini adalah usia 0-7 hari dan Neonatus

lanjut adalah usia 7-28 hari (Marmi dan Rahardjo, 2012).

Kunjungan neonatus lengkap sebaiknya diberikan kepada setiap bayi

baru lahir yang meliputi KN 1, KN 2, KN 3 yaitu :

1. KN 1 pada 6-48 jam setelah lahir

2. KN 2 pada 3-7 hari setelah lahir

3. KN 3 pada 8-28 hari setelah lahir (buku KIA 2015).


2.4.4.1 Standar Pelayanan Bayi Baru Lahir dan Neonatus

Tabel 2.8

Standar Pelayanan Bayi Baru Lahir dan Neonatus

Kunjungan Penatalaksanaan
Kunjungan Neonatal 1. Mempertahankan suhu tubuh bayi
ke-1 (KN 1) Hindari memandikan bayi hingga sedikitnya enam jam dan
dilakukan dalam hanya setelah itu jika tidak terjadi masalah medis dan jika
kurun waktu 6-48 suhunya 36.5 Bungkus bayi dengan kain yang kering dan
jam setelah bayi hangat, kepala bayi harus tertutup
lahir. 2. Pemeriksaan fisik bayi
3. Dilakukan pemeriksaan fisik
a. Gunakan tempat tidur yang hangat dan bersih untuk
pemeriksaan
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan lakukan
pemeriksaan
c. Telinga : Periksa dalam hubungan letak dengan mata dan
kepala
d. Mata :. Tanda-tanda infeksi
e. Hidung dan mulut : Bibir dan langitanPeriksa adanya
sumbing Refleks hisap, dilihat pada saat menyusu
f. Leher :Pembekakan,Gumpalan
g. Dada : Bentuk,Puting,Bunyi nafas,, Bunyi jantung
h. Bahu lengan dan tangan :Gerakan Normal, Jumlah Jari i.
System syaraf : Adanya reflek moro
j. Perut : Bentuk, Penonjolan sekitar tali pusat pada saat
menangis, Pendarahan tali pusat? tiga pembuluh,
Lembek (pada saat tidak menangis), Tonjolan
k. Kelamin laki-laki : Testis berada dalam skrotum, Penis
berlubang pada letak ujung lubang
l. Kelamin perempuan:Vagina berlubang,Uretra
berlubang, Labia minor dan labia mayor
m. Tungkai dan kaki : Gerak normal, Tampak normal,
Jumlah jari
n. Punggung dan Anus: Pembekakan atau cekungan, Ada anus
atau lubang
o. Kulit : Verniks, Warna, Pembekakan atau bercak hitam,
Tanda-Tanda lahir
p. Konseling : Jaga kehangatan, Pemberian ASI,
Perawatan tali pusat, Agar ibu mengawasi tanda-tanda
bahaya
q. Tanda-tanda bahaya yang harus dikenali oleh ibu : Pemberian
ASI sulit, sulit menghisap atau lemah hisapan, Kesulitan
bernafas yaitu pernafasan cepat > 60 x/m atau menggunakan
otot tambahan, Letargi –bayi
terus menerus tidur tanpa bangun untuk makan,Warna
kulit abnormal – kulit biru (sianosis) atau kuning,
Suhu-terlalu panas (febris) atau terlalu dingin
(hipotermi), Tanda dan perilaku abnormal atau tidak
biasa, Ganggguan gastro internal misalnya tidak
bertinja selama 3 hari, muntah terus-menerus, perut
membengkak, tinja hijau tua dan darah berlendir, Mata
bengkak atau mengeluarkan cairan
r. Lakukan perawatan tali pusat Pertahankan sisa tali pusat
dalam keadaan terbuka agar terkena udara dan dengan kain
bersih secara longgar, Lipatlah popok di bawah tali pusat
,Jika tali pusat terkena kotoran tinja, cuci dengan sabun dan
air bersih dan keringkan dengan benar

4. Gunakan tempat yang hangat dan bersih


5. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pemeriksaan
6. Memberikan Imunisasi HB-0

Kunjungan Neonatal 1. Menjaga tali pusat dalam keadaaan bersih dan kering
ke-2 (KN 2) 2. Menjaga kebersihan bayi
dilakukan pada 3. Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi
kurun waktu hari bakteri, ikterus, diare, berat badan rendah dan Masalah
ke-3 sampai dengan pemberian ASI
hari ke 7 setelah bayi 4. Memberikan ASI Bayi harus disusukan minimal 10-15 kali
lahir. dalam 24 jam) dalam 2 minggu pasca persalinan
5. Menjaga keamanan bayi
6. Menjaga suhu tubuh bayi
7. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI
ekslutif pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi
baru lahir dirumah dengan menggunakan Buku KIA

8. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan

Kunjungan Neonatal 1. Pemeriksaan fisik


ke-3 (KN-3) 2. Menjaga kebersihan bayi
dilakukan pada 3. Memberitahu ibu tentang tanda-tanda bahaya bayi baru
kurun waktu hari lahir
ke-8 sampai dengan 4. Memberikan ASI bayi harus disusukan minimal 10-15 kali
hari ke-28 setelah dalam 24 jam) dalam 2 minggu pasca persalinan.
lahir. 5. Menjaga keamanan bayi
6. Menjaga suhu tubuh bayi
7. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI
ekslutif pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan
bayi baru lahir dirumah dengan menggunakan Buku KIA
Memberitahu ibu tentang Imunisasi BCG
8. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan
9.
(Saifuddin, 2014)
BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kronologis Kasus

3.1.1 Intranatal Care

Pada hari Jumat, 09 Maret 2018 pukul 18.30 WIB seorang wanita

bernama Ny. T datang ke DTP PONED Puskesmas Kutawaluya diantar

suami, kakak kandung dan kakak iparnya menggunakan mobil. Bidan A

memberikan intruksi pada mahasiswi kebidanan untuk membawa Ny. T ke

ruang bersalin dan memeriksa tanda-tanda vital ibu, tinggi fundus uteri

serta detak jantung janin (DJJ). Di dapatkan hasil :

a. Tekanan darah : 140/100 mmHg

b. Nadi : 80x/m,

c. Respirasi : 20x/m

d. Suhu : 36,5 ˚C

e. TFU : 31 cm

f. DJJ : 144x/menit

Saat mahasiswi kebidanan sedang melakukan pemeriksaan, bidan A

melakukan anamnesa kepada Ny T. Ibu mengaku hamil anak ketiga usia

kehamilan 9 bulan, belum pernah keguguran, mengeluh mulas-mulas yang

masih jarang sejak 1 minggu yang lalu, pusing, pandangan kabur, nyeri ulu

hati dan mengaku belum keluar lendir bercampur darah dan belum keluar

air-air dari jalan lahir.


Setelah mahasiswi kebidanan selesai melakukan pemeriksaan, bidan A

melakukan pemeriksaan dalam: portio tebal, pembukaan 1 cm, keadaan

ketuban utuh, presentasi kepala penurunan bagian terendah Hodge I. Lalu

bidan A memberi intruksi kepada mahasiswi kebidanan untuk melakukan

pemeriksaan urine dengan metode dipstik, mahasiswi meminta Ny T untuk

BAK dan ditampung ke dalam wadah yang sudah disediakan. Setelah

dilakukan pemeriksaan lalu didapatkan hasil : protein urine positif (+1)

dan glukosa urine negatif (-).

Setelah di dapatkan hasil pemeriksaan, bidan A menegakkan diagnosa

Ibu G3P2A0 usia kehamilan 37 minggu inpartu kala I fase laten dengan

PEB. Setelah ditegakkan diagnose, bidan E langsung melakukan konsul ke

dokter penanggung jawab PONED Puskesmas Kutawaluya dr.D dan

didapatkan advice untuk memberikan nifedipin 10 mg secara oral,

memasang infuse RL, memasang dower kateter dan melakukan pemberian

MgSO4 kepada Ny.T sesuai dengan protap.

a. Pukul 19.15 WIB Ny. T dipasang infus menggunakan abocath no.18

dengan cairan Ringer Laktat 500 ml

a. Pukul 19.25 WIB terlihat Ny. T diberikan nifedifine 10 mg sebanyak 1

tablet dikonsumsi secara peroral

b. Pukul 19.30 WIB Ny. T dipasang dower kateter dan urine yang keluar

sebanyak ±170 ml

c. Pukul 19.35 WIB Ny. T diberikan dosis awal MgSO4 20 % sebanyak

20 ml menggunakan spuit 10 cc diberikan secara iv selama 20 menit


d. Pukul 19.45 WIB Ny. T diberikan loading dose MgSO4 20 gr %

sebanyak 30 ml di drip ke dalam cairan RL 500 ml dengan tetesan 28

tetes/menit.

Sementara bidan E sedang melakukan protap PEB, bidan A melakukan

konsul kembali ke dokter penanggung jawab PONED Puskesmas

Kutawaluya yaitu dr. D dan didapatkan advice untuk melakukan rujukan

ke call center SIJARIEMAS. Setelah itu, bidan A langsung melakukan

sistem rujukan ke call center SIJARIEMAS dan didapatkan advice:

penanganan PEB sesuai protap, rujuk ke RSUD Karawang, dan bidan A

memanggil suami Ny.T dan memberitahukan bahwa saat ini keadaan Ny.T

tidak memungkinkan untuk bersalin di PONED dan harus di rujuk ke

RSUD Karawang. Bidan A meminta persyaratan yang dibutuhkan untuk

melakukan proses rujukan, diantaranya fotocopy jaminan kesehatan isteri,

kartu keluarga, KTP suami, dan KTP isteri. Selain itu, bidan E melakukan

anamnesa kembali untuk melengkapi rekam medik pasien kebidanan di

PONED Kutawaluya dan di dapatkan:


Nama pasien : Ny. Tati Suryaningsih

Pendidikan terakhir : SD

Agama : Islam

Pekerjaan Pasien : IRT

Alamat : dusun Tegal Asem Rt 10/03, desa Sindangsari,

kecamatan kutawaluya

Penanggung Jawab : Tn. Cacang Pekerjaan

Penanggung Jawab : buruh HPHT

: 23-06-2017

TP : 30-03-2018

Riwayat Kehamilan yang lalu : preeklampsia

Riwayat Persalinan yang lalu : 1. Kejang di rumah

2. Preeklampsia di RS

Pukul 20.00 WIB Ny. T di rujuk ke RSUD Karawang di dampingi oleh

bidan A, bidan E, kakak dan keponakan Ny. T menggunakan ambulance

puskesmas Kutawaluya. Suami Ny. T menyusul di belakang menggunakan

sepeda motor dengan membawa perlengkapan bayi dan kain ibu.


Asuhan Kebidanan yang dilakukan di Rsud Karawang, Jumat, 9 Maret 2018
Berdasarkan Rekam Medik Pasien

Jam Tindakan Keterangan


20.30 WIB Ny.T sampai di RSUD Tekanan Darah: 150/100mmHg
Karawang. Pasien Nadi: 105x/menit, Respirasi: 20x/menit,
dibawa ke ruang IGD suhu 36,5˚C, TFU: 31cm, puka, preskep,
Kebidanan dan segera pemeriksaan dalam: v/v tidak ada kelainan,
diobservasi oleh portio tebal lunak, pembukaan
mahasiswa kebidan atas 1cm, ketuban positif, presentasi kepala
intruksi dari bidan N. hodge II.
20.40 WIB Ny.T dipasang CTG, Ny.T mengeluh pusing sejak 1 minggu
diambil specimen darah lalu, penglihatan kabur, mual, muntah,
dan urine, dilakukan nyeri ulu hati, sesak, belum keluar air-air,
anamnesa oleh dokter S belum keluar lendir, mulas sejak 5 jam
sebelum masuk RS.
Hasil lab: protein urin negatif (-)
A: G3P2A0 parturien aterm kala I fase laten
dengan PEB

22.43 WIB Pasien diberi tanda Pasien dipindahkan ke ruang VK


pengenal pasien
(peneng) dengan
RM.00543368
22.45 WIB Sampai di ruang VK, KU baik, kesadaran CM, TD
pasien dipindahkan ke 140/90mmHg, nadi 86x/menit, respirasi
ruang khusus PEB lalu 20x/menit, TFU 31cm, DJJ 150x/menit, his
diobservasi oleh bidan 1x10 menit, lamanya 15detik, terpasang
jaga di VK Bd.N. infuse RL drip MgSO4
28tetes/menit, DC terpasang, pemeriksaan
dalam: v/v tidak ada kelainan, portio tebal
lunak, pembukaan
1cm, ketuban positif, preskep hodge II
A: G3P2A0 parturien aterm persalinan kala
I fase laten dengan PEB
P: observasi keadaan umum, TD, his, DJJ
dan kemajuan persalinan, lapor
dr.F,SpOG
Intruksi :
1. Nifedipin 4x10mg peroral
2. Terminasi per FDJP
a. Induksi Misoprostol
2x25mg
3. Lapor ulang kemajuan persalinan
jam 11.00 WIB
23.00 WIB Dilakukan skin test Tidak ada alergi terhadap antibiotic
antibiotik ceftriaxone ceftriaxone
oleh bidan jaga VK dan
Ny.T diberikan oksigen
menggunakan nasal
kanul sebanyak
3liter/menit

22.34 WIB Memantau DJJ dan


pergerakan janin
menggunakan CTG

23.33 WIB Ny.T disuntikkan


ceftriaxone sebanyak
10ml perIV bolus

Sabtu, 10 Maret 2018

Bidan jaga VK melakukan induksi


persalinan atas dasar advice dr.F,Sp.OG
00.05 WIB tanggal 9 Maret 2018 jam 22.45 WIB
menggunakan misoprostol 25mg sebanyak
1 tablet diberikan secara pervaginam
05.00 WIB Ny.T mengatakan mulesnya masih jarang-
jarang. Lalu dilakukan pemeriksaan oleh
bidan dengan hasil KU baik, kesadaran
CM, TD 160/100 mmHg, nadi 84x/menit,
respirasi 20x/menit, suhu 36,5 C, DJJ
136x/menit, pemeriksaan dalam: v/v tidak
ada kelainan, potio tebal lunak, pembukaan
1 cm, ketuban utuh, presentasi kepala
hodge II.
05.40 WIB Ny.T diberikan nifedifine 10 mg sebanyak
1 tablet peroral oleh bidan jaga VK

05.43 WIB Ny.T diberikan misoprostol ke 2 sebanyak


1 tablet dimasukkan secara pervaginam
dan dilakukan pemeriksaan dalam hasil
pembukaan 1cm.
05.45 WIB dilakukan pemeriksaan DJJ 135x/menit,
memberikan maintenance MgSO4 ke-2
kandungan 40% sebanyak 6 gram (15cc)
kedalam cairan RL 500 cc dan diatur 28
tetes/menit.
06.20 WIB S: Ny.T mengeluh mual muntah dan Observasi dilakukan
pandangan kabur, lalu bidan memberikan pukul 07.00 WIB
intruksi kepada mahasiswi kebidanan dengan hasil hasil TD
untuk melakukan observasi kembali. 130/90 mmHg, N
O: tekanan darah 150/110mmHg, nadi 84x/menit, R
94x/menit, pernafasan 24x/menit, suhu 22x/menit, S 36,5˚C,
36,5˚C, DJJ 132x/menit, pemeriksaan his 1x/10menit durasi
dalam tidak dilakukan. 15 detik, DJJ
A: G3P2A0 parturien aterm kala I fase 140x/menit.
laten + impending eklampsia.
P: observasi TPRS, his, DJJ, lapor
dr.F,SpOG
06.28 WIB Ny.T diberikan nifedipin ke-2 dan di
minum peroral.

06.39 WIB Ny.T diberikan nifedipin ke-3 sebanyak 1


tablet, dopamed 250mg sebanyak 2 tablet

08.20 WIB dilakukan pemeriksaan DJJ kembali DJJ 139x/menit.

08.32 WIB Ny.T diberikan misoprostol ke-2 sebanyak


1 tablet dimasukan secara pervaginam.

09.30 WIB Ny.T diberikan obat ondancefron sebanyak


2 ml secara IV bolus dan ranitidine
sebanyak 2 ml.
12.00 WIB S: Ny.T mengatakan mulasnya masih Observasi dilakukan
jarang. pada pukul 14.00 WIB
O: KU baik, kesadaran CM, TD dengan hasil 120/80
120/80mmHg, nadi 86x/menit, respirasi mmHg, nadi
20x/menit, suhu 36˚C, his jarang, DJJ 83x/menit, respirasi
138x/menit, pemeriksaan dalam: 20x/menit, his 1x10
vulva/vagina tidak ada kelainan, menit durasi 15 detik
pembukaan 1cm. A: G3P2A0 gravida
aterm + PEB+ gagal induksi. P: observasi
TTV, HIS, kemajuan persalinan, konsul dr.
H. Farid,SpOG, siapkan SC.
14.20 WIB Ny.T dipindahkan ke ruang ok untuk
dilakukan operasi sesar
Laporan SC (Sumber Status RM Klien)

14.30 WIB Berlangsung SC+MOW yang dilakukan oleh dr.F,SpOG

14.52 WIB Bayi lahir tidak segera menangis, jenis kelamin perempuan, berat
badan: 2590 gram, panjang 46cm, kelainan bawaan: tidak ada, A/S:
6/8, plasenta lengkap, panjang tali pusat: 50 cm, berat 500 gram,
ketuban jernih, anus positif (+), meconium negative (-), cacat
negative (-).
Laporan Resusitasi
1. Menempatkan bayi di infrawarmer
2. Mengeringkan bayi
3. Memposisikan bayi dengan kepala sedikit ekstensi
4. Membersihkan jalan nafas
5. Menghangatkan bayi

15.30 WIB Operasi telah selesai dilakukan dan Ny.T segera dibawa ke ruang
pemulihan (RR). Saat diruang pemulihan Ny.T diobservasi
kembali TTV oleh bidan dengan hasil TD 125/72mmHg, nadi
72x/menit, repirasi 20x/menit, suhu 36˚C
18.30 WIB Pasien dipindahkan ke ruang rawat gabung lalu dilakukan
pemeriksaan kembali dengan hasil KU baik, kesadaran CM, TD
130/90 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36˚C, TFU 2
jari dibawah pusat, kontraksi uterus kuat, luka operasi tertutup, lochea +

3.2 Asuhan Postnatal Care dan Bayi Baru Lahir

Minggu, 11 Maret 2018 (KF 1 dan KN 1)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pasien pada tanggal 11

maret 2018 saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. Ny.T mengatakan

bahwa selama berada di ruang rawat gabung bidan memberikan obat

suntik melalui selang infuse, obat yang dimasukan ke anus, obat

antihipertensi, diganti balutan, serta melakukan beberapa pemeriksaan.

Hasil pemeriksaan yang didapatkan berdasarkan Rekam Medik pasien TD

120/80mmHg, N 80x/menit, suhu 36,6˚C, respirasi 22x/menit. Selain itu

bidan menganjurkan ibu untuk bergerak miring kiri dan kanan,

memberikan informasi tentang kebersihan diri, menganjurkan ibu untuk


makan makanan yang bergizi terutama telur agar luka jahitan cepat kering.

Ibu mengaku saat ini tidak ada keluhan apapun hanya merasa sedikit

mulas. Selain itu, ibu mengatakan bahwa telah dilakukan steril (MOW)

pada saat seksio sesarea. Setelah dilakukan wawancara dengan bidan di

ruang nifas, diketahui bahwa terapi yang diberikan kepada Ny.T

diantaranya: ceftriaxon 2x1gr/IU, ketorolax 3x30gr/IU, SF 2x1, adalatoros

(nifedipine) 1x30gr dan diganti balutan pada pukul 09.00 WIB atas

intruksi dari dokter.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, pada pukul 06.30 WIB

bayi Ny.T dipindahkan dari ruang bayi ke ruang rawat gabung disatukan

dengan ibunya. Ny.T mengatakan telah menyusukan bayinya dan bayi

menyusu dengan kuat. Bidan telah melakukan pemeriksaan pada bayi

Ny.T dengan hasil detak jantung bayi 135x/menit, respirasi 46x/menit,

suhu 36,8˚C. saat berada di ruang perinatologi bayi telah diberikan neo-K,

ampisilin, gentamisin dan Hb-0.

Pada tanggal 14 Maret 2018 pukul 15.30 WIB Ny.T dan bayinya

pulang ke rumah bersama suami setelah mendapat persetujuan dari dokter

dan setelah membereskan semua administrasi lalu bidan memberikan obat-

obatan atas intruksi dokter yaitu:

1. Asam mefenamat (3x1)

2. Dopamet tablet (3x2)

3. Cefadroxil (2x1)

4. Tablet tambah darah neo (1x1)

5. Nifedipine (3x1)
Kamis, 15 Maret 2018 (KF 2 dan KN 2 Hari ke 5)

Pukul 16.30 WIB penulis melakukan kunjungan rumah bersama bidan

desa yaitu bidan S. Setelah dilakukan anamnesa diketahui bahwa ibu telah

melahirkan anak ketiga 5 hari yang lalu, ibu mengeluh merasa sedikit

ngilu pada jahitan bekas SC. Lalu bidan melakukan pemeriksaan dengan

hasil: TD 130/80 mmHg, respirasi 21x/menit, nadi 80x/menit, suhu

36,6˚C, TFU pertengahan pusat dan sympisis, kontraksi uterus keras,

lochea sanguinolenta. Ibu mengatakan saat ini kondisinya baik-baik saja

dan tidak ada keluhan seperti pada saat akan bersalin.

Kemudian bidan melakukan pemeriksaan terhadap bayi dan didapatkan

hasil: Suhu 37,0ºC, Respirasi 58 kali/menit, Detak Jantung Bayi 140

kali/menit, terlihat tali pusat bayi belum lepas dan tidak ada tanda-tanda

infeksi pada tali pusat. berat badan bayi 2700 gram, ibu mengatakan

bayinya sangat kuat menyusu dan sering terbangun pada malam hari hanya

untuk menyusu. Bidan memberikan pendidikan kesehatan kepada Ny.T

tentang pemberian ASI eksklusif dan menjaga kehangatan bayi serta

mengingatkan ibu untuk melakukan kunjungan ulang ke RSUD Karawang

sesuai dengan jadwal yang telah diberitahukan.


Jumat, 23 Maret 2018 (KF 2 dan KN 3 Hari ke 13)

Berdasarkan hasil wawancara, Ny.T seharusnya melakukan kunjungan

ulang ke RSUD Karawang untuk kontrol pada hari Senin, 19 Maret 2018

tetapi ibu tidak melakukannya karena suaminya bekerja sehingga tidak ada

yang mengatar. Selain itu saat melakukan kunjungan ulang Bd.S

mengatakan bahwa luka jahitan ibu sudah bagus sehingga ibu mengira

tidak perlu melakukan kunjungan ulang ke Rumah Sakit.

Pukul 09.00 WIB Ny.T datang ke PONED puskesmas kutawaluya

mengaku ingin kunjungan ulang hari ke 13. Penulis melakukan anamnesa

pada ibu dan didapatkan hasil: ibu tidur siang hanya 30 menit dan tidur

malam 4 jam/hari karena bayi sering menangis ingin menyusu, ibu makan

3x/hari menggunakan piring sedang dan jenis makanan yang dikonsumsi

yaitu nasi, telur, tempe frekuensi BAK ibu 4x/hari dan frekuensi BAB

1x/hari dengan konsistensi lunak, jumlah air putih yang dikonsumsi ibu

setiap hari adalah ±9 gelas, ibu mengatakan saat ini tidak sedang

mengonsumsi obat-obatan apapun. Setelah itu penulis didampingi oleh

pembimbing melakukan pemeriksaan terhadap ibu dan didapatkan hasil:

keadaan umum baik, berat badan 72 kg, TD 110/70 mmHg, N 82x/menit,

R 18x/menit, S 36,5˚C,

a. Kepala : warna rambut hitam, bersih, tidak rontok dan tidak ada

benjolan

b. Muka : simetris, tidak pucat, tidak ada oedema

c. Mata : simetris, konjungtiva merah muda, sclera putih


d. Mulut : warna merah muda, lidah bersih, warna gigi putih

e. Leher : tidak ada pembengkakan pada kelenjar tyroid, getah bening

dan vena jugularis

f. Payudara : simetris, tidak ada benjolan, putting susu menonjol, ASI

banyak, tidak ada pembesaran KGB axilla

g. Abdomen : ada striae, ada hyperpigmentasi, ada sikatrik bekas operasi,

luka jahitan bekas SC sudah mulai kering, TFU tidak teraba.

h. Ekstremitas atas: tidak ada oedema, capillary refill kembali < 2 detik

i. Ekstremitas bawah : bentuk simetris, tidak ada oedema, tidak ada

varises, capillary refill kembali < 2 detik, tanda homan (-)

j. Genetalia : tidak ada kelainan, pengeluaran sanguinolenta, tidak ada

luka perineum.

k. Anus : tidak ada haemorroid

Penulis menegakkan diagnosa ibu P3A0 post partum 13 hari dalam

keadaan baik. Setelah ditegakkan diagnosa, penulis melakukan beberapa

penatalaksanaan terhadap ibu yaitu memberitahu hasil pemeriksaan,

memberikan pendidikan kesehatan mengenai cara memenuhi kebutuhan

istirahat tidur, serta memberitahu ibu tanda bahaya masa nifas. Ibu

mengaku mengerti atas penjelasan yang diberikan penulis.

Pukul 10.00 WIB penulis melakukan anamnesa pada ibu mengenai

bayinya, didapatkan hasil: frekuensi BAK 4-5x/hari, BAB 2x/hari warna

kuning dan konsistensi lunak, bayi hanya diberikan ASI saja secara on

demand. Ibu mengatakan lama bayi setiap kali tidur yaitu 2-3 jam dan
terbangun karena ingin menyusu atau BAK dan BAB dan tali pusat bayi

telah lepas pada hari ke-7.

Setelah itu, penulis didampingi oleh pembimbing melakukan

pemeriksaan head to toe terhadap bayi dan didapatkan hasil: Pemeriksaan

tanda-tanda vital: suhu 36,8ºC, respirasi 54 kali/menit, DJB 135 kali/menit

dan berat badan bayi 2900gram.

Pemeriksaan fisik:

a. Kepala: ubun-ubun besar datar, molage 0, tidak ada caput succedanum

dan cepal hematoma, tidak ada kelainan dan lingkar kepala 33 cm.

b. Mata: letak simetris, konjungtiva merah muda, sclera putih, tidak ada

kotoran dan kelainan

c. Hidung: terdapat lubang hidung dan cuping hidung, tidak ada

pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret dan kelainan

d. Mulut: warna bibir merah muda, terdapat palatum, gusi merah muda

e. Telinga: letak telinga terhadap mata sejajar, tidak terdapat cairan atau

sekret, tidak ada kelainan, telinga terlihat sedikit kotor

f. Leher: tidak ada pembengkakan KGB dan tyroid, pergerakan aktif dan

tidak ada kelainan

g. Dada: bentuk dada datar, lingkar dada 34 cm, ada tonjolan putting,

tidak ada tarikan dinding dada dan bunyi jantung tambahan

h. Abdomen: bentuk perut simetris, bising usus 3x/menit, tidak ada

pembesaran hepar dan kelainan, tali pusat sudah lepas

i. Ekstremitas atas: gerakan aktif, jumlah jari lengkap kanan dan kiri,

tidak ada kelainan, lingkar lengan atas (LILA) 10,5 cm


j. Genetalia: terlihat labia mayor menutupi labia minor dan tidak ada

kelainan

k. Keadaan punggung: tidak ada spina bifida dan kelainan

l. Anus: berlubang dan tidak ada kelainan

m. Ekstremitas bawah: gerakan aktif, jumlah jari lengkap kanan dan kiri,

tidak ada kelainan

n. Sistem saraf: refleks sucking (+), refleks rooting (+), refleks

swallowing (+), refleks tonic neck (+), refleks graps (+), refleks

babynski (+), refleks stepping (+), refleks morrow (+)

Penulis menegakkan diagnosa: neonatus usia 13 hari cukup bulan

sesuai masa kehamilan dalam keadaan baik. Setelah menegakkan

diagnosa, penulis melakukan penatalaksaan kepada bayi seperti:

memberitahu ibu hasil pemeriksaan, memberitahu ibu untuk selalu

menjaga kebersihan bayi, dan kehangatan bayi. Ibu mengaku paham atas

penjelasan penulis dan mengatakan akan lebih menjaga kebersihan

bayinya.

Kamis, 12 April 2018 (KF 3 Hari ke 33)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien pada tanggal 12-04-2017

saat melakukan kunjungan ke rumah pasien. Selama masa nifas bidan S

selaku bidan desa hanya datang satu kali melakukan kunjungan rumah

pada saat ibu pulang dari RSUD. Bidan S melakukan kunjungan rumah

pada hari ke-5 postpartum tanggal 15 maret 2018. Ibu melakukan

kunjungan ulang ke puskesmas pada hari ke 13 post partum pada tanggal

23 Maret 2018.
Ibu mengaku saat ini dalam keadaan sehat, dan tidak merasakan ada

keluhan. Ibu sudah tidak merasakan sakit pada luka jahitan dan lochea ibu

saat ini berwarna coklat. Saat ini ibu sudah melakukan pekerjaan rumah

tangga seperti biasa, ibu selalu menyempatkan diri untuk tidur siang

minimal 30 menit/hari, pola makan ibu 2-3x/hari, frekuensi BAK 4-5x/hari

dan ibu rutin BAB 1x/hari, selain itu ibu juga mengaku bahwa ia telah

melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Kemudian atas inisiatif penulis

melakukan pemeriksaan dan didapatkan hasil: TD 120/80 mmHg, nadi

81x/menit, respirasi 19x/menit, suhu 36,5°C, TFU sudah tidak teraba, luka

jahitan SC sudah kering dan sudah tidak ada pengeluaran lochea.

Setelah itu penulis melakukan anamnesa pada ibu mengenai bayinya.

Ibu mengaku saat ini bayi telah diberi nama yaitu An.N, tidak ada keluhan

yang dialami bayi saat ini, bayi semakin sering menyusu, frekuensi BAK

bayi 5-6x/hari, frekuensi BAB 1-2x/hari. Kemudian mahasiswa melakukan

pemeriksaan pada bayi dan didapatkan hasil: BB bayi 3100 gram, PB bayi

51 cm, denyut jantung bayi 135x/menit, respirasi 47x/menit, suhu 36,7°C,

lingkar kepala 34 cm, lingkar dada 35 cm dan bising usus 4x/menit.

3.2 Data Penunjang Antenatal Care (Data Sekunder)

3.2.1 Berdasarkan Buku KIA

Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dalam buku KIA Ny.T,

berusia 27 tahun, golongan darah B, pekerjaan IRT. HPHT Ny.T yaitu

tanggal 23 Juni 2017 dengan taksiran persalinan tanggal 30 Maret 2018.

Ny.T pernah dilakukan pemeriksaan tinggi badan dengan hasil 149 cm

tetapi tidak dilakukan pemeriksaan lingkar lengan atas (LiLA). Selama


kehamilan ibu melakukan pemeriksaan sebanyak 9 kali. 1 kali di BPM

Bd.K pada awal kehamilan, 7 kali di posyandu, dan 1 kali di puskesmas

Kutawaluya. Ibu mulai mengalami kenaikan tekanan darah pada

kunjungan ke-6 di usia kehamilan 28 minggu.

3.2.2 Hasil Wawancara

Berdasakan hasil wawancara dengan Ny.T, ibu mengaku hamil anak

ketiga, telah melahirkan dua kali dan belum pernah keguguran. Ibu

mengaku bahwa persalinan pertama dilakukan di rumah dan di tolong oleh

Bd.E secara normal. Namun, pada saat melahirkan anak pertama, Ny.T

mengalami kejang segera setelah bayi lahir dan dibawa ke RS proklamasi,

riwayat persalinan anak kedua di RSUD karena Ny.T mengalami

preeclampsia berat. Pada kehamilan yang ketiga ini, ibu telah melakukan

pemeriksaan kehamilan secara rutin di puskemas Kutawaluya dan

Posyandu.

Ibu pertama kali mengetahui kehamilannya pada saat usia kehamilan 2

bulan dengan keluhan telat haid dan akhirnya ibu melakukan pp test

sendiri dan hasilnya positif. Ibu mengaku haid terakhir tanggal 23-06-

2017. Ibu mulai melakukan awal pemeriksaan pada usia kehamilan 1 bulan

ke BPM Bd.K. Ibu sudah 9x melakukan pemeriksaan kehamilan di

posyandu, puskesmas dan BPM. Ibu mengaku sudah diimunisasi sebanyak

1 kali selama kehamilan ini. Selama pemeriksaan kehamilan, ibu

melakukan 2x pemeriksaan Hb saat usia kehamilan 3 dengan hasil Hb 11,4

gr% dan pada saat usia kehamilan 9 bulandengan hasil Hb 12 gr%. Ibu

mengaku pernah melakukan USG satu kali pada saat usia kehamilan 9
bulan di puskesmas Kutawaluya. Ibu mengaku mengalami perubahan pola

makan selama hamil yaitu pada awal kehamilan karena merasa mual.

Riwayat kontrasepsi ibu menggunakan kb suntik 3 bulan selama 2

tahun setelah anak kedua lahir. Ibu mengaku tidak memiliki riwayat

penyakit sedang atau pernah diderita. Ibu mengatakan tidak ada riwayat

hipertensi saat sebelum hamil, tidak ada riwayat penyakit paru-paru atau

gangguan jantung, tidak ada keluarga yang mengalami penyakit hipertensi,

serta tidak ada keluhan nyeri ulu hati, mual muntah dan bengkak pada

tungkai saat usia kehamilaan lebih dari 5 bulan. Pada saat hamil ibu

memang senang mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi zat

garam dengan alasan karena sudah terbiasa saat sebelum hamil. Ibu

mengatakan pada kehamilan ini ibu pernah disuntik imunisasi TT

sebanyak 1 kali pada saat usia kehamilan 3 bulan.

Ibu mengatakan setiap kali melakukan pemeriksaan ke posyandu dan

puskesmas, tekanan darahnya selalu diperiksa. Berat badan di periksa

tetapi sendiri, dan ibu mengaku lingkar lengannya belum pernah diperiksa

selama melakukan pemeriksaan kehamilan. Saat usia kehamilannya 28

minggu ibu mengalami kenaikan tekanan darah menjadi 140/80 mmHg,

tetapi tidak ada keluhan yang ibu rasakan. Bidan desa langsung

menyarankan ibu untuk datang ke puskesmas untuk dilakukan

pemeriksaan laboratorium. Selain itu, bidan juga menjelaskan tanda

bahaya dari tekanan darah tinggi terhadap kehamilan.


Selama kehamilan ibu diberikan tablet fe oleh bidan desa dan ibu

selalu meminumnya walaupun sedikit mual. Ibu mengatakan minum tablet

fe setiap malam hari dengan air putih.Ny.T mengatakan saat hamil

berencana melahirkan di BPM Bd.S, namun Bd.S menyarankan untuk

melahirkan di puskesmas mengingat ibu memiliki riwayat kejang dan

preeclampsia, dikhawatirkan terjadi sesuatu. Jika ibu bersalin di

puskesmas akan lebih cepat untuk mendapatkan penanganan pertama dan

proses rujukannya apabila terjadi kegawatdaruratan.

3.3 Pembahasan

3.3.1 Faktor Penyebab Preeklampsia Berat

Pada kasus Ny.T terjadinya preeclampsia berat pada ibu diduga karena

ibu pernah mengalami preeclampsia berat pada kehamilan sebelumnya

yaitu pada saat ibu hamil anak kedua dengan riwayat tekanan darah

150/100 mmHg dan saat ituibu melahirkan di RSUD Karawang.

Hal ini sejalan dengan teori yang terdapat dalam buku American

College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), 2013 dan Lim, 2018

yang menyatakan bahwa faktor resiko terjadinyakasus preeklampsia berat

salah satunya disebabkan karena adanya riwayat preeclampsia pada

kehamilan sebelumnya.Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Fatkhiyah, dkk tahun 2015 yang menyatakan bahwa ibu

yang memiliki riwayat preeklampsia mempunyai risiko 3,26 kali terjadi

preeklampsia dibandingkan ibu hamil tanpa riwayat preeklampsia.


Menurut asumsi penulis, preeclampsia pada kehamilan sebelumnya

merupakan faktor penyebab terjadinya preeclampsia berat pada Ny. T.

Sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang telah disebutkan bahwa

preeclampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan salah satu faktor

penyebab terjadinya preeklampsiaberat,hal ini terbukti pada kasus Ny.T

yang mana memiliki riwayat preeclampsia pada kehamilan

sebelumnya.Selain itu adapun faktor pendukung lain yang diduga

menyebabkan Ny.T mengalami preeclampsia berat yaitu pekerjaan ibu

sebagai ibu rumah tangga.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Lombo,dkk tahun 2017 yang menyimpulkan bahwa pasien

dengan kelompok ibu rumah tangga lebih dominan mengalami

preeklampsia berat yaitu sebanyak 40%. Penelitian ini didukung oleh

Djannah, dkk tahun 2010 yang menunjukkan bahwa kejadian preeklampsia

didominasi oleh kelompok ibu yang hanya bekerja di rumah sebanyak

63,5%. Karena pekerjaan dikaitkan dengan adanya aktifitas fisik dan stress

yang merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia.

3.3.2 Deteksi Dini Preeklampsia Berat

Pada kasus ini, Ny.T mulai mengalami kenaikan tekanan darah pada

usia kehamilan 28 minggu yaitu menjadi 140/80 mmHg yang sebelumnya

tekanan darah ibu tidak pernah mengalami kenaikan yang drastis. Saat

tekanan darah ibu ditemukan tinggi pada kujungan ke-6 dari total 9 kali

kunjungan, bidan menyarankan ibu untuk melakukan pemeriksaan

laboratorium ke puskesmas yaitu pemeriksaan Hb, protein dan glukosa,

dengan hasil Hb 12gr%, protein positif (+1), glukosa negatif (-). Lalu
bidan memberikan pendidikan kesehatan mengenai tanda gejala

preeclampsia berat. Selain itu bidan menyarankan ibu, untuk bersalin di

puskesmas karena tekanan darah ibu tinggi dan ibu mempunyai riwayat

preeclampsia pada kehamilan sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan teori Sabarudin yang menyatakan bahwa

preeclampsia tidak dapat dicegah, namun yang terpenting adalah

bagaimana penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin.Deteksi dini pada

preeclampsia bisa melalui pengkajian yang komprehensif agar semua

riwayat dan faktor resiko dapat diketahui.Selain itu melalui pemeriksaan

tekanan darah secara rutin pada saat pemeriksaan kehamilan (antenatal

care) untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya komplikasi sehingga

diagnosis dini dapat ditegakkan dan intervensi yang tepat dapat diberikan.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Fatkhiyah, dkk tahun 2015 yang menyebutkan bahwa kualitas

pemeriksaan faktor risiko selama konsultasi antenatal memiliki efektifitas

dalam mencegah dan memprediksi komplikasi obstetric. Preeklampsia

dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan berkualitas.

Pelayanan antenatal berkualitas dengan standar pelayanan yang telah

ditetapkan dapat mendeteksi komplikasi dalam kehamilan termasuk

diantaranya deteksi preeclampsia. Karena penyebab preeclampsia belum

diketahui secara pasti maka salah satu upaya guna mencegah terjadinya

preeklampsia berat adalah menghindari faktor risiko. (Fatkhiyah, dkk,

2016)
Selain itu, hal ini juga sesuai dengan standar pelayanan kebidanan

yaitu standar 7 tentang pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan yaitu

bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada

kehamilan dan mengenali tanda serta gejala preeklamsi lainnya, serta

mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.

Menurut asumsi penulis, bidan telah melakukan deteksi dini

preeclampsia yang dilakukan melalui pemeriksaan kehamilan (antenatal

care) secara rutin dan didukung dengan pemeriksaan antenatal yang

berkualitas.Hal ini sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang ada,

bahwa deteksi dini peeklampsia berat bisa dilakukan dengan cara

pemeriksaan rutin antenatal care dan ini terbukti pada kasus Ny.T yang

mana ibu terdeteksi mengalami kenaikan tekanan darah. Bidanpun sudah

melakukan deteksi dini sesuai dengan standar 7, yaitu dengan cara

mengukur tekanan darah tinggi secara rutin setiap kali ibu melakukan

pemeriksaan kehamilan untuk mendeteksi dini kegawatdaruratan.

3.3.3 Penegakan Diagnosis Preeklamsia Berat

3.3.3.1 Penegakkan Diagnonis di Puskesmas

Dalam kasus Ny. T, bidan A di puskesmas menegakkan diagnose

preeclampsia berat berdasarkan hasil pemeriksaan yang didapatkan yaitu

TD 140/100 mmHg dan protein urine yang dilakukan dengan metoda

dipstick dengan hasil positif (+1), selain itu dilihat dari keluhan ibu yang

merasa pusing, pandangan kabur, nyeri ulu hati yang merupakan tanda

gejalakhas preeclampsia berat.


Hal ini sejalan dengan teori dari PNPK tahun 2016 yang

mendefinisikan bahwa preeclampsia berat merupakan hipertensi yang

baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai

adanya beberapa gangguan diantaranya nyeri ulu hati, sakit kepala dan

pandangan kabur. Kasus ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Sumulyo, dkk tahun 2017 yang menyebutkan bahwa

penegakkan diagnosis preeclampsia berat dilihat dari adanya hipertensi

pada usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki

tekanan darah normal, gangguan fungsi hati, nyeri ulu hati, timbul nyeri

kepala dan gangguan penglihatan.

Menurut asumsi penulis, bidan di puskesmas Kutawaluya telah

melakukan penegakan diagnosa dengan tepat karena diagnosa

preeclampsia berat ditegakan berdasarkan temuan tanda gejala yang

menunjukkan kondisi preeclampsia berat dan tidak lagi melihat oedema.

harapan penulis seluruh bidan di fasilitas kesehatan dasar dapat

mengenali tanda gejala preeklampsia dengan benar sehingga kasus

preeklampsia dapat ditangani dengan tepat dan sesuai.sesuai dengan

standar pelayanan kebidanan no.7 tentang pengelolaan dini hipertensi

pada kehamilan, bahwa bidan menemukan secara dini setiap kenaikan

tekanan darah pada kehamilan dan mengenalkan tanda serta gejala

preeklamsia lainnya , serta mengambil tindakan yang tepat dan

merujuknya.
3.3.3.2 Penegakkan Diagnonis di Rumah Sakit

Berdasarkan kasus ini, ditegakkannya diagnose preeclampsia berat di

Rumah Sakit atas dasar pemeriksaan yang telah dilakukan oleh bidan

yaitu dilihat dari tekanan darah 150/100 mmHg, serta berdasarkan

keluhan yang ibu rasakan yaitu pusing, penglihatan kabur, mual, nyeri

ulu hati.

Hal ini sesuai dengan teori PNPK yang mengemukakan bahwa salah

satu tanda gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis preeklampsia berat, yaitu adanya nyeri ulu hati, penglihatan

kabur dan sakit kepala. Kasus ini juga sesuai dengan hasil penelitian

Sumulyo, dkk yang menyatakan bahwa diagnosis preeclampsia berat

tidak lagi tergantung pada adanya proteinuria karena kurangnya bukti

bahwa kuantitas protein berhubungan dengan luaran kehamilan dengan

preeclampsia.

Kasus ini pula sesuai dengan standar operasional prosedur yang

berlaku di RSUD Karawang yang mana disebutkan bahwa penegakan

diagnosa preeklampsia berat di RSUD Karawang berdasarkan: hasil

anamnesa, hipertensi yang didapatkan setelah umur kehamilan 20

minggu yaitu ≥140/90 mmHg s/d ≤160/110mmHg, besar rahim sesuai

dengan usia kehamilan atau lebih kecil apabila ada PJT (Pertumbuhan

Janin Terhambat)

Berdasarkan asumsi penulis, diagnosa yang ditegakan oleh bidan di

fasilitas kesehatan dasar (Puskesmas Kuatawaluya) dengan di fasilitas

kesehatan rujukan (RSUD Karawang) sama yaitu preeklampsi berat.


Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan (RSUD Karawang) telah

baik dalam melakukan penegakan diagnosa preeklampsia berat karena

sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku dan telah

sesuai dengan teori yang ada.Adapun perbedaan hasil pemeriksaan

laboratorium proteinuria antara puskesmas dengan RS dapat disebabkan

oleh berbagai hal diantaranya alat atau metode yang digunakan,

pengambilan specimen, maupun kesalahan pembacaan hasil.

3.3.4 Penatalaksanaan Preeklamsia Berat

3.3.4.1 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat di Puskesmas

Pada kasus ini, setelah ditegakan diagnosa preeclampsia berat pada

Ny.T, bidan melakukan informed consent kepada keluarga pasiensebagai

bukti persetujuan yang diberikanatas suatu tindakan medik yang akan

dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas tentang tindakan

tersebut. Lalu bidan melakukan tindakan stabilisasi sesuai protap dan

advice dari dokter penanggung jawab PONEDdiantaranya memberikan

Ny.T 10 mg Nifedipin, memasang infuse Ringer Laktat dengan abocath

no.18 dan tetesan 28 tetes/menit, melakukan sistem rujukan melalui call

centerdilanjutkan dengan melakukan kateterisasi dan urine keluar

±170ml kemudian bidan memberikan terapi MgSO4 dosis awal yaitu 4gr

MgSO4 (20 ml MgSO4 20%) disuntikan per-IV bolus selama 20 menit

dan dosis rumatan 6 gr MgSO4 (30ml MgSO4 20%) drip RL dengan

tetesan 28tetes/menit, kemudian merujuk pasien ke RSUD Karawangatas

advice SIJARIEMAS.
Sebelum memberikan MgSO4, bidan tidak melakukan pengecekan

reflex patella pada pasien dengan alasan karena melihat kondisi pasien

yang masih bisa berjalan pada saat datang ke PONED sehingga bidan

menyimpulkan bahwa reflek patella ibu positif. Adapun tujuan

pemeriksaan reflex patella adalah untuk menghindari terjadinya

keracunan MgSO4. Sedangkan bahaya apabila ibu tidak dilakukan

pemeriksaan reflex patella sebelumnya adalah kemungkinan ibu akan

mengalami keracunan MgS04.

Untuk tindakan pemberian MgSO4 bidantelah sesuai dengan teori

Saifuddin 2014 yang menyatakan bahwa penanganan umum pada

preeclampsia berat diantaranya pasang infuse Ringer Laktat, kateterisasi

urin, pemberian MgSO4 dosis awal, dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan sebanyak 6 gram dalam larutan RL selama 6 jam,

pemberian antihipertensi peroral, kemudian merujuk pasien ke rumah

sakit. Tindakan bidan pun telah sesuai denganperaturan Dinas Kesehatan

Kabupaten Karawang tahun 2014 dan standar operasional prosedur yang

berlaku di puskesmas Kutawaluya yang menyatakan bahwa dosis awal

MgSO4 adalah 4 g larutan MgSO4 dosis awal perlahan IV selama 20

menit, setelah memberikan dosis awal, diberikan loading dose dengan

dosis rumatan 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan

dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/ Ringer Asetat, lalu berikan secara

IV dengan kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam, lalu merujuk ke

RS.
Sedangkan untuk prasyarat pemberian MgSO4 tidak sesuai dengan

teori Saifuddin 2014 yang mengemukakan bahwa syarat-syarat

pemberian MgSO4 antara lain harus tersedia kalsium glukonas 10%,

reflex patella (+), dan frekuensi pernapasan > 16 kali/ menit. Selain itu

tidak sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku yaitu

pada penanganan preeclampsia berat harus dilakukan pemeriksaan

refleks patella.

Menurut asumsi penulis secara umum penatalaksanan awal kasus

preeklamsi berat pada Ny.T di fasilitas kesehatan tingkat dasar

(Puskesmas) untuk pemberian MgSO4 telah sesuai dengan teori dan

standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.Namun, untuk

prasyarat pemberian MgSO4 bidan tidak sesuai dengan teori dan standar

operasional prosedur yang berlaku sehingga dapat menimbulkan

terjadinya keracunan MgSO4. Penulis berasumsi bahwa seluruh bidan

harus dapat melakukan penatalaksanaan kasus preeklamsi berat dan

memenuhi prasyarat pemberian MgSO4 sesuai dengan protap dan teori

yang ada agar kasus preeklampsia berat dapat ditangani dengan benar

dan baik serta menurunkan angka mortalitas dan mordibitas ibu karena

kasus preeklampsia berat.

3.3.4.2 Penatalaksanaan Preeklamsi Berat di RSUD Karawang

Dalam kasus ini, setelah ditegakkan diagnose preeclampsia berat di

RS, dr.F,SpOGmemberikan advice untuk dilakukan terminasi kehamilan

dengan carainduksi persalinan, tetapi setelah 12 jam dilakukan induksi

tidak mengalami kemajuan persalinan kemungkinan terjadi karena


kondisi serviks yang belum matang sehingga dilakukantindakan seksio

sesarea.

Hal ini sesuai dengan peraturan Dinas Kesehatan Kabupaten

Karawang yang menyatakan bahwa dokter melakukan terminasi

kehamilan bila terdapat keadaan : umur kehamilan ≥ 37 minggu, terdapat

gejala impending eklampsia dan dilakukan seksio sesarea bila terdapat

kontraindikasi terhadap oksitosin, setelah 12 jam dalam induksi tak

masuk fase aktif.

Serta sejalan dengan Standar Operasional Prosedur penatalaksanaan

preeklampsia berat di RSUD Karawang tahun 2016 yang menyebutkan

bahwa penatalaksaan preeklampsia berat pada pasien bila induksi

persalinan gagal yaitu 12 jam sejak mulai dilakukannya induksi maka

dilakukan tindakan seksio sesarea.

Menurut asumsi penulis tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan

rujukan telah melakukan tindakan penatalaksanaan kasus preeklampsia

berat sesuai dengan SOP yang berlaku di tempat tersebut.

3.3.5 Sistem Rujukan di Puskesmas

Pada kasus ini, setelah bidan melakukan tindakan stabilisasi pada Ny.T

sesuai dengan indikasi medis, bidan melakukan komunikasi rujukan

SIJARIEMAS melalui call center dan setelah mendapat jawaban, bidan

melakukan persiapan prarujukan dengan BAKSOKU (Bidan, Alat,

Keluarga, Surat, Obat, Kendaraan, Uang). Lalu bidan merujuk pasien ke

rumah sakit yang telah ditentukan oleh SIJARIEMAS.Pasien dirujuk


dengan menggunakan mobil ambulance beserta keluarga dan didampingi

bidan.

Hal ini sesuai dengan Permenkes No 001 Tahun 2012 yang

menyatakan bahwa sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan

penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas

dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal baik baik secara

vertical maupun horizontal. Adapun prosedur sebelum proses rujukan

diantaranya: melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang untuk menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding,

memberikan tindakan stabilisasi berdasarkan Standar Prosedur

Operasional (SOP), memutuskan unit pelayanan tujuan, pasien gawat

darurat harus didampingi tenaga kesehatan yang kompeten dibidangnya

dan mengetahui kondisi pasien, Pasien diantar dengan kendaraan ambulans

dan diserah terimakan oleh petugas, agar petugas dan kendaraan pengantar

tetap menunggu sampai pasien di IGD mendapat kepastian pelayanan.

Menurut asumsi penulis, bidan di fasilitas kesehatan dasar (puskesmas)

telah melakukan rujukan dengan tepat dan prosedur pra-rujukan telah

sesuai dengan teori SIJARIEMAS dan standar operasional prosedur yang

berlaku di Puskesmas Kutawaluya.Selain itu, bidan telah menjalankan

tugasnya sesuai dengan fungsi dan peran bidan serta wewenang dan

tanggung jawabnya dalam melakukan penatalaksanaan kasus preeklamsi

berat.
3.3.6 Komplikasi Preeklamsia Berat

3.3.6.1 Asfiksia

Pada pukul 14.52 WIB lahir bayi perempuan Ny.T dengan keadaan

tidak segera menangis sehingga bayi tersebut di diagnosa asfiksia.

Hal ini sesuai dengan teori Setyarini & Suprapti, 2016 yang

menyatakan bahwa penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin

dan plasenta.Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia. Kasus ini

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mundari yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian preeklampsia dengan

kejadian asfiksia neonatorum. Menurut hasil penelitiannya, ibu yang

menderita preeklampsia mempunyai risiko 1,7 kali lebih besar dibanding

yang tidak menderita preeklampsia, untuk melahirkan bayi dengan

asfiksia neonatorum. (Mundari, 2017)

Menurut asumsi penulis, penyebab asfiksia pada bayi Ny.T

merupakan komplikasi yang disebabkan karena ibu menderita

preeclampsia berat. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, selain itu menurut hasil

penelitian yang dilakukan Mundari memperlihatkan bahwa ibu yang

menderita preeclampsia memiliki resiko 1,7 kali lebih besar dibanding

yang tidak menderita preeclampsia untuk melahirkan bayi dengan

asfiksia neonatorum.

3.3.6.2 Penanganan Asfiksia

Bayi Ny.T mengalami asfiksia sedang dan dilakukan tindakan

resusitasi pada bayi baru lahir dilakukan diruang operasi oleh dokter dan
bidan dengan cara menempatkan bayi di infrawarmer, lalu mengeringkan

bayi dan memposisikan bayi dengan kepala sedikit ekstensi setelah itu

membersihkan jalan nafas bayi, melakukan penilaian pada bayi, lalu

menghangatkan bayi.

Hal ini telah sesuai dengan standar pelayanan kebidanan standar ke-

24 tentang penanganan asfiksia neonatorum, bidan mengenali secara

tepat bayi baru lahir dengan asfiksia, serta melakukan tindakan

secepatnya, memulai resusitasi, mengusahakan bantuan medis, merujuk

bayi baru lahir dengan tepat dan memberikan perawatan lanjutan yang

tepat.

Hal ini juga sejalan dengan teori setyarini, dkk yang mengemukakan

bahwa langkah awal resusitasi yaitu dengan cara menempatkan bayi

dibawah pemanas radian/infant warmer, lalu metakkan bayi terlentang

pada posisi setengah tengadah untuk membukan jalan nafas,

membersihkan jalan nafas atas dengan mengisap mulut terlebih dahulu

kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat hisap lendir,

atau kateter penghisap. Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah

aspirasi setelah itu keringkan, stimulasi, ganti kain yang basah dengan

kain yang kering, dan reposisi kepala.tindakan yang dilakukan sejak bayi

lahir sampai reposisi kepala dilakukan lebih dari 30 detik, lalu menilai

pernafasan jika bayi mulai bernafas secara teratur dan memadai, periksa

denyut jantung.Jika denyut jantung melebihi 100 kali/menit dan bayi

tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi.


Menurut asumsi penulis dalam kasus penanganan bayi Ny.T dengan

asfiksia, bidan telah melakukan tindakan resusitasi sesuai dengan teori

dan SOP yang berlaku.Menurut penulis, diharapkan seluruh penolong

persalinan dapat melakukan tindakan resusitasi bayi yang asfiksia

dengan benar dan tepat sesuai dengan teori maupun SOP yang berlaku

karena dengan melakukan penanganan pada kasus asfiksia secara tepat

maka angka mortalitas dan morbilitas bayi dapat diturunkan.

3.3.7 Asuhan Postnatal Care

Pada kasus ini, bidan desa tidak melakukan KF3 karena bagi pasien

yang bersalin di PONED dan dilakukan rujukan biasanya di amanatkan

untuk melakukan kunjungan ulang ke PONED sehingga Ny.T hanya

mendapatkan pemeriksaan nifas oleh tenaga kesehatan sebanyak 2 kali, 1

kali saat berada di Rumah Sakit dan 1 kali saat kunjungan rumah. Untuk

standar asuhan yang diberikan bidan pada saat melakukan pemeriksaan

sudah lengkap.

Hal ini tidak sesuai dengan kuantitas yang ditetapkan oleh Kemenkes

RI 2015 yang menetapkankunjungan nifas dilakukan minimal 3 kali yaitu

kunjungan nifas 1 (KF 1) : 6 jam – 3hari, kunjungan nifas 2 (KF 2) : 4 hari

– 28 hari, kunjungan nifas 3 (KF 3) : 29 hari – 42 hari. Hal ini untuk

menilai status ibu untuk mencegah, mendeteksi dan menangani masalah-

masalah yang terjadi.

Untuk kualitas pelayanan pada masa nifas bidan telah sesuai dengan

PERMENKES 97 tahun 2014 tentang Pelayanan masa sesudah melahirkan

dalam pasal 15 diantaranya pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan


suhu, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan lokhia dan perdarahan,

pemeriksaan jalan lahir, pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI

Eksklusif, pemberian kapsul vitamin A, pelayanan kontrasepsi

pascapersalinan, konseling dan penanganan risiko tinggi dan komplikasi

pada nifas.

Menurut asumsi penulis kuantitas pemeriksaan masa nifas pada Ny.T

belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kemenkes RI 2015

yang tertuang dalam buku KIA yaitu minimal 3 kali kunjungan.

Terdapatnya ketidaksesuaian kasus di atas dengan penerapan aturan akan

mengakibatkan tidak terdeteksinya komplikasi yang mungkin terjadi.

Tetapi untuk kualitas pelayanan masa nifas pada saat pemeriksaan bidan

telah sesuai dengan PERMENKES 97 tahun 2014 tentang Pelayanan masa

sesudah melahirkan yang tertuang dalam pasal 15.

3.3.8 Asuhan Bayi Baru Lahir

Pada kasus ini, bidan tidak melakukan KN 3 karena bagi pasien yang

bersalin di PONED dan dilakukan rujukan biasanya di amanatkan untuk

melakukan kunjungan ulang ke PONEDsehingga bayi Ny.T hanya

mendapatkan pemeriksaan neonatus oleh tenaga kesehatan sebanyak 2

kali, 1 kali saat di Rumah Sakit dan 1 kali saat dilakukan kunjungan

rumah. Pada saat memberikan asuhan pada bayi, bidan telah melakukan

pemeriksaan secara lengkap.

Hal ini tidak sesuai dengan kuantitas yang telah ditetapkan oleh

Kemenkes RI dalam buku KIA tahun 2015 yang menyatakan bahwa bayi

baru lahir dan neonatus dianjurkan untuk diperiksa minimal 3 kali, yaitu
saat KN 1 pada 6-48 jam setelah lahir, KN 2 pada 3-7 hari setelah lahir

dan KN 3 pada 8-28 hari setelah lahir.Untuk kualitas pemeriksaan pada

kasus ini telah sesuai dengan teori Saifuddin 2014 yang menyatakan

bahwa pemeriksaan yang dilakukan pada KN 1 antara lain

mempertahankan suhu tubuh bayi, melihat dan mengantisipasi tanda

bahaya pada bayi, melakukan perawatan tali pusat dan memberikan

imunisasi HB-0. Pada KN 2 menjaga tali pusat dalam keadaaan bersih dan

kering, menjaga kebersihan bayi, memeriksa tanda bahaya pada bayi,

memberikan pendidikan kesehatan mengenai pemberian ASI eksklusif,

menjaga suhu tubuh bayi, dan melakukan penanganan dan rujukan kasus

bila diperlukan.

Menurut asumsi penulis, kuantitas pemeriksaan bayi baru lahir dan

neonatus pada bayi Ny.T belum sesuai dengan standar yang diberlakukan

oleh pemerintahyaitu minimal 3 kali. Tetapi untuk kualitas pemeriksaan

yang telah dilakukan oleh bidan sudah sesuai dengan teori dan standar

yang berlaku.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil observasi asuhan kebidanan pada kasus Ny.T dengan

preeklamsia berat di Puskesmas Kutawaluya, antara lain :

1. Faktor resiko yang mendukung terjadinya preeklamsi berat pada Ny. T

adalah riwayat preeclampsia pada kehamilan sebelumnya dan ibu yang

hanya bekerja di rumah.

2. Bidan telah melakukan deteksi dini preeclampsia berat pada kasus Ny.T

melalui pemeriksaan antenatal secara rutin sesuai dengan standar

pelayanan kebidanan yang terdapat pada standar 7.

3. Penegakkan diagnosis pada kasus Ny.T dengan preeclampsia berat di

Puskesmas Kutawaluya dan RSUD Karawang telah sesuai dengan teori

dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.

4. Penatalaksanaan kasus preeclampsia berat pada kasus Ny.T di

Puskesmas Kutawaluya tidak sesuai dengan teori dan standar

operasional prosedur (SOP) yang berlaku yaitu tidak melakukan salah

satu prasyarat pemberian MgSO4. Untuk penatalaksanaan preeclampsia

berat di RSUD Karawang sudah sesuai dengan teori dan standar

operasional prosedur yang berlaku.

5. Sistem rujukan pada kasus Ny.T dengan preeclampsia berat di

Puskesmas Kutawaluya telah sesuai dengan standar operasional prosedur

yang berlaku dan sesuai dengan sistem rujukan SIJARIEMAS


6. Komplikasi yang terjadi pada kasus ini yaitu asfiksia dan penanganan

komplikasi telah sesuai dengan standar operasional prosedur yang

berlaku.

7. Asuhan masa nifas pada Ny.T tidak sesuai dengan standar yang

dianjurkan oleh pemerintah.

8. Asuhan bayi baru lahir dan neonatus pada bayi Ny.T tidak sesuai dengan

standar yang dianjurkan oleh pemerintah.

4.2 Saran

Dari hasil penelitian ini, maka muncul beberapa saran untuk pihak-pihak

tertentu, diantaranya:

4.2.1 Bagi Penulis

Melalui penulisan ini, diharapkan tenaga kesehatan mampu

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisa serta

melakukan penatalaksanaan pada kasus preeclampsia berat.

4.2.2 Bagi Institusi Pendidikan

Melalui penulisan ini, diharapkan dapat memberi masukan institusi

pendidikan dalam peningkatan system pendidikan terutama untuk materi

perkuliahan sebagai pengembangan ilmu.


4.2.3 Bagi Tempat Praktek

Diharapkan seluruh bidan di PONED Puskesmas Kutawaluya lebih

meningkatkan kualitas penanganan kasus preeclampsia berat dengan

mengikuti aturan yang terdapat pada SOP setempat. Selain itu, diharapkan

bidan desa di Puskesmas Kutawaluya dapat memberikan asuhan yang

paripurna dengan cara meningkatkan kuantitas dan kualitas pada saat

melakukan pemeriksaan.
DAFTAR REFERENSI

Aminah, Andi Nur. 2017, August 17. Kemenkes sebut angka kematian bayi dan
ibu melahirkan turun. nasional.republika.co.id. diaskes pada tanggal 15 Mei
2018

Angka kematian ibu dan bayi di jabar tertinggi. 2016, Desember 1.


http://www.pikiran-rakyat.com diakses pada tanggal 15 Mei 2018

Anjelin, Fina. 2015. Hubungan Usia Dan Preeklampsia Dengan Kejadian


Perdarahan Postpartum Di Rsud Panembahan Senopati Bantul Tahun 2014.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta. Di unduh pada tanggal
18 Mei 2018

Boyle, Maureen. 2008. Kedaruratan dalam Persalinan. Jakarta: EGC

Diba, Zaira Farah. 2016, Juni 25. Rendahnya Informasi Sebabkan AKI dan AKB di
Jawa Barat Masih Tinggi. http://jurnalposmedia.com diakses tanggal 23 Mei

Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. 2017


Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. 2014. Standar Prosedur Operasional
(SPO) Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasardan Rujukan.
Karawang : Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2016. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Barat Tahun 2016
Dumais, dkk. 2016. Hubungan obesitas pada kehamilan dengan preeclampsia.
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 di unduh pada
tanggal 17 Mei 2018
Faiqoh, Elok,. & Lucia,Y,. Hendrati. 2014. Hubungan Karakteristik Ibu, Anc dan
Kepatuhan Perawatan Ibu Hamil Dengan Terjadinya Preeklampsia. jurnal
berkala epidemiologi, vol. 2, no. 2 mei, 216–226. di unduh pada tanggal 18
Mei 2018
Fatkhiyah, Natiqotul,.Kodiyah,. Masturoh. 2016. Determinan maternal kejadian
preeclampsia. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016 di unduh pada tanggal 16 Mei 2018
Fauziyah, Yulia. 2012. Obstetri Patologi. Yogyakarta : Nuha Medika
Ikatan Bidan Indonesia. Standar Pelayanan Kebidanan. 2006. Jakarta : Pengurus
Ikatan Bidan Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Buku Kesehatan Ibu dan Anak.
DIPA Program Kesehatan Anak
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Lim, Kee-Hak. (2018, Februari 16). Preeclampsia. April 15, 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/1476919 diakses pada tanggal 11
April 2018
Lombo, E Giovanna., Freddy W. Wagey., & Linda S. Mamengko. 2017.
Karakteristik Ibu Hamil dengan Preeklampsia di Rsup Prof Dr. R. D. Kandou
Manado. Jurnal Kedokteran Klinik (Jkk), Volume 1, No 3 di unduh pada
tanggal 22 Mei 2018
Ningsih, Rizqi Restu., Maulita Listian Eka Pratiwi. 2018. Hubungan Tingkat Stress
Dengan Hipertensi Pada Ibu Hamil Di Rsud Muntilan. Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta. diakses pada tanggal 9 Juni 2018

Panduan Teknis SIJARIEMAS. 2014


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklamsi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia: Himpunan
Kedokteran Feto Maternal.
Ratnawati. 2016. Perilaku Hidup Sehat Pada Ibu Hamil Preeklampsia. The 4th
Univesity Research Coloquiu, ISSN 2407-9189 diakses pada tanggal 21 Mei
2018
Rekam Medik Puskesmas Kutawaluya. 2017.
Sabarudin, dkk. 2015. Penatalaksanaan Intensif Obstetric. Jakarta: Sagung Seto
Saifudin, Abdul Bari. 2014. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifudin, Abdul Bari. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Saraswati, Nuning., & Mardiana. 2016. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil. Unnes Journal of Public Health, (2).
diakses pada tanggal 22 Mei 2018
Setyarini, didien ika., & Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan
Sholichah, nur,. & Nanik puji lestari. 2017. Asuhan kebidanan komprehensif pada
ny. Y. Jurnal komunikasi kesehatan, vol.viii, no.1. diakses pada tanggal 17
Mei 2018
Sumulyo, Ganot., dkk. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia Berat
Tidak Tergantung Proteinuria. cdk-255, vol. 44 no. 8 th. 2017. Diakses tanggal
22 Mei 2018
The American College of Obstetricians and Gynecologists. (2013). Hypertension
in Pregnancy. Washington, DC: Author
Topan. 2015, November 13. Prosedur Rujukan dari Puskesmas.
https://id.scribd.com diakses tanggal 23 Mei 2018
2017, Maret 10. Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia.
https://www.viva.co.id diakses tanggal 23 Mei 2018
Lampiran 1 : Lembar Persetujuan Klien
Lampiran 2 : Buku KIA
Lampiran 3 : Transkip Wawancara
Transkip Wawancara Klien

Pertanyaan Jawaban
1. Berapa usia ibu saat ini ? Saat ini usia ibu 27 tahun
2. Apa pekerjaan ibu saat ini? Di rumah saja
3. Apakah pada saat hamil ini ibu iya, pernah
pernah mengalami stress?
4. Apa hal yang menganggu ibu Bertengkar dengan adik, ibu ingin
sehingga membuat ibu stress? adiknya membantu membersihkan rumah
mengingat kehamilan ibu yang sudah
semakin besar tetapi adiknya tidak
mau membantu sehingga membuat ibu
kesal dan stress
5. Berapa jumlah kehamilan dan Ini kehamilan yang ke 3, sudah bersalin
persalinan ibu saat ini ? dua kali
6. Apakah ibu memiliki keturunan Ibu tidak memiliki penyakit darah
atau riwayat darah tinggi? tinggi ataupun keturunan darah tinggi
7. Apakah ibu kandung ibu Setau saya tidak pernah
mengalami hipertensi atau gejala
yang serupa dengan yang dialami
ibu pada saat kehamilan dan
persalinan?
8. Apakah ibu pernah mengalami Pernah, pada saat hamil anak kedua
kejang atau penyulit yang sama tekanan darah ibu tinggi 150/100
pada saat kehamilan sebelumnya? mmHg dan tanda gejala sama seperti
kehamilan saat ini sehingga ibu harus
bersalin di rumah sakit dan ibu pernah
mengalami kejang pada saat melahirkan
anak pertama di rumah
9. Siapa penolong persalinan ibu Saat melahirkan a nak pertama dan
pada saat melahirkan anak kedua ditolong oleh bidan
pertama dan kedua
10. Apakah ada keluhan pusing, nyeri Ada, saat akan bersalin
ulu hati, pandangan kabur,mual
muntah dan bengkak pada tungkai
saat hamil lebih dari 5 bulan?
11. Apa saja makanan yang ibu Apa saja karena tidak ada yang
konsumsi selama kehamilan ini ? dipantang
12. Jenis makanan apa saja yang ibu Ibu senang makan makanan yang asin
konsumsi saat hamil? seperti ikan asin serta makanan yang
pedas seperti sambal.
13. Apakah ibu memiliki penyakit Tidak ada
yang pernah atau sedang di derita
saat ini ?
14. Apakah ibu sering memeriksakan Sering periksa hamil, udah 9 kali.
kehamilan ibu? Berapa kali? Pertama periksa kehamilan ke bidan.
15. Apakah setiap ibu memeriksakan Iya, selalu ditensi
kandungan, ibu selalu diperiksa
tekanan darahnya?
16. Apakah tenaga kesehatan yang Iya pernah, kaya darah tinggi, pusing,
ibu temui memberikan informasi bengkak
mengenai tanda bahaya ibu hamil
dan ibu bersalin?
17. Pada saat pertama kali ditemukan Ngasih tau suruh ke puskesmas periksa
tekanan darah tinggi pada ibu, apa lab sama kalo lahiran langsung ke
yang dilakukan oleh tenaga puskesmas aja biar kalo ada apa apa engga
kesehatan yang ibu temui kepada ribet, bisa langsung dirujuk
ibu?
18. Apakah saat ini ibu ada keluhan? Tidak ada
19. Bagaimana dengan luka jahitan Alhamdulillah udah kering
bekas operasi ibu?
20. Sekarang pengeluaran lochea ibu Warnanya kecoklatan dan sudah sedikit
berwarna apa?
21. Apakah ibu pernah mengalami Alhamdulillah tidak pernah mengalami
tanda baha pada masa nifas? tanda bahaya itu
Perdarahan, pengeluaran
berbau,pusing yang hebat, nyeri
ulu hati, pandangan kabur dan
bengkak pada wajah dan tangan?
22. Saat bidan melakukan kunjungan Iya suka di periksa tensi darah, sama
rumah apakah ibu dan bayi di bayinya juga di periksa
periksa? Khususnya pemeriksaan
tekanan darah
Lampiran 54 : Transkip
Foto Wawancara

Transkip Wawancara Bidan di Puskesmas

Pertanyaan Jawaban
1. Bagaimana standar Pendokumentasian seluruh asuhan antenatal
pendokumentasian yang berlaku di Puskesmas menggunakan standar buku
di Puskesmas? KIA dan buku register Puskesmas

2. Apakah Ny.T rutin melakukan Iya, Ny.T sering periksa anc ke posyandu
pemeriksaan antenatal care di
posyandu?

3. Bagaimanakah standar Pemeriksaan laboratorium di Puskesmas


pemeriksaan laboratorium dilakukan pada semua ibu hamil.
antenatal di Puskesmas?
4. Pada Ny.T, diketahui terdapat Pada asuhan Ny.T, setelah didapati
peningkatan tekanan darah pada peningkatan tekanan darah, disarankan pada
saat usia kehamilan 28 minggu ibu untuk melakukan pemeriksaan lab ke
kunjungan ke 6. Bagaimana puskesmas yaitu pemeriksaan Hb, protein
pengelolaan pada kasus klien urine dan glukosa urine. Kemudian dilakukan
Ny.T saat itu? pemberian penkes mengenai tanda gejala
preeclampsia dan menyarankan ibu untuk
melahirkan di PONED karena ibu memiliki
riwayat preeclampsia pada saat hamil anak
kedua.

5. Pada saat akan dilakukan Karena pada saat datang ke PONED pasien
pemberian MgSO4 kenapa tidak bisa berjalan berarti reflex patellanya positif jadi
dilakukan pemeriksaan reflex tidak usah diperiksa lagi, kecuali jika pasien
patella datang dalam keadaan tidak sadar baru dilakukan
pemeriksaan reflex patella

6. Bagaimana standar pemeriksaan Pada pasien yang bersalin di PONED, pasien


pemeriksaan masa nifas dan disarankan untuk melakukan kunjungan ulang
neonatus yang berlaku di ke PONED. Sehingga bidan desa tidak
Puskesmas? melakukan kunjungan rumah. Sedangkan
pada klien yang bersalin ke rumah sakit,
biasanya mereka memeriksakan nifas dan
bayinya ke rumah sakit sekalian untuk control
ulang.
Lampiran 54 : Transkip
Foto Wawancara

Anda mungkin juga menyukai