Anda di halaman 1dari 143

LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G1P0A0 DENGAN


KETUBAN PECAH DINI 6 JAM DAN ASFIKSIA SEDANG
DI BPM BIDAN O KARAWANG TAHUN 2018

DISUSUN OLEH :
RIRIN RIYADUSSOLIHAT
NIM. P1724415026

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
2018
LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G1P0A0 DENGAN


KETUBAN PECAH DINI 6 JAM DAN ASFIKSIA SEDANG
DI BPM BIDAN O KARAWANG TAHUN 2018

Karya Tulis ini Diajukan Sebagai


Ujian Akhir Program Pada Program Studi Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

DISUSUN OLEH :
RIRIN RIYADUSSOLIHAT
NIM. P1724415026

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
2018
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

PERNYATAAN ORISINALITAS
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
LTA ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : RIRIN RIYADUSSOLIHAT

NIM : P17324415026

Tanda tangan :

Materai

Tanggal :
Scanned by
Scanned by
KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim....

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas
Akhir yang berjudul “Asuhan Kebidanan Pada Ny. S G1P0A0 dengan Ketuban
Pecah Dini dan Asfiksia Sedang di BPM Bidan O Karawang Tahun 2018 ”.

Laporan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
dalam menyelesaikan diploma III Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Bandung Program Studi Kebidanan Karawang.

Berkat bimbingan, pengarahan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak


akhirnya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini dengan tepat waktu.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. H. Osman Syarief, MKM selaku direktur Politeknik Kesehatan


Kemenkes Bandung.
2. Dr. Jundra Darwanty, SST. M.Pd selaku ketua program studi Kebidanan
Karawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
3. Ari Antini, SST. M. Keb selaku pembimbing dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini yang selalu memberikan arahan dan dukungan kepada penulis
sehingga Laporan Tugas Akhir ini terselesaikan.
4. Mardianti, S.Si.T. M. Kes selaku dosen Pembimbing yang tiada lelah
membimbing penulis dalam menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.
5. Rahayu Pertiwi. MKM selaku Ketua Penguji dalam penyusunan laporan tugas
akhir ini yang selalu memberikan bimbingan, arahan sehingga laporan tugas
akhir ini dapat terselesaikan.
6. Seluruh staf dan dosen, tata usaha dan jajarannya yang telah banyak membantu
dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.
7. Bidan O dan keluarga besar Ny. S yang telah membantu dalam proses
pengumpulan informasi dan ketersediaanya untuk menjadi subjek dalam Tugas
Akhir ini.
8. Kedua orang tua tercinta, Bapa Agun dan Mama Nur serta Nenek, Kakek yang
selalu mendoakan penulis sehingga tetap sehat, kuat dan selalu memberikan
semangat kepada saya.
9. Kedua adik saya, Caca yang selalu mendoakan penulis sehingga tetap sehat,
kuat dan merupakan penyemangat bagi saya.
10. Partner LTA Astri Ariyani, Friska Nur Isman, Sunarti, Nadia, Amelia yang
selalu memberikan dukungan dan semangat dalam penyusunan Laporan Tugas
Akhir ini.
11. Rekan-rekan mahasiswi terutama angkatan 23 Prodi Kebidanan Karawang
Poltekkes Kemenkes Bandung yang telah banyak memberi dukungan dan
bantuan dalam pembuatan Laporan Tugas Akhir ini.
12. Dan seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dan mendukung sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan.

Atas segala bantuannya, penulis hanya bisa memohon semoga bantuan yang
telah diberikan dicatat oleh Allah SWT sebagai amal baik dan dibalas dengan
pahala yang setimpal.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang


dimiliki sehingga Laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan membantu dalam
penyempurnaan Laporan Tugas Akhir ini.

Akhir kata semoga Laporan Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, tenaga kesehatan pada umumnya dan tenaga kebidanan khususnya.

Amin yarobal alamin.

Karawang, Juli 2018

Ririn Riyadussolihat
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
LAPORAN TUGAS AKHIR, JUNI 2018

Ririn Riyadussolihat
NIM P 17324415026

ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. S G1P0A0 DENGAN KETUBAN


PECAH DINI 6 JAM DAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI BPM
BIDAN O KARAWANG TAHUN 2018

ABSTRAK
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila
pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi kurang dari 5 cm. Di
Indonesia pada tahun 2016 Angka Kematian Ibu mencapai 359 per 100.000
kelahiran hidup. Angka kejadian KPD berkisar 4,5% sampai 7,6% dari seluh
kehamilan. Ketuban Pecah Dini sebagai sala satu penyebab dari infeksi dan asfiksia,
sebanyak 65% karena KPD yang banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.
Kematian ibu yang disebabkan oleh infeksi sebanyak 11%. Kasus asfiksia di
Kabupaten Karawang sendiri menempati urutan kedua serelah BBLR yang menjadi
penyebab kematian bayi yaitu sebanyak 51 kasus. data di BPM Bidan O pada bulan
Januari-April 2018 tercatat angka kejadian KPD sebanyak 10 kasus (33%) dan
Asfiksia 3 kasus (9%) dari 30 ibu bersalin. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui penatalaksanaan asuhan kebidanan paa Ny. S G1P0A0 dengan Ketuban
Pecah Dini dan Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia di BPM Bidan O. Jenis penelitian
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus,
observasi dan pengumpulan data dengan wawancara subjek dan informan. Hasil
dari penelitian didapatkan bahwa faktor predisposisi KPD yaitu riwayat hubungan
seksual, riwayat aktivitas sebelumnya dan perokok pasif. Faktor predisposisi dan
etiologi dari asfiksia pada bayi Ny. S yaitu KPD dan ketuban berwarna hijau.
Penatalaksanaan penanganan asuhan sudah sesuai kewenangan, namun belum
maksimal dalam kualitas dan kuantitas pelayanan. Dalam hal ini diharapkan
petugas dapat meningkatkan penatalaksanaan dan penanganan agar dapat
memberikan pelayanan yang lebih optimal dan berkualitas khususnya pada
persalinan dengan Ketuban Pecah Dini dan Asfiksia.

Kata Kunci : Ketuban Pecah Dini, Asfiksia


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
PERNYATAAN ORISINALIS ............................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN KTI .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 5
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 8
2.1 Ketuban Pecah Dini................................................................................... 8
2.1.1 Pengertian Ketuban Pecah Dini ....................................................... 8
2.1.2 Etiologi ............................................................................................. 9
2.1.3 Predisposisi ...................................................................................... 16
2.1.4 Mekanisme ....................................................................................... 23
2.1.5 Patogenesis ....................................................................................... 24
2.1.6 Tanda gejala ..................................................................................... 26
2.1.7 Diagnosis .......................................................................................... 27
2.1.8 Komplikasi ....................................................................................... 28
2.1.9 Penatalaksanaan ............................................................................... 31
2.1.10 Konsep dasar asuhan kebidanan pada KPD ................................... 38
2.2 Asfiksia ..................................................................................................... 42
2.2.1 Pengertian Asfiksia .......................................................................... 42
2.2.2 Patofisiologi ..................................................................................... 43
2.2.3 Etiologi ............................................................................................. 44
2.2.4 Klasifikasi ........................................................................................ 51
2.2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................ 52
2.2.6 Pengkajian Klinis ............................................................................. 53
2.2.7 Diagnosis .......................................................................................... 55
2.2.8 Kewenangan Bidan .......................................................................... 57
2.2.9 Penatalaksanaan ............................................................................... 57
BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN ........................................................... 73
3.1 Kronologis Kasus ..................................................................................... 73
3.1.1 Data Primer ..................................................................................... 73
3.1.2 Data Sekunder ................................................................................. 78
3.2 Pembahasan .............................................................................................. 81
3.2.1 Antenatal Care ............................................................................... 81
3.2.2 Intranatal Care ............................................................................... 88
3.2.3 Bayi Baru Lahir ............................................................................. 98
3.2.4 Postnatal Care................................................................................ 110
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 119
4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 119
4.2 Saran.......................................................................................................... 121
DAFTAR REFRENSI
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama

derajat kesehatan suatu negara. AKI juga mengindikasikan kemampuan dan

kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas

pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan,

sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan

kesehatan.

Menurut Sustainable Development Goals (SDGS) khusus dalam

sektor kesehatan sistem kesehatan nasional yang bertujuan menjamin

kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang

dalam segala usia, target pada tahun 2019 mengurangi angka kematian ibu

hingga di bawah 306 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2030

memiliki target mengurangi angka kematian ibu hingga di bawah 70 per

100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2030 menurunkan angka kematian

neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI,

2015).

Data PBB dan hasil survei intercensal untuk Indonesia (2015)

mengungkap, kematian wanita hamil di Indonesia tertinggi di ASEAN,

yaitu 42 kematian tiap harinya. Saat ini, dengan Angka Kematian Ibu (AKI)

tahun 2015 adalah 305/100.000 kelahiran hidup, pemerintah harus


menurunkannya menjadi 71/100.000 kelahiran hidup, sesuai target SDGs di

tahun 2030 (Jayalaksana, 2017).

Angka Kematian Ibu di Indonesia berdasarkan hasil Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI) relatif menurun pada tahun 2014 dan 2015

dibandingkan pada tahun 2013. Pada tahun 2016 Angka Kematian Ibu

(AKI) mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup (DepKes RI, 2016).

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah pendarahan 40-60%, pre

eklamsi/eklamsi 20-30% dan infeksi 20- 30%. Salah satu penyebab infeksi

adalah kejadian ketuban pecah dini yang tidak segera mendapatkan

penanganan (DepKes RI, 2016).

Infeksi yang banyak dialami oleh ibu sebagian besar merupakan

akibat dari adanya komplikasi/penyulit kehamilan, seperti febris,

korioamnionitis, infeksi saluran kemih, sebanyak 65% karena KPD yang

banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi. Kematian ibu yang

disebabkan oleh infeksi yaitu sebanyak 11%, Ketuban Pecah Dini

merupakan salah satu penyebab infeksi (Dinamika Kesehatan, Vol. 7 No. 1

Juli 2016).

Insiden KPD di Indonesia berkisar 4,5% sampai 7,6% dari seluruh

kehamilan, sedangkan di luar negeri insiden KPD antara 6% sampai 12%

(Sari Pediatri, Vol. 14, No.5, 2013). Ketuban pecah dini (KPD) adalah

keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah

Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini

pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil

aterm akan mengalami Ketuban Pecah Dini (Saifuddin, 2014). Dari


penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nilufar dkk, 2009, didapatkan

33% insiden terjadinya asfiksia pada KPD yang lama, berbeda secara

signifikan dengan tanpa asfiksia 6,7%.

Faktor predisposisi terjadinya KPD menurut Saifuddin (2014) yaitu

riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya, infeksi traktus

genital, usia ibu ≤ 20 tahun, perdarahan antepartum, merokok, pekerjaan

dan hubungan seksual. Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini

bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal maupun

neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat,

deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya

persalinan normal yang dalam kasus ini pecahnya ketuban menjadi

oligohidranion yang menekan tali pusat sehingga terjadi asfiksia atau

hipoksia.

Hasil penelitian didapatkan bahwa bayi yang mengalami asfiksia 54

orang (100%) lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah dini dan 46

(18,7%) lahir dari ibu yang tidak mengalami ketuban pecah dini, sedangkan

bayi yang tidak mengalami asfiksia 200 orang (81,3%) lahir dari ibu yang

tidak mengalami ketuban pecah dini (Dinamika Kesehatan, Vol. 6 No.1,

2015).

Hasil penelitian tentang hubungan Ketuban Pecah Dini dengan

kejadian Asfiksia di RSUD dr. Soeselo Kabupaten Tegal tahun 2008

didapatkan bahwa ibu yang mengalami KPD ada 23 orang (21,3%) dan yang

tidak mengalami KPD ada 85 orang (78,7%). Bayi yang mengalami asfiksia

ada 38 orang (35,2%) dan yang tidak mengalami asfiksia ada 70 orang
(64,8%). Ada hubungan yang bermakna antara Ketuban Pecah Dini dengan

Kejadian Asfiksia pada bayi baru lahir dengan nilai X2 sebesar 8,454 dan p

= 0,004 (Natiqotul Fatkhiyah, Vol. 21 No. 1, 2015).

Upaya inovatif yang saat ini dilakukan pemerintah adalah dengan

adanya program jaminan persalinan (Jampersal), pendampingan tata kelola

klinis dan penguatan rujukan, program Sister Hospital, serta pendampingan

untuk meningkatkan kompetensi dokter, bidan dan perawat.

Angka Kematian Ibu tahun 2016 di Provinsi Jawa Barat mengalami

penurunan. Pada tahun 2016 lalu sebanyak 780 kasus menurun dari tahun

2015 lalu sebanyak 823 kasus kematian ibu. Angka kematian ibu dan anak

di kabupaten Karawang merupakan yang tertinggi di Jawa Barat sebanyak

59 kasus (Angka Kematian Ibu dan Bayi di Jabar, Dinkes 2016).

Dinas kesehatan kabupaten karawang pada tahun 2016 AKI sebanyak

53 kasus per 100.000 kelahiran hidup dan naik pada tahun 2017 menjadi 58

kasus per 100.000 kelahiran hidup, penyebab diantaranya yaitu hipertensi

dalam kehamilan, perdarahan, infeksi dan lain-lain. Jumlah kejadian KPD

sebanyak 1251 kasus dan jumlah AKI karena kasus KPD sebanyak 7 kasus.

Sedangkan AKB pada tahun 2016 sebanyak 143 kasus dan naik pada tahun

2017 menjadi 173 kasus, penyebab diantaranya BBLR 51,8%, asfiksia

30,8%, kelainan kongenital 7,1%, infeksi atau sepsis 2,1%. Kejadian

asfiksia yang menjadi penyebab angka kematian bayi masih tinggi (Dinas

Kesehatan Kabupaten Karawang, 2017).


Asfiksia adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas secara

spontan dan teratur sehingga menimbulkan gangguan lebih lanjut, yang

mempengaruhi seluruh metabolisme tubuhnya (Prawirohardjo, 2014).

Berdasakan data register pasien di BPM Bidan O pada bulan Januari-

Desember 2017 tercatat angka kejadian KPD sebanyak 25 kasus (35,7%)

dari total 70 ibu bersalin. Sedangkan pada bulan Januari – April 2018

tercatat angka kejadian KPD sebanyak 10 kasus (33%) dan Asfiksia

sebanyak 3 kasus (9%) dari total 30 ibu bersalin. Angka kejadian KPD di

BPM Bidan O kemungkinan terjadi kenaikan pada tahun 2018 dari tahun

sebelumnya dapat melebihi dari 25 kasus, dilihat dari kejadian KPD tahun

2017 dan Januari-April 2018 (BPM Bidan O, 2018).

Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk menyusun Laporan

Tugas Akhir yang berjudul Asuhan Kebidanan pada Ny. S G1P0A0 dengan

Ketuban Pecah Dini, dan Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia di Wilayah

Cilamaya Kulon.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penyusunan tugas akhir ini adalah untuk

mengetahui penatalaksaan asuhan kebidanan pada Ny. S G1P0A0

dengan Ketuban Pecah Dini dan Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia di

BPM Bidan O.
1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pelayanan Antenatal

Care pada Ny. S

2. Untuk mengetahui penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan

Ketuban Pecah Dini pada Ny. S G1P0A0 di BPM Bidan O.

3. Untuk mengetahui penanganan bayi baru lahir dengan asfiksia

dan kualitas dan kuantitas pelayanan Bayi Baru Lahir di BPM

Bidan O

4. Untuk mengetahui kuantitas dan kualitas pelayanan Post Natal

Care di BPM Bidan O

5. Untuk mengetahui predisposisi atau penyebab terjadinya KPD

pada Ny. S.

1.3 Manfaat penelitian

1.3.1 Bagi Peneliti

1. Sebagai penyempurna proses pendidikan belajar mengajar dan

syarat kelulusan dalam bentuk Tugas Akhir Mahasiswi

Poltekkes Kemenkes Bandung Prodi Kebidanan Karawang.

2. Melatih kemampuan analisis terhadap masalah yang ditemukan.

1.3.2 Bagi Tempat Penelitian

Mengetahui masalah dan cara penyelesaian masalah dalam

penanganan Ketuban Pecah Dini sesuai kenyataan yang ada di


lapangan dan sebagai referensi untuk meningkatkan deteksi dini

terjadinya Ketuban Pecah Dini, Asfiksia dan penatalaksanaan yang

tepat pada kasus tersebut.

1.3.3 Bagi Institusi

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai

bahan bacaan dan menambah wawasan tentang Ketuban Pecah Dini

bagi penelitian selanjutnya dan seluruh civitas Poltekkes Kemenkes

Bandung Prodi Kebidanan Karawang.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Ketuban Pecah Dini

2.1.1 Pengertian

Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air-air dari

vagina setelah usia kehamilan berusia 22 minggu dan sebelum proses

persalinan berlangsung namun pecahnya selaput ketuban juga dapat

terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu

maupun kehamilan aterm (Saifuddin, 2002).

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum

waktu melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh

sebelumnya. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum

waktu melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase

laten) (Nugroho, 2010).

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban inpartu yaitu bila

pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara

kurang dari 5 cm, tanpa memperhatikan usia gestasi. KPD dapat

terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya

melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37

minggu, sedangkan KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi

lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Nugroho, 2012).

Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput

ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum

usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada


kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil

aterm akan mengalami Ketuban Pecah Dini (Saifuddin, 2014).

2.1.2 Etiologi Ketuban Pecah Dini

Menurut Nugroho (2012) dalam Zainal Alim, Yeni Agus Safitri

(2015), faktor penyebab terjadinya KPD adalah tekanan intrauterin

yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus:

misalnya hidramnion, gemelli), trauma yang menyebabkan tekanan

intrauterin (intra amniotik) mendadak misalnya hubungan seksual,

keadaan sosial ekonomi, faktor disproporsi antar kepala janin dan

panggul ibu dan defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat

(vitamin C).

Walaupun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini, namun

penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara

pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan

erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit

diketahui.

Sedangkan faktor penyebab menurut Varney, 2007 antara lain :

a. Serviks Inkompeten

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi

(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan

serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi

serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester

kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus


yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus

merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,

produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks

pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Saifuddin,

2014).

Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks

menipis dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua

atau awal trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang

kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam,

tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa

serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan

inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada

kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara

tradisi, diagnosis inkompetensi serviks ditegakkan berdasarkan

peristiwa yang sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali

keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan

persalinan dan pelahiran.

Faktor risiko inkompetensi serviks meliputi riwayat

keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya

riwayat laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau

melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks berlebihan

disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya,

ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester


pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi

sejumlah besar jaringan serviks.

b. Polihidramnion

Polihidramnion adalah keadaan di mana banyak air ketuban

melebihi 2000 cc. Penambahan air ketuban ini biasanya mendadak

dalam beberapa hari yang disebut dengan polihidramnion akut

atau secara perlahan disebut polihidramnion kronis. Insidensinya

berkisar antara 1 : 62 dan 1 : 754 persalinan. Polihidramnion dapat

memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat

selaput ketuban pecah sebelum waktunya.

c. Malpresentasi Janin

Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi

janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan < 32

minggu, jumlah air ketuban relative lebih banyak sehingga

memungkinkan janin bergerak dengan leluasa, dan kemudian

janin akan menempatkan diri dalam letak lintang atau letak

sungsang. Pada kehamilan trimester akhir janin tumbuh dengan

cepat dan jumlah air relative berkurang. Karena bokong dan kedua

tungkai yang terlipat lebih besar daripada kepala maka bokong

dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri,

sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih kecil di

segmen bawah uterus. Letak sungsang dapat memungkinkan

ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban

pecah sebelum waktunya.


Berdasarkan hasil penelitian dari segi kelainan letak pada

ibu bersalin yang terbanyak adalah yang mengalami kelainan letak

yaitu sebesar 47,4% dan terendah adalah yang tidak mengalami

kelainan letak yaitu sebesar 5,1%. Hasil uji statistik menunjukan

ada hubungan yang bermakna antara kelainan letak dengan

ketuban pecah dini pada ibu bersalin nilai p value 0,000 (p < 0,05).

Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Varney

(2002) bahwa kelainan letak janin dalam rahim seperti letak

sungsang dan letak lintang merupakan salah satu faktor

predisposisi terjadinya ketuban pecah dini. Pada letak sungsang

gerakan janin lebih terasa pada segmen bawah rahim sehingga

kemungkinan terjadi penyusupan bagian ekstrimitas janin yang

menekan selaput ketuban dan karena adanya tekanan intra uterin

yang menyebabkan selaput ketuban pecah (Varney, 2002).

Banyak faktor yang menyebabkan kelainan letak, oleh

sebab itu dalam penanganannya harus berhati-hati dengan

persiapan yang optimal untuk ibu dan bayi, untuk itu pada ibu

bersalin yang mengalami kelainan letak terlebih-lebih dengan

ketuban pecah dini dengan disertai mekoneum yang kental harus

dilakukan pengawasan lebih ketatatau lakukan intervensi untuk

penanganan gawat janin (Saifuddin, 2002).

(INDONESIAN MIDWIFERY JOURNAL, 2009)


d. Kehamilan Kembar

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya

mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada

banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin

merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga

ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya

membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan.

Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk

mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan

preterm harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali

melakukan kunjungan (Nugroho, 2012).

Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi

mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya

disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi

hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan

keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan

dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney,

2007).

Berdasarkan hasil penelitian dari segi kehamilan kembar

pada ibu bersalin yang terbanyak adalah yang tidak mengalami

kehamilan kembar yaitu sebesar 10% dan terendah adalah yang

mengalami kehamilan kembar yaitu sebesar 62,5%. Hasil uji

statistik menunjukan ada hubungan yang bermakna antara


kehamilan kembar dengan ketuban pecah dini pada ibu bersalin

nilai p value 0,001 (p < 0,05).

Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Hanifa

(2007) bahwa pada kehamilan kembar terjadi keregangan otot

rahim yang melampaui batas. Pada kasus ketuban pecah dini

terjadi karena keregangan otot rahim yang berlebihan sehingga

dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban.

Sedangkan menurut Mansjoer (2001) bahwa faktor

predisposisi terjadinya ketuban pecah dini adalah kehamilan

kembar atau gemelli, dimana pada kehamilan kembar biasanya

terjadi pembesaran uterus yang lebih besar dibanding dengan

kehamilan tunggal, hal ini mengakibatkan terjadinya ketegangan

rahim yang dapat merangsang pecahnya selaput ketuban

(INDONESIAN MIDWIFERY JOURNAL, 2009).

e. Infeksi Vagina atau Serviks

Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban

maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban

bisa menyebabkan terjadinya KPD, misalnya karena infeksi

kuman, terutama infeksi bakteri, yang dapat menyebabkan selaput

ketuban menjadi tipis, lemah dan mudah pecah.

Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan

viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau

infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah

disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B


streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan

amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan

Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering

ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-

bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang

menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya

perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban

(Varney, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian dari segi infeksi vagina pada

ibu bersalin yang terbanyak adalah yang tidak ada Infeksi vagina

yaitu sebesar 11,3% dan terendah adalah yang ada Infeksi vagina

yaitu sebesar 57,1%. Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan

yang bermakna antara infeksi vagina dengan ketuban pecah dini

pada ibu bersalin nilai p value 0,008 (p< 0,05).

Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Varney

(2004) bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya ketuban pecah

dini adalah infeksi pada selaput ketuban yang disebabkan oleh

infeksi pada vagina atau servikal seperti vaginitis bakteri,

trichomonas, klamidia, gonorhoe, dan streptokokus grup B.

Seperti juga yang disebutkan oleh Cunningham (2006)

kekhawatiran yang paling utama pada kasus ketuban pecah dini

adalah terhadap infeksi maternal dan fetal, panas merupakan salah

satu indikator yang dapat diandalkan untuk membuat diagnosis.

Suhu 38 ºC atau lebih yang menyertai rupture membrane amnion,


menandakan adanya infeksi korioamnionitis yang salah satu

penyebabnya adalah keputihan, infeksi pada vagina.

Sedangkan menurut Mansjoer (2001) bahwa faktor

predisposisi ketuban pecah dini adalah adanya infeksi vagina yang

menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban

sehingga memudahkan ketuban pecah. Kandida albican atau

keputihan sering ada tanpa gejala klinik, karena beberapa faktor

saprofit tersebut bisa menjadi infeksius dengan gejala gatal,

keputihan, panas dan nyeri pada waktu miksi.

(INDONESIAN MIDWIFERY JOURNAL, 2009)

2.1.3 Predisposisi Ketuban Pecah Dini

Faktor predisposisi ketuban pecah dini menurut Saifuddin (2014) :

1. Riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya

Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan

kejadian KPD dapat berpengaruh besar pada ibu jika menghadapi

kondisi kehamilan. Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2- 4 kali

mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya

KPD secara singkat ialah akibat penurunan kandungan kolagen

dalam membran sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini

dan ketuban pecah preterm. Wanita yang pernah mengalami KPD

pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan

berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita yang tidak pernah

mengalami KPD sebelumnya karena komposisi membran yang


menjadi rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun

padakehamilan berikutnya.

2. Infeksi traktus genital

Di Amerika Serikat 0,5% – 7% wanita hamil didapatkan

menderita gonorea. Meningkatnya kasus gonore dalam kehamilan

setara dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dalam

kehamilan, korioamnionitis, dan terjadinya sepsis pada neonatus.

Infeksi Clamidydia trachomatis merupakan penyebab akibat

hubungan seksual yang kejadiannya semakin tinggi, kejadian

infeksi ini pada serviks wanita hamil yaitu 2-37%. Beberapa

penelitian menunjukkan berbagai masalah meningkatnya risiko

kehamilan dan persalinan pada ibu dengan infeksi ini. Misalnya

dapat menimbulkan abortus, kematian janin, persalinan preterm,

pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah sebelum waktunya

serta endometritis postabortus maupun postpartum.

Penyakit bacterial vagionosis (BV) dahulu dikenal dengan

sebagai vaginitis nonspesifik atau vaginitis yang disebabkan oleh

Haemophilus/Gardnerella vaginalis. Dalam kehamilan, penelitian

membuktikan bahwa BV merupakan salah satu faktor pecahnya

selaput ketuban pada kehamilan dan persalinan prematur.

Dari hasil penelitian 5 orang (16,7%) ibu dengan KPD

mengalami infeksi, dan 25 orang (83,3%) tidak mengalami infeksi.

Sedangkan pada kelompok kontrol hanya 1 orang (3,3%) ibu

mengalami infeksi dan sisanya 29 orang (96,7%) tidak infeksi.


Analisis dengan menggunakan uji beda x2 didapatkan p = 0,195

yaitu tidak ada perbedaan signifikan infeksi pada ibu KPD dan ibu

tanpa KPD (UNIMUS Vol. 1, 2016)

3. Usia ibu yang ≤ 20 Tahun

Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda

dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan

sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu

dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk

melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi

mengalami ketuban pecah dini.

Berdasarkan hasil penelitian dari segi paritas pada ibu

bersalin yang terbanyak adalah primipara yaitu sebesar 14,5% dan

terendah adalah multipara yaitu sebesar 18,8 %. Hasil uji statistik

menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas

dengan ketuban pecah dini pada ibu bersalin nilai p value 0,976 (p

> 0,05).

Sedangkan menurut penelitian Varney (2004) bahwa Faktor

predisposisi terjadinya ketuban pecah dini adalah multipara, makin

tinggi paritas ibu maka makin kurang baik keadaan

endometriumnya, sehingga kekuatan membrane rahim berkurang

(INDONESIAN MIDWIFERY JOURNAL, 2009).


4. Perdarahan antepartum

Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam

semasa kehamilan dimana umur kehamilan telah melebihi 28

minggu atau berat janin lebih dari 1000 gram.

5. Merokok

Menurut Laksmi, (2009) bahwa Perokok pasif dalah asap

rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive

Smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan

lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap

perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok sigaret

kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang bukan

perokok, terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang dihembusan

oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih

banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak

mengandung tar dan nikotin.

Menurut Laksmi, (2009) bahwa asap rokok menyebabkan

terganggunya penyampaian oksigen ke janin sehingga pertukaran

gas menjadi abnormal.

Menurut Pantikawati dan Saryono, (2010) bahwa penyakit

akibat rokok yaitu penyakit jantung, paru, kanker paru,

arteriosclerosis, dan dampak pada kehamilan (abortus, solusio

plasenta, plasenta previa, insufisiensi plasenta, kelahiran prematur,

ketuban pecah dini , dan BBLR).


Rokok mengandung lebih dari 2500 zat kimia yang

teridentifikasi, salah satunya karbon monoksida. Karbon

monoksida dapat menembus barier plasenta dan berikatan dengan

hemoglobin sehingga terjadi penurunan oksigenasi darah pada

janin. Abortus spontan dan komplikasi pada plasenta meningkat

karena merokok selama hamil hal ini menyebabkan plasenta dan

ketuban mengalami degenerasi (absurpsio, ketuban pecah dini dan

ketuban pecah lama). Merokok juga dapat menyebabkan resiko

lahir mati lebih tinggi (Constance, 2010).

Menurut Saifuddin, (2014) bahwa pertukaran gas menjadi

abnormal dapat menyebabkan terjadi perubahan biokimia yaitu

berkurangnya komponen kolagen seperti asam askorbik dan

tembaga sehingga terjadi abnormalitas pertumbuhan struktur

kolagen selaput ketuban. Pertumbuhan struktur kolagen yang

abnormal dapat menyebabkan kekuatan selaput ketuban inferior

rapuh sehingga terjadi ketuban pecah dini.

Menurut hasil penelitian Muntoha, Suhartono, Nur Endah

W, (2013) dengan judul Hubungan antara Riwayat Paparan Asap

Rokok dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Hamil di

RSUD Dr. H. Soewondo Kendal bahwa Hasil penelitian

menggambarkan hubungan antara riwayat paparan asap rokok

dengan kejadian KPD pada ibu hamil menunjukkan bahwa

sebagian besar responden yang terpapar asap rokok mengalami

KPD yaitu sejumlah 24 responden atau 75% dengan value 0,00


atau< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

bermakna antara riwayat paparan asap rokok dengan kejadian

KPD.

Menurut penelitian Icha Dithyana tahun (2013) dengan judul

hubungan ibu hamil perokok pasif dengan kejadian ketuban pecah

dini. Menunjukan bahwa ibu hamil perokok pasif memiliki risiko

untuk terkena ketuban pecah dini 3,5 kali lebih besar daripada

wanita tidak perokok pasif dan menyatakan bahwa ada hubungan

yang bermakna ibu hamil perokok pasif dengan kejadian ketuban

pecah dini.

6. Pekerjaan

Menurut penelitian Abdullah (2012) Pola pekerjaan ibu

hamil berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Kerja fisik pada

saat hamil yang terlalu berat dan dengan lama kerja melebihi tiga

jam perhari dapat berakibat kelelahan. Kelelahan dalam bekerja

menyebabkan lemahnya korion amnion sehingga timbul ketuban

pecah dini. Pekerjaan merupakan suatu yang penting dalam

kehidupan, namun pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dan

dapat membahayakan kehamilannya sebaiknya dihindari untuk

mejaga keselamatan ibu maupun janin.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ibu yang bekerja dan

lama kerja ≥ 40 jam/minggu dapat meningkatkan risiko sebesar 1,7

kali mengalami KPD dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.

Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga berhubungan


dengan keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang berasal dari strata

sosial ekonomi rendah banyak terlibat dengan pekerjaan fisik yang

lebih berat. Hasil penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini

adalah hasil penelitian Ratnawati (2010) yang menyatakan bahwa

aktivitas berat (43,75%) merupakan faktor risiko terjadinya KPD.

(Abdullah, 2012).

7. Hubungan Seksual

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Juwita (2007)

menunjukkan hasil bahwa coitus saat hamil dengan frekuensi lebih

dari 3 kali seminggu, posisi coitus yaitu suami diatas dan penetrasi

penis yang sangat dalam sebesar 37,50%, infeksi genitalia sebesar

37,50%, paritas (multipara) sebesar 37,59%, riwayat KPD sebesar

18,75% dan usia ibu yang lebih dari 35 tahun merupakan faktor

yang mempengaruhi KPD.

Menurut Winkjosastro (2006) bahwa frekuensi koitus pada

trimester III kehamilan yang lebih dari 3 kali seminggu diyakini

berperan pada terjadinya KPD. Hal itu berkaitan paparan hormon

prostaglandin didalam semen atau cairan sperma.

Menurut Saifuddin, (2014) bahwa pada saat penurunan

progesteron, estrogen pada ibu hamil dan peningkatan

prostaglandin dan oksitosin dapat mengakibatkan terjadinya tanda-

tanda persalinan.
2.1.4 Mekanisme Ketuban Pecah Dini

Mekanisme ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo (2014)

ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh

kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah

karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang

menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh

selaput ketuban rapuh.

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi

ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme

kolagen menyebabkan aktifitas kolagen berubah dan menyebabkan

selaput ketuban pecah.

Faktor risiko untuk ketuban pecah dini adalah :

1. Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen.

2. Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat

pertumbuhan struktur abnormal antara lain merokok.

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase

(MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor

protease.

Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan

TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dar matriks ekstraselular

dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat

menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat

peningkatan MMP, hal ini cenderung terjadi ketuban pecah dini.


Pada kehamilan muda, selaput ketuban sangat kuat, pada

trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester

ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput

ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim

dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia

pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm

merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur

di sebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang

menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada

polihidramnion, inkompeten serviks dan solusio plasenta.

2.1.5 Patogenesis Ketuban Pecah Dini

Menurut Taylor dkk, telah menyelidiki hal ini, ternyata ada

hubunganya dengan hal-hal berikut :

1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum

ketuban pecah, penyakit- penyakit seperti pielonefritis, sistitis,

sevisitis dan vaginitis terdapat bersama-sama dengan

hipermotilitas rahim ini.

2. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban).

3. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)

4. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multipara,

malposisi, disproporsi cervix incompelen dan lain-lain.


5. Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), dimana ketuban

dipecahkan terlalu dini.

Kadang kadang sulit atau meragukan kita apakah ketuban benar

benar sudah pecah atau belum, apalagi bila pembukaan kanalis

servikalis belum ada atau kecil.

Cara menentukannya adalah dengan :

a. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, verniks

kaseosa, rambut lanugo, atau bila telah terinfeksi dan berbau.

b. Inspekulo : lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban telah

keluar dari kanalis servisis dan apakah ada bagian yang sudah

pecah.

c. Gunakan kertas lakmus (litmus)

a) Bila menjadi biru (basa) – air ketuban

b) Bila menjadi merah (asam) - air kemih jernih (urin)

d. Pemeriksaan pH forniks posterior pada PROM pH adalah basa

(air ketuban)

e. Aborization dan sitologi air ketuban.

PROM (Premature Rupture Of Membranes) berpengaruh

terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan

permulaan dari persalinan disebut periode laten = LP = Lag Periode.

Makin muda umur kehamilan makin memanjang LP-nya. Sedangkan

lamanya persalinan lebih pendek dari biasa, yaitu pada primi 10 jam

dan multi 6 jam.


2.1.6 Pengaruh PROM (Premature Rupture Of Membranes)

1. Terhadap janin

Walaupun ibu belum menunjukan gejala-gejala infeksi tetapi

janin mungkin janin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin

lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu

dirasakan. Jadi akan meninggikan mortalitas dan mordibitas

perinatal.

2. Terhadap ibu

Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi

intrapartal, apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga

dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis dan septicemia

serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di tempat

tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan menjadi naik, nadi

cepat dan tampak gejala-gejala infeksi. Hal-hal tersebutlah

meninggikan angka kematian dan angka mordibitas pada ibu.

2.1.7 Tanda Gejala Ketuban Pecah Dini

Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah

keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban

berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut

masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna

darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi

sampai kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin yang

sudah terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat


kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri

perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda

infeksi yang terjadi (Manuaba, 2010).

2.1.8 Diagnosis Ketuban Pecah Dini

Diagnosis ketuban pecah dini meragukan kita, apakah ketuban

benar sudah pecah atau belum. Apalagi bila pembukaan kanalis servikal

belum ada atau kecil. Penegakkan diagnosis KPD dapat dilakukan

dengan berbagai cara yang meliputi :

1. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan

ketuban di vagina.

2. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa,

rambut lanugo dan kadang-kadang bau jika ada infeksi.

3. Dari pemeriksaan inspekulo terlihat keluar cairan ketuban dari

cairan servikalis.

4. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi biru

(basa) bila ketuban sudah pecah.

5. Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG untuk

membantu dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat

janin, letak plasenta serta jumlah air ketuban. Pemeriksaan air

ketuban dengan tes leukosit esterase, bila leukosit darah lebih dari

15.000/mm3, kemungkinan adanya infeksi (Sarwono, 2014).


2.1.9 Komplikasi Ketuban Pecah Dini

Menurut Nugroho (2010), komplikasi yang dapat terjadi pada

kasus ketuban pecah dini antara lain sebagai berikut :

1. Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum

usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan,

yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.

2. Resiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini.

3. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini prematur sebaiknya

dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis.

4. Selain itu kejadian prolapse atau keluarnya tali pusat dapat terjadi

pada ketuban pecah dini.

5. Resiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban

pecah dini preterm.

6. Hypoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada

ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100%

apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan < 23 minggu.

Pengaruh ketuban pecah dini menurut (Wiknjosastro, 2014)

terhadap ibu dan janin adalah meningkatnya mortalitas dan morbiditas

perinatal. Pengaruh KPD terhadap janin dan ibu yaitu:

1. Terhadap ibu

Karena jalan lahir telah terbuka, maka dapat terjadi Infeksi

intrapartal apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam persalinan.

Jika terjadi infeksi dan kontraksi saat ketuban pecah, dapat


menyebabkan sepsis, dan selain itu juga dapat dijumpai Partus

lama/dry labour, Perdarahan postpartum, Infeksi puerperalis/masa

nifas, meningkatkan tindakan operatif obstetric (khususnya SC).

Ibu akan merasa lelah terbaring di tempat tidur, partus akan

menjadi lama sehingga, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala

infeksi. Hal tersebut akan meninggikan angka morbiditas dan

mortalitas pada maternal.

Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah

dini. Pada ibu dapat terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi

septicemia, pneumonia dan omfalitis. Umumnya korioamnionitis

terjadi sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini

premature, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum

insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat

sebanding dengan lamanya periode laten.

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh

persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada

kehamilan aterm 90 % terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah.

Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50 % persalinan dalam 24

jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi

dalam 1 minggu.

2. Terhadap Janin

a. Infeksi, walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala

infeksi tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi. Karena

infeksi intrauterine lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis)


sebelum gejala pada ibu dirasakan.komplikasi yang sering

dialami oleh janin adalah Hipoksia dan asfiksia sekunder

(kekurangan oksigen pada bayi). Mengakibatkan kompresi tali

pusat, prolaps uteri, partus lama, skor APGAR rendah,

ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, gagal

ginjal, distress pernapasan.

b. Sindrom deformitas janin, Ketuban Pecah Dini yang terjadi

terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,

kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin,

serta hipoplasi pulmonar.

c. Hipoksia, dengan pecahnya ketuban, terjadi oligohidramnion

yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.

Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat

oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin

gawat.

d. Asfiksia adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas

secara spontan dan teratur sehingga menimbulkan gangguan

lebih lanjut, yang mempengaruhi seluruh metabolisme

tubuhnya.
2.1.10 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini

Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut (Prawirohardjo, 2014).

1. Pastikan Diagnosis

2. Tentukan umur kehamilan

3. Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin.

4. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.

Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari

vagina yang kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.

Diagnosis Ketuban Pecah Dini prematur dengan inspekulo dilihat

adanya cairan ketuban keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan pH vagina

perempuan hamil sekitar 4,5. Bila ada cairan ketuban pHnya sekitar 7,1

– 7,3. Antiseptik yang alkalin akan menaikkan pH vagina.

Dengan pemerikaan ultrasound adanya Ketuban Pecah Dini dapat

dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion. Bila ada air ketuban

normal agaknya ketuban pecah dapat diragukan serviks.

Penderita dengan kemungkinan ketuban pecah dini harus

diperiksa lebih lanjut. Bila terdapat pada persalinan kala aktif,

korioamnitis, gawat janin, persalinan harus diterminasi.

Rencana tindakan yang bisa diberikan:

a. Ukur suhu dan nadi ibu setiap empat jam.

b. Setelah pemantauan janin elektronik, cek DJJ setiap empat jam

ketika sudah di rumah sakit.


c. Hitung sel darah putih dengan hitung jenis setiap hari atau setiap

dua hari.

d. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur.

e. Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan pada selang

waktu 6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.

f. Pada usia kehamilan 24 sampai 32 minggu saat berat janin cukup,

perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan,

dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.

g. Jika persalinan menuju ke prematur maka dilakukan seksio

sesarea.

h. Pemeriksaan USG untuk mengukur distansia biparietal dan perlu

melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan

kematangan paru melalui perbandingan.

Menurut Taufan Nugroho (2012), dalam menghadapi ketuban

pecah dini harus dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Fase Laten:

a. Lamanya waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi proses

persalinan.

b. Semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan

terjadinya infeksi.

c. Mata rantai infeksi merupakan asendens infeksi, antara lain:

Korioamnionitis : Abdomen terasa tegang, Pemeriksaan

laboratorium terjadi leukositosis, Kultur

cairan amnion positif.


Desiduitis : Infeksi yang terjadi pada lapisan desidua.

2. Perkiraan BB janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG

yang mempunyai program untuk mengukur BB janin. Semakin

kecil BB janin, semakin besar kemungkinan kematian dan

kesakitan sehingga tindakan terminasi memerlukan pertimbangan

keluarga.

3. Presentasi janin intrauterin

Presentasi janin merupakan penunjuk untuk melakukan terminasi

kehamilan. Pada letak lintang atau bokong harus dilakukan dengan

jalan seksio sesarea.

a. Pertimbangan komplikasi dan risiko yang akan dihadapi janin

dan maternal terhadap tindakan terminasi yang akan

dilakukan.

b. Usia kehamilan. Makin muda kehamilan, antar terminasi

kehamilan banyak diperlukan waktu untuk mempertahankan

sehingga janin lebih matur. Semakin lama menunggu,

kemungkinan infeksi akan semakin besar dan membahayakan

janin serta situasi maternal.

2.1.11 Penatalaksanaan Konservatif

a. Rawat di rumah sakit.

b. Berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila

tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2x500 mg selama 7

hari).
c. Jika umur kehamilan < 32 minggu – 34 minggu, dirawat selama

air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi

keluar.

d. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada

infeksi, tes busa negatif, beri deksametason, observasi tanda-

tanda infeksi dan kesejahteraan janin.

e. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.

f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada

infeksi, berikan tokolitik (salbutamol) , deksametason, dan

induksi sesudah24 jam.

g. Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik

dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit,

tanda-tanda infeksi intrauterin).

h. Pada usia kehamilan 32-37 minggu, berikan steroid untuk

memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan

periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis

betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari,

deksametason I.M. 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

2.1.12 Penatalaksanaan Aktif

a. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Pada

persalinan pemberian infus Dekstrose 5% 500 ml drip oksitosin

5 unit/ 20 tetes akan mengakibatkan uterus berkontraksi secara


efektif shingga mendorong janin melewati jalan lahir dengan

cepat (Saifudin, 2009).

Bila gagal, lakukan seksio sesarea. Dapat pula diberikan

misoprostol 25 µg – 50 µg 11 intravaginal tiap 6 jam maksimal

4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis

tinggi dan persalinan diakhiri.

b. Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian

induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio

sesarea.

c. Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan.

2.1.13 Korioamnionitis

a. Definisi

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil

dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.

Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan

janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis.

b. Penyebab

Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang

terutama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik

permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan

menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1 – 2%.


c. Diagnosis

Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah kelahiran

prematur atau ketuban pecah lama. Korioamnionitis tidak selalu

menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam, nadi

cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau

keluar dari vagina. Diagnosis korioamnionitis ditegakkan dengan

pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas, kultur darah, dan

cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan

ultrasound dan kardiotokografi.

d. Penanganan

Tegakkan diagnosis dini korioamnionitis. Hal ini berhubungan

dengan prognosis, segera janin dilahirkan. Bila kehamilan prematur,

keadaan ini akan memperburuk prognosis janin. Bila janin telah

meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan

perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan

induksi atau akselerasi persalinan.

Pemberian antibiotika sesegera mungkin. Dipilih yang

berspektrum luas yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin

5 mg/kgBB/hari, dan metronidazol 3 x 500 mg.

Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik

pascapersalinan. Hal ini akan mencegah/menghambat invasi

mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding

uterus.

(Prawirohardjo, 2009)
2.1.14 Penatalaksanaan Bidan dalam Penanganan KPD

a. Membawa pasien dengan KPD ke rumah sakit dan melahirkan

bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya

ketuban untuk meminimalkan risiko infeksi intrautrine.

b. Tindakan konservatif dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter

spesialis kandungan dan kebidanan diantaranya dalam pemberian

antibiotik penisilin atau ampisilin.

c. Batasi periksa dalam secara ketat untuk mengurangi insidens

korioamnionitis, terutama pada pasien yang memilih

penatalaksanaan konservatif. Melibatkan pasien dalam proses

pengambilan keputusan yaitu penatalaksanaan konservatif atau

penatalaksanaan aktif. (Saifuddin, 2009).

Tabel 2.1.1 Penanganan KPD menurut Sarwono 2014

Ketuban Pecah Dini


<37 MINGGU ≥37 MINGGU
Infeksi Tidak ada infeksi Infeksi Tidak ada infeksi
Berikan penisilin, Amoksisilin + Berikan penisilin, Lahirkan bayi
gentamisin dan eritromisin untuk gentamisin dan Berikan penisilin
metronidazol 7 hari Steroid metronidazol. atau ampisilin.
Lahirkan bayi untuk pematangan Lahirkan bayi
paru

ANTIBIOTIKA SETELAH PERSALINAN


Profilaksis Infeksi Tidak ada infeksi
Stop antibiotic Lanjutkan untuk Tidak ada antibiotic
24-48 jam setelah
bebas panas
2.1.15 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dengan

Ketuban Pecah Dini (KPD)

Asuhan kebidanan adalah pengambilan keputusan dan tindakan

yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang dan ruang lingkup

prakteknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan. Mulai dari

pengkajian, perumusan diagnosa, atau masalah kebidanan,

perencanaan, implementasi, pencatatan asuhan kebidanan (Walsh

2008).

Sebagai pelaksana, bidan memberikan asuhan kebidanan dengan

menerapkan manajemen kebidanan secara langsung kepada ibu bersalin

dengan Ketuban Pecah Dini berdasarkan standart dan protokol.

Menurut Ratna (2012) langkah-langkah Asuhan Kebidanan pada

Ketuban Pecah Dini antara lain :

1. Observasi tanda-tanda vital, DJJ, HIS, kemajuan persalinan, deteksi

dini adanya komplikasi dan TTV.

2. Lakukan kolaborasi dengan dokter

3. Lakukan inform consent atas tindakan yang akan dilakukan

4. Hadirkan suami atau keluarga untuk memberikan dukungan moral.

5. Anjurkan ibu untuk berkemih jika kandung kemih terasa penuh

6. Observasi pengeluaran pervaginam

7. Jelaskan pada ibu tentang keadaan diri dan janinnya

8. Ajari ibu untuk menarik nafas panjang saat ada his, minta ibu untuk

tidak meneran sebelum pembukaan lengkap


9. Berikan dukungan moral pada ibu supaya tenang dalam menghadapi

persalinan

10. Berikan makanan dan minum yang cukup

11. Bantu ibu memilih posisi yang nyaman.

12. Saat pembukaan lengkap, jelaskan pada ibu untuk hanya meneran

apabila ada dorongan kuat untuk meneran

13. Atur posisi ibu saat melahirkan

14. Lakukan pencegahan laserasi

15. Lahirkan kepala bayi

16. Periksa tali pusat pada leher

17. Lahirkan bahu

18. Lahirkan sisa tubuh bayi

19. Keringkan dan beri rangsangan pada bayi

20. Potong tali pusat

21. Lakukan penatalaksanaan manajemen aktif kala III

22. Beritahu ibu bahwa ia akan di suntik

23. Beri suntikan oxytocin

24. Lakukan penegangan tali pusat terkendali

25. Lakukan massage fundus uteri

26. Observasi jumlah pendarahan pervaginam, laserasi jalan lahir, TFU,

kontraksi uterus, kandung kemih, keadaan umum ibu dan TTV.

27. Bersihkan tubuh ibu, serta ganti pakaian yang bersih.

28. Anjurkan ibu makan, minum dan istirahat

29. Isi partograf


30. Beri obat : Amoxilin 3 x 500 mg, Paracetamol 3 x 500 mg, Sulfas

Ferossus 3 x 350 mg.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010

Pasal 10

1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a

diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, persalinan, masa nifas, masa

menyusui dan masa antara dua kehamilan.

2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:

a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil;

b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal;

c. Pelayanan persalinan normal;

d. Pelayanan ibu nifas normal;

e. Pelayanan ibu menyunsui, dan

f. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

berwenang untuk :

a. Episiotomi;

b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

d. Pemberian tablet fe pada ibu hamil;

e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;


f. Fasilitas/bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu

eksklusif;

g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;

h. Penyuluhan dan konseling;

i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil;

j. Pemberian surat keterangan kematian, dan

k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin.

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 2017

TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN

A. Asuhan Dan Konseling Selama Kehamilan

Kompetensi 3 : Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk

mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi

dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu.

Dalam menjalankan kompetensi ke-3 tersebut, bidan harus memiliki

pengetahuan dasar seperti yang tercantum pada nomor 26 Pengetahuan

Dasar yaitu:

a. Akibat yang ditimbulkan dari merokok, penggunaan alkohol,

dan obat-obatan terlarang bagi wanita hamil dan janin.

B. Asuhan Selama Persalinan dan Kelahiran

Kompetensi ke 4 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,

tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin


selama persalinan yang bersaih dan aman, menangani situasi

kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan

bayinya yang baru lahir.

Dalam menjalankan kompetensi ke-4 tersebut, bidan harus memiliki

pengetahuan dasar seperti yang tercantum pada nomor 22 Pengetahuan

Dasar yaitu:

a. Memberikan pertolongan persalinan abnormal : letak sungsang,

partus macet kepada di dasar panggul, ketuban pecah dini tanpa

infeksi, postterm dan preterm.

2.2 Asfiksia

2.2.1 Pengertian

Asfiksia adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas secara

spontan dan teratur sehingga menimbulkan gangguan lebih lanjut, yang

mempengaruhi seluruh metabolisme tubuhnya (Prawirohardjo, 2014).

Asfiksia adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan

dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan

CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.

Tujuan tindakan perawatan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan

kelangsungan pernafasan bayi yang sebagian besar terjadi pada waktu

persalinan. (Manuaba, 2010 ).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya

mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan.


Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau

masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).

2.2.2 Patofisiologi Asfiksia

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat

terjadi pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali

pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat

diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan

untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat

kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu

hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang

disebut apnea primer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis

karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas

otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu

singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap

terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya

bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan

resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak

akan terjadi.

c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun

di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit

meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan


menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung

terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk,

metabolisme selular gagal, jantung pun berhenti. Keadaan ini akan

terjadi dalam waktu cukup lama.

d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan

pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun

demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung,

mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.

e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia.

Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat

dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok

memburuk apnea terminal.

2.2.3 Etiologi Asfiksia

Hipoksia janin yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorum

terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke

janin sehingga terjadi gangguan dalam persediaan O2 dan dalam

menghilangkan CO2. Gangguan Ini dapat berlangsung secara menahun

akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara

mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.

(Wiknjosastro, 2014).

Perkembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit pertama

kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur, bila terjadi

gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin akan


terjadi asfiksia janin atau neonatus. Winkjosastro. H (2014), penyebab

kegagalan pernapasan pada bayi:

Menurut Winkjosastro (2014) penyebab kegagalan pernafasan

pada bayi diantaranya:

1. Pre eklampsia atau eklampsia

Pre eklampsia atau eklampsia menurut para ahli dapat di

dikumpulkan sebagai berikut : pre eklampsi adalah sindrom

spesifik-kehamilan, yang terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan,

berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi

endotel.

Pre eklampsi merupakan kumpulan gejala yang timbul pada

ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias;

hipertensi, proteinuri, dan edema. Dapat disimpulkan bahwa pre

eklampsi adalah suatu kondisi spesifik kehamilan, yang terjadi

setelah minggu ke-20 kehamilan, berupa berkurangnya perfusi

organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai

dengan peningkatan tekanan darah, edema, dan proteinuria.

Preeklampsia bisa mengakibatkan aliran darah ibu melalui

plasenta menjadi berkurang, sehingga aliran oksigen dari ke janin

menjadi berkurang dan menimbulkan terjadinya gawat janin dan

berlanjut sebagai asfiksia pada bayi baru lahir.

2. Partus lama atau partus macet

Partus lama didefinisikan sebagai permulaan partus yang

reguler, kontraksi uterus yang ritmis dan menyebabkan dilatasi


serviks akan tetapi partus terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam.

Partus tidak maju atau macet adalah terjadi gangguan atau

hambatan dalam penurunan kepala bayi melewati pelvis meskipun

kontraksi uterusnya baik. Obstruksi biasanya disebabkan karena

panggul sempit, bayi besar, ataupun malpresentasi.

Partus lama merupakan persalinan yang berlangsung lebih

dari 24 jam pada primipara dan lebih dari 18 jam pada multipara.

Bila persalinan berlangsung terlalu lama, maka bisa menimbulkan

terjadinya komplikasi baik terhadap ibu dan bayi akan mengalami

asfiksia.

Persalinan pada primi lebih lama 5-6 jam dari pada multi.

Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi-

komplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak, dan dapat

meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Partus lama

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya

asfiksia dan dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu

maupun pada bayi serta dapat meningkatkan angka kematian ibu

dan bayi.

Menurut Harjono partus lama merupakan fase terakhir dari

suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga

timbul gejala-gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta

asfiksi dan kematian janin dalam kandungan (KJDK), dan insiden

partus lama menurut penelitian adalah 2,8 – 4,9%.


Partus lama dapat menyebabkan kejadian asfiksia pada bayi

baru lahir, hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di

pintu panggul, maka janin akan mengalami hipoksia sehingga

terjadilah asfiksia.

3. Kehamilan Serotinus

Kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung 42

minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid

terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28

hari.

Kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung

melebihi 42 minggu (294 hari) atau melebihi dua minggu dari

perkiraan tanggal persalinan dihitung mulai Hari Pertama Haid

Terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele (Prawirahardjo, 2014) .

4. Plasenta Previa

Plasenta merupakan bagian dari kehamilan yang penting,

mempunyai bentuk bundar dengan ukuran 15 x 20 cm dengan tebal

2,5 sampai 3 cm dan beratnya 500 gram. Plasenta merupakan organ

yang sangat aktif dan memiliki mekanisme khusus untuk

menunjang pertumbuhan dan ketahanan hidup janin. Hal ini

termasuk pertukaran gas yang efisien, transport aktif zat-zat energi,

toleransi imunologis terhadap imunitas ibu pada alograft dan

akuisisi janin. Melihat pentingnya peranan dari plasenta maka bila

terjadi kelainan pada plasenta akan menyebabkan kelainan pada

janin ataupun mengganggu proses persalinan. Salah satu kelainan


pada plasenta adalah kelainan implantasi atau disebut dengan

plasenta previa.

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta

berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah

rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan

lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya bagian terendah

sering kali terkendala memasuki Pintu Atas Panggul (PAP) atau

menimbulkan kelainan janin dalam rahim. Pada keadaan normal

plasenta umumnya terletak di korpus uteri bagian depan atau

belakang agak ke arah fundus uteri (Prawirohardjo, 2014).

5. CPD

Disproporsi Sefalopelvik adalah keadaan yang

menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul

ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi

sefalopelvik disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar

ataupun kombinasi keduanya.

CPD terjadi jika kepala bayi atau ukuran tubuh bayi lebih

besar dari pada luas panggul ibu, sehingga dalam proses persalinan,

bayi tidak mungkin dapat melewati panggul ibu, jika telah

diketahui adanya kondisi CPD, maka jalan paling aman untuk

melahirkan adalah melalui bedah sesar.

6. Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan berupa

air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat


dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan

berlangsung. Dari sudut medis secara garis besar 50% persalinan

preterm terjadi spontan, 30% akibat ketuban pecah dini (KPD), dan

sisanya 20% dilahirkan atas indikasi ibu/ janin. Pecahnya kulit

ketuban secara spontan sebelum kehamilan cukup bulan banyak

dihubungkan dengan amnionitis yang menyebabkan terjadinya

lokus minoris pada kulit ketuban. Amnionitis ini diduga sebagai

dampak asendens infeksi saluran kemih.

Ketuban pecah dini dapat disebabkan oleh berbagai hal

seperti; serviks inkompeten, peningkatan tekanan intrauterin

misalnya overdistensi uterus pada keadaan hidramnion, trauma,

kelainan letak misalnya letak lintang sehingga tidak ada bagian

terendah yang me nutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat

menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.

7. Hipertensi Dalam Kehamilan

Hipertensi gestasional (HDK) adalah kenaikan tekanan darah

diastolik 15 mmHg atau > 90 mmHg dalam 2 pengukuran berjarak

1 jam atau tekanan darah diastolik sampai 110 mmHg. Tekanan

darah diatolik merupakan indikator dalam penanganan hipertensi

dalam kehamilan karena tekanan darah diastolik mengukur tahanan

perifer dan tidak tergantung keadaan emosional pasien.

Hipertensi dalam kehamilan yaitu hipertensi pada kehamilan

yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai

gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah


kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi

gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu

saat di masa yang akan datang (Saifuddin, 2011).

8. Preeklampsia Berat

Pre eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang

ditandai dengan timbulnya hipertensi lebih atau sama dengan

160/110 mmHg diserta proteinuria pada kehamilan 20 minggu atau

lebih.

Pre Eklampsia Berat adalah tekanan darah sistolik ≥ 160

mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg. Protein >2,0 gr dalam 24 jam

muncul pertama kali selama kehamilan dan menurun setelah

persalinan, jumlah trombosit < 100.000 sel per mm3. Peningkatan

aktivitas enzim hati, gejala gangguan saraf, nyeri kepala menetap,

gangguan penglihatan, nyeri ulu hati yang menetap dan oliguria

400 mililiter dalam 24 jam (Sarwono Prawirohardjo, 2014).

9. Preeklampsia Ringan

Preeklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,

proteinuria dan edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini

umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 pada kehamilan, tetapi dapat

terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa. Preeklamsi

adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan

dalam masa nifas yang terdiri dari hipertensi, proteinuria dan

edema, ibu tersebut tidak menunjukan tanda-tanda kelainan

vascular atau hipertensi sebelumnya. Preeklamsi ringan adalah


timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur

kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Sarwono

Prawirohardjo, 2014).

2.2.4 Klasifikasi Asfiksia

Menurut (Saifuddin, 2009) berdasarkan nilai APGAR

(Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) asfiksia

diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1. Asfiksia Berat (Nilai Apgar 0-3)

Resusitasi aktif dalam keadaan ini harus segera dilakukan,

langkah utama ialah memperbaiki ventilasi paruparu dengan

memberikan O2 secara tekanan langsung dan berulang-ulang. Bila

setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan

frekuensi jantung menurun (<100/menit) maka pemberian obat-

obatan lain serta masase jantung sebaiknya segera dilakukan.

Masase jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan di atas

tulang dada secara teratur 80-100x/menit. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan frekuensi jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot

buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas

tidak ada.

2. Asfiksia Sedang (Nilai Apgar 4-6)

Di sini dapat dicoba dengan melakukan rangsangan untuk

menimbulkan reflek pernapasan, hal ini dapat dikerjakan selama

30-60 detik setelah penilaian menurut apgar 1 menit. Komplikasi


yang dapat terjadi pada bayi asfiksia adalah kerusakan pada otak.

Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari

l00x/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refick

iritabilitas tidak ada

3. Asfiksia Ringan ( Nilai Apgar 7-10)

Dimana kondisi bayi terlihat baik dan normal, sehingga bayi

tidak memerlukan tindakan atau penanganan khusus pasca

dilahirkan.

2.2.5 Manifestasi Klinik

Menurut (Depkes RI, 2007) Asfiksia biasanya merupakan akibat

hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau

bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak

teratur.

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala.

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan

organ lain.

d. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.

e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan

oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak.

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot

jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang

kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan.


g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-

paru atau nafas tidak teratur/megap-megap.

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam

darah.

i. Penurunan terhadap spinkters

j. Pucat

2.2.6 Pengkajian Klinis

Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk

melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting,

yaitu :

1. Pernafasan

Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat.

Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal,

seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau

mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi

baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau

tidak sama sekali.

2. Denyut jantung

Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau

merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau

<100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang

mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.


3. Warna

Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda.

Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada

beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin

mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi

berwarna merah muda, biru, atau pucat.

Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar.

Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap

rangsangan menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang

mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular

yang tidak berhubungan.

Tabel 2.1 Skor Apgar

Aspek Pengamatan Skor


Bayi Baru Lahir 0 1 2
Warna kulit tubuh
Seluruh tubuh
normal, tetapi Warna kulit
Appeareance (Warna bayi berwarna
tangan dan kaki seluruh tubuh
Kulit) kebiruan .atau
berwarna normal
pucat
kebiruan
Denyut
Denyut jantung Denyut jantung
Pulse (Nadi) jantung tidak
<100 kali/menit >100 kali/menit
ada
Tidak ada Meringis,
Grimace (Respon respon Wajah meringis menarik, batuk
Refleks) terhadap saat distimulasi atau bersin saat
stimulasi stimulasi
Lengan dan kaki
Activity (Tonus Lemah, tidak dalam posisi Bergerak aktif
Otot) ada gerakan fleksi dengan dan spontan
sedikit gerakan
Tidak
bernafas, Menangis lemah, Menangis kuat,
Respiratory
pernafasan terdengar seperti pernafasan baik
(Pernafasan)
lambat dan merintih dan teratur
tidak teratur
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5

menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai

segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi

berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi,

maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus

dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian

Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama

pada bayi yang mengalami depresi berat.

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan

keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya

penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi

nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar

kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5

menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan

nilai 8 dan lebih.

(Saifuddin, 2009).

2.2.7 Diagnosis

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan

melakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin

Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per

menit, selama his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali
lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut

jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila

frekeunsi turun sampai di bawah 100 per menit di luar his, dan

lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di

beberapa klinik elektrokardiograf janin digunakan untuk terus-

menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam persalinan.

2. Mekonium di dalam air ketuban

Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi

pada presentasi – kepala mungkin menunjukkan gangguan

oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya

mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat

merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat

dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik

dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh

darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis

menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah

7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

Diagnosis gawat janin sangat penting untuk dapat

menyelamatkan dan dengan demikian membatasi morbiditas dan

mortalitas perinatal. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan

tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum,


sehingga perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut.

(Aminullah, 2002)

2.2.8 Kewenangan Bidan Pada Bayi Dengan Asfksia

Dalam melakukan tugasnya, bidan memiliki kewajiban yang

harus dilakukan seperti yang tertera dalam :

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Pasal 20

Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :

a. Penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan

jalan nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung

2.2.9 Penatalaksanaan Asfiksia

Menurut (Prambudi, 2013) bayi baru lahir dalam apnea primer

dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun mungkin tidak teratur

dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir

dalam apnea sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan

atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen

diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru

lahir dengan apnu sekunder.

Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan

memberikan stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat


pemberian oksigen dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat

penting untuk disadari bahwa pada bayi yang mengalami apnu

sekunder, semakin lama kita menunda upaya pernapasan buatan,

semakin lama bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam

melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat

berakibat keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur.

Perhatikanlah bahwa semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder,

semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan otak.

Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini,

segera sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak

mampu melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami

hipoksia yang semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia.

Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal dan

mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi

yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk

menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya.

Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi

bantuan sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada

setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung

jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai

resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi

dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan

melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan

intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan


mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi

bahwa akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga terampil

tambahan dan persiapan alat resusitasi.

Bayi prematur (usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan

persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru imatur yang

kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami kerusakan

karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur

dalam otak yang mudah mengalami perdarahan

Selain itu, bayi prematur memiliki volume darah sedikit yang

meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit tipis serta area

permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat kehilangan panas

dan rentan terhadap infeksi. Apabila diperkirakan bayi akan

memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya dimintakan

informed consent.

Definisi informed consent adalah persetujuan tertulis dari

penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu tindakan medis setelah

mendapatkan penjelasan dari petugas kesehatan yang berwenang.

Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah

tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed

consent dapat ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil

namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter perlu melakukan

informed consent. Lebih baik lagi apabila informed consent dimintakan

sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan.


Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak,

semua bayi perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap

langkah dilakukan dengan benar dan efektif sebelum ke langkah

berikutnya.

Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma

resusitasi neonatal.

Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan

apakah terhadap bayi yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak.


Algoritma Resusitasi Neonatus

Gambar 2.1 Algoritma Resusitasi Neonatal (Prambudi, 2013)

Resusitasi Neonatus

Menurut (Sarwono, 2009) resusitasi neonatus merupakan suatu

prosedur yang di aplikasikan untuk neonatus yang gagal bernapas

secara spontan.
Langkah Resusitasi untuk Keberhasilan Resusitasi

a. Jangan menunggu untuk menentukan Nilai Apgar satu menit untuk

memulai resusitasi. Semakin lambat memulai, akan semakin sulit

melakukan resusitasi.

b. Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus telah dilatih

secara memadai, efisien, dapat bekerja sebagai tim, dan semua

peralatan yang diperlukan harus tersedia dan dalam keadaan

berfungsi baik (lihat Tabel 2.2).

Sebelum Persalinan Dimulai

a. Informasikan unit neonatologi mengenai adanya persalinan risiko

tinggi yang sedang terjadi. Dokter spesialis anak/petugas kesehatan

yang terampil dan terlatih dalam resusitasi harus menhadiri semua

persalinan risiko tinggi.

b. Untuk persalinan normal, petugas yang ahli dalam resusitasi

neonatus harus hadir.

c. Untuk asfiksia, dua petugas yang ahli dalam resusitasi dan dua

asisten harus hadir

d. Semua peralatan harus disiapkan dan di cek fungsinya sebelum

persalinan.

e. Pemans radiant/infant warmer dinyalakan dan handuk /kain hangat

tersedia.

f. Cek alat penghisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan ukuran

yang sesuai dengan berat bayi, serta balon resusitasi.


g. Siapkan sebuah pipa endotrakea (ET) dengan ukuran yang sesuai

dengan berat bayi, potong hingga 13-15 cm.

h. Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal, dan sebuah baki.

Setelah Persalinan

Saat Bayi Lahir, Lakukan Penilaian Sebagai Berikut

a. Apakah kehamilan cukup bulan?

b. Apakah air ketuban jernih dan tidak terkontaminasi mekonium?

c. Apakah bayi benapas adekuat atau menangis?

d. Apakah tonus otot bayi baik?

Bila semua pertanyaan di atas dijawab “ya”, lakukan perawatan

rutin. (lihat gambar 2.1). perawatan rutin ialah memberikan kehangatan,

membuka/membersihkan jalan napas, mengeringkan, dan menilai

warna.

Bila salah satu atau lebih pertanyaan dijawab “tidak”, lakukan

langkah awal resusitasi.

Langkah Awal Resusitasi

1. Tempatkan bayi di bawah pemanas radian/infant warmer.

2. Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah untuk

membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk diletakkan

dibawah bahu untuk membantu mencegah fleksi leher dan

penyumbatan jalan napas.

3. Bersihkan jalan napas atas dengan menghisap mulut terlebih

dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat


pengisap lendir, atau kateter penghisap. Perhatikan untuk menjaga

bayi dari kehilangan panas setiap saat.

Catatan: pengisapan dan pengeringan tubuh dapat dilakukan

bersamaan bila air ketuban bersih dari mekonium.

4. Pengisapan yang kontinyu dibatas 3 -5 detik pada satu pengisapan.

Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah aspirasi.

5. Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat

mekonium pada jalan napas (kondisi ini dapat mengarah ke

bradikardia). Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar,

lakukan pengisapan dari trakea.

6. Keringkan, stimulasi, ganti kain yang basah dengan kain yang

kering, dan reposisi kepala.

7. Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi kepala

dilakukan tidak lebih dari 30 detik.

8. Menilai pernapasan

9. Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa

denyut jantung. Jika denyut jantung > 100 kali/menit dan bayi tidak

mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Akan tetapi, jika sianosis

ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif

1. Jika tidak terdapat pernapasan atau bayi megap-megap, ventilasi

tekanan positif (VTP) diawali dengan menggunakan balon

resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi 40 – 60 kali/menit.


2. Jika denyut jantung < 100 kali/menit, bahkan dengan pernapasan

memadai, VTP harus dimulai pada kecepatan 40 – 60/menit.

3. Intubasi endotrakea diperlukan jika bayi tidak berespons terhadap

VTP dengan menggunakn balon dan sungkup. Lanjutkan VTP dan

bersiaplah untuk memindahkan bayi ke Neonatal Intensive Care

Unit (NICU).

Kompresi Dada

a. Jika denyut jantung masih < 60 kali/menit setelah 30 detik VTP

yang memadai, kompresi ada harus dimulai.

b. Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari prosesus

sifoideus, jangan menekan/di atas sifoid. Kedua ibu jari petugas

yang meresusitasi digunakan untuk menekan sternum, sementara

jari-jari lain mengelilingi dada, atau jari tengah dan telunjuk dari

satu tangan dapat digunakan untuk kompresi sementara tangan lain

menahan punggung bayi. Sterum dikompresi dalam 1/3 tebal

antero-posterior dada.

c. Kompresi dada diselingi ventilasi secara sinkron terkoordinasi

dengan rasio 3 : 1. Kecepatan kombinasi kegiatan tersebut harus

120/menit (yaitu 90 kompresi da 30 ventilasi). Setelah 30 detik,

evaluasi respons. Jika denyut jantung > 60 kal/menit, kompresi

dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga denyut jantung

mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas efektif.


Pemberian Obat

Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap < 60

kali/menit setelah 30 detik VTP dan 30 detik lagi VTP dan kompresi

dada. Dosis epinefrin adalah 0,1 – 0,3 ml/kgBB larutan 1 : 10.000

secara intravena, melalui vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa

endotrakeal, dosis adalah 0,3 – 1,0 ml/kgBB.

Obat Lain Tambahan

1. Cairan penambah volume darah (volume expander) diindikasikan

untuk pasien yang telah diketahui atau dicurigai mengetahui

kehilangan darah, dan berespons buruk terhadap tindakan resusitasi

lain. NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dapat diberikan dalam bentuk

bolus 1 m/kg selama 5 – 10 menit. Jika kehiangan darah akut cukup

untuk menimbulkan syok, maka pemberian darah O negatif dapat

dibenarkan.

2. Natrium bikarbonat direkomendasikan untuk bayi dengan

resusitasi memanjang yang tidak berespons terhadap tindakan

resusitasi lain.

3. Nalokson hidroklorida diindikasikan pada bayi dengan keadaan

sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi dari ibu

yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam sebelum

persalinan, tetapi frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal.

Nalokson merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya


pecandu narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar

Bersalin pada resusitasi awal.

4. Kateterisasi pembuluh umbilikus direkomendasikan jika akses

vaskular diperlukan. Vena umbilkus berukuran besar, berada di

tengah, memiliki dinding tipis dan datar. Kateter radioopak 3,5 atau

5,0 Fr diinsersikan kedalam vena sampai aliran darah bebas dapat

diaspirasi.

Sindrom Aspirasi Mekonium

a. Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM), yang terdiri atas sumbatan

jalan napas kecil, terperangkapnya udara, dan pneumonitis

inflamatoris, paling sering ditemui pada bayi yang lahir dengan

asfiksia dan mekonium kental (pea soup).

b. Ketika mekonium kental dan/atau bayi berada dalam kadaan apnea

atau depresi, bayi harus diintubasi dan mekonium diisap melalui

pipa endotrakea dengan menggunakan aspirator mekonium, atau

diisap dengan kateter pengisap lubang besar. Kemudian bayi

dikeringkan dilakukan rangsang taktil, dan diposiskan kembali. Jika

bayi tetap menunjukkan depresi pernapasan, berikan ventilasi

tekanan positf serta segera dipindahkan ke unit neonatal untuk

dukungan pernapasan sesuai dengan kebutuhan.

c. Pastikan adanya pasokan oksigen maksimal melalui sungkup atau

kanul hidung jika intubasi tidak mungkin dilakukan di fasilitas

anda.
Perawatan Lanjutan

a. Catat nilai Apgar untuk menit ke – 1 dan ke – 5 dalam rekam medik.

b. Jika bayi memerlukan asuhan intensif, rujuk ke rumah sakit terdekat

yang memiliki kemampuan memberikan dukungan ventilator,

untuk memantau dan memberikan perawatan pada neonatus.

c. Jika bayi dalam keadaan stabil, pindahkan ke ruang neonatal untuk

dipantau dan ditindaklanjuti.

d. Di ruang neonatal, ikuti panduan asuhan neonatus normal untuk

pemeriksaan fisik dan tindakan profilaksis. Selain itu, monitor

secara ketat tanda vital, sirkulasi, perfusi, status nerologik, dan

jumlah urin, serta pemberian minum ditunda disesuaikan kondisi.

Sebagai ganti pemberian minum secara oral, berikan glukosa 10 %

intravena. Uji laboatorium, seperti analisis gas darah, glukosa, dan

hematokrit, harus dilakukan.

e. Jika sudah tiak terdapat komplikasi selama 24 jam, neonatus dapat

keluar dari unit neonatal. Informasikan kepada petugas dan orang

tua/keluarga tentang tanda bahaya.

Catatan:

a. Tidak melakukan resusitasi dapat diterima pada kehamilan < 23

minggu atau berat lahir < 40 gram, anensefalus, terbukti trisomi

13 dan 18.

b. Resusitasi dinyatakan gagal dan dihentikan bila bayi

menunjukkan asistole selama 10 menit setelah dilakukan

resusitasi yang ekstensif.


Peralatan dan Pasokan Resusitasi Neonatus

Peralatan untuk menghisap lendir

1. Bulb syringe

2. Kateter pengisap (ukuran 5 atau 6, 8, dan 10 Fr)

3. Aspirator dan pipa mekanik

4. Pipa lambung ukuran 8 Fr dan Spuit 20 cc

Peralatan balon dan sungkup resusitasi

1. Balon resusitasi bayi yang mampu memberikan oksigen 90 – 100%

dan mempunyai katup pelepas tekanan /alat ukur tekanan.

2. Oksigen dengan pengukur aliran dan selang.

3. Sungkup/masker wajah dengan pinggiran bantalan untuk ukuran

bayi cukup bulan dan prematur.

4. Kateter nasal (nasal prongs/kanul nasal)

5. Oral airway, ukuran bayi cukup bulan dan prematur.

Peralatan Intubasi

1. Laringoskop dengan daun lurus, ukuan 00 (sangat prematur), 0

(prematur), dan 1 (neonatus cukup bulan)

2. Bola lampu dan baterai cadangan untuk laringoskop

3. Pipa ET (ukuran 2,5, 3, 3,5, dan 4,0 mm)

4. Gunting

5. Sarung tangan
Obat-obatan

1. Epinefrin 1 : 10.000 (0,1 mg/ml) – ampul 3 ml atau 10 ml

2. Natrium bikarbonat 4,2 % (5 mEq/10 ml) – ampul 10 ml.

3. Nalokson 0,4 mg/ml (ampul 1 ml), atau 1,0 mg/ml (ampul 2 ml).

4. Dekstrosa 10% dalam air (30 l)

5. Air steril/akuades (30 ml).

6. Penambah volume/volume expander, salah satu atau lebih dari

yang dibawah ini : NaCl 0,9%, ringer laktat, darah.

Lain-lain

1. Inkubator terpisah untuk resusitasi neonatus dengan pemanas radian

dan handuk atau selimut.

2. Stetoskop

3. Plester

4. Spuit (ukuran 1, 3, 5, 10, 20 dan 50 ml)

5. Baki kateterisasi pembuluh umbilikus, skalpel, gunting, kateter

umbilikus, three-way stopcock, pengikat umbilikus, antiseptik.

6. Alat monitor jantung dan oksimeter elektroda atau denyut nadi serta

probe (jika ada)

7. Spons alkohol

8. Klem umbilikus

9. Jarum (ukuran 25, 21, dan 18)

10. Kateter umbilikus (ukuran 3,5 dan 5 Fr)


Obat-obatan yang Disediakan untuk Resusitasi Neonatus

Tabel 2.2 Obat-obatan Resusitasi Neonatus – Dosis dan Cara Pemberian

Obat Konsentrasi Preparat Dosis dan Cara Catatan Kecepatan


Pemberian
Epinefrin 1 : 10.000 Ampul 1 0,1 – 0,3 m/kg I.V. Diberikan secara
ml (pertimbangkan cepat. Dapat diulang
ET bila I.V. setelah 3 – 5 menit.
sedang dikerjakan, Jika DJ < 60
dosis ET 0,3 – 1,0 kali/menit
ml)
Cairan NaCl 0,9%, Bervariasi 10 ml/kg I.V. Berikan selama 5 –
penambah Ringer 50 ml 10 menit dengan
volume Laktat, whole 500 ml menggunakan
blood semprit atau drip I.V.

Natrium 4,2% 10 ml 2 mEq/kg I.V. Berikan secara I.V.


bikarbonat dengan perlahan, 1
mEq/kg/menit.
Nalokson a. 0,4 1ml 0,1 mg/kg I.V. Berikan dengan
mg/ml 2 ml cepat.
b. 1 mg/ml

Keterangan:

 Jangan memberikan Natrium bikarbonat sebelum paru


diventilasi.
 Jangan memberikan Natrium bikarbonat melalui pipa ET
 Pemberian antagnis narkotik bukan tindakan pertama untuk
bayi yang tidak bernapas.
 Tindakan pertama adalah VTP
 Jangan memberikan naloksn pada bayi dari ibu yang adiksi
terhadap narkotika atau ibu dalam terapi rumatan metadon.
(Prawirohardjo, 2014).
Kami mendapatkan KPD ≥12 jam dengan asfiksia 44,7%, sedangkan

KPD <12 jam dengan asfiksia 5,3%, dengan RO (rasio odds) 9,7 dan nilai

p=0,004, sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara lama KPD


(<12 atau ≥12) jam terhadap asfiksia. Hasil tersebut sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan Halimah dkk,14 Setiyana,15 dan Fahrudin.

Penelitian Halimah dkk mendapatkan 24 (63,15%) bayi mengalami asfiksia

neonatorum ketika terjadi KPD selama proses persalinan, yaitu 1 bayi

(2,63%) menderita asfiksia ringan, 8 bayi (21,05%) menderita asfiksia

sedang, dan 15 bayi (39,47%) menderita asfiksia berat.

Berdasarkan hasil penelitian, KPD merupakan faktor risiko terjadinya

asfiksia. Penelitian kami menggunakan data sekunder dari catatan rekam

medik pasien. Disamping itu, variabel yang diteliti terbatas hanya beberapa

variabel yang tersedia sehingga sangat memungkinkan terjadinya bias

terhadap hasil penelitian. Untuk mencegah terjadinya asfiksia pada bayi,

maka persalinan dengan KPD ≥12 jam sebaiknya dilakukan di rumah sakit

sehingga resusitasi bayi baru lahir dapat dilakukan secara optimal (Sari

Pediatri Vol. 14 No. 5, 2013).


BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kronologi Kasus

3.1.1 Data Primer

Pada Tanggal 06 Maret 2018

Pukul 07.30 WIB

Ny. S usia 24 tahun diantar keluarga datang ke BPM Bidan O, dan bidan

menanyakan keluhan Ny. S mengeluh keluar air-air banyak dari jalan lahir

pada pukul 03.30 WIB tanpa adanya mulas-mulas dan belum keluar lendir

bercampur darah. Pukul 06.00 WIB mulas-mulas bertambah sering. Setelah

menanyakan keluhan, Bidan O melakukan pemeriksaan pada Ny. S,

didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, tinggi fundus uteri 29 cm, leopold

I teraba lunak dan tidak melenting, leopold II bagian kanan teraba punggung

dan bagian kiri teraba ekstremitas janin, leopold III teraba bulat, keras dan

tidak melenting, DJJ 149 x/menit, dan dilakukan pemeriksaan dalam

didapatkan vulva tidak ada kelainan, portio tipis lunak, pembukaan 2 cm,

keadaan ketuban negatif, presentasi kepala dan tidak ada bagian yang

menyertai. Lalu Bidan O segera melakukan pemeriksaan menggunakan kertas

lakmus dan didapatkan hasil kebiruan. Dilakukan pemantauan kala I secara

berkala selama 2,5 jam hingga pembukaan lengkap, dilakukan pemantauan

His dan DJJ setiap 30 menit sekali dengan hasil seperti terlihat pada tabel

3.1.1
Tabel 3.1.1 Tabel Observasi
No. Jam His Durasi DJJ
1. 07.30 WIB 2x/10 menit 30 detik 149x/menit
2. 08.00 WIB 2x/10 menit 35 detik 154x/menit
3. 08.30 WIB 3x/10 menit 40 detik 156x/menit
4. 09.00 WIB 4x/10 menit 50 detik 148x/menit

Pukul 09.25 WIB

Terjadi peningkatan DJJ sebanyak 162x/menit dan His semakin

bertambah 4x/10 menit selama 50 detik, dan dilakukan pemeriksaan dalam

didapatkan portio tipis lunak, pembukaan 4 cm, ketuban negatif dan tidak ada

bagian yang menyertai, dan menganjurkan pada Ny. S untuk makan dan

minum agar ada tenaga untuk mengedan, dan menganjurkan ibu untuk tidur

dengan posisi miring ke kiri agar mempercepat proses penurunan kepala

janin.

Pukul 09.30 WIB

Dilakukan pemasangan infus Ringer Laktat dengan tetesan 28

tetes/menit dan pemberian antibiotik amoxicillin 500 mg oral tanpa

kolaborasi dengan Dokter SpOG.

Pukul 09.50 WIB

Setelah dilakukan pemantauan kala I, Ny. S mengeluh mulas yang

sangat sakit dan kuat serta ada dorongan ingin meneran/BAB dan sudah

keluar lendir darah. Sudah terdapat tanda gejala kala II seperti vulva

membuka, dorongan ingin meneran dan tekanan pada anus. Kemudian

dilakukan pemeriksaan didapatkan his 5x/10 menit selama 55 detik, DJJ


158x/menit, pembukaan sudah lengkap, portio sudah tidak teraba dan

keadaan ketuban negatif. Dilakukan pertolongan persalinan normal.

Bayi lahir spontan pukul 10.10 WIB Jenis kelamin perempuan, tidak

segera menangis, tonus otot sebagian aktif, warna kulit kemerahan, Bidan

melakukan penjepitan dan pengguntingan tali pusat dan melakukan langkah

awal resusitasi dengan memiringkan kepala bayi dan dilakukan penghisapan

lendir dengan delee dari mulut lalu ke hidung, dan dilakukan rangsangan

taktil dengan memukul telapak kaki bayi dengan telapak tangan. Bayi

langsung menangis, tonus otot aktif dan warna kulit kemerahan, tidak

dilakukan IMD, lalu bidan O melakukan pemeriksaan pada bayi didapatkan

BB 2800 gram, PB 47 cm, LK 32 cm, LD 31 cm.

Pukul 10.12 WIB

Dilakukan Manajemen Aktif Kala III, penyuntikan oxytocin 10 IU di

1⁄ paha ibu secara IM, dan dilakukan Peregangan Tali pusat Terkendali
3

apabila ada tanda pelepasan plasenta seperti tali pusat memanjang, uterus

membulat dan ada semburan darah tiba-tiba. Plasenta lahir lengkap pukul

10.20 WIB dan dilakukan masase uterus selama 15 detik. Dilakukan

pengecekan laserasi jalan lahir didapatkan ada laserasi jalan lahir dari mukosa

vagina sampai otot perineum, TFU 1 jari diatas pusat, kontraksi uterus keras.

Dilakukan penjahitan perineum dengan anestesi Lidocain 2% satu ampul dan

dilakukan penjahitan satu-satu dan jelujur. Dilakukan eksplorasi untuk

memastikan tidak ada selaput yang tertinggal, dan jumlah perdarahan ± 150

mL. Dilakukan pemantauan kala IV selama 2 jam.


Tabel 3.1.2 Pemantauan Kala IV
Jam Waktu Tekanan Nadi Suhu TFU Kontraksi Kandung Perdarahan
ke darah Uterus Kemih
0
10.20 120/70 89x/menit 37,0 C 1 jari Keras Kosong 50 mL
1 WIB mmHg dibawah
pusat
10.35 120/80 87x/menit 1 jari Keras Kosong 30 ml
WIB mmHg dibawah
pusat
10.50 120/80 83x/menit 1 jari Keras Kosong 20 ml
WIB mmHg dibawah
pusat
11.05 110/80 86x/menit 1 jari Keras Kosong 20 ml
WIB mmHg dibawah
pusat
11.50 120/70 81x/menit 37,40C 1 jari Keras Kosong 10 ml
2 WIB mmHg dibawah
pusat
12.20 110/80 85x/menit 1 jari Keras Kosong 10 ml
WIB mmHg dibawah
pusat

Pukul 11.10 WIB

Dilakukan penyuntikkan Vitamin K 0,5 cc secara IM dan mengoleskan

Salep Mata (Erlamycetin Chloramphenicol) pada mata Bayi.

Pukul 10.40 WIB

Bidan O memberikan obat Mefenamic Acid 500 mg 3x1 dan

Amoxicillin 500 mg 3x1 masing-masing 10 tablet dan Vitamin A pada Ny. S.

Pukul 16.30 WIB

Dilakukan asuhan nifas pertama/KF I 6 jam pada Ny. S, bidan

menanyakan keluhan pada ibu. Ny. S mengeluh lemas, sedikit mulas

kemudian dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg,


Tinggi Fundus Uteri 1 jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras, lochea rubra

dan jahitan masih basah. Ibu merasa tidak nyaman untuk bergerak karena

takut dengan luka jahitannya. Bidan memberikan pendidikan kesehatan pada

Ny. S seperti tidak ada pantangan makanan, menganjurkan ibu untuk istirahat

yang cukup dan bidan memberitahu akan melakukan kunjungan rumah di hari

ke 4.

Dilakukan asuhan neonatus pertama/KN I 6 jam pada bayi Ny. S, bidan

melakukan pemeriksaan didapatkan tali pusat bayi tidak infeksi, bayi mau

menyusu.

Pukul 17.30 WIB

Ny. S pulang dari BPM Bidan O dengan keluarga.

Tanggal 09 Maret 2018

Pukul 16.00 WIB

Dilakukan kunjungan nifas kedua/KF II 4 hari pada Ny. S, bidan

menanyakan keluhan pada ibu dan Ny. S mengeluh belum BAB sejak setelah

melahirkan dan sudah bisa berjalan tapi masih nyeri di luka jahitannya. Bidan

melakukan pemeriksaan dan didapatkan tekanan darah 110/80 mmhHg,

Tinngi Fundus Uteri 3 jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras, lochea

sanguinolenta, jahitan masih basah namun tidak ada tanda-tanda infeksi,

dilakukan pemeriksaan payudara dan ASI sudah keluar, dilakukan

penyuntikan Vitamin B12 di bokong ibu secara IM.

Dilakukan kunjungan neonatus kedua/KN II 4 hari pada bayi Ny. S,

dilakukan pemeriksaan tali pusat dan didapatkan tali pusat sudah puput di hari
ke 3 dan dilakukan penyuntikan Hepatitis B/HB0 dan dilakukan penimbangan

berat badan bayi dengan hasil 2900 gram.

Pada tanggal 17 Maret 2018

Pukul 16.00 WIB

Ny. S membawa bayinya diantar keluarga ke BPM Bidan O ingin

dilakukan penindikan dan khitan pada bayinya. Bidan O melakukan

penindikan dan khitan pada bayi Ny. S, dan bidan O melakukan penyuntikan

vitamin B12 kedua di bokong ibu.

Bidan O tidak melakukan kunjungan KF III pada 29 hari – 42 hari dan

KN III pada 8 hari – 28 hari.

3.1.2 Data Sekunder

Tabel 3.1.3 tabel Antenatal Care KIA


No Tanggal Keluhan Hasil Terapi Nasehat Tempat Kunjugan
Pemeriksaan
Pelayanan Ulang

1 07/06/2017 Mual dan TD : 120/90 Folic BPM 08/08/17


pusing mHg
BB : 38 kg Acid,
UK : 3-6 minggu
TFU : Ball Bufamol,
Bengkak : -
2 06/01/2018 t.a.k TD : 100/80 Calure, BPM 04/02/18
mHg
BB : 45 kg Atabion,
UK : 29-30
minggu Calvita.
TFU : 24 cm
Letak : Kep
DJJ : 132 x/mnt
Hb : 11 gr%
Bengkak : -
3 03/02/2018 Pilek, TD : 100/80 Fibramox, BPM 17/02/2018
batuk, mHg
pusing BB : 46 kg Calvita,
UK : 33-34
minggu Plucadol
TFU : 26 cm
Letak : Kep Atabion,
DJJ : 139 x/mnt
Bengkak : - Calsifa

4 17/02/2018 Pinggang TD : 100/80 Calvita, BPM 03/03/2018


pegal mHg
BB : 48 kg Calsium,
UK : 35-36
minggu Acetat
TFU : 28 cm
Letak : Kep
DJJ : 147 x/mnt
Hb : 10,4 gr%
Bengkak : -

Berdasarkan data dari buku KIA, didapatkan Ny. S hamil anak pertama

dan belum pernah keguguran dan memeriksakan kehamilannya sebanyak 4

kali, 1 kali pada trimester I dan 3 kali pada trimester III. Namun ibu mengaku

sering memeriksakan kehamilannya dan tidak membawa buku KIA.

Didapatkan HPHT tanggal 25 Mei 2017 dan TP tanggal 02 Maret 2018 dan

usia kehamilannya 40 minggu 5 hari. Ibu mengaku sudah dilakukan

penyuntikan imunisasi TT sebanyak 2 kali di bidan S, TT1 saat usia

kehamilannya 3 bulan dan TT2 saat usia kehamilannya 6 bulan. Ibu mengaku

melakukan pemeriksaan USG di dokter sebanyak 3 kali, dan selalu meminum

vitamin yang diberikan oleh bidan maupun dokter. Ibu belum pernah

menggunakan kontrasepsi apapun sebelum kehamilan ini karena ingin segera

hamil, memiliki riwayat penyakit gastritis dan tidak memiliki riwayat alergi.

Ibu melakukan pemeriksaan laboratorium 2 kali seperti pemeriksaan Hb pada


trimester II, Hb pertama pada tanggal 06 Januari 2018 didapatkan 11 gr% dan

Hb kedua pada tanggal 17 Februari 2018 didapatkan 10,4 gr%.

3.1.3 Data Penunjang

3.1.3.1 Hasil Wawancara dengan Pasien

Ibu mengatakan aktivitas sehari-hari seperti mandi, gosok gigi dan ganti

pakaian 2x/hari, ibu juga menggunakan pakaian longgar untuk sehari-hari,

dan personal hygiene ibu baik. Ibu mengatakan melakukan hubungan seksual

3 kali dalam seminggu pada trimester III dan terakhir 2 hari yang lalu sebelum

melahirkan. Ibu melakukan aktivitas seperti biasa seperti menyapu, mengepel

dengan posisi jongkok/setengah duduk dan mencuci, ibu mencuci dengan

posisi duduk menggunakan papan penggilas dan membilas menggunakan

tangan dan kadang ibu mengangkat ember yang berisi air.

Ibu mengatakan pola makannya selama hamil terkadang 2 – 3 kali/hari

juga sering ngemil makanan ringan dan tidak ada pantangan makanan.

Makanan yang dikonsumsi selalu ada karbohidrat, protein seperti ayam, telur,

daging dan serat seperti sayuran dan buah-buahan setiap harinya.

Ibu mengatakan mempunyai penyakit maag/gastritis. Ibu tidak

mengonsumsi obat-obatan terlarang, alkohol maupun merokok. Akan tetapi

di rumah ada ayah perokok dan terkadang merokok di dalam rumah. Sehari

ayah ibu dapat menghabiskan rokok 3-5 batang rokok dan terkadang ibu

terpapar asap rokok.

Ibu mengatakan pernah keluar lendir darah sedikit saat usia

kehamilannya 9 bulan dan terkadang saat usia kehamilannya > 7 bulan nyeri
pada perut bagian bawah, dan tidak mengalami sakit demam selama

kehamilan.

Ibu mengatakan setiap memeriksakan kehamilannya ke bidan S,

dilakukan pemeriksaan lengkap dari timbang berat badan, pemeriksaan

tekanan darah, ukur LILA, pemeriksaan letak atau puncak rahim, denyut

jantung janin, penyuntikan imunisasi TT, pemberian obat tambah darah,

pemeriksaan Hb, dan konseling.

3.1.3.2 Hasil Wawancara dengan Bidan

Adapun pemeriksaan yang dilakukan oleh Bidan S saat kunjungan

antara lain : timbang berat badan dan ukur tinggi badan, tekanan darah,

pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan DJJ, ukur LILA, pemberian

imunisasi TT, pemberian tablet zat besi, pemeriksaan laboratorium wajib dan

atas indikasi, serta konseling. Menurut Bidan S bahwa pemeriksaan ANC

yang dilakukan mengikuti standar 10 T. Namun bidan kadang lupa menulis

atau mencatat tindakan dan hasil tindakan yang sudah dilakukanya di buku

KIA.

3.2 Pembahasan

3.2.1. Antenatal Care

3.2.1.1. Kuantitas dan Kualitas Pelayanan Antenatal Care

a. Kasus

Ny. S hamil anak pertama dan belum pernah keguguran dan

memeriksakan kandungannya sebanyak 4 kali, 1 kali pada trimester I


dan 3 kali pada trimester III. Namun ibu mengaku sering memeriksakan

kehamilannya dan tidak membawa buku KIA, diantaranya Ny. S

melakukan pemeriksaan USG sebanyak 3 kali di Rumah Sakit Amanda

dengan rentan di usia kehamilan (28 minggu – 36 minggu).

Pembahasan

Menurut PEMENKES RI/No 97/ 2014 pada pasal 13 (1)

Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan sekurang-kurangnya 4

(empat) kali selama masa kehamilan yang dilakukan :

a. 1 (Satu) kali pada trimester pertama;

b. 1 (Satu) kali pada trimester kedua; dan

c. 2 (Dua) kali pada trimester ketiga.

Kebijakan program Depkes (2005) menganjurkan ibu hamil

melaksanakan kunjungan ANC minimal 4 kali. Adapun tujuan

pemeriksaan pertama/ K1 pada perawatan antenatal adalah sebagai

berikut :

1. Mendiagnosis dan menghitung umur kehamilan.

2. Mengenali dan menangani penyulit-penyulit yang mungkin

dijumpai dalam kehamilan, persalinan dan nifas.

3. Mengenali dan mengobati penyakit-penyakit yang mungkin

diderita sedini mungkin.

4. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.


5. Memberikan nasehat-nasehat tentang cara hidup sehari-hari dan

keluarga berencana, kehamilan, persalinan, nifas dan laktasi.

6. Pada kunjungan pertama adalah kesempatan untuk mengenali

faktor risiko ibu dan janin.

7. Ibu diberitahu tentang kehamilannya, perencanaan tempat

persalinan, juga perawatan bayi dan menyusui.

Berdasarkan asumsi penulis, kuantitas pemeriksaan kehamilan

Ny. S belum sesuai dengan teori dan standar pemeriksaan yang

ditetapkan oleh pemerintah yaitu minimal kunjungan ANC 4 kali pada

trimester I-III. Ibu sudah memeriksakan kehamilannya lebih dari 4 kali,

namun tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Kebanyakan ibu

memeriksakan kehamilannya pada trimester III sebanyak 6 kali dengan

rentan usia kehamilan 28 minggu-39minggu, pada trimester I ibu

memeriksakan kehamilannya 1 kali dan pada trimester II ibu sama

sekali tidak melakukan pemeriksaan kehamilan ke Bidan ataupun ke

tenaga kesehatan lain. Sehingga pengetahuan ibu kurang mengenai

pentingnya dan tujuan kunjungan ANC pada trimester II.

Tujuan pemeriksaan kehamilan usia 15 sampai 28 minggu

diantaranya pemeriksaan USG antara 18 dan 20 minggu untuk melihat

organ-organ janin, dan mengukur pertumbuhan janin dan plasenta, serta

pemeriksaan tes glukosa darah untuk menyaring ada tidaknya diabetes

gestasional, dan Haemoglobin diperiksa ulang. Sehingga ibu tidak

mengetahui kadar glukosa darah dimana diabetes gestasional perlu


diwaspadai, sebab kadar gula darah yang tinggi pada ibu hamil dapat

meningkatkan risiko tejadinya makrosomia, risiko bayi lahir cacat dan

bayi berisiko mengalami masalah kesehatan begitu lahir. Pertumbuhan

janin dan plasenta karena tidak melakukan pemeriksaan kehamilan

pada trimester II.

b. Kasus

Ibu mengatakan setiap memeriksakan kehamilannya ke bidan S,

dilakukan pemeriksaan lengkap dari timbang berat badan, pemeriksaan

tekanan darah, ukur LILA, pemeriksaan letak atau puncak rahim,

denyut jantung janin, penyuntikan imunisasi TT, pemberian obat

tambah darah, pemeriksaan Hb, dan konseling. Namun bidan kadang

lupa menulis atau mencatat tindakan dan hasil tindakan yang sudah

dilakukanya di buku KIA.

Pembahasan

Menurut (Dadanarifin, 2016) Pelayanan atau asuhan standar minimal

adalah 10 T :

1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan

2. Pemeriksaan tekanan darah

3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas)

4. Pemerisaan puncak rahim (tinggi fundus uteri)

5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

6. Skrinning status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi Tetanus

Toksoid (TT) bila diperlukan

7. Pemberian tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan


8. Test laboratorium (rutin dan khusus)

9. Tatalaksana kasus

10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB paska persalinan.

Wajib untuk ibu hamil K1: pemeriksaan HB, golongan darah,

Albumin-reduksi bila pemeriksaan albumin-reduksi positif lanjut

pemeriksaan Gula darah. Pemeriksaan rutin/berulang bila ada indikasi:

pemeriksaan HB, Albumin-reduksi, pemeriksaan IMS wajib

ditawarkan dan atas indikasi bila terjadi keputihan pada ibu hamil.

Pemeriksaan wajib bagi ibu hamil K1: HB, golongan darah, albumin-

reduksi, untuk kunjungan berikutnya dilakukan pemeriksaan

laboratorium bila ada indikasi. (Agus 2015).

Berdasarkan asumsi penulis, kualitas pelayanan Antenatal Care

sudah sesuai dengan teori dan standar pelayanan yang ditetapkan.

Pemeriksaan atau pelayanan yang dilakukan oleh Bidan S ke pasien

sudah memenuhi standar pelayanan minimal 10 T, namun dilihat dari

buku KIA di tabel pemeriksaan ANC tidak dicantumkan LILA dan

tinggi badan ibu, dimana LILA menjadi pengukur apakah ibu KEK atau

tidak dan tinggi badan menjadi pengukur Indeks Masa Tubuh ibu,

imunisasi TT juga tidak tercantum di buku KIA. Konseling yang

dilakukan oleh bidan kurang efektif, Ny. S hanya mendengarkan saja

namun tidak menerapkannya seperti tidak melakukan kunjungan

kehamilan pada TM II dan penyuntikan TT yang tidak sesuai dengan


standar yang ditetapkan, sehingga kualitas konseling dan evaluasi Ny.

S tidak efektif dan kurang berkualitas.

Berdasarkan hasil konfirmasi bidan kadang lupa mencatat atau

menulis tindakan dan hasil tindakan yang dilakukannya sehingga

kualitas pelayanan Antenatal Care Bidan S di ragukan apakah bidan

sudah sesuai standar pelayanan minimal 10 T atau belum. Selain itu,

perlu juga ditekankan mengenai pendokumentasian asuhan, diharapkan

seluruh bidan dapat melakukan pendokumenasian asuhan antenatal

sesuai dengan standar yang digunakan (buku KIA) agar medical record

pasien tercatatkan dengan baik.

c. Kasus

Ibu mengaku sudah dilakukan penyuntikan imunisasi TT sebanyak 2

kali di Bidan S, TTI saat usia kehamilannya 3 bulan dan TT2 saat usia

kehamilannya 6 bulan.

Pembahasan

Imunisasi Tetanus Toxoid adalah proses untuk membangun

kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus. Vaksin

tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan

kemudian dimurnikan. Pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT)

artinya pemberian kekebalan terhadap penyakit tetanus kepada ibu

hamil dan bayi yang dikandungnya.


Jadwal Imunisasi TT :

Sesuai dengan WHO, jika seorang ibu yang tidak pernah

diberikan imunisasi tetanus maka ia harus mendapatkan paling

sedikitnya dua kali (suntikan) selama kehamilan (pertama pada saat

kunjungan antenatal dan kedua pada empat minggu kemudian) Jarak

pemberian (interval) imunisasi TT 1 dengan TT 2 minimal 4 minggu.

(Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)

Tabel 3.2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid

Antigen Interval Lama perlindungan


TT 1 Pada kunjungan -
antenatal pertama
TT 2 4 minggu setelah TT 1 3 tahun
TT 3 6 bulan setelah TT 2 5 tahun
TT 4 1 tahun setelah TT 3 10 tahun
TT 5 1 tahun setelah TT 4 25 tahun/seumur hidup
Sumber : (Saifuddin dalam Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)

Berdasarkan asumsi penulis dari data penunjang, terdapat ketidak

sesuaian dengan standar penyuntikan Imunisasi TT yang di tetapkan,

penyuntikan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada kehamilan yang

pertama dilakukan 2 kali, namun jarak dari penyuntikan TT1 ke TT2

Ny. S tidak sesuai dengan jadwal pemberian imunisasi TT yang di

tentukan. Dimana jadwal penyuntikan imunisasi TT1 ke TT2 yaitu 4

minggu setelah TT1 dan lama perlindungannya selama 3 tahun, namun

jarak imunisasi TT Ny. S dari TT1 ke TT2 yaitu 3 bulan/12 minggu

setelah TT1. Karena interval atau jarak penyuntikan TT1 ke TT2 tidak

sesuai, sehingga tidak efektif dan tidak ada perlindungan dari Tetanus

Toxoid dari imunisasi yang telah dilakukan. Oleh karena itu,


seharusnya bidan melakukan penyuntikan TT 4 minggu setelah TT1

dan karena penyuntikan TT2 Ny. S telat dari jadwal penyuntikan

seharusnya bidan melakukan penyuntikan imunisasi TT ulang pada Ny.

S. Penyuntikan imunisasi TT pada ibu hamil dapat di lakukan dari usia

kehamilan 0-8 bulan, jadi aman dilakukan penyuntikan imunisasi TT

pada Ny. S.

3.2.2. Intranatal Care

3.2.2.1. Penegakkan Diagnosa dan Penatalaksanaan KPD

a. Penegakkan Diagnosa

Kasus

Ny. S usia 24 tahun diantar keluarga datang ke BPM Bidan O,

mengeluh keluar air-air banyak dari jalan lahir pada pukul 03.30 WIB

tanpa adanya mulas-mulas dan belum keluar lendir bercampur darah.

Pukul 06.00 WIB mulas-mulas yang sering. Setelah menanyakan

keluhan, Bidan O melakukan pemeriksaan pada Ny. S, didapatkan

tekanan darah 120/80 mmHg, tinggi fundus uteri 29 cm, leopold I teraba

lunak dan tidak melenting, leopold II bagian kanan teraba punggung

dan bagian kiri teraba ekstremitas janin, leopold III teraba bulat, keras

dan tidak melenting, DJJ 149 x/menit, dan dilakukan pemeriksaan

dalam tanpa pemeriksaan inspekulo (cocor bebek) terlebih dahulu,

didapatkan vulva tidak ada kelainan, portio tipis lunak, pembukaan 2

cm, keadaan ketuban negatif, presentasi kepala dan tidak ada bagian
yang menyertai. Lalu Bidan O segera melakukan pemeriksaan

menggunakan kertas lakmus dan didapatkan hasil kebiruan.

Pembahasan

Menurut (Sarwono, 2014) diagnosis ketuban pecah dini

meragukan kita, apakah ketuban benar sudah pecah atau belum. Apalagi

bila pembukaan kanalis servikal belum ada atau kecil. Penegakkan

diagnosis KPD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang meliputi :

1. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan

ketuban di vagina.

2. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa,

rambut lanugo dan kadang-kadang bau jika ada infeksi.

3. Dari pemeriksaan inspekulo (cocor bebek) terlihat keluar cairan

ketuban dari cairan servikalis.

4. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi biru

(basa) bila ketuban sudah pecah.

5. Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG untuk

membantu dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat

janin, letak plasenta serta jumlah air ketuban. Pemeriksaan air

ketuban dengan tes leukosit esterase, bila leukosit darah lebih dari

15.000/mm3, kemungkinan adanya infeksi.

Diagnosis Ketuban Pecah Dini prematur dengan inspekulo dilihat

adanya cairan ketuban keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan pH vagina

perempuan hamil sekitar 4,5. Bila ada cairan ketuban pHnya sekitar 7,1

– 7,3. Antiseptik yang alkalin akan menaikkan pH vagina.


Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, analisa dari kasus

dan teori diatas terjadi kesenjangan penanganan KPD di BPM. Saat

pasien datang megeluh mulas-mulas dan sudah keluar air-air banyak

dari jalan lahir untuk menegakkan diagnosa, bidan tidak melakukan

pemeriksaan inspekulo terlebih dahulu untuk melihat keluar cairan

ketuban dari cairan servikalis dan memeriksa adanya cairan yang berisi

mekonium, vernik kaseosa, rambut lanugo dan infeksi. Namun bidan

langsung melakukan pemeriksaan dalam dan segera melakukan

pemeriksaan test nitrazin/lakmus. Didapatkan hasil test nitrazin, kertas

lakmus berubah menjadi kebiruan. Dimana test nitrazin/lakmus adalah

pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa Ketuban Pecah

Dini, diagnosa Ny. S G1P0A0 dengan kala 1 fase laten dengan KPD.

b. Penatalaksanaan KPD

a) Kasus

Dilakukan pemantauan kala I secara berkala selama 2,5 jam

hingga pembukaan lengkap, dilakukan pemantauan His dan DJJ setiap

30 menit sekali dengan hasil :

Tabel 3.1.1 Tabel Observasi


No. Jam His Durasi DJJ
1. 07.30 WIB 2x/10 menit 30 detik 149x/menit
2. 08.00 WIB 2x/10 menit 35 detik 154x/menit
3. 08.30 WIB 3x/10 menit 40 detik 156x/menit
4. 09.00 WIB 4x/10 menit 50 detik 148x/menit

Dengan diagnosa sementara Ny.S G10A0 parturient kala 1 fase laten

dengan KPD.
Pembahasan

Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut (Prawirohardjo, 2014).

1. Pastikan Diagnosis

2. Tentukan umur kehamilan

3. Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin.

4. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin.

Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari

vagina yang kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.

Penderita dengan kemungkinan ketuban pecah dini harus

diperiksa lebih lanjut. Bila terdapat pada persalinan kala aktif,

korioamnitis, gawat janin, persalinan harus diterminasi.

Rencana tindakan yang bisa diberikan:

a. Ukur suhu dan nadi ibu setiap empat jam.

b. Setelah pemantauan janin elektronik, cek DJJ setiap empat jam

ketika sudah di rumah sakit.

c. Hitung sel darah putih dengan hitung jenis setiap hari atau setiap

dua hari.

d. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur.

e. Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan pada selang

waktu 6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.

f. Pada usia kehamilan 24 sampai 32 minggu saat berat janin cukup,

perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan,

dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.


g. Jika persalinan menuju ke prematur maka dilakukan seksio sesarea.

h. Pemeriksaan USG untuk mengukur distansia biparietal dan perlu

melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan

kematangan paru melalui perbandingan.

Penatalaksanaan Bidan dalam Penanganan KPD menurut Saifuddin,

2009 :

a. Membawa pasien dengan KPD ke rumah sakit dan melahirkan bayi

yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban

untuk meminimalkan risiko infeksi intrautrine.

b. Tindakan konservatif dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter

spesialis kandungan dan kebidanan diantaranya dalam pemberian

antibiotik penisilin atau ampisilin.

c. Batasi periksa dalam secara ketat untuk mengurangi insidens

korioamnionitis, terutama pada pasien yang memilih

penatalaksanaan konservatif. Melibatkan pasien dalam proses

pengambilan keputusan yaitu penatalaksanaan konservatif atau

penatalaksanaan aktif.
Tabel Penanganan KPD menurut Sarwono 2014

Ketuban Pecah Dini


<37 MINGGU ≥37 MINGGU
Infeksi Tidak ada infeksi Infeksi Tidak ada infeksi
Berikan penisilin, Amoksisilin + Berikan penisilin, Lahirkan bayi
gentamisin dan eritromisin untuk gentamisin dan Berikan penisilin
metronidazol 7 hari Steroid metronidazol. atau ampisilin.
Lahirkan bayi untuk pematangan Lahirkan bayi
paru

ANTIBIOTIKA SETELAH PERSALINAN


Profilaksis Infeksi Tidak ada infeksi
Stop antibiotic Lanjutkan untuk Tidak ada antibiotic
24-48 jam setelah
bebas panas

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 2017

TENTANG STANDAR PROFESI BIDAN

Asuhan Selama Persalinan dan Kelahiran

Kompetensi ke 4 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,

tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin

selama persalinan yang bersaih dan aman, menangani situasi

kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan

bayinya yang baru lahir.

Dalam menjalankan kompetensi ke-4 tersebut, bidan harus memiliki

pengetahuan dasar seperti yang tercantum pada nomor 22 Pengetahuan

Dasar yaitu:
a. Memberikan pertolongan persalinan abnormal : letak sungsang,

partus macet kepada di dasar panggul, ketuban pecah dini tanpa

infeksi, postterm dan preterm.

Berdasarkan asumsi penulis, Bidan O sudah melakukan

penanganan KPD sesuai dengan teori dan wewenang untuk menangani

langkah awal KPD dengan melakukan pemantauan kala 1 secara

berkala selama 2,5 jam hingga pembukaan lengkap dan melakukan

pemeriksaan DJJ dan His setiap 30 menit sekali untuk memantau

kesejahteraan janin dan kemajuan proses persalinan. Bidan melakukan

tindakan konservatif seperti pemasangan infus Ringer Laktat dan

pemberian antibiotik amoxicillin 500 mg, namun bidan tidak

melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan dan

kebidanan.

b) Kasus

Dilakukan pemasangan infus Ringer Laktat dan pemberian

antibiotik amoxicillin 500 mg, tidak melakukan kolaborasi dengan

dokter SpOG.

Pembahasan

Menurut PERMENKES RI NOMOR 28 TAHUN 2017

TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN

Pasal 19

Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan :

a. Episiotomi
b. Pertolongan persalinan normal

c. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II

d. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan

perujukan

e. Pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil

f. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas

g. Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi air

susu ibu eksklusif

h. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan

postpartum

i. Penyuluhan dan konseling

j. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan

k. Pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.

Menurut Saifuddin 2010, bidan seharusnya melakukan pemberian

antibiotika sesegera mungkin agar dapat mencegah terjadinya infeksi

pada ibu dan janin. Dipilih yang berspektrum luas yaitu kombinasi

ampisilin 3x1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hari dan metronidazole

3x500 mg.

Penatalaksanaan Bidan dalam Penanganan KPD menurut Saifuddin,

2009 :

a. Membawa pasien dengan KPD ke rumah sakit dan melahirkan bayi

yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban

untuk meminimalkan risiko infeksi intrautrine.


b. Tindakan konservatif dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter

spesialis kandungan dan kebidanan diantaranya dalam pemberian

antibiotik penisilin atau ampisilin.

c. Batasi periksa dalam secara ketat untuk mengurangi insidens

korioamnionitis, terutama pada pasien yang memilih

penatalaksanaan konservatif. Melibatkan pasien dalam proses

pengambilan keputusan yaitu penatalaksanaan konservatif atau

penatalaksanaan aktif.

Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, terdapat

ketidaksesuaian dengan wewenang bidan dalam pemberian obat. Bidan

O melakukan penanganan awal untuk mencegah terjadinya infeksi

dengan melakukan pemasangan Infus Ringer Laktat dan memberikan

antibiotik amoxicillin 500 mg pada Ny. S. Bidan sudah menangani

kegawatdaruratan namun tidak dilanjutkan dengan perujukan sesuai

dengan PERMENKES, bidan juga sudah sesuai dengan teori

melakukan pemberian antibiotika sesegera mungkin agar dapat

mencegah terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Namun bidan O

melakukan tindakan tersebut tanpa berkolaborasi terlebih dahulu

dengan dokter spesialis kandungan dan kehamilan (SpOG).

c) Kasus

Ny. S pulang dari bidan O dengan keluarga. Bidan tidak memberikan

pendidikan kesehatan pada Ny. S


Pembahasan

Menurut PERMENKES 97 tahun 2014 tentang Pelayanan

Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa

Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta

Pelayanan Kesehatan Seksual

Pasal 15

Pelayanan Masa Sesudah Melahirkan :

a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu;

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri;

c. Pemeriksaan lokhia dan perdarahan;

d. Pemeriksaan jalan lahir;

e. Pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian asi eksklusif;

f. Pemberian kapsul vitamin a;

g. Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan;

h. Konseling; dan

i. Penanganan risiko tinggi dan komplikasi pada nifas.

Seharusnya bidan memberikan beberapa pendidikan kesehatan

pada Ny. S yang baru saja melahirkan anak pertama belum ada

pengalaman sebelumnya. Dimana Ny. S setelah melahirkan terdapat

robekan jalan lahir dan di lakukan penjahitan perineum dengan anestesi.

Bidan O seharusnya memberikan penkes mengenai perawatan luka

jahitan, perawatan diri dan kebutuhan ibu yang sering ada pantangan

karena budaya setempat. Seperti :


a. Menganjurkan ibu untuk tidak ada pantangan makanan setelah

melahirkan, seperti ikan, telur, dan lain-lain. Makanan seperti ikan,

telur itu sangat bermanfaat untuk mempercepat pemulihan luka

jahitan agar cepat kering.

b. Menganjurkan ibu untuk istirahat yang cukup, seperti tidur siang

dan tidur malam jangan terlalu capek.

c. Menganjurkan ibu untuk tidak membasuh kemaluannya dengan air

hangat, membasuh dengan air biasa agar jahitan tidak lepas.

d. Menganjurkan ibu untuk mengganti pembalutnya setiap 4 jam

sekali agar tidak ada bakteri yang masuk dan menyebabkan infeksi.

e. Menganjurkan ibu untuk sering mobilisasi seperti miring

kanan/kiri, duduk, jalan agar mempercepat proses pemulihan.

f. Menganjurkan ibu untuk menyusukan bayi nya setiap 2 jam sekali.

g. Menganjurkan ibu untuk membersihkan dahulu payudaranya

sebelum menyusui bayinya.

h. Mengajarkan ibu posisi menyusui yang baik dan benar.

i. Menganjurkan ibu untuk kunjungan apabila ada keluhan.

Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, terdapat

ketidaksesuaian dengan teori dan standar pelayanan yang ditetapkan.

Bidan tidak memberikan konseling saat pasien pulang setelah

melahirkan. Seharusnya bidan memberikan beberapa pendidikan

kesehatan pada Ny. S, dimana Ny. S baru saja melahirkan anak

pertamanya dan belum ada pengalaman melahirkan sebelumnya. Tidak

menutup kemungkinan Ny. S terjadi risiko atau komplikasi saat masa


nifas apabila tidak diberikan pendidikan kesehatan minimal perawatan

kebersihan diri. Ny. S juga memiliki luka jahitan setelah melahirkan

bayinya, apabila Ny. S tidak merawat luka jahitannya dengan baik tidak

menutup kemungkinan dapat terjadi infeksi karena tidak mengetahui

bagaimana perawatan luka jahitan yang benar.

3.2.3. Bayi Baru Lahir

a. Penanganan Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia

Kasus

Bayi lahir spontan pukul 10.10 WIB Jenis kelamin perempuan,

tidak segera menangis, tonus otot sebagian aktif, warna kulit

kemerahan, Bidan melakukan penjepitan dan pengguntingan tali pusat

dan melakukan langkah awal resusitasi dengan memiringkan kepala

bayi dan dilakukan penghisapan lendir dengan delee dari mulut lalu ke

hidung, dan dilakukan rangsangan taktil dengan memukul telapak kaki

bayi dengan telapak tangan. Bayi langsung menangis, tonus otot aktif

dan warna kulit kemerahan, tidak dilakukan IMD, lalu bidan O

melakukan pemeriksaan pada bayi didapatkan BB 2800 gram, PB 47

cm, LK 32 cm, LD 31 cm.

Pembahasan

Asfiksia adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas secara

spontan dan teratur sehingga menimbulkan gangguan lebih lanjut, yang

mempengaruhi seluruh metabolisme tubuhnya (Prawirohardjo, 2014).


Tabel 3.2.2 Skor APGAR

Aspek Pengamatan Skor


Bayi Baru Lahir 0 1 2
Seluruh tubuh Warna kulit tubuh
Warna kulit
Appeareance (Warna bayi berwarna normal, tetapi
seluruh tubuh
Kulit) kebiruan .atau tangan dan kaki
normal
pucat berwarna kebiruan
Denyut jantung Denyut jantung Denyut jantung
Pulse (Nadi)
tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit
Tidak ada Meringis,
Grimace (Respon respon Wajah meringis menarik, batuk
Refleks) terhadap saat distimulasi atau bersin saat
stimulasi stimulasi
Lengan dan kaki
Lemah, tidak dalam posisi Bergerak aktif
Activity (Tonus Otot)
ada gerakan fleksi dengan dan spontan
sedikit gerakan
Tidak bernafas,
Menangis lemah, Menangis kuat,
Respiratory pernafasan
terdengar seperti pernafasan baik
(Pernafasan) lambat dan
merintih dan teratur
tidak teratur

Menurut Rina Rohsiswatmo dan Nani harmaetiawani 2009,

resusitasi neonatus merupakan suatu prosedur yang di aplikasikan

untuk neonatus yang gagal bernapas secara spontan.

Saat Bayi Lahir, Lakukan Penilaian Sebagai Berikut

a. Apakah kehamilan cukup bulan?

b. Apakah air ketuban jernih dan tidak terkontaminasi mekonium?

c. Apakah bayi benapas adekuat atau menangis?

d. Apakah tonus otot bayi baik?

Bila sema pertanyaan di atas dijawab “ya”, lakukan perawatan

rutin. (lihat gambar 2.1). perawatan rutin ialah memberikan kehangatan,

membuka/membersihkan jalan napas, mengeringkan, dan menilai

warna.
Bila salah satu atau lebih pertanyaan dijawab “tidak”, lakukan

langkah awal resusitasi.

Langkah Awal Resusitasi

1. Tempatkan bayi di bawah pemanas radian/infant warmer.

2. Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah untuk

membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk diletakkan

dibawah bahu untuk membantu mencegah fleksi leher dan

penyumbatan jalan napas.

3. Bersihkan jalan napas atas dengan menghisap mulut terlebih

dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat

pengisap lendir, atau kateter penghisap. Perhatikan untuk menjaga

bayi dari kehilangan panas setiap saat.

Catatan: pengisapan dan pengeringan tubuh dapat dilakukan

bersamaan bila air ketuban bersih dari mekonium.

4. Pengisapan yang kontinyu dibatas 3 -5 detik pada satu pengisapan.

Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah aspirasi.

5. Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat

mekonium pada jalan napas (kondisi ini dapat mengarah ke

bradikardia). Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar,

lakukan pengisapan dari trakea.

6. Keringkan, stimulasi, ganti kain yang basah dengan kain yang

kering, dan reposisi kepala.

7. Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi kepala

dilakukan tidak lebih dari 30 detik.


8. Menilai pernapasan

9. Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa

denyut jantung. Jika denyut jantung > 100 kali/menit dan bayi tidak

mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Akan tetapi, jika sianosis

ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif

1. Jika tidak terdapat pernapasan atau bayi megap-megap, ventilasi

tekanan positif (VTP) diawali dengan menggunakan balon

resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi 40 – 60 kali/menit.

2. Jika denyut jantung < 100 kali/menit, bahkan dengan pernapasan

memadai, VTP harus dimulai pada kecepatan 40 – 60/menit.

3. Intubasi endotrakea diperlukan jika bayi tidak berespons terhadap

VTP dengan menggunakn balon dan sungkup. Lanjutkan VTP dan

bersiaplah untuk memindahkan bayi ke Neonatal Intensive Care

Unit (NICU).

Peralatan dan Pasokan Resusitasi Neonatus

Peralatan untuk menghisap lendir

1. Bulb syringe

2. Kateter pengisap (ukuran 5 atau 6, 8, dan 10 Fr)

3. Aspirator dan pipa mekanik

4. Pipa lambung ukuran 8 Fr dan Spuit 20 cc


Peralatan balon dan sungkup resusitasi

1. Balon resusitasi bayi yang mampu memberikan oksigen 90 – 100%

dan mempunyai katup pelepas tekanan /alat ukur tekanan.

2. Oksigen dengan pengukur aliran dan selang.

3. Sungkup/masker wajah dengan pinggiran bantalan untuk ukuran

bayi cukup bulan dan prematur.

4. Kateter nasal (nasal prongs/kanul nasal)

5. Oral airway, ukuran bayi cukup bulan dan prematur.

(Prawirohardjo, 2014)

PERMENKES RI NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN

PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN

Pasal 20

Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :

b. Penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan

jalan nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung.

Hasil penelitian didapatkan bahwa bayi yang mengalami asfiksia

54 orang (100%) lahir dari ibu yang mengalami ketuban pecah dini dan

46 (18,7%) lahir dari ibu yang tidak mengalami ketuban pecah dini,

sedangkan bayi yang tidak mengalami asfiksia 200 orang (81,3%) lahir

dari ibu yang tidak mengalami ketuban pecah dini (Dinamika

Kesehatan, Vol. 6 No.1, 2015).


Algoritma Resusitasi Neonatus

Gambar 2.1 Algoritma Resusitasi Neonatal (Prambudi, 2013)

Berdasarkan kasus yang terjadi bayi lahir spontan tidak segera

menangis, tonus otot sebagian aktif, warna kulit kemerahan dan

dilakukan langkah awal resusitasi.


Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, bidan sudah sesuai

dengan teori dan wewenangnya. Bidan O melakukan penilaian segera

bayi lahir seperti air ketuban berwarna hijau, bayi tidak segera

menangis dan tonus otot sebagian aktif. Bidan O melakukan langkah

awal resusitasi seperti memiringkan kepala bayi, melakukan

pengisapan lendir dari mulut dahulu menggunakan delee, dan dilakukan

rangsangan taktik dengan memukul telapak kaki bayi dengan telapak

tangan. Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, bayi langsung

menangis kuat, tonus otot aktif dan warna kulit kemerahan serta tidak

dilakukan Inisiasi Menyusui Dini.

c. Kuantitas dan kualitas Pelayanan Postnatal Care

a) Kasus

Dilakukan asuhan neonatus pertama/KN I 6 jam pada bayi Ny. S,

bidan melakukan pemeriksaan didapatkan tali pusat bayi tidak infeksi,

bayi mau menyusu.

Pembahasan

Kunjungan neonatus pertama atau KN I pada waktu 6 jam – 48 jam

setelah bayi lahir dengan penatalaksanaan :

1. Mempertahankan suhu tubuh bayi, hindari memandikan bayi

hingga sedikitnya enam jam dan hanya setelah itu jika tidak terjadi

masalah medis dan jika suhunya 36,5℃ bungkus bayi dengan kain

kering dan hangat, kepala bayi harus tertutup.

2. Pemeriksaan fisik bayi, dilakukan pemeriksaan fisik


a. Gunakan tempat tidur yang hangat dan bersih untuk

pemeriksaan.

b. Cuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan lakukan

pemeriksaan.

1. Telinga : periksa dalam hubungan letak dengan mata dan

kepala

2. Mata : tanda-tanda infeksi

3. Hidung dan mulut : bibir dan langitan, periksa adanya

sumbing refleks hisap, dilihat pada saat menyusu

4. Leher : pembekakan, gumpalan

5. Dada : bentuk, puting, bunyi nafas, bunyi jantung

6. Bahu lengan dan tangan :gerakan normal, jumlah jari

7. System syaraf : adanya reflek morrow

8. Perut : bentuk, penonjolan sekitar tali pusat pada saat

menangis, pendarahan tali pusat.

9. Kelamin laki-laki : testis berada dalam skrotum, penis

berlubang pada letak ujung lubang

10. Kelamin perempuan :vagina berlubang,uretra berlubang,

labia minor dan labia mayor

11. Tungkai dan kaki : gerak normal, tampak normal, jumlah

jari

12. Punggung dan anus: pembekakan atau cekungan, ada anus

atau lubang
13. Kulit : verniks, warna, pembekakan atau bercak hitam,

tanda-tanda lahir

14. Konseling : jaga kehangatan, pemberian asi, perawatan tali

pusat, agar ibu mengawasi tanda-tanda bahaya

Tanda-tanda bahaya yang harus dikenali oleh ibu :

pemberian asi sulit, sulit menghisap atau lemah hisapan,

kesulitan bernafas yaitu pernafasan cepat > 60 x/m atau

menggunakan otot tambahan, letargi –bayi terus menerus

tidur tanpa bangun untuk makan, warna kulit abnormal –

kulit biru (sianosis) atau kuning, suhu-terlalu panas (febris)

atau terlalu dingin (hipotermi), tanda dan perilaku abnormal

atau tidak biasa, ganggguan gastro internal misalnya tidak

bertinja selama 3 hari, muntah terus-menerus, perut

membengkak, tinja hijau tua dan darah berlendir, mata

bengkak atau mengeluarkan cairan.

c. Lakukan perawatan tali pusat pertahankan sisa tali pusat dalam

keadaan terbuka agar terkena udara dan dengan kain bersih

secara longgar, lipatlah popok di bawah tali pusat ,jika tali

pusat terkena kotoran tinja, cuci dengan sabun dan air bersih

dan keringkan dengan benar .

d. Gunakan tempat yang hangat dan bersih

e. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pemeriksaan

f. Memberikan imunisasi hb-0

(Sarwono, 2014)
Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, bidan sudah sesuai

dengan teori. Bidan O melakukan asuhan bayi baru lahir 6 jam dan

melakukan pemeriksaan tali pusat bayi, bidan juga menjaga kehangatan

bayi dengan membedong bayi agar tidak kedinginan. Namun bidan

tidak melakukan pemeriksaan pada bayi secara menyeluruh dan tidak

memberikan konseling mengenai tanda bahaya bayi baru lahir yang

harus dikenali oleh ibu, bidan juga tidak melakukan imunisasi Hb0

dimana merupakan salah satu tujuan dilakukannya asuhan bayi baru

lahir 6 jam. Apabila bidan tidak melakukan asuhan bayi baru lahir pada

6 jam atau asuhan pertama, kemungkinan dapat terjadi tanda bahaya

karena tidak dilakukan pemeriksaan.

b) Kasus

Dilakukan kunjungan neonatus kedua/KN II 4 hari pada bayi Ny.

S, dilakukan pemeriksaan dan didapatkan tali pusat sudah puput di hari

ke 3 dan dilakukan penyuntikan Hepatitis B/HB0 dan dilakukan

penimbangan berat badan bayi dengan hasil 2900 gram.

Pembahasan

Kunjungan neonatus kedua atau KN II pada waktu 3 hari – 7 hari setelah

bayi lahir dengan penatalaksanaan :

1. Menjaga tali pusat dalam keadaaan bersih dan kering

2. Menjaga kebersihan bayi, pemeriksaan tanda bahaya seperti

kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, diare, berat badan rendah dan

masalah pemberian ASI


3. Memberikan ASI bayi harus disusukan minimal 10-15 kali dalam

24 jam) dalam 2 minggu pasca persalinan

4. Menjaga keamanan bayi dan menjaga suhu tubuh bayi

5. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan asi

ekslutif pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi

baru lahir dirumah dengan menggunakan buku kia

6. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan

(Sarwono, 2014)

Berdasarkan asumsi penulis dari data primer, bidan sudah sesuai

dengan teori melakukan kunjungan neonatal kedua pada hari ke 4 dan

melakukan pemeriksaan tali pusat dan dilakukan penyuntikan Hepatitis

B/ Hb0 yang belum dilakukan saat asuhan pertama/KN I. Bidan juga

melakukan penimbangan berat badan dengan hasil 2900 gram. Apabila

bidan tidak melakukan kunjungan neonatal kedua/KN II, bidan tidak

dapat mendeteksi apabila terjadi tanda bahaya pada bayi dan apakah ada

infeksi atau tidak pada bayi.

c) Kasus

Bidan tidak melakukan kunjungan KN III

Pembahasan

Kunjungan neonatus ketiga atau KN III pada waktu 8 hari – 28 hari

setelah bayi lahir dengan penatalaksanaan :

1. Pemeriksaan fisik

2. Menjaga kebersihan bayi


3. Memberitahu ibu tentang tanda-tanda bahaya Bayi baru lahir

4. Memberikan ASI bayi harus disusukan minimal 10-15 kali dalam

24 jam) dalam 2 minggu pasca persalinan.

5. Menjaga keamanan bayi dan menjaga suhu tubuh bayi

6. Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI

ekslutif pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi

baru lahir dirumah dengan menggunakan Buku KIA

7. Memberitahu ibu tentang Imunisasi BCG

8. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan

(Sarwono, 2014)

Berdasarkan asumsi penulis, terdapat ketidaksesuaian dengan

teori. Bidan tidak melakukan kunjungan neonatal/KN III yang

seharusnya dilakukan pada hari ke 8 hari – 28 hari untuk memberitahu

ibu mengenai tanda bahaya pada bayi baru lahir dan memberitahu ibu

untuk mengimunisasikan bayinya sebulan sekali. Melakukan

penanganan dan rujukan apabila ditemukan kasus atau tanda bahaya

pada bayi.

3.2.4. Postnatal Care

3.2.4.1. Kuantitas dan kualitas pelayanan Postnatal Care

a. Kasus

Dilakukan kunjungan nifas pertama/KF I 6 jam pada Ny. S, bidan

menanyakan keluhan pada ibu dan Ny. S mengeluh lemas dan sedikit

mulas dan melakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 120/80


mmHg, Tinggi Fundus Uteri 1 jari dibawah pusat, kontraksi uterus

keras, lochea rubra dan jahitan masih basah. Ibu merasa tidak nyaman

untuk bergerak karena takut dengan luka jahitannya. Bidan

memberikan pendidikan kesehatan pada Ny. S seperti tidak ada

pantangan makanan, menganjurkan ibu untuk istirahat yang cukup dan

bidan memberitahu akan melakukan kunjungan rumah di hari ke 4.

Pembahasan

Kunjungan nifas pertama atau KF I pada waktu 6 – 48 jam setelah

persalinan bertujuan untuk :

a. Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri

b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan, rujuk bila

perdarahan berlanjut.

c. Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga

bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri

d. Pemberian ASI awal

e. Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir

f. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia

Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal

dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran,

atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil.

(Sarwono, 2014).

Berdasarkan asumsi penulis, bidan sudah sesuai teori. Bidan

melakukan asuhan nifas pertama/KF I pada 6 jam dan melakukan

pemeriksaan seperti tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, perdarahan,


keadaan luka jahitan. Menganjurkan ibu dan keluarga untuk melakukan

masase uterus agar mencegah terjadinya perdarahan dan atonia uteri.

Apabila bidan tidak melakukan asuhan atau pemeriksaan nifas pada 6

jam, bidan tidak dapat mencegah perdarahan karena atonia uteri yang

sering terjadi pada ibu nifas dalam 24 jam pertama.

b. Kasus

Dilakukan kunjungan nifas kedua/KF II 4 hari pada Ny. S, bidan

menanyakan keluhan pada ibu dan Ny. S mengeluh belum BAB sejak

setelah melahirkan dan sudah bisa berjalan tapi masih nyeri di luka

jahitannya. Bidan melakukan pemeriksaan dan didapatkan tekanan

darah 110/80 mmhHg, Tinggi Fundus Uteri 3 jari dibawah pusat,

kontraksi uterus keras, lochea sanguinolenta, jahitan masih basah

namun tidak ada tanda-tanda infeksi, dilakukan pemeriksaan payudara

dan ASI sudah keluar, dilakukan penyuntikan Vitamin B12 di bokong

ibu secara IM.

Pembahasan

Kunjungan nifas atau KF II pada waktu 4 hari - 28 hari setelah

persalinan bertujuan untuk :

a. Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus berkontraksi,

fundus dibawah umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak

ada bau.

b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan

abnormal.

c. Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan istirahat.


d. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan

tanda-tanda penyulit.

e. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali

pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.

(Sarwono, 2014)

Berdasarkan kasus bidan O melakukan penyuntikan vitamin B12

di bokong secara IM. Setelah di lakukan konfirmasi pada bidan dan

pasien, bidan mengatakan tujuan dilakukan penyuntikan vitamin B12

adalah untuk vitamin saja dan dilakukan 2 kali penyuntikan di waktu

yang berbeda.

Berdasarkan asumsi penulis, bidan sudah sesuai dengan teori.

Bidan melakukan kunjungan nifas di hari ke 4 setelah persalinan dan

melakukan pemeriksaan tinggi fundus uteri 3 jari dibawah pusat,

kontraksi uterus keras, perdarahan dan luka jahitan masih basah namun

tidak ada tanda-tanda infeksi. Untuk memastikan involusi uterus

berjalan normal, tidak ada tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan

abnormal. Bidan melakukan penyuntikan vitamin B12 hanya untuk

vitamin saja. Apabila bidan tidak melakukan kunjungan nifas kedua,

bidan tidak dapat memastikan involusi uterus Ny. S berjalan normal

atau tidak, uterus keras atau lembek, terjadi perdarahan abnormal atau

tidak pada Ny. S.

c. Kasus

Bidan tidak melakukan kunjungan KF III


Pembahasan

Kunjungan nifas ketiga atau KF III pada waktu 29 hari – 42 hari setelah

persalinan bertujuan untuk :

a. Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus berkontraksi,

fundus dibawah umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak

ada bau.

b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan

abnormal.

c. Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan istirahat.

d. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan

tanda-tanda penyulit.

e. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali

pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.

(Sarwono, 2014)

Berdasarkan asumsi penulis, terdapat ketidaksesuaian dengan

teori. Bidan tidak melakukan kunjungan nifas ketiga/KF III yang

seharusnya dilakukan pada hari ke 29 hari – 42 hari. Dimana di KF III

ini bertujuan untuk memastikan involusi uterus Ny. S berjalan normal,

uterus berkontraksi, dan tidak terjadi perdarahan abnormal.

Memastikan ibu nutrisi dan istirahatnya cukup dan tidak ada tanda-

tanda bahaya pada masa nifas. Seharusnya bidan melakukan kunjungan

nifas ketiga/KF III dimana riwayat ibu dengan ketuban pecah dini

sangat rentan mengalami demam dan kejadian infeksi, dimana Ny. S

terdapat luka jahitan setelah melahirkan,


3.2.5. Predisposisi Atau Penyebab Terjadinya KPD

Menurut Nugroho (2012) dalam Zainal Alim, Yeni Agus Safitri (2015),

faktor penyebab terjadinya KPD adalah tekanan intrauterin yang meninggi

atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus: misalnya hidramnion,

gemelli), trauma yang menyebabkan tekanan intrauterin (intra amniotik)

mendadak misalnya hubungan seksual, keadaan sosial ekonomi, faktor

disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu dan defisiensi gizi dari

tembaga atau asam askorbat (vitamin C).

Menurut Abdullah (2012) Pola pekerjaan ibu hamil berpengaruh

terhadap kebutuhan energi. Kerja fisik pada saat hamil yang terlalu berat dan

dengan lama kerja melebihi tiga jam perhari dapat berakibat kelelahan.

Kelelahan dalam bekerja menyebabkan lemahnya korion amnion sehingga

timbul ketuban pecah dini.

Pekerjaan merupakan suatu yang penting dalam kehidupan, namun

pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan

kehamilannya sebaiknya dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun

janin.

Menurut Laksmi, (2009) bahwa Perokok pasif dalah asap rokok yang

di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok

merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok

lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok

sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang bukan perokok,

terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang dihembusan oleh perokok aktif
dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon

monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin.

Menurut Pantikawati dan Saryono, (2010) bahwa penyakit akibat rokok

yaitu penyakit jantung, paru, kanker paru, arteriosclerosis, dan dampak pada

kehamilan (abortus, solusio plasenta, plasenta previa, insufisiensi plasenta,

kelahiran prematur, ketuban pecah dini , dan BBLR).

Rokok mengandung lebih dari 2500 zat kimia yang teridentifikasi, salah

satunya karbon monoksida. Karbon monoksida dapat menembus barier

plasenta dan berikatan dengan hemoglobin sehingga terjadi penurunan

oksigenasi darah pada janin. Abortus spontan dan komplikasi pada plasenta

meningkat karena merokok selama hamil hal ini menyebabkan plasenta dan

ketuban mengalami degenerasi (absurpsio, ketuban pecah dini dan ketuban

pecah lama). Merokok juga dapat menyebabkan resiko lahir mati lebih tinggi

(Constance, 2010).

Menurut Saifuddin, (2014) bahwa pertukaran gas menjadi abnormal

dapat menyebabkan terjadi perubahan biokimia yaitu berkurangnya

komponen kolagen seperti asam askorbik dan tembaga sehingga terjadi

abnormalitas pertumbuhan struktur kolagen selaput ketuban. Pertumbuhan

struktur kolagen yang abnormal dapat menyebabkan kekuatan selaput

ketuban inferior rapuh sehingga terjadi ketuban pecah dini.

Menurut hasil penelitian Muntoha, Suhartono, Nur Endah W, (2013)

dengan judul Hubungan antara Riwayat Paparan Asap Rokok dengan

Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Hamil di RSUD Dr. H. Soewondo

Kendal bahwa Hasil penelitian menggambarkan hubungan antara riwayat


paparan asap rokok dengan kejadian KPD pada ibu hamil menunjukkan

bahwa sebagian besar responden yang terpapar asap rokok mengalami KPD

yaitu sejumlah 24 responden atau 75% dengan value 0,00 atau< 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat

paparan asap rokok dengan kejadian KPD.

Menurut penelitian Icha Dithyana tahun (2013) dengan judul hubungan

ibu hamil perokok pasif dengan kejadian ketuban pecah dini. Menunjukan

bahwa ibu hamil perokok pasif memiliki risiko untuk terkena ketuban pecah

dini 3,5 kali lebih besar daripada wanita tidak perokok pasif dan menyatakan

bahwa ada hubungan yang bermakna ibu hamil perokok pasif dengan

kejadian ketuban pecah dini.

Berdasarkan asumsi penulis dari data sekunder, karena ibu terkadang

terpapar asap rokok saat hamil, ibu menjadi perokok pasif. Dimana asap

rokok yang dihirup oleh perokok pasif lima kali lebih banyak mengandung

karbon monoksida dan empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin,

dimana zat tersebut adalah zat kimia yang tidak baik untuk janin. Rokok dapat

menyebabkan komplikasi atau akibat bagi ibu dan janin, seperti penyakit

jantung, paru-paru, kanker paru, arteriosclerosis, dan dampak pada kehamilan

seperti abortus, solusio plasenta, plasenta previa, insufisiensi plasenta,

kelahiran prematur, ketuban pecah dini dan BBLR. Merokok juga dapat

menyebabkan risiko mati lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan

bahwa ibu hamil perokok pasif memiliki risiko untuk terkena ketuban pecah

dini 3,5 kali lebih besar daripada wanita tidak perokok pasif.
Menurut Winkjosastro (2006) bahwa frekuensi koitus pada trimester III

kehamilan yang lebih dari 3 kali seminggu diyakini berperan pada terjadinya

KPD. Hal itu berkaitan paparan hormon prostaglandin didalam semen atau

cairan sperma.

Menurut Saifuddin, (2014) bahwa pada saat penurunan progesteron,

estrogen pada ibu hamil dan peningkatan prostaglandin dan oksitosin dapat

mengakibatkan terjadinya tanda-tanda persalinan.

Berdasarkan hasil pemaparan data sekunder sebelumnya dimana ibu

melakukan hubungan seksual terakhir 2 hari yang lalu sebelum melahirkan

dan melakukan hubungan seksual seminggu 3 kali, beraktivitas cukup berat

serta ibu mengatakan ayahnya perokok aktif sehinga ibu menjadi perokok

pasif karena terpapar asap rokok.

Berdasarkan asumsi penulis, berdasarkan faktor predisposisi terjadinya

KPD pada Ny. S adalah karena hubungan seksual terakhir 2 hari yang lalu

dimana seminggu melakukan hubungan seksual 3 kali, aktivitas sebelumnya

dimana ibu bekerja cukup berat bahkan bisa menghabiskan > 3 jam untuk

melakukan pekerjaan rumah tangga, serta ibu yang menjadi perokok pasif

berisiko mengalami ketuban pecah dini karena terpapar asap rokok dimana

lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida dan empat kali lebih

banyak mengandung tar dan nikotin, dimana zat tersebut merupakan zat kimia

yang tidak baik untuk janin. Ketiga hal tersebut dapat menimbulkan tingginya

risiko Ketuban Pecah Dini selama kehamilan.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

4.1.1 Antenatal Care

Kuantitas pemeriksaan kehamilan Ny. S belum sesuai dengan

standar yang berlaku yaitu 1 kali pada trimester pertama dan 1 kali pada

trimester dua dan 2 kali pada timester tiga. Sedangkan kualitas

pemeriksaan kehamilan Ny. S sudah sesuai dengan standar pelayanan

minimal 10T, namun bidan S kadang lupa mencatat tindakan dan hasil

tindakan yang dilakukannya seperti LILA, tinggi badan dan

penyuntikan imunisasi Tetanus Toksoid. Selain itu bidan tidak

melakukan pendokumentasian asuhan sebagaimana yang diharuskan

pada standar pelayanan kebidanan ke-2 tentang pencatatan dan

pelaporan sehingga medical record pasien tidak lengkap dan tidak ada

dokumen resmi tanggung jawab dan tanggung gugat asuhan bidan.

Keefektivitas imunisasi TT yang dilakukan Ny. S tidak sesuai

dengan jadwal yang ditetapkan, jarak penyuntikan TT1 ke TT2 lebih

dari 4 minggu yaitu 3 bulan/12 minggu. Sehingga tidak efektif dan tidak

ada perlindungan dari Tetanus Toksoid.

4.1.2 Intranatal Care

Terjadi kesenjangan pada penanganan KPD di BPM Bidan O

untuk menegakkan diagnosa bidan langsung melakukan pemeriksaan

dalam dan tes lakmus tanpa melakukan pemeriksaan inspekulo terlebih

dahulu.
Terdapat ketidaksesuaian dengan wewenang bidan dalam

pemberian obat. Bidan O melakukan pemasangan infus dan

memberikan antibiotik amoxicilin paa Ny. S agar dapat mencegah

terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Namun bidan O tidak melakukan

kolaborasi dengan Dokter SpOG.

4.1.3 Bayi Baru Lahir

Penanganan Asfiksia pada bayi baru lahir di BPM Bidan O sudah

sesuai dengan standar operasional prosedur, bidan melakukan langkah

awal resusitasi sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Kuantitas pelayanan bayi baru lahir belum sesuai dengan teori,

bidan tidak melakukan kujungan KN III. Sedangkan kualitas pelayanan

bayi baru lahir belum sesuai standar karena saat bayi baru lahir bidan

tidak melakukan Inisiasi Menyusui Dini, bidan juga tidak menekankan

mengenai riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD) berisiko tinggi pada

neonatus.

4.1.4 Postnatal Care

Kuantitas Pelayanan Postnatal Ny. S belum sesuai dengan teori,

bidan tidak melakukan kunjungan KF III. Sedangkan secara kualitas

belum sesuai dengan standar karena bidan tidak mengingatkan ibu

mengenai tanda-tanda bahaya nifas padahal pada kasus ibu dengan

riwayat KPD yang rentan terjadinya infeksi. Sehingga pelayanan yang

bidan berikan tidak sesuai dengan standar.


4.1.5 Predisposisi KPD

Faktor predisposisi Ketuban Pecah Dini pada Ny. S karena

riwayat hubungan seksual 3 kali seminggu dan terakhir 2 hari yang lallu

sebelum melahirkan, riwayat aktivitas sebelumnya, ibu yang menjadi

perokok pasif sehingga ibu mengalami Ketuban Pecah Dini.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Peneliti

Semoga penulis bisa mendapat pengalaman baru dalam

menerapkan pengetahuhan yang diperoleh selama menjalani

pendidikan serta dapat menganalisa kejadian serta penatalaksanaan

KPD.

4.2.2 Bagi Tempat Penelitian

Melalui penulisan ini hendaknya bidan melakukan upaya

preventif dengan memberikan penyuluhan ketika ibu hamil melakukan

kunjungan Antenatal Care mengenai tanda bahaya ketika hamil

khususnya faktor risiko pada ibu hamil terhadap Ketuban Pecah Dini,

dapat mengidentifikasi faktor predisposisi dari KPD sehingga

komplikasi bagi janin dan ibu dapat diminimalkan, dan menganjurkan

kepada ibu dan suami untuk tidak merokok di dekat ibu dan

menganjurkan ibu untuk tidak berktivitas berat.

Melalui penulisan ini hendaknya bidan dapat memberi asuhan

sesuai standar dan panduan yang sudah ditetapkan, serta selalu

mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan.


4.2.3 Bagi Institusi

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan institusi

pendidikan dalam sistem pendidikan terutama untuk materi perkuliahan

sebagai pengembangan ilmu dan memberikan gambaran dan informasi

bagi penulisan selanjutnya.


DAFTAR REFERENSI

Aminullah A. 2002. Asfiksia Neonatorum. Dalam; Ilmu Kebidanan Hal. 711.

Jakarta : YBP-SP.

Abdullah, dkk. 2012. Faktor determinan ketuban pecah dini di RSUD Syekh Yusuf

Kabupaten Gowa. AKBID Muhammadiyah Makassar.

Cunningham, F. 2006. Obstetri William. Jakarta : EGC.

Dadanarifin, 2016. Tutorial Layanan ANC 10T. http://ibijabar.org/tutoriallayanan

anc-10-t/. Diakses pada tanggal 18 Mei 2018

Dinkes Provinsi Jawa Barat. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat.

Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan.

Dinkes Kabupaten Karawang. 2015. Profil kesehatan kabupaten karawang tahun

2015.

Dithyana, Icha. 2013. Hubungan Ibu Hamil Perokok Pasif dengan Kejadian

Ketuban Pecah Dini Di RSUD Kab. Karanganyar. Surakarta : Fakultas

Kedokteran UNS

Indonesian Midwifery Journal. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Bersalin. UMY : Tangerang

Jayalaksana, Naomi. 2017. Angka Kematian Wanita Hamil di Indonesia Tertinggi

di ASEAN. Diakses pada tanggal 25 Mei 2018.

http://www.femina.co.id/health-diet/angka-kematian-wanita-hamil-

diindonesia tertinggi-di-asean.html

Kemenkes. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta : Kementerian

Kesehatan.

Manuaba, IBG. 2009. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri Ginekologi
Sosial untuk Bidan. Jakarta : EGC.

Manuaba, IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, penyakit kandungan dan KB untuk

Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta :

Media Asculapius FKUI

Muntoha, dkk. 2013. Hubungan Antara Riwayat Paparan Asap Rokok dengan

Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Hamil di RSUD Dr. H. Soewondo

Kendal. (Vol. 12 No. 1). Semarang : UNDIP.

Nugroho, Taufan. 2010. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan.

Yogyakarta : Nuha Medika.

Nugroho, Taufan. 2012. Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan


Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.

Prawirahardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka

Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatus dalam Neonatologi Praktis,

Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung

Pediatri, Sari. 2013. Risiko Asfiksia pada Ketuban Pecah Dini di RSUP Sanglah

(Vol. 14, No. 5). Denpasar

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang


Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Rahayu, B. Novita Sari, A. 2017 JNKI Studi Deskriptif Penyebab Kejadian Ketuban

Pecah Dini (KPD) pada Ibu Bersalin Vol. 5 No. 2, 134-138. Yogyakarta.

Saifuddin, Abdul Bahri. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, Abdul Bahri, dkk. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Saifuddin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP.

Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC

Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi ke-4. Jakarta : EGC

Wiknjosastro, Hanifa. 2006. Ilmu Kebidanan Edisi Tiga. Jakarta : YBP-SP.

Winkjosastro, Hanifa. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Wijaya, Purwita Laksmi 2009. Penyakit-Penyakit pada Kehamilan Peran Seorang

Internitas. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.


Lampiran 1 : Wawancara

LAMPIRAN WAWANCARA DENGAN NY. S

1. Berapa usia ibu saat ini ?


“umur saya 24 tahun”
2. Berapa usia kehamilan ibu ?
“kata bidan usia kehamilan saya pada saat itu 10 bulan lebih, tapi terakhir
saya USG ke doktrer taksiran tanggal 28 Maret 2018 dengan usia
kehamilan 35 minggu”
3. Kehamilan yang ke berapa ibu saat ini ?

“kehamilan yang pertama dan belumpernah keguguran”


4. Berapa kali ibu melakukan USG ?
“saya melakukan USG sebanyak 3 kali, 1 kali di Amanda Wadas dan 2 kai
di Amanda Karawang.”
5. Jika haid apakah ibu mengalami dismenorrhea ? Berapa kali ibu mengganti
pembalut ?
“kadang nyeri kadang tidak, hari pertama sampai hari ke dua 3 kali ganti
pembalut, hari ketiga sampai selesai 2 kali ganti pembalut”
6. Apakah ibu sudah melakukan imunisasi TT1 dan TT2 ? Dimanakah ibu
melakukan imunisasi ?
“sudah di imunisasi dua kali, di bidan”
7. Apakah ibu selalu meminum tablet tambah darah ?
“iya, selalu diminum setiap sebelum tidur”
8. Bagaimana pola makan ibu selama kehamilan ?
“selama hamil saya makan kadang-kadang 2-3 kali sehari dan tidak ada
pantangan makanan, dan saya sering ngemil makanan ringan ”
9. Makanan apa yang sering ibu makan ?
“nasi, ayam, sayuran dan buah-buahan”
10. Ibu sering makan buah ?
“ya, saya sering makan buah setiap hari”
11. Ibu sering makan mie instant ?
“jarang makan mie, bahkan bisa dibilang tidak pernah makan mie instant”
12. Apakah ibu suka meminum vitamin tambahan dari bidan ?
“ya, suka saya minum dan selalu habis”
13. Riwayat penyakit yang pernah diderita ?
“saya pernah sakit maag”
14. Riwayat penyakit keluarga yang menurun ?
“tidak ada”
15. Riwayat alergi obat dan makanan ?
“tidak ada alergi obat maupun makanan”
16. Apakah ibu mengonsumsi alcohol, obat obatan terlarang, dan merokok ?
“tidak pernah mengonsumsi itu”
17. Kalau suami ibu merokoknya suka di dalam rumah ?
“tidak, suami saya tidak merokok”
18. Apakah ada anggota keluarga lain yang merokok ?
“ada, ayah saya”
19. Suka di dekat ibu tidak kalau merokok ?
“suka kehirup asap rokoknya kalau di dalam dan di sekitar rumah”
20. Dalam sehari berapa kali bapak merokok ?
“bapak bisa abis 3-5 batang rokok teh sehari”
21. Riwayat kontrasepsi, apakah ibu pernah menggunakan alkon? Berapa lama
? Kapan mulainya ? Keluhan ? Rencana kb ?
“tidak pernah pakai kb apapun selama sebelum hamil, dan rencana ingin
menggunakan kb suntik 3 bulan”
22. Coba ibu ceritakan bagaimana kejadian ketika ibu keluar air-air ?
“waktu itu jam 3.30 saya merasa ada yang keluar dari jalan lahir saya, ada
air bening terus awalnya lengket sedikit lalu saya pikir saya ngompol. Udah
saya diemin aja, tapi beberapa menit kemudian keluar air-air lagi banyak
bukan kayak kencing tapi kayak air tumpah. Dan jam 05.00 atau subuh saya
ngerasa perut saya mulas tapi bukan mules mau BAB, seperti kontraksi kata
mamah saya. Dan jam 7an saya pergi ke BPM bidan O”
23. Ketika bayi lahir apakah bayi ibu di susukan ?
“disusukan, namun saya pakai susu formula karena ASI belum keluar ”
24. Apakah perawat memberi tahu ibu apa saja yang sudah dilakukan terhadap
bayi ?
“ya, perawat memberitahu yang sudah dilakukan pada bayi, katanya
disuntik vitamin K di kaki kiri, pakai salep mata”
25. Ketika ibu pulang apakah perawat menjelaskan cara perawatan luka ?
“engga dijelaskan, bidan hanya bilang nanti hari ketiga kunjungan ke
rumah”
26. Berapa kali bidan datang ke rumah ketika ibu nifas ?
“bidannya datang 1 kali, paling sering saya dikunjungin sama teh ririn.
Kalo saya datang ke bidan baru 1 kali buat ditindik si dede”
27. Pertama kali bidan kunjungan rumah, hal apa aja yang bidan lakukan ?
“di periksa tensi darahnya, terus d periksa perut saya dan di cek luka
jahitannya dan katanya masih basah tapi ga ada infeksi, dan di suntik di
bokong saya katanya itu vitamin. Dan bidan juga nyuntik si dede katanya
itu Hb0 buat nyegah si dede dari hepatitis dan di timbang si dede nambah
1 ons jadi 2900 gram”
28. Apakah bidan menjelaskan perubahan masa nifas ?
“engga, bidan mah cuma nyuruh ganti pembalut sesering mungkin, tentang
makanan dan tidur juga”
29. Bagaimana perasaan ibu menjalankan peran sebagai ibu ?
“bahagia banget teh bisa menjadi seorang ibu, pokoknya ga bisa
diungkapin pake kata-kata teh saking bahagianya”
30. Apakah bidan mengajarkan cara perawatan masa nifas?
“ga dijelasin teh, bidan cuma bilang sering ganti pembalutnya,
makanannya ga ada pantangan, sama tidur”
31. Apakah ibu di trimester kedua atau ketiga pada kehamilan disertai nyeri atau

tidak ?

“iya, pas usia kehamilan 7 bulan nyeri dibagian perut bawah”

32. Saat diperiksa USG apakah dokter memberitahu hasilnya seperti usia

kehamilan, letak janin, berat janin, letak plasenta dan jumlah air ketuban ?
“iya dikasih tau beratnya berapa kilo, letaknya udah bagus kepala, posisi

plasentanya di atas, air ketubannya bagus tidak ada masalah”

33. Apakah saat ibu periksa kehamilan ke Bidan, bidan melakukan pemecahan

ketuban atau tidak ?

“tidak dipecahin teh”

34. Apakah ibu pernah mengalami keluar darah dari jalan lahir pada trimester

pertama dan kedua ?

“kalau keluar darah mah engga teh tapi pernah keluar lendir darah pas 3

hari sebelum melahirkan”

35. Kapan terakhir ibu melakukan hubungan senggama dengan suami ?

“2 hari yang lalu ”

36. Apakah perut ibu sakit dan disertai demam dan peningkatan denyut nadi ?

“tidak pernah”

37. Apakah ibu mengalami nyeri tekan pada uterus ?

“kadang-kadang sakit saat usia kehamilan 7 bulan keatas”

38. Apakah ibu melakukan aktivitas yang berat ?

“tidak ngelakuin yang berat-berat paling ngepel sambil jongkok, nyapu,

nyuci”

39. Aktivitas ibu sehari-hari seperti mandi, gosok gigi dan ganti pakaian berapa

kali dalam sehari ?

“2 kali sehari”

40. Pakaian yang ibu gunakan untuk sehari-hari ?

“pakaian longgar”
41. Apakah ibu melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum melahirkan seperti

menyapu, mengepel dan mencuci ?

“iya teh lama kemaren mah sekitar 4 jam-an ada lah teh selesainya”
Lampiran 1 : Wawancara

LAMPIRAN WAWANCARA DENGAN BIDAN

1. Apakah pelayanan kehamilan yang ibu lakukan sudah sesuai dengan 10T?
“Sudah 10T neng, sesuai sama standar yang ditetapkan dari timbang berat
badan dan ukur tinggi badan, tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus
uteri, pemeriksaan DJJ, ukur LILA, pemberian imunisasi TT, pemberian
tablet zat besi, pemeriksaan laboratorium wajib dan atas indikasi, serta
konseling.”
2. Apa alasan ibu tidak diisinya dokumentasi asuhan antenatal di buku KIA
Ny. S, pada kolom pemeriksaan LILA, TB, imunisasi TT dan
nasihat/penkes yang disampaikan?
“Untuk LILA dan TB dan imunisasi TT dilakukan pengukuran dan
penyuntikan, kadang ibu lupa nulis di buku KIA pasiennya. Untuk
nasihat/penkes yang disampaikan tidak terdokumentasikan, namun
dilakukan secara lisan.”
3. Bagaimana standar pendokumentasian yang berlaku di BPM?
“Pendokumentasian seluruh asuhan (antenatal dan postnatal) di BPM
menggunakan standar buku KIA dan buku register BPM.”
4. Bagaimana standar pemberian imunisasi TT di BPM?
“Pemberian imunisasi TT pada klien dilakukan dengan skrinning terlebih
dahulu klien yang membutuhkan imunisasi TT. Pada Ny. S dilakukan
penyuntikan imunisasi TT 2 kali dan karena kehamilan pertama juga.”
5. Bagaimana standar pemeriksaan pemeriksaan masa nifas dan neonatus yang
berlaku di BPM?
“Pada pasien yang bersalin di BPM, bidan melakukan pemeriksaan pada
jam ke-6, 3/4 hari dan 7 hari postpartum dengan klien yang datang ke BPM.
Sedangkan pada klien yang tidak bersalin di BPM, bidan tidak melakukan
pemeriksaan nifas dan neonatus, karena bukan wewenangnya. Sedangkan
pada klien yang bersalin ke rumah sakit, biasanya mereka memeriksakan
nifas dan bayinya ke rumah sakit sekalian untuk kontrol ulang. Namun, ada
juga pasien yang tidak bersalin di BPM, tapi memeriksakan nifas dan bayi
nya di BPM.”
Lampiran Pendokumentasian Kunjungan Rumah

Anda mungkin juga menyukai