Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Timbal (Plumbum)

2.1.1 Sifat fisik timbal (Pb)

Timbal dalam kesehariannya dikenal dengan nama Plumbum (Pb). Timbal

adalah kelompok logam golongan IV-A dalam tabel periodik unsur kimia yang

memiliki nomor atom (NA) 82 dan bobot atau berat atomnya (BA) 207,2

berwarna kelabu kebiruan dan lunak dengan titik leleh 327ºC dan titik didih

1.620ºC. Timbal menguap pada suhu 550 - 660ºC dan membentuk timbal (II)

diudara. Melalui proses-proses geologi, timbal terkonsentrasi dalam deposit

seperti biji logam yang ditemukan dalam bentuk seperti galena (PbS), anglesit

(PbSO4) dan minim (Pb3O4) (Palar, 2005).

Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-sifatnya

yang dapat dimanfaatkan untuk manusia, seperti (Fardiaz, 1992):

a. Timbal mempunyai titik cair rendah (327,5 0C), sehingga dalam

pemanfaatan bentuk cairnya dibutuhkan teknik yang cukup sederhana

dan murah

b. Timbal tidak memiliki daya penghantar aliran listrik

c. Sebagai logam lunak, timbal dapat diubah menjadi berbagai bentuk

d. Sifat kimia timbal yang dapat digunakan sebagai lapisan pelindung jika

kontak dengan udara lembab

9
e. Kemampuannya untuk membentuk senyawa dengan logam lainnya dan

senyawa yang terbentuk memiliki sifat yang berbeda dengan timbal

yang murni

f. Densitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan logam lainnya kecuali

emas dan merkuri

g. Tahan pada peristiwa korosif.

2.1.2 Sumber dan penyebaran timbal

Timbal tersebar di semua substansi alam dan hampir semua manusia

mengalami kontak dengan logam berat yang tidak terlihat ini dengan banyak

cara, baik di tempat mereka tinggal atau di tempat mereka bekerja (Mehrpour

dkk. 2012). Distribusi timbal di lingkungan lebih luas dibandingkan dengan

logam-logam toksik lainnya. Biasanya kadar timbal dalam tanah berkisar antara

5 – 25 mg/kg, dalam air tanah 1 – 60 µg/l dan di udara kurang dari 1 µg/m 3,

tetapi dapat jauh lebih tinggi di tempat kerja tertentu dan di daerah yang lalu-

lintasnya padat (Frank, 2006).

Di antara berbagai logam berat, timbal masih menjadi polutan beracun

yang paling banyak tersebar di lingkungan. Akibatnya, manusia dapat terpapar

timbal melalui air, makanan, debu, minyak dan udara (D’souza dkk. 2011).

Beberapa contoh distribusi timbal di lingkungan yang merupakan hasil tindakan

manusia sendiri, seperti paparan dari gas buangan kendaraan bermotor yang

menggunakan bahan bakar bertimbal (Patoċka, 2008), paparan timbal dari

pemakaian cat, pekerja industri yang terkontaminasi timbal, pekerja pendaur

ulang limbah baterei, pemakaian timbal dalam pembuatan kabel, insektisida,

10
bahan peledak, pemakaian timbal dalam pembuatan keramik, penggunaan solder

timbal dalam industri pembuatan gelang dan pemanfaatan timbal dalam

kosmetik (Palar, 2005; Gidlow, 2004).

Penambahan timbal dalam bahan bakar menyebabkan semakin

meningkatnya kadar timbal di udara. Penambahan timbal pada bahan bakar

kendaraan bermotor dalam bentuk senyawa organik tetraalkylead, terdiri dari

tetramethyllead (TML) dengan rumus kimia {(CH)3}4-Pb, tetraethylead (TEL)

dengan rumus kimia (C2H5)4-Pb), dan campuran alkil Triethylmethylead,

diethylmehyllead dan ethyltrimethyllead. Tidak ada timah hitam yang ditambahkan

pada bahan bakar solar (diesel) dan minyak tanah. TEL dan TML secara bersama –

sama ditambahkan ke dalam bensin sebagai adiktif anti ketukan mesin dan

menaikkan angka oktan bensin. Setiap 0,1 gram timbal per liter bensin, mampu

menaikkan angka oktan 1,5 sampai 2 satuan TEL berbentuk cairan berat dengan

kerapatan 1,659 g/ml, titik didih 200ºC = 390ºF dan larut dalam bensin. Senyawa

oktana adalah senyawa hidrokarbon yang digunakan sebagai patokan untuk

menentukan kualitas bahan bakar (bensin) yang dikenal dengan istilah angka oktana.

Dalam pengertian ini bahan bakar (bensin) dibandingkan dengan campuran

isooktana atau 2,2,4,trimetil pentana dengan heptana. Pada penemuan pertama kali

pada tahun 1927, isooktana dianggap sebagai bahan bakar yang paling baik, karena

hanya pada kompressi tinggi saja isooktana memberikan bunyi ketukan pada mesin

mobil. Sebaliknya heptana dianggap sebagai bahan bakar yang paling buruk. Angka

oktana 100, artinya bahan bakar (bensin) tersebut setara dengan isooktana murni.

Angka oktana 80, artinya bensin tersebut merupakan campuran 80% isooktana dan

20% heptana. Hasil pembakaran dari bahan tambahan timbal pada bahan bakar

11
kendaraan bermotor menghasilkan emisi timbal anorganik. Logam berat timbal yang

bercampur dengan bahan bakar tersebut akan bercampur dengan oli dan melalui

proses di dalam mesin maka logam berat timbal akan keluar dari knalpot

pembuangan bersama dengan gas buang lainnya (Wardhana, 2004; Sudarmaji dkk.

2006).

Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pembatasan pemanfaatan

timbal dalam bahan bakar minyak yang tercantum dalam Keputusan Direktur

Jenderal Minyak dan Gas Bumi, No. 3674 K/24/DJM/2006, tentang Standard

dan Mutu (spesifikasi) Bahan Bakar Minyak jenis Bensin yang dipasarkan

didalam negeri. Kebijakan ini tidak sepenuhnya menghilangkan pemakaian

timbal dalam 3 jenis bensin yang beredar dalam negeri. Jenis bensin pertama

adalah jenis bensin 88 yang terbagi menjadi jenis 88 tanpa timbal dan bensin

jenis 88 bertimbal. Untuk jenis bensin 88 tanpa timbal, kadar maksimal timbal

dalam bensin adala 0,013g/l dan untuk jenis bensin 88 bertimbal, kadar

maksimasimal timbal dalam bensin adalah 0,3g/l. Jenis bensin yang kedua

adalah jenis bensin 92 (pertamax) untuk kendaraan yang diproduksi setelah

tahun 1990 yang menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection

(EFI) dan catalytic converters dengan kadar maksimal timbal dalam bensin

adalah 0,013g/l. Jenis bensin yang ketiga adalah jenis bensin 95 (pertamax plus)

untuk kendaraan dengan kompresi tinggi dengan ratio diatas 10,5 yang

menggunakan menggunakan teknologi electronic fuel injection (EFI), variable

valve timing (VVT-I pada Toyota, VVT pada Suzuki, VTEC pada Honda dan

VANOS/Valvetronic pada BMW), turbochargers serta catalic converters

12
dengan batas maksimal kadar timbal dalam bensin adalah 0,013g/l (Mahdiansah,

2010; Takhyan, 2006).

2.1.3 Kemampuan timbal untuk membentuk persenyawaan dan

kegunaannya

Timbal mempunyai kemampuan membentuk persenyawaan dengan zat

lainnya, antara lain (Palar, 2005):

a. Persenyawaan dengan atom N (nitrogen)

Persenyawaan ini membentuk senyawa azida.Senyawa ini

merupakan suatu jenis senyawa yang mempunyai kemampuan ledakan

dengan pancaran energi yang besar.Ini yang mendasari senyawa ini

digunakan sebagai detonator (bahan peledak).

b. Persenyawaan dengan Cr (cromium), Mo (molibdenum) dan Cl (chlor)

Hasil persenyawaan ini banyak digunakan sebagai pigmen chrom.

Senyawa PbCrO4 digunakan dalam industri cat untuk mendapatkan

warna kuning-chrom, 2PbCO3 untuk mendapatkan warna “timah putih”,

sedangkan senyawa yang dibentuk dari Pb3O4 untuk mendapatkan

warna “timah merah”.

c. Persenyawaan dengan asetat dan arsenat

Persenyawaan timbal dengan asetat menghasillkan silikat timbal

atau Pb-silikat (CH3-COO-Pb-OOCH3), yang banyak digunakan

sebagai bahan pengkilap keramik dan bahan tahan api. Adapun

persenyawaannya dengan arsenat (Ar) dapat digunakan dalam bidang

pertanian oleh para petani sebagai insektisida.

13
d. Persenyawaan dengan Te (telurium)

Kombinasi timbal dengan Te digunakan sebagai komponen aktif

pada pembangkit listrik tenaga panas.

e. Persenyawaan membentuk Tetrametil-Pb dan Tetraetil-Pb

Dalam perkembangan industri kimia, dikenal pula additive yang

dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor yaitu

(CH3)4-Pb atau tetrametil-Pb dan (C2H5)4-Pb atau tetraetil-Pb.

2.1.4 Timbal dalam bahan bakar minyak dan udara

Kita ketahui bahwa kegunaan timbal dalam bahan bakar kendaraan

adalah sebagai anti knocking dan meningkatkan oktan dalam bahan bakar

tersebut. Bahan anti letupan yang aktif terdiri dari tertraetil-Pb atau Pb(C2H5)4,

tetrametil-Pb atau Pb(CH3)4, atau kombinasi dari kedua. Scavenger

ditambahkan supaya dapat bereaksi dengan komponen Pb yang tertinggal di

dalam mesin sebagai akibat pembakaran bahan anti letup tersebut. Bahan aditif

yang ditambahkan ke dalam bensin terdiri dari 62% tetraetil-Pb, 18% etilen

dibromida, 18% etilen dikhloride, dan 2% bahan-bahan lainnya. Dari senyawa

timbal yang ditambahkan ke bensin, kurang lebih 70% diemisikan melalui

knalpot dalam bentuk garam inorganik, 1% diemisikan masih dalam bentuk

tetraalkyl lead dan sisanya terperangkap dalam sistem exhaust dan mesin oli

(Mukono, 1997). Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat diketahui

kandungan bermacam - macam senyawa Pb yang ada dalam asap kendaraan

bermotor seperti Tabel berikut.

14
Senyawa Pb/Waktu/% 0 jam (%) 18 Jam (%)

PbBrCl 32,0 12,0

PbBrCl.2PbO 31,4 1,6

PbCl2 10,7 8,3

Pb(OH)Cl 7,7 7,2

PbBr2 5,5 0,5

PbCl2 .2PbO 5,2 5,6

Pb(OH)Br 2,2 0,1

PbOx 2,2 21,2

PbCO3 1,2 13,8

PbBr3.2PbO 1,1 0,1

PbCO3 .2PbO 1,0 29,6

TOTAL 100 100

Tabel 2.1 Kandungan Senyawa Pb Dalam Gas Buang Kendaraan Bermotor (Palar, 2005)

Kandungan PbBrCl dan PbBrCl.2PbO merupakan senyawa Pb utama

yang telah dihasilkan pada saat permulaan mesin kendaraan dihidupkan ( 0

jam). Selanjutnya jumlah senyawa ini berkurang setelah mesin dihidupkan lebih

lama, sedangkan kandungan gas lain seperti PbOx dan PbCO3 .2PbO

mengalami peningkatan yang sangat tinggi dan menggantikan posisi kedua gas

pertama setelah pembakaran berjalan sampai 18 jam.

Kualitas udara di jalan raya dengan lalu lintas yang sangat padat

mengandung timbal yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara di jalan raya

dengan kepadatan lalu lintas yang rendah. Konsentrasi timbal di udara

bervariasi dari 2-4 μg/m³ di kota besar dengan lalu lintas yang padat sampai

kurang dari 0,2 μg/m³ di daerah pinggiran kota. Konsentrasi tertinggi terjadi di

15
sepanjang jalan raya bebas hambatan selama jam-jam sibuk di mana

konsentrasinya bisa mencapai 14-25 ug/m³.

2.1.5 Metabolisme Timbal dalam Tubuh

Metabolisme timbal dalam darah melalui mekanisme absorbsi (saluran

pernapasan, ganstrointestinal, kulit), distribusi penyimpanan dan ekskresi.

Usus

Gambar 2.1. Metabolisme timbal dalam tubuh manusia (Palar, 2005)

2.1.5.1 Absorbsi

Timbal merupakan salah satu xenobiotik yaitu bahan asing bagi

tubuh organisme. Sebagai xenobiotik, ada beberapa absorbsi timbal ke

dalam tubuh, yaitu:

a. Saluran pernafasan

Hanya partikel timbal yang berukuran kecil dapat masuk

melalui saluran pernafasan menuju paru-paru. Prosentase Pb

udara yang terhirup akan mencapai darah diperkirakan sekitar

16
30% sampai 40% (rata-rata 37%) tergantung pada (Baselt,

1988):

a. ukuran partikel

b. daya larut

c. volume pernafasan

d. variasi psikologis individu dan

e. kondisi psikologis yang mempengaruhi penyerapan

paru-paru

b. Saluran gastro intestinal

Sebagai salah satu zat xenobiotik, timbal dapat masuk

secara oral dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Namun

timbal yang masuk melalui saluran pencernaan tidak akan

mudah mencapai peredaran darah, karena terjadi beberapa

proses dalam saluran pencernaan, seperti penyisihan toksin dan

seleksi absorpsi dalam usus, sehingga absorpsi timbal tidak

otomatis maksimal (Soemirat, 2005).

c. Kulit

Saat ini sudah terbukti bahwa timbal dapat masuk melalui

kulit. Jenis timbal organik adalah yang mudah diserap dengan

baik oleh kulit (Patoċka, 2008). Sebutan timbal organik adalah

untuk jenis timbal yang mudah masuk ke dalam tubuh melalui

kulit dan saluran pernafasan, karena timbal ini berbentuk

17
gas.Contoh timbal organik seperti tetraethyl dan tetramethyl

(WHO, 2006).

2.1.5.2 Distribusi dan penyimpanan

Timbal yang diabsorsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh

sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb

plasma dalam bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam

keseimbangan dengan pool Pb tubuh lainnya. Yang dibagi menjadi

dua yaitu ke jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf, ginjal, hati)

dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, gigi. Gigi dan tulang

panjang mengandung Pb yang lebih banyak dibandingkan tulang

lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen berwarna abu

abu pada perbatasan antara gigi dan gusi (Goldstein dan Kipen, 1994)

2.1.5.3. Ekskresi

Ekskresi timbal melalui beberapa cara, yang terpenting

adalah melalui ginjal dan saluran cerna. Ekskresi timbal melalui urine

sebanyak 75 - 80%, melalui feces 15% dan lainnya melalui empedu,

keringat, rambut, dan kuku. Pada umumnya ekskresi timbal berjalan

sangat lambat. Timah hitam waktu paruh di dalam darah kurang lebih

25 hari, pada jaringan lunak 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun.

Ekskresi yang lambat ini menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam

tubuh (Nordberg, 1998)

18
2.1.6 Dampak timbal pada tubuh manusia

Manifestasi keracunan kronis timbal yang paling sering adalah

kelemahan, anoreksia, kegugupan, tremor, turunnya berat badan, sakit kepala,

dan gejala-gejala saluran pencernaan (Correlia dan Becker, 1998).

Beberapa efek timbal pada sistem tubuh:

a. Sistem saraf

Timbal mempengaruhi sistem perifer dan sistem saraf pusat.

Efek timbal pada sistem saraf menyebabkan disfungsi sistem saraf,

gangguan motorik dan perubahan perilaku. Efek ini menyebabkan

menurunnya kecepatan konduksi saraf. Sudah banyak diperdebatkan

mengenai potensi paparan tingkat rendah pada anak-anak. Pada kadar

timbal darah lebih dari 20 µg/100 ml akan menyebabkan menurunnya

laju perkembangan saraf pada anak-anak, dan ini merupakan efek

yang tidak dapat dipisahkan. Sementara itu, pada pria dewasa yang

terpapar timbal selama 1 – 2 tahun dengan kadar timbal darahnya lebih

dari 40 µg/100 ml, terjadi perlambatan reaksi saraf motorik dan

gangguan fungsi kognitif (Gidlow, 2004).

b. Sistem hematopoetik (darah)

Timbal yang masuk sampai dalam aliran darah akan bertahan

dalam darah dengan waktu paruh 25 hari (Goldstein dan Kipen, 1994).

Di dalam darah timbal secara langsung mempengaruhi sistem

peredaran darah karena mempengaruhi sintesis hemoglobin dengan

menghambat berbagai enzim utama yang terlibat dalam proses sintesis

19
heme. Timbal juga mengurangi waktu hidup eritosit dengan

meningkatkan kerapuhan pada membran sel darah. Pada akhirnya

kedua pengaruh ini menyebabkan anemia.

Selain menyebabkan anemia, timbal yang masuk dalam aliran

darah juga dapat menyebabkan hipertensi. Ini dikarenakan, timbal

dapat menyebabkan meningkatnya produksi reactive oxygen species

(ROS). Paparan timbal kronis juga menyebabkan meningkatnya

oxidative stress, yang menyebabkan inflammasi dan mengganggu

kerja nitric oxide (NO), yang akhirnya memicu proses-proses yang

menyebabkan meningkatnya tekanan darah dan penyakit

kardiovaskuler (Flora dkk. 2012).

c. Ginjal (genito-urinaria) dan organ reproduksi

Kerusakan pada ginjal umumnya terjadi pada tingkat kadar

timbal darah> 60 µg/dl, namun ada juga dilaporkan kerusakan ginjal

pada paparan tingkat rendah yaitu 10 µg/dl. Kerusakan pada ginjal ini

tidak menyebabkan ekskresi protein berlebihan melalui urin, namun

terjadi ekskresi yang tidak normal pada glukosa, phosphat dan asam

amino. Kerusakan seperti ini sering disebut Fanconi’s syndrome.

Timbal menyebabkan pengaruh yang buruk pada sistem

reproduksi laki-laki dan perempuan. Dampak yang sering terjadi pada

laki-laki adalah menurunnya libido, pembentukan sperma yang tidak

normal, kerusakan kromosom, gangguan fungsi prostat dan perubahan

serum testosteron. Adapun dampak yang sering terjadi pada

20
perempuan adalah keguguran, prematur, pre-eklampsia dan hipertensi

pada saat kehamilan (Flora dkk. 2012).

2.1.7 Monitoring dan tingkat timbal normal dalam tubuh manusia

Selain mendiagnosa keracunan timbal dengan melihat gejala umum,

perlu dilakukan juga pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosa

pasti. Beberapa tes laboratorium seperti tes darah terhadap kadar timbal dan

protoporfirin serta tes urin terhadap kadar timbal dan koproporfirin dapat

menunjukkan indikasi adanya keracunan timbal. Dengan adanya dignosa

pasti, maka dapat ditentukan pengobatan yang tepat dengan segera (Darmono,

2010).

Palar (2005) menyatakan, ada 3 cara paling umum yang dapat dilakukan

untuk mengukur kadar timbal dalam tubuh yaitu pengujian kadar

koproporphirin dalam urin, pegujian kadar Aminolevulinic Acid (ALA) dalam

urin, pengujian kadar ALA dalam darah dan pengujian Aminolevulinic Acid

Dehydratase (ALAD) dalam darah. Pengukuran terhadap penghambatan

aktivitas enzim ALAD dan peningkatan konsentrasi protoporphirin sel darah

merupakan parameter yang paling baik untuk mengetahui kandungan timbal

dalam darah. Untuk pengukuran penurunan aktivitas enzim ALAD,

merupakan pengukuran yang paling sensitif.

Menurut The Departement of Labor and Industries The State of

Washington (2000) menyatakan bahwa apabila pekerja telah mempunyai

kadar timbal dalam darahnya mencapai 25 µ g/dl darah maka pekerja harus

dihindarkan dari keterpaparan timbal. Walaupun dinyatakan sebelumnya

21
bahwa kadar timbal dalam darah kurang dari 40 µ g/dl tidak berbahaya,

namun sekarang sudah banyak penelitian yang menunjukkan gejala

keracunan timbal telah terlihat pada kadar timbal dibawah 25 µ g/dl. Apabila

kadar timbal dalam darah sudah mencapai 60 µ g/dl atau lebih atau apabila 3

kali pemeriksaan kadar timbal darahnya melebihi 50 µ g/dl maka pekerja

harus dipindahkan secepatnya dan dilakukan pemeriksaan kesehatan yang

menyeluruh. Apabila ditemukan pekerja yang mempunyai kadar timbal dalam

darahnya 25- 40 µ g/dl maka harus dilakukan pemeriksaan setiap 6 bulan, jika

ditemukan pekerja dengan kadar timbal 40 µ g/dl maka harus dilakukan

pemeriksaan setiap 2 bulan, dan apabila dijumpai pekerja dengan kadar timbal

60 µ g/dl maka harus dilakukan pemeriksaan setiap satu bulan.

Kategori µg / dl darah

Normal < 10

Tingkat perbatasan 10-14

Tingkat sedang 15-19

Tingkat tinggi 20-69

Tingkat sangat tinggi >70

Tabel 2.2 Kategori Pb darah orang dewasa menurut ATSDR (Agency for Toxic Substance and

Disease Registry) dalam Kawatu, 2008:

22
2.2 Neuropati Perifer

2.2.1 Definisi

Neuropati adalah proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer,

berupa proses demyelinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya.

Susunan saraf perifer mencakup saraf otak, saraf spinal dengan akar saraf serta

cabang-cabangnya, saraf tepi dan bagian-bagian tepi dari susunan saraf otonom

(Misbach dkk. 2006).

2.2.2 Patofisiologi Neuropati

Patologi neuropati saraf tepi mengikuti tiga pola dasar : Degenerasi Wallerian,

aksonopati distal, dan demyelinasi segmental.

Gambar 2.2 Proses patologis dasar pada saraf tepi. Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi
dari aksis silinder dan myelin pada daerah distal dari gangguan axonal (panah). Dan sentral
kromatolisis. Pada segmental demyelinasi, akson masih utuh. Pada degenerasi aksonal terjadi
degenerasi distal dari myelin dan aksis silinder sehingga menjadi penyakit neuronal. (Ropper dan
Brown, 2005)

23
a. Degenerasi Wallerian

Badan sel neuronal memelihara akson melalui aliran aksoplasma. Bila

akson terputus, maka bagian distalnya, termasuk selubung myelin, mengalami

beberapa perubahan yang menyebabkan disintegrasi struktur serta degradasi

kimia yang lengkap. Perubahan juga terjadi pada badan neuronal. Retikulum

endoplasmik kasar mengalami disagregasi dan badan sel membulat. Sitoplasma

mejadi lebih bening dan inti bergeser keperifer sel. Proses ini disebut

khromatolisis sentral dan menunjukkan aktifasi sintesis protein dalam usaha

meregenerasi akson. Protein sitoskeletal dan material lain menuju akson.

Puntung proksimal memenjang 1-3 mm per hari. Sel Schwann didistal daerah

yang putus berproliferasi dan membentuk myelin baru. Derajat regenerasi dan

pemulihan tergantung berapa baik ujung-ujung yang putus bertemu dan pada

luasnya cedera jaringan lunak serta jaringan parut sekitar area yang putus. Bila

rekonstruksi tidak baik, proliferasi kolagen tidak terkontrol, prosesus sel

Scwann dan pertumbuhan aksonal mengisi celah, membentuk neuroma

traumatika. Degenerasi Wallerian semula dijelaskan pada aksotomi

eksperimental. Neuropati yang khas disertai degenerasi Wallerian adalah yang

disebabkan trauma, infark saraf tepi (mononeuropati diabetik, vaskulitis) dan

infiltrasi neoplastik (Ropper dan Brown, 2005).

b. Aksonopati Distal.

Degenerasi akson dan myelin dimulai pertama pada bagian distal akson

dan bila abnormalitas menetap, akson mengalami ‘dies back’. Ini menyebabkan

kehilangan sensori (stocking-glove) dan kelemahan yang khas didistal.

24
Neurofilamen dan organel terkumpul di akson yang berdegenerasi (mungkin

karena terhentinya aliran aksoplasma). Terkadang akson menjadi atrofi dan

hancur. Aksonopati distal yang berat menyerupai degenerasi Wallerian. Pada

tingkat lanjut, terjadi hilangnya akson yang bermyelin. Beberapa neuropati

klinis disebabkan obat-obatan dan racun industri seperti pestisida, akrilamid,

fosfat organik, serta larutan industri, khas dengan aksonopati distal .

Gambar 2.3. proses neuropati aksonal dengan demielinasi sekunder dan subsequent remielinisasi.
(A) Normal. (B) degenerasi aksonal tahap awal dengan demeilinisasi subsequent dan bentukan
mielin masih oval. (C) proses macrophage menghilangkan debris mielin (D) regenerasi aksonal
tahap awal dan remielinisasi (E) regenerasi aksonal dengan pemendekan panjang internode
(Bromberg dan Gordon, 2005)

Aksonopati distal diperkirakan disebabkan patologi badan neuronal

berakibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan metabolik akson. Ini

menjelaskan mengapa kelaian dimulai dari bagian yang paling distal dari saraf,

dan akson besar yang memiliki kebutuhan metabolik dan nutrisi lebih tinggi

lebih parah terkena. Namun ini belum terlalu jelas. Sulit membayangkan badan

neuronal yang relatif sangat kecil dapat memelihara kebutuhan metabolik akson

dengan massa yang besar. Selain itu badan sel tergantung pada akson distal serta

25
sinapsnya untuk interaks trofik yang menjaganya tetap hidup dan berfungsi

(Bromberg dan Gordon, 2005).

c. Demielinasi Segmental

Semula dijelaskan pada percobaan keracunan timbal, khas dengan

hancur serta hilangnya mielin pada beberapa segmen. Akson tetap intak dan

tidak ada perubahan pada badan sel. Hilangnya konduksi saltatori akibat

demyelinasi segmental mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta

terjadinya hambatan konduksi. Kelainan terjadi cepat namun reversibel karena

sel Schwann membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus, demyelinasi

menyebabkan hilangnya akson dan defisit permanen. Sarafnya sendiri, pada

demyelinasi segmental, memperlihatkan akson yang tidak bermielin, regenerasi

myelin yang tipis, ‘onion bulbs’, dan pada kasus berat, hilangnya akson.

Kondisi myelin dapat dinilai dengan preparat berkas serabut pada saraf tepi dan

dengan mikroskop elektron. Neuropati khas dengan demielinasi segmental

termasuk neuropati inflamatori akut dan kronik, neuropati difteritik,

leukodistrofi metakhromatik, dan kelainan Charcot-Marie.

26
Gambar 2.4. Gambaran skematik dari demielinasi neuropati. (A) Normal. (B) Perubahan awal
mielin dengan duplikasi sel schwan (C) Bentukan myelin dan pemusnahan oleh makrophag (D)
remielinasi. (E) Remielinasi dengan pemendekan internode (Bromberg dan Gordon, 2005).

Formasi ‘Onion Bulb” adalah lapisan konsentrik prosesus sel Schwann

dan kolagen sekitar akson. Proliferasi ini disebabkan dimyelinasi segmental

berulang serta regenerasi myelin dan dapat menyebabkan penebalan hebat saraf

tepi (neuropati hipertrofik).

Patologi neuropati saraf tepi berdampak pada kord spinal. Neuropati

aksonal akut menyebabkan khromatolisis sentral. Neuropati aksonal dan

aksonopati distal mengenai neuron bipoler ganglia akar dorsal menyebabkan

degenerasi akson sentral neuron tersebut pada traktus grasilis dan kuneatus dari

kord spinal. Lesi ini berhubungan dengan hilangnya sensasi posisi dan vibrasi

serta ataksia sensori (Bromberg dan Gordon, 2005).

Neuropati dapat diklasifikasikan berdasar perubahan patologis aksonal

(degenerasi Wallerian dan aksonopati distal), demyelinatif, atau campuran.

27
2.2.3. Pengaruh Timbal Terhadap Neuropati Perifer

Toksisitas Pb dalam pembentukan radikal bebas terdiri dari 2 cara

berbeda yang berhubungan, yakni pembentukan ROS termasuk hidroperoksida,

oksigen tunggal dan hidrogen peroksida serta penekanan langsung cadangan

antioksidan (Ercal dkk. 2001). Mekanisme Pb menginduksi stress oksidatif

tidak secara sempurna diketahui. Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa

stress oksidasi disebabkan oleh ketidak seimbangan antara pembentukan radikal

bebas dengan peranan anti oksidan yang memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Toksisitas Pb diawali dengan proses masuknya timbal didalam tubuh.

Gambar 2.5. Mekanisme stress oksidatif pada sel terpaparan timbal (Floral dkk.2012)

Gangguan sintesis heme merupakan proses yang paling awal terjadi

menghambat sintesis aminolevulinic acid dehydratase (ALAD) di sitoplasma

dan ferrochelatase (heme synthetase dan protohemeferrolyase) di mitokondria.

Penghambatan terhadap delta aminolevulinic acid dehidrogenase (DALAD),

28
enzym utama dalam biosintesis heme, menyebabkan peningkatan kadar substrat

ALA (aminolevulinic acid) baik dalam darah ataupun urin individu yang

terkena. Peningkatan kadar ALA menyebabkan pembentukan hidrogen

peroksida, radikal superoksida dan juga interaksi keduanya menghasilkan

radikal hidroksil, suatu radikal bebas yang paling reaktif (Gurer-Orhan dkk.

2004). ALA mengalami enolisasi dan autooksidasi pada pH 7-8. Enol ALA

(ALA terenolisasi) menjadi donor elektron ke oksigen molekuler bersama

dengan transfer elektron dari oksihemoglobin ke oksigen. H2O2 dan O2- yang

terbentuk berinteraksi membentuk radikal HO yang sangat reaktif. Disamping

oksihemoglobin, methemoglobin dan logam besi atau kompleks besi juga

memicu oksidasi ALA.

Beberapa penelitian melaporkan terjadinya perubahan pada enzim-

enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation

peroksidase (GPx) dan juga molekul antioksidan seperti glutation (GSH) pada

pemaparan Pb. Pb pada dosis rendah, meningkatkan kadar enzim-enzim anti-

oksidan dalam darah seperti SOD, katalase dan GPx tetapi pemaparan pada

dosis lebih tinggi (lebih dari 40 μg/dL darah) dan jangka waktu lama justru akan

menekan enzim-enzim tersebut (Kasperczyk dkk. 2004). Pb dan logam lain

seperti Hg dan Cd mempunyai affinitas tinggi terhadap gugus sulfhidril (SH).

Pb menghambat beberapa enzim dengan gugus fungsional SH seperti delta

aminolevulinic acid dehidrogenase (DALAD) dan glucose 6-phosphat

dehidrogenase (G6PD). G6PD adalah enzim yang bertanggung jawab untuk

menyediakan NADPH di luar mitokondria. Molekul pereduksi NADPH ini

29
penting dalam menjaga tersedianya GSH yang dibentuk kembali dari glutation

teroksidasi (GSSG) oleh enzim glutation reduktase (GR) (Devlin, 2002). GSH

mempunyai gugus SH yang berpotensi reduktif, menjadikan molekul ini

pelindung sel dari stres oksidatif. Peran GSH sebagai molekul anti-oksidan

dapat secara non-enzimatik atau enzimatik sebagai ko-faktor/ko-enzim dalam

detoksifikasi ROS. Pb yang berikatan dengan gugus SH dari GSH,

menyebabkan kadar GSH menurun dan mempengaruhi aktivitas

antioksidannya. Enzim GR menyokong sistem pertahanan antioksidan secara

tak langsung. Enzim ini memiliki disulfida pada tempat katalitiknya, yang

merupakan target Pb. Dengan demikian Pb yang terikat pada enzim ini

menghambat aktivitasnya. GPx, katalase dan SOD adalah metaloprotein yang

mendetoksifikasi secara enzimatik berbagai peroksida, H2O2 dan O2- . Secara

biokimia terkait biosintesis heme secara tidak langsung dipengaruhi beberapa

faktor. Pada porphyria akut fungsi lever gagal mensintesa faktor essential nutrisi

untuk jaringan saraf karena penggunaan berlebih dari kofaktor pyridoxal

posphat oleh δ-aminolevulinic acid synthase (ALAS) berefek mengurangi

suplai energi pada akson dengan cara menghambat enzim serabut saraf yang

diperlukan untuk menghasilkan energi tersebut. Dengan berkurangnya energi

akan mempengaruhi Nodus Ranvier dalam menyalurkan impuls konduksi dan

akhirnya akan menyebabkan kerusakan akson (Ramirez dan Gomez, 2012).

Mekanisme ionik yang terjadi pada toksisitas timbal karena kemampuan

Timbal mengganti kation bivalen lainnya seperti Ca2+, Mg2+, Fe2+ dan

monovalen Na+ yang mempengaruhi berbagai proses biologi dasar tubuh

30
(Lidsky dan Scheider, 2003) . Dengan terakumulasinya dalam sel dengan

mengganti ion kalsium sehingga menjadi kompeten untuk dapat melewati

sawar darah. Timbal tersebut akan terakumulasi dan merusak sel astroglial

yang belum matang dan menghalangi pembentukan selubung myelin. Selain

itu juga mempengaruhi konsentrasi ion natrium, yang bertanggung jawab

untuk menghasilkan potensial aksiuntuk komunikasi antar sel. Sehingga

menyebabkan kerusakan sel saraf dan menyebabkan neuropati (Bressler dkk.

1999).

2.2.4. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Penunjang Neuropati

Gejala neuropati dapat dikelompokkan menjadi gejala positif atau

negatif. Gejala positif mencerminkan aktivitas spontan serabut saraf yang tidak

adekuat, sedangkan gejala negatif menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas

serabut saraf. Gejala negatif meliputi kelemahan, fatigue, dan wasting,

sementara gejala positif mencakup kram, kedutan otot, dan myokimia.

Kelemahan biasanya belum bermanifestasi sampat 50-80% serabut saraf

mengalami kerusakan; gejala positif mungkin muncul pada awal proses

penyakit. Gejala negatif seperti hipestesia dan abnormalitas melangkah. Gejala

lain yang juga sering adalah kesulitan membedakan rasa panas atau dingin dan

keseimbangan yang semakin memburuk terutama saat gelap dimana input

visual tidak cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif. Gejala positif

mencakup rasa terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan. Gejala yang

mungkin melibatkan sistem saraf otonom mencakup rasa haus, kembung,

konstipasi, diarem impotensi, inkontinensia urin, abnormalitas keringat, dan

31
rasa melayang yang berkaitan dengan orthostasis. Pasien dengan gangguan

vasomotor mungkin melaporkan keempat anggota gerak terasa dingin sejalan

dengan perubahan warna kulit dan trofi otot (Alport dan Sander, 2012; Burn

dan Mauermann, 2011)

American Academy of Neurology (AAN) mengajukan parameter praktis

pemeriksaan laboratorium dan genetik pada polineuropati distal simetrik.

Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit

untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar

vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan immunofixation

electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya mencakup

Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B. Pada

neuropati demyelinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan

pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu

dilakukan pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain

Barre, uji anti GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis.

Pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis dan connective tissue disorder

(Sjogren syndrome, SLE, rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive

protein, antinuclear antibody, double-stranded DNA, reumatoid factor,

proteinase 3, myeloperoxidase, complement, angiotensin converting enzyme,

panel hepatitis B dan C, serta cryoglobulin perlu dilakukan (Bril dkk. 2011)

Dalam menegakkan diagnosis neuropati perifer digunakan test baku

standar adalah elektroneuromiografi atau pemeriksaan nerve conduction study

(NCS). Pemeriksaan compound muscle action potential (CMAP) dilakukan

32
pada nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus tibialis, nervus

peroneus. Pemeriksaan sensory nerve action potential (SNAP) pada nervus

medianus, nervus ulnaris, nervus radialis dan nervus suralis. Nilai normal dari

pemeriksaan NCS untuk pemeriksaan motorik dan sensorik nervus medianus,

nervus ulnaris, nervus radialis, nervus tibialis, nervus peroneus, dan nervus

suralis (Preston, 2013). Untuk melaksanakan screening neuropati salah satunya

menggunakan Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS). Tools ini telah

divalidasi untuk mengukur tingkat neuropati perifer dengan waktu singkat kira

– kira 10 menit. Dalam sebuah studi dalam mengevaluasi keakuratan alat

screening neuropati dalam mendeteksi neuropati perifer yang dilakukan oleh

Cherry dkk. (2009) menunjukkan bahwa BPNS hampir sama ekfektif dengan

mengukuran obyektif untuk menilai adanya neuropati perifer pada pasien HIV.

Simpson dkk menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan Total Neuropathy

Score (pengukuran secara obyektif neurpoati perifer), BPNS memiliki

spesifisitas 89,5% dengan 90%. Dan sensitifitas 34,9% dengan 49% untuk

mendeteksi neuropati perifer distal pada HIV, dengan positif predictive value

72%. Menurut Widjaja dkk. (2014) melakukan uji reabilitas Brief Peripheral

Neuropathy Screen (BPNS). Sebanyak 31 pasien HIV, terdiri dari 65% laki-laki

dan 35% perempuan dengan rerata usia 33,03+7,186 tahun. Koefisien Kappa

sebesar 0,87 untuk komponen keluhan subjektif dan 0,735 untuk komponen

pemeriksaan fisik. Jika dibandingkan dengan LANSS, BPNS memiliki

sensitifitas 85,7% dan spesifisitas 94,1%.

33
Diagnosis neuropati perifer dapat ditegakkan ketika mengalami

keluhan 1 atau lebih dari gejala spesifik pada BPNS, yang meliputi : nyeri,

kesemutan, rasa tebal dan satu dari gejala berikut reflek ankle menurun, rasa

sensasi getar yang menurun pada ibu jari kaki. Keterbatasan dari pemeriksaan

sensoris ini adalah gangguan sensoris dibagian distal yang bersifat progresif.

Hilangnya sensasi vibrasi pertama kali diikuti dengan gangguan pengenalan

suhu dan terakhir gangguan nyeri. Temuan biasanya bersifat bilateral dan

simetris. Jika ditemukan asimetris perlu dipikirkan adanya diagnosis lain.

Penilaian yang lebih obyektif terhadap neuropati perifer seperti pemeriksaan

elektrofisiologi mungkin berguna pada situasi seperti ini untuk menjelaskan

ketidaksesuaian tersebut.

34

Anda mungkin juga menyukai