Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUGAS AKHIR

PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI


DENGAN LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH
BERSALIN SEJATI KABUPATEN PURWAKARTA

Laporan Tugas Akhir ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Ujian Akhir Program Pada Program Studi Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

DISUSUN OLEH :
RATNADEWI
NIM. P17324414023

KEMENKES REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG


PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
2017

ii
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

PERNYATAAN ORISINALITAS

LTA ini adalah hasil karya saya sendiri,

Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Ratna Dewi

NIM : P17324414023

Tanda Tangan :

Tanggal :

iii
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Laporan Tugas Akhir dengan judul

PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN


LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH BERSALIN SEJATI DI
KABUPATEN PURWAKARTA

Disusun oleh :
RATNA DEWI
NIM. P17324414023

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada sidang akhir


Pembimbing

Retno Dumilah, M.Keb


NIP. 197912202008012014

Mengetahui
Ketua Program Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

Dr.Jundra Darwanty, SST.,M.Pd


NIP. 196906051991012001

iv
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

LEMBAR PENGESAHAN LTA

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Laporan Tugas Akhir dengan judul
PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN
LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH BERSALIN SEJATI DI
KABUPATEN PURWAKARTA
Disusun oleh :
RATNA DEWI
NIM. P17324414023

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji


Karawang, Juli 2017
Susunan Dewan Penguji
KetuaPenguji AnggotaPenguji I AnggotaPenguji II

A.AchmadFariji, M.Epid RetnoDumilah, M.Keb Mardianti, S.SiT., M.Kes


NIP. 196405141986031004 NIP. 197912202008012014 NIP. 197803012005012002

Mengetahui
Ketua Program Studi Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

Dr. Jundra Darwanty, SST.M.Pd


NIP. 196906051991012001

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Tugas Akhir dengan judul “Penatalaksanaan Asuhan Kebidanan pada

Bayi dengan Labiopalatoskizis di Klinik dan Rumah Bersalin Sejati Kabupaten

Purwakarta”. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kehadirat Nabi

Muhammad SAW.

Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Penatalaksanaan Asuhan

Kebidanan pada Bayi dengan Labiopalatoskizisdi Klinik dan Rumah Bersalin

Sejati Kabupaten Purwakarta” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

ujian akhir pada Program Pendidikan Diploma III Kebidanan di Politeknik

Kesehatan Kemenkes Bandung Program Studi Kebidanan Karawang.

Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

Laporan Tugas Akhir ini, yaitu :

1. Bapak Dr. Ir. Oesman Syarif MKM selaku Direktur Poltekkes

Kemenkes Bandung.

2. Ibu Dr. Jundra Darwanty S.ST, M.Pd selaku ketua Prodi Kebidanan

Karawang.

3. Bapak A. Achmad Fariji M.Epid selaku Ketua Penguji Laporan Tugas

Akhir dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan,

dukungan dan motivasi.

4. Ibu Retno Dumilah M.Keb selaku Penguji I Laporan Tugas Akhir

vi
5. Ibu Mardianti S.SiT, M.Kesselaku Penguji II Laporan Tugas Akhir

6. Ibu Ida Farida Handayani M.Keb selaku Pembimbing Asuhan

Kebidanan yang selalu memberikan semangat serta dukungan.

7. Ibu Neneng Maryamah S.ST, M.Kes selaku Kepala Klinik dan Rumah

Bersalin Sejati Purwakarta.

8. Ny. A dan suami yang telah memberikan kepercayaan dan bersedia

menjadi klien.

9. Seluruh dosen dan staff di Prodi Kebidanan Karawang yang telah

memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis.

10. Kepada umi tercinta Hj. Nuraeni dan abah tersayang H.Hidayat

sebagai orang tua sepanjang masa dan kakak-kakak yang selalu

mendukung dan mendo’akan yang tidak pernah henti hingga laporan

tugas akhir dapat diselesaikan.

11. Sahabat-sahabat terdekat Endah, Samrotul, Hilma M, Nurizka, Windy,

Nurul A, Roro, Siti Mulyani, Hanifah, Dina K, Rizki I M, Rosyda A,

Friany, Meirina, Iis R, Hasanah, Fonta, Desi Dwi, Rizqa dan rekan-

rekan seangkatan yang telah banyak membantu dalam memberikan

masukan untuk menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.

Tentunya banyak sekali kekurangan penulis dalam menyusun Laporan

Tugas Akhir ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya

membangun sangat penyusun harapkan.

Purwakarta, Juli 2017

Ratna Dewi

vii
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG
LAPORAN TUGAS AKHIR, JUNI 2017

Ratna Dewi, P17324414023

PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN


LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH BERSALIN SEJATI
KABUPATEN PURWAKARTATAHUN 2017

ABSTRAK
Latar Belakang: Bibir sumbing dan celah palatum merupakan kelainan
kongenital yang paling sering ditemukan di daerah kepala dan leher. Insidens
bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan etnis, dari
1000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih
1,0, dan etnis kulit hitam 0,41.
Tujuan: Untuk mengetahui asuhan kebidanan pada yang kasus bayi baru lahir
dengan labiopalatoskizis.
Metode Penelitian: Secara observasional dengan teknik pengambilan data
melalui wawancara, observasi secara langsung dan studi dokumentasi rekam
medik Klinik dan RB Sejati.
Simpulan: Penatalaksaan asuhan kebidanan pada Bayi sudah tepat dan tidak ada
kesenjangan pada penatalaksanaan.
Saran: Diharapkan bidan dapatmeningkatkankualitas asuhan kebidanan pada bayi
dengan labiopalatoskizis.

Kata Kunci: Labiopalatoskizis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

BAB I .................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Tujuan ............................................................................................................. 3

1.3 Manfaat ........................................................................................................... 4

BAB II ................................................................................................................... 5

LANDASAN TEORI ............................................................................................ 5

2.1 Definisi ....................................................................................................... 5

2.2 Angka Kejadian .......................................................................................... 5

2.3 Etiologi ....................................................................................................... 6

2.4 Patofisiologi................................................................................................ 11

2.5 Tanda dan Gejala ........................................................................................ 11

2.6 Penatalaksanaan.......................................................................................... 13

2.7 Asuhan Kebidanan ..................................................................................... 19

BAB III.................................................................................................................. 23

PEMBAHASAN ................................................................................................... 23

KRONOLOGI KASUS ......................................................................................... 23

ix
3.1 Antenatal Care ............................................................................................ 27

3.2 Intranatal Care ............................................................................................ 28

3.3 Postnatal Care ............................................................................................. 30

3.4 Neonatal Care ............................................................................................. 32

BAB IV ................................................................................................................. 36

KESIMPULAN ..................................................................................................... 36

4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 36

4.2 Saran ........................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38

LAMPIRAN

x
xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan oleh

perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian bayi.

Di Indonesia masalah kesehatan masih rendah, rendahnya masalah kesehatan

ini ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka

Kematian Bayi (AKB).

Indonesia memiliki target global MDGs (Millenium Development Goals)

salah satunya yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per

100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Berdasarkan SDKI tahun 2012,

AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan lima

penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan (30,1%), hipertensi dalam

kehamilan (26,9%), infeksi (5,6%), partus lama/macet(1,8%), abortus (1,6%)

dan lain-lain (34,5%). Sedangkan AKB di Indonesia mencapai 32/ 1000

kelahiran hidup. Dengan penyebab langsung kematian bayi adalah Berat Bayi

Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan oksigen (asfiksia). (Kemenkes RI,

2012).

Survey yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

tahun 2003 menunjukkan bahwa AKI Provinsi Jawa Barat sebesar 321,15 per

100.000 kelahiran hidup dengan pembagian perkelompok wilayah.

Sedangkan berdasarkan Profil kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2012 jumlah

kematian ibu maternal yang terlaporkan sebanyak 818 orang (87,99/100.000

1
kelahiran hidup), tertinggi terdapat di Kabupaten Sukabumi dan Cirebon dan

terendah di Kota Cirebon dan Kota Bandung.

Sementara data mengenai jumlah kematian bayi di Provinsi Jawa Barat

tahun 2012 sebanyak 4.803 dari 931.906 kelahiran hidup, 5 besar Kabupaten

dengan angka kematian bayi tertinggi terdapat di Kabupaten Sukabumi,

Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan

Kabupaten Garut. (Profil kesehatan provinsi jawa barat, 2012)

Data yang di himpun dari dinas kesehatan kabupaten Purwakarta

menyebutkan selama 2014, 28 ibu hamil meninggal dunia setelah melahirkan.

Pada tahun yang sama,150 bayi dan balita meninggal dengan rincian 108

kasus kematiaan bayi neonatal (baru lahir), 30 kasus kematian bayi dan 12

kasus kematian balita. AKI dan AKB di purwakarta dalam kurun waktu

empat tahun terakhir menunjukkan fluktuasi. Diantaranya gangguan fungsi

paru-paru, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan kongenital.

Bibir sumbing dan celah palatum merupakan kelainan kongenital yang

paling sering ditemukan di daerah kepala dan leher. Insidens bibir sumbing

dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan etnis, dari 1000

kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih

1,0, dan etnis kulit hitam 0,41.

Labiopalatoskizis adalah suatu kelainan bawaan akibat

ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas yang biasanya

berlokasi tepat dibawah hidung. Terjadi pada 1 dari 1.000 kelahiran.

Labioskizis atau yang lebih dikenal dengan sebutan bibir sumbing,

merupakan masalah yang di alamai oleh sebagian kecil masyarakat.

2
Setiap tahun, diperkirakan 700-10.000 bayi lahir dengan keadaan bibir

sumbing. Merupakan deformitas ( kelainan ) daerah mulut berupa celah atau

sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa embrional

berkembang, bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu.

Kelainan bawaan ini berkaitan dengan riwayat keluarga, infeksi virus pada

ibu hamil trimester I. Jika tidak diobati akan terjadi kesulitan dalam berbicara

pada anak.

Berdasarkan pencatatan dan pelaporan di Klinik Sejati sepanjang tahun

2012 sampai dengan tahun 2016 tidak terdapat kasus kematian bayi yang

terjadi. Dan angka kejadian Labiopalatoskizis terjadi pada tahun 2015 dan

pada tahun 2017.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan asuhan yang diberikan dengan kasus

bayi baru lahir dengan labiopalatoskizis.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengkaji deteksi dini yang dilakukan oleh bidan pada masa

kehamilan terhadap kelahiran bayi baru lahir dengan Labiopalatoskizis di

Klinik dan Rumah Bersalin Sejati.

1.2.2.2 Untuk mengkaji penanganan awal yang dilakukan oleh bidan terhadap

bayi baru lahir dengan Labiopalatoskizis di Klinik dan Rumah Bersalin

Sejati.

3
1.2.2.3 Untuk mengetahui sistem rujukan yang dilakukan oleh bidan terhadap bayi

baru lahir dengan Labiopalatoskizis di Klinik dan Rumah Bersalin Sejati.

1.3 Manfaat

Dengan adanya observasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

semua pihak yang terkait diantaranya:

1.3.1 Bagi Lahan Praktik

Diharapkan dengan adanya observasi ini dapat meningkatkan kualitas

asuhan pada kasus labiopalatoskizis pada bayi baru lahir.

1.3.2 Bagi Institusi

Diharapkan dengan adanya observasi ini dapat menjadi masukan dan studi

kepustakaan untuk penelitian selanjutnya.

1.3.3 Bagi Penulis

Diharapkan dengan adanya observasi ini dapat menambah kemampuan

penulis dalam menganalisis suatu kasus.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.Definisi

Labioskizis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat

kegagalan fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis

medial yang dilikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior.

Sedangkan Palatoskizis adalah kelainan congenital sumbing akibat kegagalan

fusi palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi.

(Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak Balita, 2010).

Cacat ini dapat terjadi unilateral atau bilateral. Karena sangat sering

ditemui bersamaan dengan celah palatum, keduanya dibahas bersamaan.

Celah palatum dapat mengenai palatum durum, palatum mole, atau keduanya.

Sebagian cacat akan terjadi hingga batas alveolar dan sebagian mengenai

uvula. Dianjurkan bahwa, selama pemeriksaan awal pada bayi, palatum di

periksa menggunakan sumber cahaya yang baik, bukan dengan palpasi jari.

2.2. Angka Kejadian

Labioskizis dan labiopalatoskizis adalah anomali perkembangan pada 1

dari 1000 kelahiran. Kelainan bawaan ini berkaitan dengan riwayat keluarga,

infeksi virus pada ibu hamil trimester pertama. Labioskizis/labiopalatoskizis

yaitu kelainan kotak palatine (bagian depan serta samping muka serta langit-

langit mulut) tidak menutup dengan sempurna.

Celah bibir dan celah palatum insiden bibir sumbing yang terjadi sebagai

deformitas tunggal adalah sebanyak 1,3 dalam 1000. Bibir sumbing dengan

5
atau tanpa celah pada langit lebih sering dijumpai pada laki-laki, sementara

celah pada langit-langit lebih sering ditemukan pada perempuan. Terdapat

peningkatan insidens pada malformasi kongenital yang berhubungan dan

gangguan dalam intelektual anak-anak yang lahir dengan cacat-cacat tersebut,

keduanya lebih sering ditemukan dengan celah pada langit-langit saja.

Temuan-temuan ini sebagian dapat diterangkan dengan adanya peningkatan

insidens gangguan pendengaran pada anak-anak dengan celah pada langit-

langit dan seringnya bibir sumbing diantara anak-anak dengan abnormalitas-

abnormalitas kromosom.

2.3. Etiologi

Umumnya kelainan kongenital ini berdiri sendiri dan penyebabnya tidak

diketahui dengan jelas. Selain itu dikenal dengan beberapa syndrom atau

malformasi yang disertai adanya sumbing bibir, sumbing palatum atau

keduanya yang disebut kelompok syndrom clefts dan kelompok sumbing

yang berdiri sendiri non syndromik clefts.

6
Berbagai macam penyebab dikaitkan dengan kelainan bibir sumbing

dengan atau tanpa celah palatum. Kelainan bibir sumbing dan celah palatum

dapat berhubungan dengan malformasi atau sindrom tertentu yang dikenal

sebagai kelainan sindromik, bila kelainan ini tidak berhubungan dengan

malformasi atau sindrom tertentu disebut kelainan nonsindromik. Sekitar

70% kasus merupakan kelainan nonsindromik, dan 30% kasus kelainan

sindromik. (Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, 1993).

Sumbing bibir terjadi akibat tonjolan nasal media gagal menyatu dengan

tonjolan maksila (keduanya merupakan pembentuk bibir atas), baik pada satu

sisi (sumbing bibir unilateral) maupun kedua sisi (sumbing bibir bilateral).

Keduanya menyebabkan otot bibir tidak dalam satu kesatuan otot, sehingga

menimbulkan gangguan fungsional dan estetik. Sumbing bibir merupakan

kasus anomali kraniofasial kongenital yang paling sering dalam bidang bedah

plastik.

Sumbing palatum terjadi akibat tonjolan palatina gagal menyatu. Secara

normal, palatum dapat dibagi menjadi hard palate dan soft palate. Hard

palate bagian anterior (alveolar) menjadi tempat tumbuhnya gigi, sedangkan

bagian posterior menjadi dasar kavum nasi. Soft palate berguna dalam fungsi

bicara normal, selain itu juga berkaitan dengan fungsi tuba eustachius.

(Kapita Selekta Kedokteran, 2014).

Beberapa cindromik clefts adalah sumbing yang terjadi pada kelainan

kromosom (trysomit 13, 18, atau 21) mutasi genetik atau kejadian sumbing

yang berhubungan dengan akibat toksisitas selama kehamilan (kecanduan

alkohol), terapi fenitoin, infeksi rubella, sumbing yang ditemukan pada

7
syndrom pierrerobin, penyebab non sindromik clefts dapat bersifat

multifaktorial seperti masalah genetik dan pengaruh lingkungan.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor

tersebut antara lain, yaitu :

1. Faktor Genetik atau keturunan dimana material genetic dalam kromosom

yang mempengaruhi. Dimana dapat terjadi karena adanya mutasi gen ataupun

kelainan kromosom. Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom

yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1

pasang kromosom sex (kromosom X dan Y) yang menentukan jenis kelamin.

Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana

ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total

kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain

menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada

perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang

terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.

2. Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,

kekuranganasam folat.

3. Radiasi

4. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.

5. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi

rubella dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.

6. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat

toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.

7. Multifaktoral dan mutasi genetic.

8
8. Diplasia ektodermal

9. Syndrome atau malformasi yang disertai adanya sumbing bibir, sumbing

palatum atau keduanya disebut kelompok syndrome cleft dan kelompok

sumbing yang berdiri sendiri non syndromik clefts.

10. Beberapa syndromik cleft adalah sumbing yang terjadi pada kelainan

kromosom (trysomit 13, 18 atau 21) mutasi genetik atau kejadian sumbing

yang berhubungan dengan akibat toksikosis selama kehamilan (kecanduan

alkohol, terapi fenitoin, infeksi rubella, sumbing yang ditemukan pada

syndrome peirrerobin.

(Cindya Klarisa, 2014) Dalam perkembangan fetus, bibir dan palatum

terbentuk pada trimester pertama (gestasi 30-60 hari).

Selain itu labiopalatoskizis merupakan proses multifaktoral akibat pajanan

berbagai bahan yang bersifat teratogenik dan faktor genetik berkontribusi

dalam menyebabkan terjadinya.

1. Penggunaan antikonvulsan (fenitoin atau fenobarbital) selama kehamilan

diketahui meningkatkan risiko hingga 10 kali.

2. Perokok meningkatkan 2 kali insiden sumbing bibir.

3. Faktor-faktor eksternal lain, seperti konsumsi alkohol, defisiensi asam folat,

dan usia orang tua yang bertambah.

4. Orang tua yang sebelumnya tidak memiliki riwayat sumbing, memiliki resiko

0,14% memiliki anak sumbing/palatum.

9
5. Orang tua tanpa sumbing yang memiliki 1 anak sumbing bibir/palatum

memiliki 5% kemungkinan memiliki anak lagi yang sumbing. Resiko

meningkat menjadi 9% bila dua anak sebelumnya sumbing bibir palatum.

6. Bila salah satu orang tua dan satu anak memiliki sumbing, resiko meningkat

menjadi 17% memiliki anak sumbing lagi.

Masalah terbesar bagi bayi ini pada awalnya adalah pemberian susu. Jika

cacat terbatas pada bibir sumbing unilateral, ibu yang telah memutuskan

untuk menyusui harus di motivasi untuk melakukannya. Jika terdapat masalah

tambahan, yaitu celah palatum, merencanakan agar bayi dapat dipasang pelat

ortodontik dapat mempermudah menyusui, tetapi tindakan ini jelas tidak

menimbulkan stimulus yang sama seperti kontak putting dengan palatum.

(Myles Buku Ajar Bidan, 2003). Gangguan bicara. Umumnya suara akan

terdengar sengau dan menjadi sulit dimengerti karena ketidakmampuan

memproduksi bunyi konsonan tertentu. Gangguan pertumbuhan maksila.

Dapat ditemukan maloklusi kelas 3.

Dapat pula terjadi kelainan bicara, walaupun penutupan anatomis langit-

langit berhasil dilakukan dengan baik. Pembicaraan demikian ditandai dengan

pengeluaran udara melalui hidung serta kualitas hipernasal jika dibuat suara-

suara tertentu. Kelainan bicara sebelum dan kadang-kadang setelah

pembedahan langit-langit, terjadi akibat ketidakmampuan fungsi otot palatum

dan faring. Otot-otot langit lunak serta dinding-dinding lateral dan posterior

nasofaring merupakan suatu katup yang berfungsi memisahkan nasofaring

dari orofaring pada saat menelan dan pasa waktu menghasilkan suara-suara

tertentu. Jika katup tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka terjadi

10
kesulitan untuk mengumpulkan tekanan yang memadai didalam rongga mulut

untuk mengeluarkan suara-suara eksplosif seperti p, b, d, t, h, g atau huruf-

huruf desis misalnya s, sh, dan c serta kata-kata yang tidak bisa diucapkan

dengan jelas. Setelah pembedahan atau pemasangan alat bantu bicara, maka

diperlukan suatu pengobatan bicara.

2.4.Patofisiologi

Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak

terbentuknya mesoderm, pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah

menyatu (proses nasalis dan maksilaris) pecah kembali. Labioskizis terjadi

akibat fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis

medial yang diikuti disfusi kedua bibir, rahang, dan palatum pada garis

tengah dan kegagalan fusi septum nasi. Gangguan fusi palatum durum serta

palatum mole terjadi sekitar kehamilanke-7 sampai 12 minggu.

Infeksi telinga tengah adalah risiko penyerta bagi bayi dengan celah

palatum. Infeksi berulang jenis ini dapat mengganggu pendengaran dan

perkembangan lanjut wicara. Danner (1992) menyatakan bahwa pemberian

ASI harus didukung karena imunitas pasif dapat melindungi bayi ini dari

infeksi yang rentan mereka derita. (Myles, Buku Ajar Bidan.2003).

2.5.Tanda dan Gejala

Ada beberapa gejala dari bibir sumbing yaitu :

1. Terjadi pemisahan langit-langit

2. Terjadi pemisahan bibir

11
3. Terjadi pemisahan bibir dan langit-langit

4. Infeksi telinga berulang, berat badan tidak bertambah

5. Pada bayi tidak terjadi regurgitas nasal ketika menyusui yaitu

keluarnya air susu dari hidung.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik daerah wajah.

Labioskizis dapat terjadi dalam beberapa derajat malforasi, mulai dari takik

ringan pada tepi bibir dikanan/kiri garis tengah, hingga sumbing lengkap

menjalar sampai ke hidung. Terdapat variasi lanjutan yang melibatkan

sumbing palatum.

Labipalatoskizis merupakan deformitas yang dibedakan menjadi 4

tingkatan/ derajat yaitu derajat 1 (sumbing palatum mole) derajat 2 (sumbing

palatum durum dan mole), derajat 3 (derajat unilateral total) dan derajat 4

(sumbing bilateral total). Bayi yang mengalami labiopalatoskizis sering

mengalami gangguan makan dan bicara. Regurgitasi makanan dapat

menimbulkan masalah pernafasan, iritasi paru dan infeksi pernafasan kronis.

Pembedahan umum sebelum anak mulai berbicara, pembedahan ulang pada

usia 15 bulan.

Sumbing bibir (labioskizis) tidak banyak gangguan dan bayi masih bisa

minum dengan dot. Sumbing palatum (palatoskizis) sering menumbulkan

bayi sukar minum, bahaya tersedak yang dapat menyebabkan terjadinya

aspirasi, infeksi pernafasan dan gangguan pertumbuhan.

12
2.6. Penatalaksanaan

Bedah koreksi akan dilaksanakan pada beberapa tahapan, tetapi masih

terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu yang paling tepat untuk

melakukan prosedur ini. Sullivan (1996) menguji argumen, baik perbaikan

bibir sumbing secara dini maupun lambat. Dijelaskan bahwa beberapa dokter

bedah menganjurkan untuk melakukan penutupan bibir sumbing dalam 2

minggu kelahiran guna memperbesar peningkatan sifat penyembuhan

jaringan yang muncul saat adanya eksistensi intrauterin yang masanya

singkat. Mereka juga berpendapat bahwa perbaikan dini akan membantu

dalam mendukung pelekatan yang sehat antara ibu dan bayi. Para pendukung

intervensi lambat menyarankan perbaikan bibir sumbing pada usia 3-4bulan

karena bibir sumbing sering kali terjadi sebagai gambaran dari keadaan medis

lain yang tidak dapat dideteksi segera.

Pembedahan pada periode neonatus awal bagi bayi tersebut dapat terlalu

berbahaya. Penutupan cacat palatun disarankan dilakukan sekitar usia 12-15

bulan. Salah satu alasan utama penundaan yang jelas lama ini adalah

memberikan kesempatan terjadinya pertumbuhan yang memadai, yang dapat

menghasilkan pengurangan ukuran cacat sehingga meningkatkan

kemungkinan perbaikan yang lebih memuaskan. Sebagian anak mengalami

serangkaian operasi kosmetik pada waktu tertentu setelah perbaikan awal

dilakukan. Seringkali membantu bagi bidan untuk menunjukkan keluarga foto

bayi sebelum dan sesudah pembedahan bagi mereka yang telah berhasil

menjalani pembedahan. (Myles, Buku Ajar Bidan, 2003).

13
Penatalaksanaan bagi kebanyakan bayi terdiri atas pemberian makan

dalam kedudukan berdiri tegak serta mempergunakan dot yang telah

dilunakkan dan lubang-lubang yang diperbesar. Pada beberapa keadaan

terdapat indikasi untuk mempergunakan penetes obat atau pemberian makan

melalui sonde lambung. Dot khusus langit-langit bercelah dan penutup langit-

langit plastik biasanya tidak diperlukan, tetapi dapat menolong untuk

beberapa bayi. Biasanya penutup celah bibir melalui pembedahan dilakukan

bila bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan, setelah memperlihatkan

penambahan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi mulut,

saluran nafas atau sistemis. Z-plasti, tekhnik pembedahan yang paling sering

dipergunakan meliputi garis jahitan miring untuk memperkecil lakukan pada

bibir akibat tarikan oleh jaringan parut. Suatu klem logan (sebuah busur

kawat yang dilekatkan pada kedua pipi dengan perekat) segera digunakan

setelah pembedahan selesai untuk mengurangi ketegangan pada garis jahitan.

Perbaikan awal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5tahun. Pada

kebanyakan kasus, pembedahan perbaikan pada hidung hendaknya ditunda

hingga penderita mencapai usia pubertas. Hasil kosmetis tergantung dari luas

cacat pada awalnya, tidak adanya infeksi dan keterampilan ahli bedah. Karna

celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk dan derajat cacat

yang cukup besar, maka pada saat pembedahan perbaikan harus disesuaikan

bagi masing-masing penderita.

Kriteria-kriteria seperti lebar celah, segmen langit-langit yang adekuat,

morfologi daerah sekitarnya (misalnya lebar orofaring) maupun fungsi

neuromuscular langit-langit lunak serta dinding faring, akan menentukan

14
keputusan yang diambil. Tujuan pembedahan adalah untuk menyatukan celah

segmen-segmen, pembicaraan yang dapat dimengerti serta menyenangkan

dan menghindari terjadinya jejas pada maksila yang sedang tumbuh. Waktu

optimal untuk melakukan pembedahan langit-langit bervariasi dari 6bulan-

5tahun, tergantung dari kebutuhan untuk mengambil keuntungan dari

perubahan langit-langit yang sesuai dengan pertumbuhan.

Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga umur 3tahun, maka sebuah

balon bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maxilla sehingga

kontraksi otot-otot faring dan velofaring dapat menyebabkan jaringan-

jaringan bersentuhan dengan balon bicara tadi untuk menghasilkan penutupan

nasofaring dan dengan cara ini dapat menolong anak tersebut untuk

mengembangkan pembicaraan yang dapat difahami.

Celah yang terjadi hampir selalu melewati jembatan alveolar dan

mengganggu pembentukkan geligi yang harus berlangsung ditempat tersebut.

Unsur-unsur yang hilang untuk dentisi harus diganti dengan prostetik:

perubahan-perubahan dalam kedudukan geligi mungkin diperlukan pula.

(Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, 1993).

Diperlukan tatalaksana multidisiplin.

a. Pembuatan dan pemasangan obturator atau Naso Alveolar Molding

(NAM) oleh dokter gigi spesialis orthodonti.

b. Tindakan pembedahan oleh spesialis bedah plastik dengan rule of ten.

Bibir dekonstruksi usia >10 minggu, berat badan minimal 10 lb (5kg),

Hemoglobin >10 g/dl.

c. Speech therapy.

15
d. Libatkan dokter spesialis anak, dokter gigi, hingga psikiater untuk

mengevaluasi perkembangan psikologi anak.

Palatum umumnya diperbaiki enam bulan setelah operasi bibir, yakni

antara usia 9-18bulan. Namun, pada keadaan tertentu, bibir dan palatum dapat

diperbaiki bersamaan. Jika operasi palatum terlambat dikerjakan, maka pasien

akan mengalami gangguan fungsi bicara, yakni bicara dengan sengau.

Bersamaan dengan operasi palatum, dapat pula dilakukan operasi

myringotomi atau pemasangan gromet tube oleh dokter spesialis telinga

hidung dan tenggorokan. (Kapita Selekta Kedokteran. 2014).

Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini

dilakukan setelah bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat,

dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa

buku dikatakan juga untuk melakukan operasi bibir sumbing dilakukan

hukum Sepuluh (rules of ten) yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar

Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal

10.000/ui.

Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :

1. Tahap sebelum operasi

Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh

bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari

keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan

yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10

pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10

minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang

16
harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi

tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus

dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah

yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau

terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot

dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum

dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau

tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang

terbelah.

Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester

khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak

terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya

gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada

prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan

menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna.

Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.

2. Tahap sewaktu operasi

Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang

diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh bayi menerima perlakuan operasi, hal

ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi

bibir sumbing ( labioplasty ) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat

pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi

pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah

17
terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap

menjadi kurang sempurna.

Operasi untuk langit-langit ( palatoplasty ) optimal pada usia 18 – 20

bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk

sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin ( 15-24 bulan ) sebelum anak

mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara

bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal

kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai.

Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan

speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat

bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah,

sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang

salah. Bila gusi juga terbelah ( gnatoschizis ) kelainannya menjadi

labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9

tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.

3. Tahap setelah operasi.

Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya

tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah

yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya

setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap

menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi.

Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi

batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan

18
kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap

terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna,

tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.

Masalah-masalah utama pasca pembedahan adalah menjaga garis jahitan

tetap bersih dan menghindari timbulnya ketegangan pada jahitan tersebut.

Karena itu bayi diberi makan dengan alat penetes obat serta kedua tangannya

ditahan dengan manset-manset siku. Makanan cair atau setengah cair

dipertahankan selama 3 minggu dan pemberian makanan dilakukan dengan

mempergunakan alat penetes atau sendok.

Penyulit-penyulit sering terjadi otitis media yang berulang serta kehilangan

pendengaran. Kerusakan geligi yang luas dan hebat sering terjadi dan

memerlukan penanganan khusus. Penggeseran lengkung-lengkung maksila

serta malposisi geligi, biasanya membutuhkan perbaikan ortodontis. Suatu

program rehabilitasi lengkap bagi seorang anak dengan bibir atau langit-langit

bercelah memerlukan perawatan khusus bertahun-tahun oleh suatu tim yang

terdiri dari dokter anak, ahli bedah plastik, ahli t.h.t, pedodontis, prostodontis,

ortodontis, perawat/pelatih bicara, pekerja sosial medis, ahli jiwa, psikiater

anak- anak dan seorang perawat kesehatan masyarakat.

2.7.Asuhan Kebidanan

Menurut Reva Rubin, bahwa seorang wanita sejak hamil sudah memiliki

harapan-harapan antara lain:

a. Kesejahteraan ibu dan bayi

b. Penerimaan dari masyarakat

19
c. Penentuan identitas diri

d. Mengetahui tentang arti memberi dan menerima

Adapun tahapan-tahapan psikososial dalam pencapaian peran ibu, salah

satunya adalah adaptasi psikososial post partum.

Konsep dasarnya periode post partum menyebabkan stress emosional

terhadap ibu baru, bahkan lebih bmenyulitkan bila terjadi perubahan fisik

yang hebat saat melahirkan. Keberhasilan masa transisi menjadi orang tua

pada masa post partum dipengaruhi oleh:

a. Respons dan dukungan dari keluarga dan teman

b. Hubungan pengalaman saat melahirkan terhadap harapan

c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lalu

d. Pengaruh budaya

Asuhan yang dapat bidan berikan kepada ibu diantaranya:

1. Berikan dukungan emosional dan tenangkan ibu beserta keluarga.

2. Jelaskan kepada ibu bahwa sebagian besar hal penting harus dilakukan

saat ini adalah memberi makanan bayi guna memastikan pertumbuhan

yang adekuat sampai pembedahan yang akan dilakukan.

3. Jika bayi memiliki sumbing tetapi palatumnya utuh, izinkan bayi berupaya

menyusu.

4. Jika bayi berhasil menyusu dan tidak terdapat masalah lain yang

membutuhkan hospitalisasi, pulangkan bayi. Tindak lanjuti dalam satu

minggu untuk memeriksa pertumbuhan dan penambahan berat badan.

20
5. Jika bayi tidak dapat menyusu dengan baik karena bibir sumbing,berikan

perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternatif

(menggunakan sendok atau cangkir).

6. Jika bayi memiliki celah palatum, berikan perasan ASI dengan

menggunakan metode pemberian makan alternatif (menggunakan

sendok atau cangkir).

7. Ketika bayi makan dengan baik dan mengalami penambahan berat

badan,rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau pusat spesialisasi, jika

memungkinkan untuk pembedahan guna memperbaiki celah tersebut.

Permenkes No. 1464 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan.

Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan

yang meliputi:

(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagai mana di maksud dalam pasal 9 huruf

a. Diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa

nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.

(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagai mana dimaksud pada ayat( 1)

meliputi:

a. pelayanan konseling pada masa pra hamil;

b. pelayanan antenatal pada kehamilan normal;

c. pelayanan persalinan normal;

d. pelayanan ibu nifas normal;

e. pelayanan ibu menyusui;dan

21
f. pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.

Pasal 11

(1) Pelayanan kesehatan anak sebagai mana dimaksud dalam pasal 9

huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi dan anak balita, dan anak

pra sekolah

(2) Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagai mana di

maksud pada ayat(1) berwenang untuk:

a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,

pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1,

perawatan lahir pada bayi baru masa neonata (10 - 28 hari),dan

perawatan tali pusat;

b. penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk

c. penanganan kegawat-daruratan dilanjutkan dengan perujukan;

d. pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah;

e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah

f. pemberian konseling dan penyuluhan.

22
BAB III

KASUS & PEMBAHASAN

KRONOLOGI KASUS ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN

LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH BERSALIN SEJATI

BIDAN NENENG MARYAMAH, SST. M.KES DI DAERAH

PURWAKARTA

Ny.A datang ke Klinik dan RB Sejati Bidan Neneng Maryamah pada

tanggal 03 April 2017 pukul 03:50 WIB mengaku hamil 9 bulan dan

mengeluh mulas sejak pukul 02:00 WIB belum keluar air-air, sudah keluar

lendir bercampur darah, pergerakan janin masih terasa. Hasil tekanan darah

110/80 mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7 oC, hasil

pemeriksaan dalam keadaan ketuban utuh, pembukaan 5cm, usia kehamilan

38 minggu.

Pada pukul 05:00 WIB ibu mengeluh mulasnya semakin lama semakin

sering dan hampir tidak ada jeda. Hasil pemeriksaan dalam sudah pembukaan

9cm. Ibu dipindahkan ke ruang Persalinan. Sambil menunggu pembukaan

10cm dilakukan pemantauan DJJ oleh bidan.

Pada pukul 06:00 WIB ibu mengeluh ingin meneran.Bidan melakukan

pemeriksaan ibu sudah pembukaan 10cm dan sudah ada tanda gejala kala II.

Bidan memantau DJJ janin dan memimpin meneran pada ibu dan membantu

proses persalinan.

23
Pada pukul 06:15 WIB bayi lahir spontan, segera menangis, dan tonus otot

kuat. Terlihat cacat bawaan pada bayi yaitu Labiopalatoskizis. Plasenta lahir

lengkap pukul 06:25 WIB. Bidan membersihkan ibu dan merapihkan ibu, lalu

melakukan perawatan pada bayi baru lahir. Seperti menimbang berat badan,

mengukur panjang badan, mengukur lingkar kepala, dan memberikan salep

mata. Didapatkan hasil penimbangan BB: 3200 gram, PB: 49cm, lingkar

kepala: 32cm.

Memberitahukan kepada keluarga mengenai keadaan bayi bahwa bayi

memiliki kelainan bawaan berupa bibir sumbing sampai dengan ke langit

langitnya. Bidan melakukan perawatan bayi baru lahir seperti biasa karena

keadaan bayi saat lahir langsung menangis kuat dan tidak mengalami asfiksia.

Bayi dilakukan inisiasi menyusu dini terhadap ibunya dan terlihat raut wajah

dengan kekecewaan atas keadaan bayinya. Dan bidan memberikan dukungan

serta support kepada ibu agar tetap tegar dan mampu serta ikhlas menerima

bayinya.

Bidan memberikan obat untuk ibu berupa Vitamin A 200.000 IU 1 butir,

Amoxillin 500gr 1 butir, Paracetamol 1 butir, Multivitamin 1 butir. Dan ibu

langsung meminum obat tersebut setelah makan. Bidan melakukan

pemantauan kala IV. Tidak ada kelainan atau masalah pada kala IV.

Hasil pemantauan kala IV

24
Waktu Tekanan N R Suhu Tinggi Fundus Kontraksi Kandung Perdarahan

Darah uterus kemih

06:25 110/80 79 19 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

06:40 110/80 79 20 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

06:55 110/90 80 20 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

07:10 110/90 80 19 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

07:40 110/90 80 19 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

08:10 110/90 80 19 36,7 2 jari bwh pst baik Kosong 20cc

Pada pukul 10:10 WIB dilakukan 2 jam post partum oleh bidan dengan

mengganti pakaian ibu, menggunakan pembalut maternity, membersihkan ibu

dan memindahkan ibu ke ruang nifas. Pada post natal care, KF 1 dilakukan di

Klinik & RB Sejati, ibu terlihat sangat kecewa melihat keadaan bayinya,

namun bidan dan keluarga ibu terus memberikan motivasi dan kekuatan agar

ibu tegar menghadapinya. Dan bidan memberikan pendidikan kesehatan

mengenai teknik menyusui yang baik dan benar untuk bayi dengan kelainan

bibir sumbing saat dirumah . Pada KF 2 ibu melakukan kunjungan ke bidan

namun tidak bersama dengan bayinya, ibu terlihat sudah mulai menerima

keadaan bayinya dengan ibu mengatakan bahwa ibu mengkhawatirkan

bayinya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan ibu baru melakukan

kunjungan ke bidan pada KF 3, di hari ke 7 bersama bayinya. Dan ibu

meminta rujukan kepada dokter untuk melakukan konsultasi pada dokter

spesialis anak agar bayinya segara dilakukan dan diberikan tindakan. Pada KF

3 Ibu mengaku dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh (Head to toe) oleh

25
bidan. Setelah itu ibu dilakukan kunjungan pada hari ke 42 bersanaan dengan

penyuntikan KB.

Bidan membantu ibu untuk menyusukan bayinya, dengan cara ibu duduk

dan putting payudara dimasukkan kedalam mulut bayi. Bayi merespon

dengan menghisap putting payudara ibu. Ibu meminta menyusukan bayinya

dengan pipet saja, menggunakan ASI yang di perah oleh pompa ASI.

Pada pukul 15:00 WIB bidan memandikan bayi di ruang perawatan bayi.

Bidan menyuntikkan vit.K pada bayi. Dan mengajarkan ibu atau keluarga

cara mengganti kassa pada tali pusat saat dirumah. Lalu, bidan memberikan

pendidikan kesehatan tentang personal hygiene, pemenuhan nutrisi dan

hidrasi, perawatan tali pusat pada bayi, ambulasi dan mobilisasi, serta tanda

bahaya pada masa nifas dan tanda bahaya pada bayi baru lahir.

Bidan menyiapkan terapi obat untuk dirumah yaitu Paracetamol 500mg

sebanyak 10 butir, Amoxillin 500mg sebanyak 10 butir, Multivitamin

sebanyak 10 butir, dan 1 butir Vitamin A 200.000 IU. Bidan memberitahukan

kepada ibu mengenai kunjungan ulang pada hari ke3 sekaligus untuk

memberikan imunisasi Hb0 pada bayi. Ibu dan bayi pulang pukul 16:30 WIB.

Setelah pulang dari rumah Klinik, bayi mendapatkan imunisasi HB0 di

bidan pada hari ke-3. Dilakukan pemeriksaan dan pemantauan asupan nutrisi

dan hidrasi pada bayi pada hari ke-7. Pada tanggal 17-04-2017 bayi dirujuk

ke Dokter spesialis anak di Rumah Sakit Siloam Purwakarta untuk dilakukan

konsultasi yang bertujuan untuk memastikan dilakukan tindakan pembedahan

pada bayinya. Dan tanggal 13 Mei 2017 bayi sudah diberikan imunisasi BCG

26
dan bayi sedang dalam pemantauan peningkatan berat badan untuk mencapai

target agar dapat segera diberikan tindakan pembedahan.

3.1. Antenatal Care

Kasus

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari buku KIA Ny. A

didapatkan, Ny.A sudah melakukan pemeriksaan sesuai standar. Ibu mengaku

selama hamil pernah dilakukan pemeriksaan USG, namun USG dilakukan

oleh bidan, serta bidan tidak memberikan rujukan untuk melakukan USG ke

Dokter dan ibu mengatakan selama kehamilan mengalami Batuk dan

mengkonsumsi obat batuk herbal dalam jangka panjang.

Pembahasan

Dalam standar pemeriksaan kehamilan tidak terdapat kesenjangan antara

kasus dengan teori karena telah sesuai. Pada kasus ini faktor resiko yang

menyebabkan terjadinya labiopalatoskizis diduga karena Ny.A

mengkonsumsi obat batuk herbal dalam jangka yang panjang selama

kehamilan. Pada pemeriksaan kehamilan bidan telah melakukan asuhan

sesuai dengan standar 10 T. Namun, bidan memberikan pelayanan USG

terhadap ibu dan tidak merujuk untuk dilakukan USG oleh Dokter. Bidan

memberikan pelayanan sesuai dengan kewenangannya, adapun bidan

berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:

(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagai mana di maksud dalam pasal 9 huruf a.

Diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas,

masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.

27
(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagai mana dimaksud pada ayat( 1) meliputi:

a. pelayanan konseling pada masa pra hamil;

b. pelayanan antenatal pada kehamilan normal;

c. pelayanan persalinan normal;

d. pelayanan ibu nifas normal;

e. pelayanan ibu menyusui;dan

f. pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.

(Permenkes No. 1464 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan)

3.2 Intranatal Care

Kasus

Ny.A datang ke Klinik dan RB Sejati Bidan Neneng Maryamah pada

tanggal 03 April 2017 pukul 03:50 WIB mengaku hamil 9 bulan dan

mengeluh mulas sejak pukul 02:00 WIB belum keluar air-air, sudah keluar

lendir bercampur darah, pergerakan janin masih terasa. Hasil tekanan darah

110/80 mmHg, nadi 78x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7 oC, hasil

pemeriksaan dalam keadaan ketuban utuh, pembukaan 5cm, usia kehamilan

38 minggu.

Pada pukul 05:00 WIB ibu mengeluh mulasnya semakin lama semakin

sering dan hampir tidak ada jeda. Pada pukul 06:00 WIB ibu mengeluh ingin

meneran. Bidan melakukan pemeriksaan ibu sudah pembukaan 10cm dan

sudah ada tanda gejala kala II. Bidan memantau DJJ janin dan memimpin

meneran pada ibu dan membantu proses persalinan.

28
Pada pukul 06:15 WIB bayi lahir spontan, segera menangis, dan tonus otot

kuat. Terlihat terdapat cacat bawaan pada bayi yaitu Labiopalatoskizis dengan

BB: 3200 gram, PB: 49cm, lingkar kepala: 32cm. Memberitahukan kepada

keluarga mengenai keadaan bayi bahwa bayi memiliki kelainan bawaan

berupa bibir sumbing sampai dengan ke langit langitnya. Bidan melakukan

perawatan bayi baru lahir seperti biasa karena keadaan bayi saat lahir

langsung menangis kuat dan tidak mengalami asfiksia. Bayi dilakukan inisiasi

menyusu dini terhadap ibunya dan terlihat raut wajah dengan kekecewaan

atas keadaan bayinya. Dan bidan memberikan dukungan serta support kepada

ibu agar tetap tegar dan mampu serta ikhlas menerima bayinya.

Pembahasan

Pada kasus ini terlihat ibu telah mengerti dengan tanda bahaya pada

kehamilan dan tanda tanda persalinan, dapat dilihat pada saat ibu sudah

merasa mulas-mulas ibu datang ke bidan secepatnya. Hal ini dikarenakan

asuhan yang diberikan bidan telah sesuai dengan standar pada Permenkes

Nomor 1464, sehingga ibu mengerti pada setiap asuhan yang telah diberikan.

Pada kasus ini bidan sebagai pelaksana dengan tugas mandiri telah

melakukan asuhan pada persalinan sesuai dengan standar Permenkes Nomor

1464 dan sesuai dengan APN. Pada kasus asuhan intranatal care tidak

terdapat kesenjangan antara asuhan dengan standar pelayanan kebidanan.

29
3.3 Postnatal Care

Kasus

Pada post natal care, KF 1 dilakukan di Klinik & RB Sejati, ibu terlihat

sangat kecewa melihat keadaan bayinya, namun bidan dan keluarga ibu terus

memberikan motivasi dan kekuatan agar ibu tegar menghadapinya. Dan bidan

memberikan pendidikan kesehatan mengenai teknik menyusui yang baik dan

benar untuk bayi dengan kelainan bibir sumbing saat dirumah . Pada KF 2 ibu

melakukan kunjungan ke bidan namun tidak bersama dengan bayinya, ibu

terlihat sudah mulai menerima keadaan bayinya dengan ibu mengatakan

bahwa ibu mengkhawatirkan bayinya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Dan ibu baru melakukan kunjungan ke bidan pada KF 3, di hari ke 7 bersama

bayinya. Dan ibu meminta rujukan kepada dokter untuk melakukan konsultasi

pada dokter spesialis anak agar bayinya segara dilakukan dan diberikan

tindakan. Pada KF 3 Ibu mengaku dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh

(Head to toe) oleh bidan. Setelah itu ibu dilakukan kunjungan pada hari ke 42

bersanaan dengan penyuntikan KB.

Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi klien telah melakukan kunjungan sesuai

dengan teori dan pelayanan yang diberikan oleh bidan pun telah sesuai

dengan teori.

Menurut (WHO,2013) Pada masa nifas kunjungan nifas setidaknya 4 kali

kunjungan untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru lahir dan untuk

mencegah, mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi, yaitu:

30
1. 6-8 jam setelah persalinan

2. 3-6 hari setelah persalinan

3. 7-14 minggu setelah persalinan

4. 6 minggu setelah persalinan

(Sumber :Bahiyatun. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta:

EGC).

Pada kasus ini diperlukan adanya manajemen asuhan kebidanan adalah

pendekatan dan kerangka pikir yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan

metode pemecahan masalah secara sistematis. Bidan mengajarkan teknik

menyusui pada bayi baru lahir dengan bibir sumbing dengan cara:

a. Posisi bayi duduk

b. Putting dan areola dipegang saat menyusui, hal ini sangat membantu

bayi mendapatkan ASI yang cukup.

c. Ibu jari ibu dapat dipakai sebagai penyumbat celah pada bibir bayi.

Jika sumbing pada bibir dan langit langit, ASI dikleuarkan dengan cara

manual ataupun pompa, kemudian diberikan dengan sendok atau pipet

atau botol dengan dot panjang sehingga ASI dapat masuk dengan

sempurna. Dengan cara ini bayi akan belajar menghisap dan menelam

ASI, menyesuaikan dengan irama pernapasannya. (Buku Saku

Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial, 2010).

Adapun penyesuaian pada peran ibu menurut Reva Rubin, bahwa seorang

wanita sejak hamil sudah memiliki harapan-harapan antara lain:

a. Kesejahteraan ibu dan bayi

31
b. Penerimaan dari masyarakat

c. Penentuan identitas diri

d. Mengetahui tentang arti memberi dan menerima

Pada kasus ini terdapat kesenjangan antara harapan ibu mengenai

kesejahteraan bayi yang dilahirkannya. Dengan adanya kelainan bawaan pada

bayinya respon ibu terhadap persalinan ini dapat dikatakan mengecewakan,

karena harapan kesejahteraan bayinya tidak sesuai dengan kenyataan.

3.4 Neonatal Care

Kasus

Bayi lahir Bayi lahir dengan usia gestasi 38 minggu dan berat badan 3200

gram dan panjang badan 49 cm A/S 9/10 bayi mengalami kelainan kongenital

Labiopalatoskizis. Dan bayi dilakukan pencegahan infeksi, pemberian

Vitamin K dan salep mata. Setelah pulang dari rumah Klinik, bayi

mendapatkan imunisasi HB0 di bidan pada hari ke-3. Dilakukan pemeriksaan

dan pemantauan asupan nutrisi dan hidrasi pada bayi pada hari ke-7. Pada

tanggal 17-04-2017 bayi dirujuk ke Dokter spesialis anak di Rumah Sakit

Siloam Purwakarta untuk dilakukan tindakan lanjut terhadap bayinya.

Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi bayi mendapatkan penanganan yang sesuai

dengan kebutuhan. Bayi mendapatkan imunisasi HB0 pada hari ke-3 di

rumah oleh bidan. Imunisasi BCG didapatkan oleh bayi pada tanggal 13 Mei

2017.

32
Pelayanan Kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan

kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang

dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau rujukan. Pelayanan

kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang

diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga, sesuai dengan kewenangan

dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan sejahtera. (KepMenKes

Nomor 369, 2007).

Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :

1. Tahap sebelum operasi

Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh

bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari

keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai.

Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan

lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan

usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada

beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan

dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah.

Pada tahap ini bayi telah dilakukan konsultasi pada dokter spesialis

anak di salah satu rumah sakit besar di purwakarta, dan dokter

menganjurkan kepada ibu untuk memantau pertumbuhan bayi teritama

pada berat badan bayi, dengan berpacu pada patokan yang biasa di

pakai untuk diberikan tindakan bedah pada labioskizis atau

labiopalatoskizis yaitu rule of ten. Saat ini ibu sedang berusaha

33
meningkatkan berat badan bayi untuk mencapai target agar bayi

segera diberikan tindakan.

2. Tahap sewaktu operasi

Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang

diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan

operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia

optimal untuk operasi bibir sumbing ( labioplasty ) adalah usia 3

bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai

pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia

tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga

kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang

sempurna.

Operasi untuk langit-langit ( palatoplasty ) optimal pada usia 18 – 20

bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak

masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin ( 15-24 bulan )

sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak

belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat,

sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara

normal atau tidak sengau sulit dicapai.

Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan

tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara

sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa

melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi

memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (

34
gnatoschizis ) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi

untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan

dokter gigi ahli ortodonsi.

3. Tahap setelah operasi.

Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya

tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter

bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua

pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi

dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus

untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing

yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk

operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja

sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap

terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak

sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.

35
xxxvi

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.1.1 Setelah penulis melakukan asuhan kebidanan. Dapat diambil

kesimpulan sebegai berikut:

a. Berdasarkan hasil observasi, deteksi dini yang dilakukan oleh bidan

pada masa kehamilan terhadap angka kelahiran bayi baru lahir dengan

Labiopalatoskizis kurang maksimal karena tidak dilakukan pengkajian

secara mendalam terhadap riwayat obat-obatan yang dikonsumsi saat

kehamilan sehingga menjadi penyebab terjadinya Labiopataoskizis.

b. Penanganan awal yang dilakukan oleh bidan sudah cukup maksimal,

hal ini terlihat pada saat bidan menagakkan diagnosa serta melakukan

konseling pada pasien saat postnatal care tentang teknik menyusui

bayi dengan kasus Labiopalatoskizis.

c. Bidan telah melakukan sistem rujukan sesuai dengan standar yang

berlaku. Dengan memberikan rujukan ke Rumah Sakit untuk bayi

dengan kasus Labiopalatoskizis supaya mendapatkan tindakan

pembedahan.

xxxvi
xxxvii

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Lahan Praktik

Diharapkan bidan dikomunitas melakukan penyuluhan tentang tanda

bahaya dalam kehamilan. Dan melakukan kunjungan rumah sesuai dengan

teori. Dan untuk bidan diharapkan ditingkatkan lagi kualitas pelayanan yang

sudah cukup baik ini. Dan dengan adanya kasus ini dapat meningkatkan

informasi dalam memberikan asuhan pada kasus Labiopalatoskizis pada bayi

baru lahir atau balita.

4.2.2 Bagi Institusi

Penulis berharap ditambahnya buku sumber yang terbaru agar

memudahkan penulis untuk mengkaji tinjauan pustaka sehingga hasil

penelitian menjadi lebih baik lagi.

xxxvii
xxxviii

DAFTAR PUSTAKA

Bahiyatun. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC

Behrman, Richard E dkk. 1993. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC

Buku-Saku-Pelayanan-Kesehatan-Neonatal-Esensial-1.Pdf

Fraser, Diane M dkk. 2003. Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta: EGC

https://books.google.co.id/books, 2014. Buku AjarAsuhan Kebidanan Neonatus,


BayiAtau Balita dan Anak Prasekolah untuk Para Bidan. Yogyakarta:
Deepublish

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


369/Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Profesi Bidan

Lia Dewi, Vivian Nanny. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Salemba Medika

Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta:
Fitramaya

PMK No. 1464 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan.

Rukiyah,Yeyeh dkk. 2010. Asuhan neonatus bayi dan anak balita. Jakarta: CV
Trans Info Media

Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Teknik-teknik Operasi Labiopalatoskizis. Pdf

xxxviii

Anda mungkin juga menyukai