Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat,
karunia dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK” ini dengan
baik. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan 1 Anak oleh bapak
H. Andi Yudianto,, S.Kep, Ners, M.Kep.
Kami menyadari atas kekurangan kemampuan penulis dalam pembuatan makalah ini,
sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila mendapatkan kritikan dan
saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Demikian akhir kata dari kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak dan
menambah wawasan bagi pembaca.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam tubuh manusia, terdapat salah satu organ penting yang berkaitan erat
dengan sindrom nefrotik, yaitu ginjal. Ginjal berfungsi mengatur keseimbangan tubuh
dan mengekskresikan zat-zat yang sudah tidak berguna dan beracun jika terus berada
didalam tubuh. Ginjal sangat penting bagi tubuh kita, karena ginjal bertugas
mempertahankan homeostatis bio kimiawi normal didalam tubuh manusia, dengan cara
mengeluarkan zat sisa melalui proses filtrasi, absorbsi, dan augmentasi. Pada saat proses
urinasi, bladder berkontraksi dan urin dikeluarkan melalui uretra. Tetapi semua fungsi
organ tersebut tidak luput dari adanya abnormalitas fungsi, yang mana jika hal itu terjadi
dapat menyebabkan suatu masalah atau gangguan, salah satunya yaitu sindrom nefrotik
(Siburian, 2013; Astuti, 2014).
Sindrom nefrotik adalah penyakit glomerulus atau cacat pada permeabilitas
glomerulus yang ditandai dengan manefestasi klinis berupa proteinuria masif,
hipoalbumin berat, edema dan hiperkolesterol. Sindrom nefrotik paling sering terjadi
pada anak-anak (Leliana et al,2012). Sindrom nefrotik dapat digolongkan menjadi
penyakit glomerulus primer dan prnyakit glomerulus sekunder yang disebabkan oleh
suatu penyakit sistemik. Penyebab yang sering terjadi pada anak-anak adalah penyakit
kelainan minimal. Penyakit kelainan minimal, glomerulosklerosis fokus dan segmental
dan nefropati membranous adalah penyakit langka yang menyebabkan morbiditas serius
dan kematian yang tinggi sekitar 15% pada tahun 2010 di Amerika Serikat (Gadegbeku et
al, 2013). Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dalan kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2 sampai 7 kasus baru per 100.000 anak pertahun, dengan
prevelensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang angka
kejadiannya lebih tinggi (Trihono et al, 2012).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan kasus nefrotic syndrom ?
C. Tujuan
Menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan kasus nefrotic syndrom.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Nefrotik sindrom adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminea,
dan hiperkolesterolemia. Kadang kadang terdapat hematuria, hipertensi, penurunan
fungsi ginjal (Naratif dan Kususma, 2013).
Berdasarkan pengertian dapat disimpulkan bahwa sindrom nefrotik pada anak
merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria,
hipoalbuminea, dan hiperkolesterolemia yang disertai edema.
B. Etiologi
Menurut Naratif dan Kususma (2013), umumnya etiologi di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
a. Sindroma Nefrotik bawaan.
Diturunkan sebagai resesif autosom atau reksi maternofetal. Resisten terhadap
suatu pengobatan. Gejala edema pada masa neonatus. Pernah dicoba
pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya pasien meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui, berdasarkan
histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron. Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu kelainan
minimal, nefropati membranosa, glomerulonefritis proliferatif, glomerulosklerosis
fokal segmental.
c. Sindroma Nefrotik Sekunder
1. Malaria kuartana atau parasit lainnya.
2. Penyakit kolagen seperti SLE, [urpura anafilaktoid.
3. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, air raksa.
5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif, hipokomplementemik.
C. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pencegahan Infeksi
Perawat serta seluruh keluarga yang menemani klien harus memperhatikan standard
precaution seperti cuci tangan, hindari interaksi dengan klien lain yang mempunyai
atau sedang terinfeksi penyakit menular, pantau kadar leukosit/ sel darah putih, dan
pantau TTV juga perhatikan bila terjadi tanda-tanda infeksi pada kulit yang
mengalami edema
2. Mencegah Kerusakan Kulit
Kaji keadaan kulit klien secara rutin, putar posis anak secara berkala supaya tidak
mengalami penekanan pada area edema, atau juga untuk mencegah dekubitus akibat
penekanan yang lama pada area kulit yang menonjol karena tulang seperti area tumit
atau scapula. pastikan area kulit selalu bersih serta kering untuk menghindari tempat
untuk tumbuhnya kuman/ mikroorganisme terutama di area edema yang biasanya
lembab akibat penguapan air dan keringat dari dalam kulit. anjurkan klien untuk
meenggunakan pakaian yang menyerap keringat misalnya yang berbahan katun dan
tipis.
3. Nutrisi dan kebutuhan cairan
Anak dengan nefrotik syndrome bisa jadi mengalami anorexia yang disebabkan oleh
penekanan edema area abdomen (ascites) ke area lambung sehungga menimbulkan
perasaan kenyang, oleh karena itu perawat harus mampu melakukan modifikasi bagi
klien anak yang mengalami kesulitan makan salah satunya dengan cara membuat
tampilan makanan semenarik mungkin untuk meningkatkan nafsu makan anak. Selain
itum anak juga dianjurkan makan sedikit tapi sering.
Untuk masalah cairan berikan retriksi cairan sesuai dengan derajat edema yang
dialami oleh klien karena bila klien mendapatkan asupan cairan berlebih
dikhawatirkan akan membuat cairan semakin menumpuk didalam tubuh. Selain itu
pertahankan diet rendah natrium/ sodium, tidak hanya mengurangi makanan yang
asin namun juga orang tua mampu memilah makanan yang mengandung MSG atau
pengawet yang mengandung banyak sodium. Diet tinggi protein juga mampu
diberikan pada klien dengan kondisi ketika klien sudah mengalami perbaikan fungsi
ginjal dilihat dari keseimbangan intake dan output. Untuk pasien sindrom nefrotik
dilakukan pembatasan konsumsi garam (mengrangi bengkak), protein secukupnya
sebanyak 0,8 – 1 gram/kg/BB/hari. Nutrisi protein didapat dengan
mengkonsumsiputih telur (meningkatkan albumin dan kolesterol rendah), selain itu
konsumsi daging ayam dan ikan.
4. Anjurkan klien untuk istirahat
Klien dengan nefrotik syndrome biasanya adalah anak-anak usia 3 hingga 7 tahun
yang sedang dalam fase senang bermain, namun klien dengan nefrotik syndrome
harus mengurangi aktifitasnya guna mengefektifkan treatmen yang telah
dilaksanakan. Klien dianjurkan bedrest untuk mengurangi edema dengan lebih cepat
serta mencegah adanya peningkatan tekanan darah. Perawat harus mampu mengkaji
adanya tanda fatigue, kelemahan, atau iritable pada klien.
5. Tingkatkan support emosional
Kecemasan mungkin timbul pada orang tua dengan anak yang mengalami nefrotik
syndrome apalagi melihat kondisi anak yang anasarka/ edema di sekujur tubuh, oleh
karena itu perawat harus mampu memberikan pengetahuan kepada orang tua
mengenai penyakit serta mengkaji mekanisme koping keluarga adaptif atau tidak
dengan adanya anak dengan nefrotik syndrome iini.
6. Discharge Planning
Sebelum pulang klien harus diberi tahu beberapa hal mengenai penyakit ini seperti
tanda tanda relaps atau kekambuhan, tanda tanda eksaserbasi atau penyakit
bertambah parah, cara melakukan perawatan kulit klien terutana area yang edema,
mengenai medikasi obat-obatan serta efek samping dan cara penanggulangannya,
serta tanda kegawatan yang mengaharuskan keluarga untuk segera mencari
pertolongan tim medis.
D. Terapi
1. Terapi Corticosteroid
Terapi kortikosteroid dinilai palinga efektifdalam penanganan nefrotik syndrome.
Kortikosteroid langsung diberikan ketika pertama kali diagnose ditegakkan.
Kortikosteroid biasanya jenis prednisone diberikan per oral dengan dosis 60 mg/m2/ hari
selama 6 minggu di term pertama lalu dosis 40 mg/m2/hari untuk 6 minggu kedua. Pada
tahun 2013 pengobatan inisial dapat dipilih dengan pemberian kortikosteroid 12 minggu
atau tetap 8 minggu dan dilanjutkan dengan penurunan dosis selama 2-3 bulan (tapering-
off), namun ada ususlan lagi pada tahu 2015 telah dilakukan perbandingan prednison 4-4
minggu selama 6 bulan (tapering-off) yang membuktikan bahwa pemberian prednison 4-
4 minggu tidak lebih dari inferior dan pemberian 6 bulan tidak mengurangi relaps (Sari
Pediatri,2015). Penilitian menganjurkan treatmen kortikosteroid minimal dilakukan
selama 3 bulan. Pada kebanyakan pasien dalam 7 hingga 21 hari akan berkurang
beberapa gejala seperti penurunan proteinuria, tidak adanya immunoglobulin G di urin,
penurunan hipertensi, hematuria, biasanya akan lebih baik setelah penggunaan
prednisone. Pada anak dengan MCNS beberapa akan mengalami relaps atau kekambuhan
sehingga membutuhkan treatmen steroid dengan dosis yang lebih banyak. Dosis atau
penggunaan steroid yang berlebih akan mampu menimbulkan beberapa komplikasi
seperti cushingoid dan retardasi pertumbuhan. Dalam penggunaan kortikosteroid perlu
disertai dengan penggunaan diuretic karena efek samping korikosteroid diantaranya
adalah mampu meretensi cairan.
Berikut adalah klasifikasi dari nefrotik syndrome sesuai dengan respon terhadap steroid:
a. Steroid sensitive respon terhadap steroid sangat baik, relaps mungkin terajadi
bergantung pada perjalanan penyakit
b. Frequent relaps 2 kali atau lebih relaps dalam 6 bulan, atau 4 kali atau lebih
relaps dalam 12 bulan
c. Steroid dependent 2 kali relaps berurutan ketika penggunaan steroid atau 2
minggu saat penggunaan steroid mulai dikurangi
d. Steroid resistant tidak menunjukkan perbaik setelah 4 minggu terapi
prednisone
2. Terapi Immunosupresant
Jenis obat immunosupresant yang sering dipakai adalah cyclophosphamide
(Cytoxan). Immunosupresant dapat membuat berkurangnya frekuensi relaps dan
mampu meningkatkan immunitas klien yang rentan terkena infeksi. Efek samping
dari terapi immunosupresant diantaranya adalah leukopenia, azotemia, atau bahkan
kemandulan yang lebih sering terjadi pada klien laki-laki
3. Terapi Diuretik
Jenis obat diuretik yang sering digunakan adalah furosemide dengan kombinasi
metolazone. Obat obat tersebut berguna untuk mengurangi beberapa gejala yang
biasanya ada pada klien nefrotik syndrome diantaranta adalah gangguan napas,
hipertensi, hiponatrium, serta kerusakan kulit.
Mekanisme
penghalang
Kerusakan
protein
glomerlurus
Anoreksia,
Hipoksia Metabolism nausea, vomitus Nafas tidak
jaringan anaerob adekuat
Gangguan
Iskemia Produksi asam pemenuhan Ketidakefektif
laktat nutrisi an pola nafas
Nekrosis
Menumpuk di Ketidakseimba Volume urin
otot ngan nutrisi yang diekskresi
Ketidakefek kurang dari
tifan perfusi kebutuhan
jaringan Kelemahan, tubuh Oliguri
perifer keletihan,
mudah capek
Intoleransi
aktivitas
konstipasi Mengubah
angiotensin Aldosterone
menjadi
angiotensin I &
II Merangsang
reabsorbsi Na+
dan air
Efek
vasokontriksi
arterioral Volume plasma
perifer
Tekanan darah
Beban kerja
jantung
Penurunan
curah jantung
F. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya penampilan klinis.
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang
berikut yaitu urinalisis, pemeriksaan sedimen urin, pengukuran protein urin, albumin
serum, pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan immunologis, USG renal, biopsi
ginjal, dan darah, dimana :
1. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam 24-48
jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan
penyakit ginjal. Protein urin meningkat (nilai normal negatif). Urinalisis adalah tes
awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan
dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan
kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
a. Negatif Urine jernih
b. Positif 1(+) Ada kekeruhan
c. Positif 2 (++) kekeruhan mudah dilihat dan ada endapan
d. Postif 3 (+++) urine lebih keruh dan endapan yang lebih jelas
e. Positif 4 (++++) urine sangat keruh dan disertai endapan yang menggumpal
2. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak
hialin dan torak eritrosit.
3. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin >
2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
4. Albumin serum
kualitatif : ++ sampai ++++
kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari
5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
6. USG renal: Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin
diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena
masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk
membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
Prosedur ini digunakan untuk mengambil sampel jaringan pada ginjal yang kemudian
akan diperiksa di laboratorium. Adapan prosedur biopsi ginjal sebagai berikut :
a. Peralatan USG digunakan sebagai penuntun. USG dilakukan oleh petugas
radiologi untuk mengetahui letak ginjal.
b. Anestesi (lokal).
c. Jarum (piston biopsi). Apabila tidak ada piston biopsi dapat menggunakan
jarum model TRUCUT maupun VIM SILVERMAN.
d. Tempat (pool bawah ginjal, lebih disukai disukai ginjal kiri).
e. Jaringan yang didapatkan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu untuk
pemeriksaan mikroskop cahaya & imunofluoresen.
f. Setelah biopsi.
1) Berikan pasien tengkurap + - sejam, tetapi apabila pada posisi tengurap
pasien mengalami sejas nafas maka biopsi dilakukan pada posisi duduk
2) Anjurkan untuk minum banyak
3) Monitor tanda-tanda vital terutama tekanan darah, & lakukan pemeriksaan
lab urin lengkap.
g. Apabila tidak terdapat kencing darah (hematuria) maka pasien dipulangkan.
Biasanya untuk pada pasien yang beresiko rendah, pagi biopsi sore pulang (one
day care ).
8. Darah
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium meningkat tapi
biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan dengan retensi dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah nerah).
Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein dan albumin
melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14
tahun : kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah
dijumpai Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8
gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N:
0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml), γ globulin normal (N:
0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah
(N: 80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal. (Sumber:
Siburian, 2013)
G. Pengkajian
Identitas Klien
4) Umur: Lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th). Ini
dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan genetik
sejak lahir.
5) Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak perempuan
dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun terjadi
perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase oedipal/falik dengan
ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah genitalnya.
Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama daerah genital.
Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan kebersihan tangan
kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya infeksi.
6) Agama
7) Suku/bangsa
8) Status
9) Pendidikan
10) Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan hubungannya
dengan klien.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar
(adanya acites)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan hal
berikut:
3) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
4) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya
keluhan pusing dan cepat lelah
5) Kaji adanya anoreksia pada klien
6) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perawat perlu mengkaji:
1) Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
2) Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya?
3) Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya
riwayat alergi terhadap jenis obat
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu timbulnya
manifestasi klinis sindrom nefrotik
f. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
1) Pola nutrisi dan metabolisme: Anoreksia, mual, muntah.
2) Pola eliminasi: Diare, oliguria.
3) Pola aktivitas dan latihan: Mudah lelah, malaise
4) Pola istirahat tidur: Susah tidur
5) Pola mekanisme koping : Cemas, maladaptif
6) Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
g. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
2) Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
3) Kesadaran: biasanya compos mentis
4) TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
5) Pemeriksaan sistem tubuh
a) B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas walau
secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase
lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas yang
merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari peningkatan
beban volume.
c) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis
mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem
saraf pusat.
d) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
f) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema
tungkai dari keletihan fisik secara umum
h. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin.
Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran glomerulus.
(Astuti, 2014; Munandar, 2014).
I. Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom nefrotik
diharapkan sebagai berikut :
a. Kelebihan volume cairan teratasi
b. Meningkatnya asupan nutrisi
c. Meningkatnya citra tubuh
d. Bersihan jalan nafas efektif
e. Perfusi jaringan perifer efektif
f. Pola nafas efektif
g. Aktivitas dapat ditoleransi
h. Curah jantung mengalami peningkatan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nephrotic Syndrom adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury
glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik : proteinuria,
hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia, dan edema.(Suriadi,2006).
Syndrom nefrotik secara etiologi dibagi menjadi 3 yaitu
1. Sindrom nefrotik bawaan
2. Sindrom nefrotik idiopatik
3. Sindrom nefrotic sekunder
B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama mahasiswa
keperawatan.
2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa
keperawatan.
3. Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi
dan forum terbuka
DAFTAR PUSTAKA