KEPERAWATAN GERONTIK
Disusun oleh :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomi-fisiologi dan dapat timbul pula penyakit-
penyakit pada sistem pernafasan. Usia harapan hidup lansia di Indonesia semakin meningkat
karena pengaruh status kesehatan, status gizi, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan sosial
ekonomi yang semakin meningkat sehingga populasi lansia pun meningkat. Pada tahun 2010
jumlah warga lanjut usia (lansia) di Indonesia akan mencapai 19.079.800 jiwa (BAPPENAS,
BPS, UNFPA. 2005) pada tahun 2014 akan berjumlah 22.232.200 jiwa atau 9,6% dari total
penduduk dan pada tahun 2025 akan meningkat sampai 414% dibandingkan tahun 2004 (WHO,
2005).
Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara masuk dan keluar dari
paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan dengan karbondiaoksida. Sistem pernafasan atas
meliputi hidung, rongga hidung, sinus-sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi
trakhea, bronkus-bronkus, dan paru.
Rongga thoraks tersusun atas susunan tulang iga yang membatasi/rib cage (sebagai
“dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”). Mediastinum membagi dua rongga pleura. Tiap
paru terletak di dalam satu rongga pleura, yang dilapisi dengan membran serosa disebut pleura.
Pleura parietal menutupi permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga diafragma dan
mediastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar paru dan meluas hingga fisura antara
lobus. Membran pleura mensekresi cairan pleura dalam jumlah sedikit, yang menciptakan
kelembaban dan mantel licin untuk lubrikasi saat bernafas. Paru terbagi atas beberapa lobus yang
terpisah dengan jelas. Paru kanan terdiri dari tiga lobus : lobus superior, media dan inferior. Paru
kiri hanya memiliki dua lobus: lobus
superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas permukaan diafragma.
Menurut ilmu demografi Indonesia dalam masa transisi demografi yaitu perubahan pola
penduduk berusia muda ke usia tua. Infeksi saluran nafas bagian bawah akut dan tuberkulosis
paru menduduki 5 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Gangguan sistem respirasi
merupakan gangguan yang menjadi masalah besar di dunia khususnya Indonesia diantaranya
adalah penyakit pneumonia, TBC, dan asma. Menurut laporan WHO pada tahun 2006,
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001, pneumonia merupakan
urutan terbesar penyebab kematian pada balita. Pneumonia dapat mengenai anak di seluruh
dunia, bila diumpamakan kematian anak-anak di seluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap
jam, anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat pneumonia, yang
mencapai hampir 1 dari 5 kematian balita di seluruh dunia. Insiden pneumonia di negara
berkembang adalah 10-20 kasus/100 anak/tahun (10-20%). Sedangkan insiden TBC, WHO
mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429
ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India,
Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010).
Peningkatan insiden dan prevalensi pneumonia pada lansia juga dikaitkan dengan
penyakit komorbid yang diderita pasien, seperti diabetes melitus, penyakit jantung, malnutrisi,
dan penyakit hati kronik. Sebagai contoh, diabetes melitus menyebabkan penurunan fungsi
sistim imun tubuh baik proses kemotaksis maupun fagositosis. Pada gagal jantung kongestif
yang disertai edema paru, fungsi clearance paru berkurang sehingga kolonisasi kuman pernafasan
mudah berkembangbiak. Pasien yang sebelumnya sering mengonsumsi obat-obatan yang bersifat
sedatif atau hipnotik berisiko tinggi mengalami aspirasi sehingga mempermudah
terjadinya infeksi. Hal itu disebabkan kedua obat tersebut menekan rangsang batuk dan
kerja clearance mukosilier (WHO, 2010).
Dampak yang diakibatkan meliputi masa rawat yang lebih panjang, biaya rawat yang
lebih besar serta sering timbulnya komplikasi berat sehingga menimbulkan penurunan kualitas
hidup. Infeksi saluran nafas atas dan influenza malah sering berlanjut menjadi pneumonia yang
gejala dan tanda pneumonia pada lansia sering tidak khas yang menyebabkan keterlambatan
diagnosis, belum lagi meningkatnya resistensi mikroba terhadap antibiotika. Adapun peran kita
sebagai seorang perawat dalam mencegah ataupun menangani gangguan yang terjadi pada sistem
pernapasan lansia adalah memberikan pendidikan kesehatan pada lansia untuk mencegah
terjadinya gangguan yang lebih kronis dan memberikan tindakan keperawatan sesuai wewenang
kita sebagai seorang perawat sesuai indikasi yang diderita oleh lansia (Geffen, 2006).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas,kelompok merumuskan permasalahan
sebagai berikut : “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan Pernaapasan
(PPOM)”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini dibuat untuk bertujuan memenuhi salah satu tugas kelompok mata ajar
keperawatan gerontik dengan judul : “Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan (PPOM)”
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perubahan fisiologis pada proses penuaan.
b. Memahami perubahan anatomi dan fisiologis sistem respiratori pada lansia.
c. Mengetahui masalah-masalah pada perubahan sistem respiratori pada lansia.
d. Mengetahui dan dapat memberikan gambaran PPOM pada lansia.
e. Mengetahui proses asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan sistem pernapasan
(PPOM).
D. Manfaat
Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan sistem pernapasan (PPOM)
BAB
II
KONSEP TEORI
Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot
dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua
bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut
pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis).
4. Mekanisme Pernapasan
a. Ventilasi
Proses keluar dan masuknya udara dari luar menuju paru hingga alveoli atau sebaliknya.
b. Pertukaran Gas
Pertukaran gas di dalam sistem pernapasan terbagi menjadi dua ada yang disebut dengan
proses difusi dan proses perfusi
c. Transportasi gas
Pengangkutan gas dengan darah dari paru menuju jantung untuk dibawa ke seluruh tubuh
sebaliknya dari seluruh organ tubuh menuju jantung & paru.
5. Kompliance Paru
a. Kompliance paru adalah kemampuan paru untuk melakukan pengembangan yang dipengaruhi
oleh tekanan dan volume paru.
b. Kemampuan paru untuk mengecil adalah alastisitas
c. Semakin besar volume paru, semakin kecil compliance sehingga tekanan paru juga kecil.
d. Elastic Recoil adalah kemampuan paru untuk kembali ke bentuk semula dalam keadaan istirahat.
e. Surfaktan adalah campuran lipoprotein yang mempengarui paru untuk ekspansi.
6. Volume Paru
Tidal volume (TV) ; vol yg diinspirasi atau diekpirasi tiap kali bernafas normal, kira kira 500
mililiter pada rata2 orang dewasa muda
Vol. cadangan inspirasi (IRV) ialah volume udara ekstra yang diinspirasi mel. inspirasi kuat
setelah volume alun nafas normal, mencapai 3000 mililiter
Volume cadangan ekspirasi (ERV) yaitu jumlah udara ekstra yang dpt diekspirasi oleh ekspirasi
kuat setelah ekpirasi alun, sekitar 1100 mililiter.
Volume residu (RV) yaitu volume udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi maksimal.
Vital capacity (VC);IRV+TV+ERV adalah; vol udara max yang dapat dikeluarkan , setelah
terlebih dahulu inspirasi maksimum & kemudian ekspirasi sekuat-kuatnya/maximal (±4600ml).
Total lung capacity(TLC); volume udara max pengembangan paru dengan inspirasi maksimal
(kira-kira 5800 mililiter):
= RV + ERV + TV + IRV
= FRC + IC
C. Perubahan Struktur dan Fisiologis Sistem Pernapasan Pada Lansia
Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia yang dimulai dengan
penjelasan tentang perubahan anatomic dan fisiologik jantung:
1. Perubahan anatomik pada respirasi
Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi
anatomi maupun fisiologinya. Perubahan-perubahan anatomi pada lansia mengenai hampir
seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ. Perubahan
anatomi yang terjadi turut berperan terhadap perubahan fisiologis sistem pernafasan dan
kemampuan untuk mempertahankan homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat
seseorang memasuki masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan
anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah sebagai berikut :
a. Paru-paru kecil dan kendur.
b. Pembesaran alveoli.
c. Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu
d. Kelenjar mucus kurang produktif
e. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
f. Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
g. Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangani.
h. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Penurunan sensivitas
kemoreseptor.
(Stanley, 2006).
2. Perubahan Fisiologik pada pernapasan
Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi pada lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan muntah pada lansia
menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan pada sistem respiratory. Hal ini terjadi karena
saluran pernafasan tidak akan segera merespon atau bereaksi apabila terdapat benda asing
didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah pada lansia telah
mengalami penurunan.
Penurunan kompliants paru dan dinding dada. Hal ini menyebabkan jumlah udara (O2)
yang dapat masuk ke dalam saluran pernafasan menurun dan menyebabkan terjadinya
peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan tubuh.
Atrofi otot pernafasan dan penurunan kekuatan otot pernafasan. Kedua hal ini
menyebabkan pengembangan paru tidak terjadi sebagai mestinya sehingga klien mengalami
kekurangan suplay O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi penigkatan RR yang dapat
menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah permukaan
alveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen yang menyebabkan klien kekurangan
suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dang aster serta hilangnya tonus sfringter kardiak.Hal ini
menyebabkan lansia mudah mengalami aspirasi yang apabila terjadi dapat mengganggu
fisiologis pernafasan.
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil menyebabkan ruangatau
permukaan difusi gas berkurang bila dibandingkan dengan dewasa.
3. Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru
Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa faktor yang
dapat memperburuk fungsi paru, Faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru antara lain :
a. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan saluran nafas. Pada
tingkat awal, saluran nafas akan mengalami obstruksi clan terjadi penurunan nilai VEP1 yang
besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru. (Dharmojo dan Martono, 2006)
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada obesitas,
biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada dan (finding perut, akan dapat
mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume paru atau terjadi keterbatasan
gerakan pernafasan (restriksi) dan timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif. (Dharmojo dan
Martono, 2006)
c. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-otot
berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan relatif' berkurang. Imobilitas
karena kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru
(ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan imobilitas (paru), misalnya efusi pleura,
pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat dilakukan
dengan menjalankan olah raga secara intensif. (Dharmojo dan Martono, 2006)
d. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari pengalaman para ahli
diketahui bahwa yang pasti memberikan pengaruh faal paru adalah:
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan proses ventilasi, distribusi gas, difusi
gas serta perfusi darah kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah mudah
menimbulkan komplikasi paru : atelektasis, infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi
kematian, karena timbulnya gagal nafas. (Dharmojo dan Martono, 2006)
4. Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut
Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada, tekanan maksimalinspirasi
dan ekspirasi menurun dan elastisistas jaringan paru juga menurun. Pada pengukuranterlihat
FEV1, FVC menurun, PaO2 menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar, merupakanrisiko
untuk terjadinya gagal napas. Selain itu terjadi perubahan berupa (Lukman, 2009):
a. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasiberkurang,
sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensialterjadi
penumpukan sekret.
c. Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga jumlah udara pernafasan yangmasuk
keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas permukaan normal 50m²),
menyebabkan terganggunya prose difusi.
e. Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu proses oksigenasi
darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan.
f. CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun yang lama
kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
g. Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium dari salurannafas
berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.
Penyebab kegawatan napas pada lansia meliputi obstruksi jalan napas atas, hipoksi
karenapenyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks, pneumonia aspirasi, rasa nyeri,
bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang
sering terjadi pada lansia adalah pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas, nyeri dada.
Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare dalam bukunya buku ajar keperawatan
gerontik, perubahan struktur anatomis dan fisiologis pada lansia dapat di klasifikasikan sebagai
berikut :
Perubahan Anatomis dan Gangguan Fungsi Pulmonal
Perubahan Hasil Perubahan
1. Kalsifikasi kartilago
Peningkatan diameter Penurunan PaO2
kosta anteroposterior
Peningkatan pernapasan
abdomen dan diafragma
Peningkatan kerja
pernapasan
2. Atrofi otot pernapasan
Peningkatan risiko untuk Penurunan kecepatan
terjadinya kelelahan otot aliran ekspirasi maksimal
inspirasi
3. Penurunan
dalam Peningkatan
volume Peningkatan volume
rekoil elastic penutupan residu
Peningkatan udara yang
terjebak
Ketidakcocokan
ventilasi-perfusi
4. Pembesaran
duktus Menurunnya
area Menurunnya kekuatan
alveolar permukaan alveolar kapasitas vital
5. Peningkatan ukuran
Menurunnya kapasitas Menurunnya kapasitas
dan kekakuan trakea dan difusi vital
jalan napas pusat Peningkatan ruang mati
2. Etiologi.
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Timbulnya penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
resiko yang terdapat pada penderita, antara lain merokok sigaret yang berlangsung lama, polusi
udara, infeksi paru berulang, umur, jenis kelamin, ras, defisiensi alfa-1 antitripsin, defisiensi
antioksidan dan sebagainya. Pengaruh dari masing-masing faktor resiko terhadap terjadinya PPOM
adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan dalam menimbulkan
penyakit ini.
3. Patofisiologi.
Faktor-faktor resiko yang telah disebutkan di atas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulknn kerusakan pada dinding bronkiolis terminal. Akibat dari
kerusakan yang timbul akan terjadi obstruksi bronkus keel (bronkiolus terminal), yang mengalami
penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang pada saat inspirasi mudah masuk ke dalam
alveoli, saat ekspirasi banyak yang terjebak. dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara
(airtrapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak nafas dengan segara akibat-
akibatnya. Adanya obstruksi dini saat awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas,
maupun perfusi darah akan mengalami gangguan.
4. Gambaran klinik.
Gambaran klinik yang ditemukan adalah gambaran penyakit paru yang mendasari ditambah
tanda-tanda klinik akihat terjadinya obstruksi bronkus. Gambaran klinik bila diamati secara cermat
akan mengarah pada dua hal atau dua tipe pokok: (1) mempunyai gambaran klinik dominan ke
arah bronkitis kronis (blue bloater type); dan (2) gambaran klinik predominant ke arah emfisema
(pink puffer type).
5. Diagnosis.
Diagnosis PPOM ditegakkan dengan metode yang lazim (terarah dan sistimatik), meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan
kelemahan badan, batuk, sesak nafas, sesak nafas waktu aktivitas clan nafas berbunyi, mengi atau
wheeze. Oleh karena perjalanan penyakitnya lambat, maka anamnesis harus dilakukan secara hati-
hati dan teliti.
Pada pemeriksaan fisik, pada penderita tingkat penyakitnya masih awal mungkin tidak
ditemukan kelainan. Adanya ekspirasi yang memanjang merupakan petunjuk kelainan dial. Pada
penyakit tingkat lanjut, tampak bentuk dada seperti tong, ditemukan penggunaan otot-otot bantu nafas,
suara nafas melemah, terdengar suara mengi yang lemah. Kaitting ditemukan (gerak) pernafasan
paradoksal. Selain itu dapat ditemukan edema kaki, mites dan jari tabuh.
Pemeriksaan faal paru merupakan pemeriksaan penunjang yang penting, untuk mendiagnosis
PPOM. Untuk menentukan apakah pada penderila terdapat obtruksi saluran nafas dapat dilakukan
pemeriksaan dengan spirometri (spirogram) atau memeriksa nilai arus puncak ekspirasi (APE)
dengan alat sederhana, yaitu menggunakan mini Wright
Peak Plow Meter.
Pengukuran volume ekspirasi paksa satu detik pertama (VEP I) merupakan pemeriksaan
akurat, standar, mudah dilakukan dengan spirometer, dan dapat digunakan untuk melihat beratnya
obstruksi saluran nafas. Tingkatan hemoglobin dalam darah itu dapat memperkirakan adanya Polycytemia,
yang mengakibatkan terjadinya Hypoxemia secara perlahan-lahan.
Tingkatan PPOM menurut National Institute Of Health Lung and Blood, Bethesda 2001.
TINGKATAN NILAI / DERAJAT PERSENTASI VEP I
Spirometry Normal
0 Resiko Gejala menaun (batuk,
produksi sputum)
I Ringan ≥ 80 %
II Sedang < 80 %
III Berat < 30 %
6. Penatalaksanaan.
Dalam penatalaksanaan penderita PPOM perlu diperhatikau faktor-faktor yang dapat
memperjelek perjalanan penyakit, yang hams dicegah terjadinya pada penderita. Apabila faktor-faktor
tadi sudah ada pada penderita, hendaknya diusahakan .meniadakannya atau menguranginya. Faktor-
faktor yang dapat memperjelek keadaan penyakit penderita, misalnya :
Faktor-faktor resiko, yaitu faktor yang dapat memperjelek penyakit, misalnya kebiasaan merokok,
polusi udara dan lingkungan pekerjaan, faktor genetik, infeksi (saluran nafas) dan perubahan cuara.
Derajat obstruksi saluran nafas yang terjadi. Oleh karena itu identifikasi komponen-komponen
yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas (obstruksi) sangat perlu dilakukan.
Tahap perjalanan penyakit.
Perjalanan penyakit PPOM lambat progresif. Oleh karena itu perlu diketahui apakah penyakit
PPOM sedang tenang atau progresif perjalanannya. Penyakit lain di luar paru, misalnya sinusitis,
faringitis dan sebagainya.
Dalam hal ini kelompok mengangkat askep PPOM pada lansia dikarenakan penyakit ini
sangat menonjol (berdasarkan buku Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri hal 39
tahun 2000).
A. Pengkajian
Pengkajian pada pernafasan dengan klien PPOM yang didasarkan pada kegiatan sehari –
hari. Ukur kualitas pernafasan antara skala 1 sampai 10. Dan juga mengidentifikasi faktor sosial
dan lingkungan yang merupakan faktor pendukung terjadinya gejala. Perawat juga
mengidentifikasi type dari gejala yang muncul antara lain, tiba-tiba atau membahayakan dan
faktor presipitasi lainnya antara lain perjalanan penularan temperatur dan stress.
Pengkajian fisik termasuk pengkajian bentuk dan kesimetrisan dada, Respiratory Rate dan
Pola pernafasan, posisi tubuh menggunakan otot bantu pernafasan dan juga warna, jumlah,
kekentalan dan bau sputum. Palpasi dan perkusi pada dada diidentifikasikan untuk mengkaji
terhadap peningkatan gerakan Fremitus, gerakan dinding dada dan penyimpanan diafragma.
Ketika mengauskultasi dinding dada pada dewasa tua / akhir seharusnya diberi cukup waktu
untuk kenyamanan dengan menarik nafas dalam tanpa adanya rasa pusing (dizzy) (Loukenotte,
M.A, 2000).
1. Aktifitas / istirahat
Keletihan, kelemahan, malaise, ketidak mampuan melakukan aktifitas sehari-hari karena sulit
bernafas.
2. Sirkulasi
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan tekanan darah,takikardi.
3. Integritas ego
Perubahan pola hidup, ansietas, ketakutan,peka rangsang
4. Makanan / cairan
Mual / muntah, anoreksia, ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit
buruk, berkeringat.
5. Higiene
Penurunan kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktifitas sehari-hari,
kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Nafas pendek, rasa dada tertekan, dispneu, penggunaan otot bantu pernafasan.
7. Keamanan
Riwayat reaksi alergi / sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan.
8. Seksualitas
Penurunan libido.
9. Interaksi sosial
Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, keterbatasan mobilitas fisik.
(Doengoes, 2000 :152 ).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim pada lansia dengan PPOM menurut
(Kushariyadi:2011), antara lain :
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Berhubungan dengan :
- Infeksi
- Trauma
- Kerusakan perseptual / kognitif
- Bronkospasme
- Peningkatan produksi sekret,sekresi tertahan,tebal,sekresi kental
- Penurunan energi / kelemahan
Ditandai dengan :
- Sianosis,dispnea,demam,takipnea
- Pernyataan kesulitan bernapas
- Perubahan kedalaman atau kecepatan pernapasan,penggunaan otot aksesori
- Bunyi napas abnormal,misal,mengi,ronkhi,krekels
- Batuk (menetap),dengan / tanpa produksi sputum
2. Kerusakan Pertukaran Gas
Berhubungan dengan :
- Perubahan aliran darah
- Perubahan kapasitas angkut oksigen oleh darah
- Perubahan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, dan jebakan
udara).
- Kerusakan membran alveo-kapiler.
Ditandai dengan :
- Dipsnea.
- Somnolen, mudah terangsang, bingung, gelisah.
- Ketidakmampuan mengeluarkan sekret.
- Nilai GDA abnormal (hipoksia dan hiperkapnia).
- Perubahan tanda vital.
- Penurunan toleransi terhadap aktivitas.
3. Perubahan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Berhubungan dengan :
- Ketidakmampuan untuk menelan atau mencerna makanan atau menyerap makanan karena faktor
biologis dan psikologis.
- Dipsnea.
- Kelemahan.
- Efek samping obat.
- Produkasi sputum.
- Anoreksia, mual/muntah.
Ditandai dengan :
- Kelemahan otot menelan atau pengunyah.
- Penurunan berat badan.
- Kehilangan masa otot, tonus otot buruk.
- Kelemahan.
- Mengeluh gangguan sensasi pengecapan.
- Keengganan untuk makan, kurang tertarik pada makanan.
C. Intervensi / Perencanaan
Ditandai dengan :
- Kelemahan otot menelan atau pengunyah.
- Penurunan berat badan.
- Kehilangan masa otot, tonus otot buruk.
- Kelemahan.
- Mengeluh gangguan sensasi pengecapan.
- Keengganan untuk makan, kurang tertarik pada makanan.
Kriteria hasil/kriteria evaluasi :
- Menunjukan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
- Mengonsumsi diet tinggi kalori yang seimbang (±2400 kalori).
- Menunjukan perilaku atu perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat
yang tepat.
Tindakan keperawatan:
Tindakan/intervensi Rasional
Mandiri:
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan. Klien distres pernapasan akut sering
Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat anoreksia karena dipsnea, produksi sputum,
badan dan ukuran tubuh. dan obat. Klien PPOM mempunyai kebiasaan
buruk, meskipun kegagalan pernapasan
membuat status hiprmetabolik dan terjadi
peningkatan kebutuhan kalori.
2. Auskultasi bunyi usus Penurunan bising usus menunjukan
penurunan motilitas gaster dan konstipasi
berhubungan dengan pembatasan
pemasukkan cairan, pilihan makan buruk,
penurunan aktivitas, dan hipoksemia.
3. Berikan perawatan oral sering, buang Rasa tidak enak, bau, dan penampilan adalah
sekrekt, berikan wadah khusus untuk sekali pengganggu utama nafsu makan, membuat
pakai dan tisu. mual, muntah dengan peningkatan kesulitan
nafas.
4. Ajarkan dan awasi penggunaan makan Mencatat asupan oral dan kemajuan klien
sehari-hari. terhadap asupan yang tidak adekuat.
5. dorong periode istirahat semalam, serta 1 Menurunkan kelemahan selama waktu makan
jam sebelum dan sesudah makan. Berikan dan memberikan kesempatan untuk
makan porsi kecil tapi sering. meningkatkan masukan kalori total.
6. Hindari makanan penghasil gas dan Mengahasilkan distensi abdomen yang
minuman karbonat. mengganggu napas abdomen dan gerakan
diafragma, serta dapat meningkatkan dipsnea.
7. Hindari makanan yang sangat panas/sangat Suhu ekstrem mencetuskan/meningkatkan
dingin. spasme batuk.
8. Timbang berat badan sesuai indikasi. Menentukan kebutuhan kalori, menyusun
target berat badan, dan evaluasi keadekuatan
rencana nutrisi.
Catatan : penurunan berat badan dapat
berlanjut, meskipun masukan adekuat.
9. Bantu keluarga merencanakan makanan Penambahan kecil seperti margarin, mentega
tinggi kalori dan protein. dan coklat akan meningkatkan asupan kalori.
Kolaborasi :
10. Konsul ahli gizi/nutrisi untuk Metode makan dan kebutuhan kalori
memberikan makanan yang mudah dicerna, didasarkan pada situasi/kebutuhan klien
nutrisi seimbang, misal, nutrisi tambahan oral untuk memberikan nutrisi maksimal dengan
atau selang, serta secara parenteral. upaya minimal klien atau penggunaan energi.
11. Kaji pemerikasaan laboratorium, misal, Mengevaluasi atau mengatasi kekurangan
albumin serum, transferin, asam amino, besi, dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
keseimbangan nitrogen, glukosa, fungsi hati
dan elektrolit.
12. Berikan oksigen tambahan selama makan Menurunkan dipsnea dan meningkatkan
sesuai indikasi. energi untuk makan.
D. Evaluasi
Fokus utama pada klien Lansia dengan PPOM adalah untuk mengembalikan kemampuan
dalam ADLS, mengontrol gejala, dan tercapainya hasil yang diharapkan. Klien Lansia mungkin
membutuhkan perawatan tambahan di rumah, evaluasi juga termasuk memonitor kemampuan
beradaptasi dan menggunakan tehnik energi conserving, untuk mengurangi sesak nafas, dan
kecemasan yang diajarkan dalam rehabilitasi paru. Klien Lansia membutuhkan waktu yang lama
untuk mempelajari tehnik rehabilitasi yang diajarkan. Bagaimanapun, saat pertama kali
mengajar, mereka harus mempunyai pemahaman yang baik dan mampu untuk beradaptasi
dengan gaya hidup mereka.(Leukenotte, M A, 2000 : 502)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada usia lanjut terjadi penularan analomi - fisiologi paru dan saluran nafas, antara lain
berupa pengurangan elastic recoil paru; kecepatan arus ekspirasi, tekanan oksigen acted serta
respons pusat reflek pernafasan terhadap rangsangan oksigen arteri atau hiperkapnia. Hal-hal tersebut
berpengaruh pada mekanisme perthanan tubuh terhadap timbulnya penyakit paru
Penyakit paru yang sering ditemukan pada usia lanjut adalah infeksi saluran nafas akut
bagian bawah PPOM. Berhagai cara dapat dilakukan untuk pencegahan terhadap timbulnya
infeksi pernafasan akut bagian bawah, PPOM. Untuk mencegab melanjunya penurunan fungsi
paru, antara lain dapat diatasi dengan melakukan olah raga atau latihan fisik yang teratur, selain
meningkatkan taraf kesehatan usia lanjut. Laju penurunan fungsi paru dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal paru secara berkala.
B. Saran
Untuk Lansia menghindari faktor resiko :
1. Anjurkan klien untuk tidak merokok
2. Anjurkan klien untuk cukup istirahat
3. Anjurkan klien untuk menghindari alergen
4. Anjurkan klien untuk mengurangi aktifitas
5. Anjurkan klien untuk mendapatkan asupan gizi yang cukup
Untuk keluarga memberikan dukungan :
1. Anjurkan keluarga untuk memberi perhatian pada klien
2. Anjurkan keluarga untuk memantau kondisi klien
3. Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
DAFTAR PUSTAKA
Kushariyadi 2010.Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia Jakarta : Salemba Medika
R.Boedi-Dharmoio dan H.hadi Martono (1999).Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan usia lanjut)
edisi ke-3.Jakarta : EGC