Anda di halaman 1dari 15

SATUAN ACARA KEGIATAN (SAK)

Topik : Terapi kognitif pada lansia

Sub Pokok Bahasan : terapi bermain balon

Sasaran : lansia

Hari / Tanggal : kamis / 25 Agustus 2022

Waktu : 13.00 WIB s.d selesai

Tempat : Panti sosial Tresnawerda

A. Latar Belakang

Lanjut usia dapat dikategorikan dalam usia dewasa akhir, yakni pada umur 60 tahun
keatas (Sobur, 2003). Usia 60 tahun merupakan masa permulaan tua dan sudah mengalami
kemunduran dalam hal fisik, sosial, dan psikologis. Permasalahan pada lanjut usia menurut
Hurlock (2004) biasanya berupa keadaan yang tergantung dengan orang lain karena keadaan
fisik yang sudah menurun, status ekonomi yang menurun dan mempengaruhi perubahan pola
hidup, proses adaptasi dalam hubungan sosial karena ditinggal pasangan hidup dan teman
seusia karena meninggal dunia, mengembangkan kegiatan baru karena aktivitas sehari-hari
yang sudah mulai menurun, serta beradaptasi terhadap kondisi anak-anak yang sudah dewasa.
Kondisi tersebut membuat lanjut usia harus beradaptasi lagi dengan banyak aspek dalam
dirinya yang dapat menjadi pemicu timbulnya permasalahan psikologis. Meningkatnya usia
harapan hidup dari tahun ke tahun menimbulkan semakin banyak jumlah lanjut usia tahun
(Priatmaja, 2011), sedangkan kondisi lanjut usia perlu penanganan khusus agar dapat
tertangani dengan tepat dalam proses adaptasi terhadap kondisi dari diri yang terus
mengalami penurunan dan mulai melemah. Proses penanganan pada lanjut usia harus bersifat
holistik baik penanganan pada kondisi fisik, psikologis, serta sosial. Hal tersebut
menunjukkan bahwa lanjut usia memerlukan penanganan khusus agar dapat mempertahankan
kesehatannya dan meningkatkan kemandirian.
Penurunan fungsi kognitif dalam rentang masih ringan merupakan kondisi yang masih
normal terjadi pada lansia. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif dari
lansia yaitu usia, kemampuan regenerasi pada otak, ketidakadekuatan vaskularisasi ke otak
dan hormon. Akibat lanjut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup lansia,
ketidakoptimalan status fungsional, dan juga dapat berpengaruh pada perasaan bahagia serta
kreativitas (Santoso & Rohmah, 2011). Hal ini bisa disebabkan karena pertambahan usia pada
lansia sehingga menyebabkan penurunan pada kecepatan belajar, kecepatan dalam
memproses informasi baru dan kecepatan bereaksi terhadap rangsangan sekitar. Lansia yang
sering mulai kelupaan sering dianggap memasuki masa pikun atau juga disebut dengan
demensia (Putri, dkk, 2012).

Menurut Miller (2004) kondisi penuaan dapat menimbulkan berbagai perubahan


kesehatan pada lansia, baik secara fisik maupun psikologis. Tidak hanya itu, proses penuaan
juga dapat menjadi sebuah beban bagi beberapa lansia. Dari mulai terjadinya penurunan
bahkan kemunduran pada kemandirian lansia, seperti keterbatasan gerak dalam hal fisik dan
penurunan fungsi kognitif dalam hal psikologis (Watson, 2003 dalam Ah. Yusuf, dkk, 2010).
Secara umum ketika seseorang telah memasuki masa lansia, maka lansia akan mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotornya. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
orientasi, pemahaman, pengertian dan perhatian. Jika fungsi kognitif tidak diasah sedari
sebelum memasuki usia lanjut, dapat menyebabkan reaksi dan perilaku lansia cenderung
makin lambat. Berdasarkann beberapa penelitian, penurunan kognitif pada usia lanjut yang
berumur kurang lebih 75 tahun terjadi penurunan fungsi kognitif sebanyak 25% (Silvia, 2008
dalam Ah. Yusus, dkk, 2010). Pada lansia daya ingat sering kali membuat seseorang
mengalami penurunan dalam fungsi kognitif. Salah satu perubahan kognitif yang terjadi pada
lansia yaitu perubahan memori atau daya ingat. Pada lansia, daya ingat merupakan salah satu
fungsi kognitif yang paling awal mengalami penurunan. Kerusakan kognitif berupa
penurunan daya ingat inilah yang biasa kita sebut dengan demensia (Azizah, 2011).

Penurunan kognitif tidak hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang
berpengaruh terhadap proses penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada lansia
yang sehat. Pada beberapa orang, proses penurunan fungsi kognitif dapat berlanjut
sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia (Pramanta, dkk, 2002). Apabila
demensia dibiarkan, akibat yang akan terjadi dapat berkaitan dengan memori panjang dan
proses informasi. Pada memori panjang, lansia akan mulai kesulitan dalam mengungkapkan
kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya dan informasi baru atau
informasi tentang orang.

Peningkatan angka kejadian dari penurunan fungsi kognitif dan aktivitas fisik dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko antara lain genetik, usia, tingkat pendidikan, riwayat
keluarga, akibat pengobatan dan adanya trauma kepala. Menurunnya fungsi otak dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi sosial, penurunan intelektual, penurunan fungsi
kognitif dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari ataupun aktivitas fisik (Mujahidullah, 2012).
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap penurunan daya ingat. Beberapa tindakan yang
dapat digunakan dalam mengatasi penurunan daya ingat antara lain dengan mengenal
kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki, terapi individu dengan melakukan terapi
kognitif, terapi aktivitas kelompok dan senam otak (Stuart & Laraia, 2010). Terapi non
farmakologi perlu diterapkan karena dapat menunda penurunan fungsi kognitif dengan
menerapkan perilaku sehat dan melakukan stimulasi otak sedini mungkin. Terapi yang
diberikan dapat berupa rekreasi, membaca, mendengarkan musik, mengingat waktu dan
tempat, berdansa, terapi seni dan senam otak untuk melatih kemampuan otak dalam bekerja
(Yanuarita, 2012). Berbagai cara dapat dilakukan dalam mencegah peningkatan angka
kejadian dari penurunan fungsi kognitif dan aktivitas fisik pada lansia, antara lain dengan
melakukan diet rendah lemak, meditasi, latihan atau olahraga (senam) dan terapi yang
berguna untuk menjaga ketajaman daya ingat dan mengoptimalkan fungsi otak
(Mujahidullah, 2012). Jenis terapi atau intervensi yang digunakan bagi lansia dengan
penurunan fungsi kognitif diantaranya art therapy dan brain gym.

B. Tujuan

1.Tujuan Umum

Setelah diberikan pendidikan kesehatan dan demonstrasi mengenai apa itu terapi kognitif
pada lansia selama 45 menit, diharapkan penderita demensia pada lansia dan yang mengalami
penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat mengetahui apa itu terapi kognitif dan mampu
melakukan senam otak (brain gym) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan fungsi
kognitif lansia.

2.Tujuan Khusus

Setelah diberikan pendidikan kesehatan mengenai terapi kognitif yaitu senam otak pada
lansia penderita demensia, maka diharapkan lansia :
a.Mampu mengetahui dan memahami apa itu terapi kognitif pada lansia yang salah satunya
senam otak.

b.Mampu mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi
kognitif (senam otak) pada lansia yang menderita demensia.

c.Mampu mengetahui, memahami, dan melaksanakan kegiatan terapi kognitif (senam otak)
yang akan diajarkan untuk lansia penderita demensia.

C. Topik
Terapi kognitif pada lansia
D. Waktu
Hari / Tanggal : Kamis / 25 Agustus 2022
Jam : 13.00 WIB s.d selesai
E. Tempat Pelaksanaan
Panti sosial Tresnawerda
F. Sasaran
Lansia
G. Metode/Strategi Program
1. Terapi bermain
H. Media
1. Balon
2. Speaker
I. Setting Tempat

Media
Keterangan :

A. : fasilitator

B. : observer

: dokumentator

: leader

C. : : Klien (lansia)

J. Pengorganisasian
1. Pengorganisasian kelompok
Pembimbing Akademik : Hj. Ns. Murniati Muchtar, S. Kep, SKM, M. Biomed
Ketua : Nailah Sabrina
Sekretaris : Sherina Permata Lara Bukti
Bendahara : Ayumna Nafila
Sie Perlengkapan : Evellyn Zafitra
Putri Ramadhani
Sie Dokumentasi : Systia Putri Sukma
Lidya Amelia Putri
2. Pengorganisasian pelaksanaan kegiatan
Leader : Sherina permata rala buktie

fasilitator :

1. Nailah Sabrina
2. Putri Ramadhani
3. Systia Putri Sukma

observer :
1. Lidya AmeliaPutri
2. Ayumna Nafila
Dokumentator : Evellyn Zafitra
3. Tugas perawat gerontik
Tugas yang dilakukan oleh perawat :

 Memaksimalkan kesehatan pasien lansia


 Menjaga lansia tetap aktif
 Mengontrol makanan dan obat pasien lansia
 Membantu kebersihan pasien lansia
 Mengontrol kesehatan pasien lansia
 Memotivasi dan memberi perhatian pada pasien lansia

K. Tahapan Pelaksanaan Pengkajian dan Pemeriksaan fisik

NO TAHAP WAKTU KEGIATAN


MAHASISWA KLIEN
1. Pra- 10 menit Mahasiswa melakukan Klien menerima dengan
interaksi persiapan sebelum turun baik apayang telah
ke panti sosial tresnawerda disampaikan oleh
(sehari
untuk dilakukan terapi mahasiswa
sebelum
kognitif (Sehari sebelum
pengkajian)
dilakukannya terapi
kognitif)
2. Orientasi 5 menit 1. Perkenalan diri pada 1. Memperhatikan
lansia dan sebaliknya penjelasan
2. Menjelaskan kontrak 2. Menyetujui
waktu, tujuan dan kontrak yang telah
tempat terapi kognitif disampaikan oleh
3. Memberikan mahasiswa perawat
kesempatan kepada
klien untuk bertanya
3 Kerja 30 menit Melakukan terapi kognitif Klien mengikuti instruksi
pada lansia yaitu terapi oleh mahasiswa perawat
bermain balon
3. Terminasi 5 menit 1. Melakukan RTL 1. Klien menyetujui
(kontrak waktu, tujuan kontrak waktu yang
dan tempat untuk telah diberikan oleh
pertemuan selanjutnya mahasiswa perawat
dengan klien)
2. Memberikan
kesempatan kepada
klien apakah ada yang
ingin ditanyakan
4. Evaluasi 5 menit 1. Perawat memberikan 1. Klien mendengarkan
kesimpulan terhadap penjelasan yang
kegiatan pada hari ini diberikan mahasiswa
2. Perawat mengucapkan perawat
terimakasih 2. Klien mengucapkan
terimakasih
Lampiran Materi

A.DEFENISI TERAPI KOGNITIF

Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami.Terapi kognitif menjelaskan


bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan kecemasan dan tanggapan maladaptif
melainkan harapan masyarakat, penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti
bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan pikiran dan
keyakinan orang.

Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari
distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan logika, kesalahan dalam
penalaran, atau pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan realitas. distorsi dapat
berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang secara konsisten dapat melihat
kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan demikian mengambil peluang
berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan dan mengaku sebagai "terlalu muda dan
sehat untuk serangan jantung".distorsi kognitif mungkin juga negatif, seperti yang
diungkapkan oleh orang yang menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai
bukti kurang lengkap diri.

Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek terstruktur berorientasi terhadap


masalah saat ini dan bersifat individu. Terapi kognitif adalah terapi yang
mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk
menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depres.

B.TUJUAN TERAPI KOGNITIF


Menurut Setyoadi, dkk beberapa mekanisme koping dengan menggunakan terapi

kognitif adalah sebagai berikut:

1. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang keakuratan


kognisi negative klien. Selain itu, juga untuk memperkuat persepsi yang lebih akurat
dan mendorong perilaku yang dirancang untuk mengatasi gejala depresi. Dalam
beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan terapi depresan.
2. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
3. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah cara
berpikir atau mengembangkan pola piker yang rasional.
4. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang maladaptive,
pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta proses pikir tidak logis yang dibesar-
besarkan. Berfokus pada pikiran individu yang menentukan sifat fungsionalnya.
5. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan. Tanda dan
gejala depresi dihilangkan melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara
berpikir maladaptive dan otomatis. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa
kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan
masa depan yang dapat menyebabkan depresi.Klien menyadari kesalahan cara
berpikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon kesalahan tersebut dengan
cara yang lebih adaptif. Dengan perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal dan
menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative. Cara lain adalah
dengan membantun klien mengidentifikasi kondisi negative, mencari alternative,
membuat skema yang sudah ada menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku
baru yang lebih adaptif.
6. Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang menyebabkan dan
mempertahankan panik atau kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan
klien, restrukrisasi jognitif, pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik
biologis, mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
7. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan obsesif
kompulsif dan selanjutnya mencegah responsnya. Misalnya dengan cara pelimpahan
atau pencegahan respons, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi distorsi kognitif
melalui psikoedukasi.
8. Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk hirarki situasi fobia,
dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap
mempertahankan respons rileksasi misalnya dengan cara desensitisasi sistematis.
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien terhadap situasi
yang ditakutinya.
9. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan hidup
dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi kognitif.
10. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system keyakinan yang
salah.
11. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik untuk
meningkatkan aktivitas sosialnnya.
12. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal

C.INDIKASI TERAPI KOGNITIF

Menurut Setyoadi, dkk terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi psikiatri yang lazim,
terutama:

1. Depresi (ringan sampai sedang).


2. Gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan.
3. Indiividu yang mengalami stress emosional.
4. Gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang sering terjadi
pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan antidepresan –
jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering terjadi.
5. Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik).
6. Gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder).
7. Gangguan makan (anoreksia nervosa).
8. Gangguan mood.
9. Gangguan psikoseksual
10. Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya

D.TEKNIK TERAPI KOGNITIF

Menurut Yosep ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus diketahui oleh perawat jiwa.
Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi
secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan kemampuan lain
seperti teknik komter, milieu therapy dan counseling.Beberapa teknik tersebut antara lain:

1.Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)

Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan terhadap


pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturasasi dimulai dengan cara
memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin
muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5 kolom. Masing-masing kolom
terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat menghadapi masalah terutama yang
dianggap menimbulkan kecemasan saat ini.

2.Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)

Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan pikiran-pikiran


abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya. Tahap
selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari
fakta untuk mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Klien yang mengalami
distorsi dalam pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap semua
sumber data atau data-data yang tidak disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu
mendukung pemikiran buruknya. Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain
dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat
memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-
pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang
pendapat klien tentang pikiran buruknya.Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien
bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama ini.

3.Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)

Bayak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya alternative
pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan
menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa dilakukan antara
klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menuliskan masalahnya.
Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan
alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya
rumit karena akumulasi berbagai masalah seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh,
anak sakit, genteng bocor dan lain-lain.Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien
bisa menemukan alternatif – alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik
belum dibayar klien boleh memikirkan tentang :mungkin perlu surat keterangan tidak
mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat penerangan lain, gabung
dengan tetangga, bermusyawarah dengan keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini
penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berfikir “lain dari yang
biasany “ atau berani “berpikir beda”.

4.Dekatastropik (decatastrophizing)

Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa( the what-if then ). Hal ini
meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien
mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih
beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan –
pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:

“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila...”

“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi...?”

“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi...?”

Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan. Dimana tidak
selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal dipantai
harus berani berfikir : “ apa yang akan saya lakukan bila tsunami tiba-tiba datang?; gempa
tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba tenggelam?; dan sebagainya.

5.Reframing

Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau perilaku. Hal
ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung
klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang saja. Perawat jiwa penting untuk
memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah.
Hal ini dapat menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif
yang baru.Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi klien
dapat memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien
untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna berubah maka akan
berubah perilaku klien.Sebagai contoh, PHK dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah
klien merubah makna PHK,ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan
untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya waktu bersama keluarga,
saatnya belajar home industry dan meraih peluang kerja yang lainnya.

6.Thought Stopping

Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi klien. Awalnya
masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik
berhenti memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik digunakan pada saat klien mulai
memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa
masalahnya sudah selesai.Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan
sebuah bata di dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir dysfunctional.Untuk
memulainya, klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman
masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara mengatakan keras-
keras “berhenti”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari
perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi keseharian.

7.Learning New Behavior With Modeling

Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan kemampuan dan
mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan
masalah-masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien
melakukan observasi pada seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan
klien dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru
perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara bersama
dengan fasilitator.Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan
pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien yang memiliki
stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang
dengan orang lain,setelah mendapat pengalaman klien bisa melakukannya sendiri.

8.Membentuk Pola ( shaping )

Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan reinforcement.Misalnya anak
yang bandel dan tidak akur bdengan orang lain berniat untuk damai dan hangat dengan orang
lain, maka pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.

9.Token Economy

Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering digunakan pada kelompok
anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara konsisten
pada saat klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang baik. Misalnya
setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat tanda
silang atau gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu
saat jumlahnya diakumulasikan.

10.Role Play

Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya melalui kegiatan
sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku
orang lain. Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien biasa melihat akibat-akibat yang akan
terjadi melalui cerita yang disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang
pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok

11.Social skill Training.

Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun diperoleh sebagai
hasil belajar. Beberapa prinsip untuk memperoleh keterampilan baru bagi klien adalah:

a.Feedback Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan keterampilan
membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang baik,
selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan sendiri. Perawat melakukan
feedback dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang masih belum selesai harapan.

12.Anversion Theraphy

Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan buruk klien dengan


cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang tidak disukai. Misalnya
kebiasaan menggigit penghapus saat boring dengan cara membayangkan bahwa penghapus
itu dianggap sebagai cacing atau ulat yang menjijikan. Setiap klien kegemukan melakukan
kebiasaan ngemil makanan, maka ia dianjurkan untuk membayangkan kotoran kambing yang
dimakan terus.

13.Contingency Contracting

Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapist dalam hal ini
perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat dengan punishment dan reward.Misalnya bila
klien berhasil mandi tepat waktu atau meninggalkan kebiasaan merokok maka pada saat
bertemu dengan perawat hal tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah
disepakati antara klien dengan perawat terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk yang
sudah disepakati untuk ditinggalkan.

Menurut Setyoadi, dkk teknik yang digunakan dalam melakukan terapi kkognitif adalah
sebagai berikut:

1.Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan keyakinan yang
menyebabkan khawatir.

2.Menggunakan teknik pertanyaan Socratic yaitu meminta klien untuk


menggambarkan,menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang merendahkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa asumsi tersebut tidak logis dan tidak
rasional.

3.Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri, nilai diri dan dunia.
Dengan demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru, dan distress enmosional
menjadi hilang.

E.LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN TERAPI KOGNITIF

Menurut Setyoadi, dkk terapi kognitif dipraktikan diluar sesi terapi dan menjadi modal utama
dalam mengubah gejala. Terapi berlangsung lebih kurang 12-16 sesi yang terdiri atas:

1.Fase awal (sesi 1-4)

a.Membentuk hubungan terapeutik dengan klien.

b.Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta pengaruhnyan terhadap emosi
dan fisik.

c.Menentukan tujuan terapi.

d.Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikirn yang otomatis.

2.Fase pertegahan (sesi 5-12)

a.Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.

b.Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta mempraktikan


keterampilann berespons terhadap hal-hal yang menimbulkan depresi dan memodifikasinya.

3.Fase akhir (13-16)

a.Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang relevan
untuk terjadinya kekambuhan.

b.Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.

Anda mungkin juga menyukai