Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

DI SUSUN OLEH :

NAMA : WAFIROH
NIM : 62019040330

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu


kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan
proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2015).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

Kondisi kesehatan fisik dan mental pada orang lansia biasanya


mulai menurun. Beberapa perubahan fisik yang diasosiasikan dengan
penuaan dapat terlihat jelas oleh seseorang pengamat biasa meskipun
mereka berdampak pada beberapa lansia lebih dari yang lain.

Keperawatan gerontik adalah ilmu yang membahas fenomena


biologis, psiko dan sosial serta dampaknya terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar manusia dengan penekanan pada upaya prevensi dan
promosi kesehatan sehingga tercapai status kesehatan yang optimal bagi
lanjut usia. Aplikasi secara praktis Keperawatan gerontik adalah dengan
menggunakan proses keperawatan (pengkajian, diagnosa
keperawatan,perencanaan, implementasi dan evaluasi).

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau chronic obstructie


airway disease (COAD) adalah istilah yang saling menggantikan.
Gangguan progresit lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran
pernafasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi
saluran pernafasan reversibel pada asma (Davey,2002:181).

PPOK merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang


menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalesinya adalah ≥
600.000. Angka ini lebih tinggi di negara maju, daerah perkotaan,
kelompok masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula
(Davey,2002:181). The Asia Pacific CPOD Roundtable Group
memperkirakan jumlah penderita PPOK sedang berat di negara-negara
Asia Pasific mencapai 56,6 juta penderita dengan angka pravalensi 6,3
persen (Kompas,2006).

Penyakit paru obsrtuktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari


kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia
harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko seperti faktor
pejamu yang di duga berhubungan dengan kejadian PPOK semakin
banyaknya jumlah perokok kususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di
tempat kerja (http://www.depkes.go.id, selasa 01:03)

Data badan kesehatan dunia ( WHO ) menunjukkan bahwa pada


tahun 1990 PPOK menempati urutan ke 6 sebagai penyebab utama
kematian di dunia sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan
ke 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Di America
Serikat di butuhkan dana sekitar 32 juta US$ dalam setahun dalam
menanggulangi penyakit ini ,dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta
orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Hasil survey penyakit
tidak menular oleh direktorat jenderal PPM dan Pl di 5 rumah sakit
provinsi di Indonesia (jawa barat, jawa tengah, jawa timur, lampung dan
sumatra selatan) pada tahun 2004 , menunjukkan PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma brokial
(33%), kangker paru (30%) dan lainya (2%) (depkes RI2004). Oleh
karena itu penulis menulis makalah yang berjudul “Asuhan keperawtan
PPOK” diharapkan dengan makalah ini penulis dan pembaca dapat
mengetahui tentang penyakit PPOK, sehingga dapat memberikan
pelayanan yang optimal bagi pasien PPOK dan meningkatkan partisipasi
(kemandirian) masyarakat dalam pencegahan PPOK.

Adapun beberapa rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:


konsep dan teori penyakit serta asuhan keperawatan.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum

Adapun tujuan yang diinginkan penulis yaitu diperolehnya pengalaman


nyata dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada Tn. K dengan PPOK Hari
pertama di Ruang Melati RSUD Kayen Pati

2. Tujuan Khusus

Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan selama 3x24 jam maka


diharapkan penulis dapat :

1. Melaksanakan pengkajian pada klien dengan PPOK

2. Membuat analisa data keperawatan pada klien PPOK

3. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan PPOK

4. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan PPOK

5. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan PPOK

6. Mengidentifikasi faktor pendukung, penghambat serta dapat mencapai


solusinya
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima
nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan
asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOK) adalah aliran udara mengalami
obstruksi yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan.
PPOK sesungguhnya merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama
dan bronkitis kronis, dimana keduanya menyebabkan perubahan pola
pernafasan (Reeves, 2011 : 41).

Teori Proses Menua


a. Teori – teori biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies –
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidaktahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya
virus kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.
5) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan
sel-sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis,
kekacauan dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
§ Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan
secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
§ Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut
usia.
§ Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut
usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
3) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut
usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
§ kehilangan peran
§ hambatan kontak sosial
§ berkurangnya kontak komitmen

Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Penuaan


1) Hereditas atau ketuaan genetik
2) Nutrisi atau makanan
3) Status kesehatan
4) Pengalaman hidup
5) Lingkungan
6) Stres

Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan
pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif,
perasaan, sosial dan sexual (Azizah, 2011).
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran: Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas
60 tahun.
2) Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai
berikut: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai
pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
4) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian
kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang
terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
5) Tulang
Berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah bagian
dari penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
6) Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
7) Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
8) Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
9) Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total
paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
10) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata :
a) Kehilangan gigi,
b) Indra pengecap menurun,
c) Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun),
d) Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah.
11) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsorpsi oleh ginjal.
12) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
13) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya
ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quocient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decission Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman
dan famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan
Zentner, 1970)
e. Kesehatan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada
lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu
episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan
dan menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda
dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek
samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham
(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya
atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang
terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang
dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat
terulang kembali.

B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
Arief Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David
Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena
polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga
berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan strepto coccus
pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F.
Gordan (2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama
membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit
tidak dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan
debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat
penyakit paru obstuksi kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang
yang kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang
relatif muda, walau pun tidak merokok.

C. Manifestasi Klinik
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk
hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala
yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang
bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk
menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran
sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council
(MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

D. Pathofisiologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang.
Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat
berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni
jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan
tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke
paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil
(bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat
ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara
(air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas
dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan
menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase
ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun
perfusi darah akan mengalami gangguan.

Pathway

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal
b. Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer
b. Corakan paru yang bertambah
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia
yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan
V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap.
F. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya


pada fase akut, tetapi juga fase kronik.

2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas


harian.

3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat


dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan


merokok, menghindari polusi udara.

2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi


antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.

4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.


Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih controversial.

5. Pengobatan simtomatik.

6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus


diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.

8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.

b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan


pernapasan yang paling efektif.

c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk


memulihkan kesegaran jasmani.

d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita


dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

e. Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri


penderita dengan penyakit yang dideritanya.

G. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Lansia

Konsep Asuhan Keperawatan Lanjut Usia


A. Pengkajian
a. Tujuan dalam pengkajian :
1) Menentukan kemampuan klien untuk memelihara diri sendiri.
2) Melengkapi dasar – dasar rencana perawatan individu.
3) Membantu menghindarkan bentuk dan penandaan klien.
4) Memberi waktu kepada klien untuk menjawab.
b. Pengkajiam tersebut meliputi aspek :
1) Fisik
A. Wawancara :
a) Pandangan lanjut usia tentang kesehatan.
b) Kegiatan yang mampu di lakukan lanjut usia.
c) Kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri.
d) Kekuatan fisik lanjut usia : otot, sendi, penglihatan, dan pndengaran.
e) Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB/BAK.
f) Kebiasaan gerak badan / olahraga /senam lanjut usia.
g) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna
dirasakan.
h) Kebiasaan lanjut usia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan
dalam minum obat.
i) Masalah-masalah seksual yang telah di rasakan.
B. Pemeriksaan fisik :
a) Pemeriksanaan di lakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem tubuh.
b) Pendekatan yang di gunakan dalam pemeriksanaan fisik,yaitu : Head
to toe dan Sistem tubuh
2) Psikologis
a) Bagaimana sikapnya terhadap proses penuaan.
b) Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak.
c) Apakah optimis dalam memandang suatu kehidupan.
d) Bagaimana mengatasi stress yang di alami.
e) Apakah mudah dalam menyesuaikan diri.
f) Apakah lanjut usia sering mengalami kegagalan.
g) Apakah harapan pada saat ini dan akan datang.
h) Perlu di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat, proses pikir,
alam perasaan, orientasi, dan kemampuan dalam penyelesaikan
masalah.
3) Sosial ekonomi
a) Darimana sumber keuangan lanjut usia
b) Apa saja kesibukan lanjut usia dalam mengisi waktu luang.
c) Dengan siapa dia tinggal.
d) Kegiatan organisasi apa yang di ikuti lanjut usia.
e) Bagaimana pandangan lanjut usia terhadap lingkungannya.
f) Berapa sering lanjut usia berhubungan dengan orang lain di luar
rumah.
g) Siapa saja yang bisa mengunjungi.
h) Seberapa besar ketergantungannya.
i) Apakah dapat menyalurkan hoby atau keinginannya dengan fasilitas
yang ada
4) Spiritual
a) Apakah secara teratur malakukan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya.
b) Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan, misalnya pengajian dan penyantunan anak yatim atau fakir
miskin.
c) Bagaimana cara lanjut usia menyelesaikan masalah apakah dengan
berdoa.
d) Apakah lanjut usia terlihat tabah dan tawakal.

 Pengkajian ADL penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau


besarnya bantuan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-
hari.Pengukuran kemandirian ADL akan lebih mudah dinilai dan
dievaluasi secara kuantitatif denagn sistem skor yang sudah banyak
dikemukakan oleh berbagai penulis ADL dasar, sering disebut ADL saja,
yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat
dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias.
Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air
kecil dalam kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga
disertakan kemampuan mobilitas (Sugiarto,2005)

Tabel Indeks Kemandirian ADL


Skala Deskripsi & jenis skala Kehandalan, Waktu &Komentar
kesahihan &pelaksanaan
sensivitas
Indeks barthel Skala ordinal dengan skorSangat handal<10 Skala ADL yang
0(total dependent)- & sangat sahih,menit,sangat sudah diterima
100(total independent) :dan cukupssuai untuksecara luas,
10 item :makan, mandi,sensitif. skrining, kehandalan dan
berhias, berpakaian, penilaian kesahihan sangat
kontrol kandung formal, baik.
kencing,dan pemantauan &
pemeliharaan
kontrol anus, toileting, terapi.
transfer kursi/tempat tidur,
mobilitas dan naik tangga.
Indeks Katz Penilaian dikotomiKehandalan &< 10 menit,Skala ADL yang
dengan kesahihan sangat sesuaisudah diterima
urutan dependensi yang cukup; kisaranuntuk skrining,secara luas,
hierarkis : mandi,ADL sangatpenilaian kehandalan dan
berpakaian, toileting,terbatas (6formal, kesahihan cukup,
transfer, kontinensi, danitem) pemantauan &menilai
makan. Penilaian dari A pemeliharaan keterampilan
(mandiri pada keenam terapi. dasar, tetapi tidak
item) sampai G menilai berjalan &
(dependent pada keenam naik tangga
item).
FIM (Functiona Skala ordinal dengan 18Kehandalan &< 20 menit,Skala ADL yang
l Independence item, 7 level dengan skorkesahihan sangat sesuaisudah diterima
Measure) berkisar antara 18-126;baik, sensitifuntuk skrining,secara luas.
area yang dievaluasi;dan dapatpenilaian Pelatihan untuk
perawatan diri, kontrolmendeteksi formal, petugas pengisi
stingfer, transfer,perubahan pemantauan &lebih lama karena
lokomosi, komunikasi,kecil dengan 7pemeliharaan item banyak.
dan kognitif sosial. level. terapi serta
evaluasi
program.
Sumber : Sugiarto,2005.
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa indeks barthel handal, sahih, dan cukup sensitif,
pelaksanaannya mudah, cepat (dalam waktu kurang dari 10 menit), dari
pengamatan langsung atau dari catatan medik penderita, lingkupnya cukup
mewakili ADL dasar dan mobilitas ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu
ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi
berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias. Ada juga yang
memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam
kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan
mobilitas (Sugiarto,2005).
 Indeks Barthel( IB)
Indeks Barthel mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan
mobilitas. Mao dkk mengungkapkan bahwa IB dapat digunakan sebagai kriteria
dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami
gangguan keseimbangan, terutama pada pasien pasca stroke.
Tabel Indeks Barthel
No. Item yang dinilai Dibantu Mandiri
1. Makan(bila makanan harus dipotong-potong5 10
dulu=dibantu)
2. transfer dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali 5-10 15
(termasuk duduk di bed)
3. Higieni personal (cuci muka, menyisir, bercukur0 5
jenggot, gosok gigi)
4. Naik & turun kloset/ WC (melepas/memakai5 10
pakaian, cawik, menyiram WC)
5. Mandi 0 5

6. Berjalan di permukaaan datar 10 15


(atau bila tidak dapat berjalan, dapat mengayuh0 5
kursi roda sendiri)
7. Naik & turun tangga 5 10

8. Berpakaian(termasuk memakai tali sepatu,5 10


menutup resleting)
9. Mengontrol anus 5 10

10. Mengontrol kandung kemih 5 10

Sumber : Sugiarto,2005.
IB tidak mengukur ADL instrumental, komunikasi dan psikososial. Item-item
dalam IB dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat pelayanan keperawatan yang
dibutuhkan oleh pasien. IB merupakan skala yang diambil dari catatan medik
penderita, pengamatan langsung atau dicatat sendiri oleh pasien. Dapat
dikerjakan dalam waktu kurang dari 10 menit (Sugiarto,2005).
IB versi 10 item terdiri dari 10 item dan mempunyai skor keseluruhan yang
berkisar antara 0-100, dengan kelipatan 5, skor yang lebih besar menunjukkan
lebih mandiri.
Tabel Penilaian Skor IB
Penulis Interpretasi
Shah dkk 0-20 Dependen Total
21-60 Dependen Berat
61-90 Dependen Sedang
91-99 Dependen Ringan
100 Independen/Mandiri

Lazar dkk 10-19 Dependen Perawatan


20-59 Perawatan diri, dibantu
60-79 Kursi roda, dibantu
80-89 Kursi roda, independen/mandiri
90-99 Ambulatori, dibantu
100 Independen/Mandiri

Granger 0-20 Dependen Total


21-40 Dependen Berat
41-60 Dependen Sedang
61-90 Dependen Ringan
91-100 Mandiri

Sumber : Sugiarto,2005.
IB sudah dikenal secara luas, memiliki kehadalan dan kesahian yang tinggi. Shah
melaporkan koefisien konsisten internal alfa 0,87 sampai 0,92 yang menunjukkan
kehandalan intra dan inter-rater yang sangat baik. Wartski dan Green menguji 41
pasien dengan interval 3 minggu, ternyata hasilnya sangat konsisten. Ada 35
pasien yang skornya turun 10 poin. Collin dkk meneliti konsistensi laporan sendiri
dan laporan perawat, didasarkan pengamatan klinis, pemeriksaaan dari perawat
dan pemeriksaan dari fisioterapis. Ternyata koefisien konkordasi (kesesuaian)
dari Kendall menunjukkan angka 0,93 yang berarti pengamatan berulang dari
orang yang berbeda akan menghasilkan kesesuaian yang sangat memadai
(Sugiarto,2005).
Wade melaporkan kesahian IB yang dibuktikan dengan angka korelasi 0,73 dan
0,77 dengan kemampuan motorik dari 976 pasien stroke. Kesahihan prediktif IB
juga terbukti baik. Pada penelitian dengan stroke, persentase meninggal dalam
6 bulan masuk rumah sakit turun secara bermakna bila skor IB tinggi saat masuk
rumah sakit (Sugiarto,2005).
Intepretasi yang paling banyak digunakan adalah menurut Shah dkk karena telah
dikenal luas dan cukup rinci untuk mengetahui tingkat kemandirian seseorang
dalam melakukan ADL (Sugiarto,2005).
2. Pengkajian PPOK

Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut


Doenges (2010) adalah :

a. Aktivitas dan istirahat

1) Gejala :

a) Keletihan, kelemahan, malaise.

b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit


bernafas.

c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.

d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau


latihan.

2) Tanda :

a) Keletihan.

b) Gelisah, insomnia.

c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

b. Sirkulasi

1) Gejala

a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.

2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.

b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.

c) Distensi vena leher atau penyakit berat.

d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.

e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)

f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau


sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.

g) Pucat dapat menunjukkan anemia.

c. Integritas ego

1) Gejala :

a) Peningkatan faktor resiko.

b) Perubahan pola hidup.

2) Tanda :

a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.

d. Makanan atau cairan

1) Gejala :

a) Mual atau muntah.

b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).

c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.

d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat


badan menunjukkan edema (bronchitis).

2) Tanda :

a) Turgor kulit buruk.


b) Edema dependen.

c) Berkeringat.

d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan


(emfisema).

e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).

e. Hygiene

1) Gejala :

a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan


melakukan aktivitas sehai-hari.

2) Tanda :

a) Kebersihan buruk, bau badan.

f. Pernafasan

1) Gejala :

a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai


gejala menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau
episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
ketidakmampuan untuk bernafas (asma).

b) Lapar udara kronis.

c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat


bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2
tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali
(bronkhitis kronis).

d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap


dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan
pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau
asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.

f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin


(emfisema).

g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

2) Tanda :

a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi


memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).

b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya


dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).

c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu,


retraksi fosa supraklavikula, melebarkan hidung.

d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP


(bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.

e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),


menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi,
sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).

f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan


udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya
konsolidasi, cairan, mukosa.

g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.

h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan


keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena
warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).

g. Keamanan

1) Gejala :

a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor


lingkungan.

b) Adanya atau berulangnya infeksi.

c) Kemerahan atau berkeringan (asma).

h. Seksualitas

1) Gejala :

a) Penurunan libido.

i. Interaksi sosial

1) Gejala :

a) Hubungan ketergantungan.

b) Kurang sistem pendukung.

c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang


terdekat.

d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.

2) Tanda :

a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara


karena distress pernafasan.

b) Keterbatasan mobilitas fisik.

c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.

j. Penyuluhan atau pembelajaran


1) Gejala :

a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.

b) Kesulitan menghentikan merokok.

c) Penggunaan alkohol secara teratur.

d) Kegagalan untuk membaik.

2) Rencana pemulangan :

a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri,


perawatan rumah atau mempertahankan tugas rumah.

b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.

3. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan


bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek,
mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
akibat sesak, pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
4. Rencana Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas kembali
efektif
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan jalan nafas yang paten
b. Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas
c. Suara nafas bersih, tidah ada sianosis dan dyspneu(mampu bernafas
dengan mudah)
Intervensi :
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
Rasional:
Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan
diafragmatik dan batuk.
Rasional :
Mengajarkan cara batuk efektif
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau
IPPB
Rasional :
Mengatasi sesak yang dialami pasien
d. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol,
suhu yang ekstrim, dan asap.
e. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada
dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,
kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,
keletihan.
Rasional :
Pemberian tindakan pengobatan selanjutnya
f. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidakefektifan pola
nafas pasien dapat teratasi
Kriteria Hasil :
a. Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal
b. Bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi :
a. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
Rasional :
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
b. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk,
dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional :
Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
c. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon
pasien).
Rasional :
Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi
paru.
d. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional :
Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-
otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
e. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan
Rasional :
Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah
terjadinya sianosis akibat hiponia.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat


sesak, pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan istirahat dan
tidur pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak sesak nafas
b. Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan
c. Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit
d. Pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Intervensi :
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional :
Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar
peredaran O2 dan CO2.
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan
kebiasaan pasien sebelum dirawat.
Rasional :
Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan
mengganggu proses tidur.
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional :
Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional :
Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi
pasien

4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan asupan nutrisi dapat
terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a. Peningkatan berat badan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Intervensi :
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional :
Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya,
agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
b. Auskultasi suara bising usus.
Rasional :
Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan
pada fungsi pencernaan.
c. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional :
Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional :
Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan
memudahkan reflek.
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP.
Rasional :
Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan
antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino
esensial.
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen
nutrisi lainnya (zevity, ensure, socal, putmocare) jika intake diet terus
menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional :
Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam
lemak dalam tubuh.

5. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien
dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana
intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan
melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.

H. DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Jual. Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi
6. Jakarta: EGC.2010
Elizabet J., Corwin. Buku Saku Patofisiologi [Handbook Of Pathophysiology].
Jakarta : Kedokteran Egc; 2011
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Ryadi Al. Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2016. Yogyakarta; Cv. Andi.

Supariasa IDN. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC;
2014
World Health Organization. 1974. Health Definition. Diakses 12 Maret 2016.
Http://www.who.int

Anda mungkin juga menyukai