Anda di halaman 1dari 9

IMAGING PADA GASTROESOGAFAGIAL REFLUX

DISEASE
IMAGING ON GASTROESOGAFAGIAL REFLUX DISEASE

Ichsan Rafsanjani*, Shofiana Fajrin Hanifa*, Dwi Hanif Mustofa*, Agus Mulyanto**
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
**Bagian Ilmu Radiologi, RSUD dr. Harjono S Ponorogo
Korespondensi : Ichsan Rafsanjani, Alamat email : J510195084@student.ums.ac.id

Abstrak

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus (PGRE)


merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan
akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya
berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah.
Terapi dimulai dari menghindari pemakaian obat-obatan yang memperburuk GER. Bila GER
dicurigai sebagai pemicu, dilakukan modifikasi gaya hidup, seperti pengentalan formula, posisi
(meninggikan kepala kurang lebih 15 cm saat tidur), tidak makan 3-4 jam sebelum tidur,
menghindari makan berlebihan, makanan tinggi lemak, coklat. Tujuan utama terapi GER adalah
menurunkan iritasi usofagus dari refluksat isi lambung. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi
medik maupun pembedahan. Selain tata laksana farmakologis, edukasi dan perubahan life style
sangant diperlukan untuk keberhasilan terapi GERD.

Kata kunci : GERD, modifikasi gaya hidurp, iritasi esophagus


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) is a condition in which the reflux of gastric contents
into the esophagus results in clinical symptoms. when vomiting. Therapy starts from avoiding
the use of drugs that worsen GER. If GER is suspected as a trigger, lifestyle modifications are
carried out, such as thickening the formula, position (elevating the head approximately 15 cm
while sleeping), not eating 3-4 hours before bedtime, avoiding overeating, high-fat foods,
chocolate. The main goal of GER therapy is to reduce esophageal irritation from reflux of gastric
contents. This can be done with medical or surgical therapy. In addition to pharmacological
management, education and lifestyle changes are very important for the success of GERD
therapy.

Keyword : GERD, life style modification, Esophagitis

1563
PENDAHULUAN kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih
Gastroesophageal Reflux Disease rendah, hal ini diduga karena kurangnya
(GERD) atau penyakit refluks esophagus perhatian kita terhadap penyakit ini pada tahap
(PGRE) merupakan suatu keadaan dimana awal proses diagnosis (Levin, 2015).
terjadinya refluks isi lambung ke dalam Beberapa faktor risiko terjadinya
esofagus dengan akibat menimbulkan gejala refluks gastroesofageal antara lain: obesitas,
klinik, Refluks dapat terjadi dalam keadaan usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih
normal yang biasanya berhubungan dengan sering mengalami GERD), hiatal hernia,
kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat
makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, keluarga dengan GERD, status ekonomi lebih
esofagus akan segera berkontraksi untuk tinggi, dan skleroderma. Pada sebagian orang,
membersihkan lumen dari refluksat tersebut makanan dapat memicu terjadinya refluks
sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama gastroesofageal, seperti bawang, saos tomat,
antara refluksat dan mukosa esofagus (Makmun, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein,
2017). makanan pedas, makanan berlemak, alkohol,
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi ataupun porsi makan yang terlalu besar.
di negara maju. Di Indonesia sendiri kasus Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat
GERD ini belum ada data epidemiologinya, memperburuk gejala refluks gastroesofageal,
namun kasus Penyakit ini seringkali tidak dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu
terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti
yang berat. (Levin, 2015)Penyebab GERD pada sedatif, penenang, antidepresan, calcium
populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga
dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan
dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di non steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)
benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropa inflamasi esofagus (Tarigan & Pratomo, 2019)
rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita
EPIDEMIOLOGI
yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk
terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15. Di Penyakit ini umumnya ditemukan pada

Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn populasi negara–negara barat, namun dilaporkan

pada individu dewasa muda terjadi 14% setiap relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika.

minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina Di amerika di laporkan satu dari lima orang

adalah 7,2% dan 7,1%. Di negara barat sekitar dewasa mengalami gejala heartburn atau

20-40% setiap individu pernah mengalami regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih

simptom heart burn yang berkembang menjadi: dari 40% mengalaminya sekali dalam sebulan.

esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%,

dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan sementara negara non-western prevalensinya

1563
lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). mekanisme pembersihan esofagus, daya perusak
Sementara di Indonesia belum ada data bahan refluks, isi lambung dan pengosongannya
epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun
di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu MANIFESTASI KLINIS
Penyakit Dalam FKUI RSUPN Cipto Pasien dengan keluhan GERD dapat
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus dikenali dengan melihat gejala umum maupun
esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien atipikal yang muncul. Umumnya, gejala yang
yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas paling sering muncul adalah dada terasa panas
indikasi dyspepsia (Amran, 2018). dan terbakar (heartburn) serta sering
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan diasosiasikan dengan rasa masam di bagian
perempuan. Rasio laki-laki dan wanita untuk belakang mulut dengan atau tanpa regurgitasi
terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. GERD dari refluks. GERD juga merupakan penyebab
pada negara berkembang sangat dipengaruhi umum kasus-kasus noncardiac chest pain
oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun (NCCP), sehingga penting untuk membedakan
merupakan usia yang seringkali mengalami antara nyeri dada yang mungkin disebabkan
GERD. karena gangguan jantung atau yang disebabkan
ETIOLOGI oleh etiologi lain berdasarkan algoritma
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai diagnosis agar dapat memberikan penanganan
konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan yang tepat (Surya, 2020).
anatomi yang berperan dalam mekanisme
Meskipun gejala umum GERD sangat
antirefluks di lambung dan esofagus.
mudah dikenali, manifestasi extraesophageal
Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi
juga sering terjadi, akan tetapi tidak selalu
transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter
dikenali. Sindrom extraesophageal meliputi
(LES) yang menurun, gangguan clearance
beberapa area, termasuk antara lain paru (asma,
esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan
batuk kronis, bronkiolitis obliterans, pneumonia,
jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik
dan fibrosis). Gangguan respirasi menjadi salah
asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain
satu sindrom yang paling menantang pada
seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta
GERD. Sangat penting untuk melakukan
faktor-faktor pengosongan lambung. Asam
screening alarm symptoms pada pasien GERD
lambung merupakan salah satu faktor utama
yang kemudian akan menentukan apakah pasien
etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam
perlu menjalani endoskopi atau tidak. Alarm
lambung yang lama dapat mengakibatkan
symptoms meliputi beberapa hal, yaitu (Surya,
kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa
2020):
pada pasien GERD. Ada 4 faktor penting yang
memegang peran untuk terjadinya GERD: 1. GERD yang menetap atau semakin parah
Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier), meskipun terapi sudah tepat :
2. 1. Dysphagia dan odynophagia

1564
3. Penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan gejala yang menyerupai GERD (laboratorium,
lebih dari 5% EKG, USG, foto thoraks, dan lainnya sesuai
4. Perdarahan saluran cerna atau anemia indikasi) (PGI, 2013).
5. Adanya massa, penyempitan, atau ulkus pada Tabel 1. Kuesioner GERD-Q.
imaging studies
6. Muntah yang terus menerus (7-10 hari)
7. Screening Barret’s esophagus pada pasien
dengan kriteria tertentu

Gejala GERD seharusnya dianggap


berbeda dari dispepsia. Dispepsia diartikan
sebagai ketidaknyamanan epigastrik tanpa rasa
terbakar pada dada atau regurgitasi asam, dan
berlangsung lebih dari sebulan. Dispepsia dapat
diasosiasikan dengan kembung, sendawa, mual,
dan muntah. Dispepsia adalah entitas yang
mungkin ditangani secara berbeda dari GERD
dan mungkin memerlukan evaluasi endoskopi,
termasuk uji Helicobacter pylori (Surya, 2020)
Kuesioner GERD (GERD-Q) (Tabel 1)
DIAGNOSIS
merupakan suatu perangkat kuesioner yang
Anamnesis yang cermat merupakan cara dikembangkan untuk membantu diagnosis
utama untuk menegakkan diagnosis GERD. GERD dan mengukur respons terhadap terapi.
Gejala spesifik untuk GERD adalah heartburn Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-
dan/ atau regurgitasi yang timbul setelah makan. data klinis dan informasi yang diperoleh dari
Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi-studi klinis berkualitas dan juga dari
studi diagnostik untuk gejala heartburn dan wawancara kualitatif terhadap pasien untuk
regurgitasi sebagian besar dilakukan pada mengevaluasi kemudahan pengisian kuesioner.
populasi Kaukasia. Di Asia keluhan heartburn Kuesioner GERD merupakan kombinasi
dan regurgitasi bukan merupakan penanda pasti kuesioner tervalidasi yang digunakan pada
untuk GERD. Namun, terdapat kesepakatan dari penelitian. Tingkat akurasi diagnosis dengan
para ahli bahwa kedua keluhan tersebut mengkombinasi beberapa kuesioner tervalidasi
merupakan karakteristik untuk GERD. Pada RS akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
rujukan, sebelum dilakukan pemeriksaan diagnosis (PGI, 2013).
endoskopi untuk menegakkan diagnosis GERD,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
lain untuk menyingkirkan penyakit dengan

1565
PEMERIKSAAN PENUNJANG tidak ditemukan muscosal break pada
PPI Test pemeriksaan endoskopi pasien GERD dengan
gejala yang khas, keadaan ini disebut non-
PPI test dapat dilakukan untuk
erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya
menegakkan diagnosis pada pasien dengan
kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya
yang dipastikandengan pemeriksaan
atau risiko esofagus Barrett. Tes ini dilakukan
histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa
dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2
gejala heartburn atau regurgutasi memang
minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan
karena GERD.
endoskopi. Jika gejala menghilang dengan
pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi
PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat
ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi
perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih
dari 50%. Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI
test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar
80% dan spesifitas sebesar 74% untuk
penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan
nyeri dada non kardiak. Hal ini Revisi
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal
Reflux Disease/GERD) di Indonesia 12
menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan
sebagai strategi yang berguna dan memiliki
kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen
pasien nyeri dada non kardiak tanpa tanda
bahaya yang dicurigai memiliki kelainan
esophagus (Gomm W, 2016). Gambar 1. Endoskopi
a. Endoskopi
Endoskopi untuk GERD tidak selalu
Pemeriksaan ini merupakan standar dilakukan pada kunjungan pertama karena
baku untuk diagnosis GERD dengan diagnosis GERD dapat dibuat berdasarkan
ditemukannya mucosal break di esofagus gejala dan atau terapi empiris. Peran endoskopi
(esofagitis refluks). Dengan melakukan gastrointestinal atas dalam menegakkan
pemeriksaan endoskopik dapat dinilai diagnosis GERD adalah (Makmun, 2017):
perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, a. Mengonfirmasi keberadaan dan ketiadaan
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis kerusakan esofagus termasuk erosi, ulserasi,
lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika striktur, esophagus Barret atau keganasan,

1566
selain untuk mengeluarkan kelainan Mengingat GERD bersifat kronis dan prevalensi
gastrointestinal atas lainnya. GERD simtomatik dan meningkatnya jumlah
b. Mengevaluasi keparahan dari mocusal break pasien yang menjalani intervensi bedah, sangat
menggunakan modifikasi klasifikasi Los penting bahwa ahli radiologi memahami
Angeles atau klasifikasi Savarry-Miller. evaluasi pra dan pasca bedah pasien yang
c. Spesimen biopsi diambil ketika ada terkena GERD (Canon, et al., 2015).
kecurigaan esophagus Barret atau keganasan.
b. Histopatologi
Barium Esophagogram Metaplasia lapisan epitel intestinal pada
Gastroesophageal reflux disease esofagus didiagnosis sebagai Barret Esophagus
(GERD) didefinisikan sebagai gastroesophageal ketika lokasinya pada esofagus bagian bawah
reflux yang mengakibatkan gejala atau cedera dan bukan di lambung bagian atas. Mukosa
pada epitel esofagus. Meskipun manajemen esofagus menggambarkan bentuk yang tidak
medis GERD telah membaik, dan meningkatnya lengkap dari metaplasia intestinal tipe II dan tipe
jumlah prosedur bedah antirefluks laparoskopi III. Morfologinya akan tampak seperti villiform
adalah sedang dilakukan. Studi barium, pattern. Epitelium terdiri dari banyak sel goblet
endoskopi, manometri, dan pH pemantauan yang tersebar pada sel mucous intermediet. Pada
adalah semua komponen integral dari evaluasi beberapa penelitian menunjukkan kebanyakan
pra operasi (Canon, et al., 2015). Barret Esophagus merupakan campuran antara
Pemeriksaan menelan barium harus ketiga jenis mukosa, dimana yang terutama
memungkinkan evaluasi kritis peristaltik adalah mukosa tipe intestinal (Ravi, 2016).
esofagus, keberadaan dan tingkat refluks TATALAKSANA
gastroesofageal, dan komplikasi termasuk
Terapi dimulai dari menghindari
esofagitis, striktur, dan Barrett Esophagus.
pemakaian obat-obatan yang memperburuk
Sangat penting untuk mengidentifikasi dan
GER. Bila GER dicurigai sebagai pemicu,
mengkarakterisasi hernia hiatus dan hernia
dilakukan modifikasi gaya hidup, seperti
longitudinal striktur, yang dapat menyebabkan
pengentalan formula, posisi (meninggikan
esofagus memendek. Dalam kasus seperti itu,
kepala kurang lebih 15 cm saat tidur), tidak
menjadi perlu bagi ahli bedah untuk
makan 3-4 jam sebelum tidur, menghindari
memasukkan esofagus prosedur perpanjangan
makan berlebihan, makanan tinggi lemak,
sebelum fundoplication; jika tidak, mungkin
coklat. Tujuan utama terapi GER adalah
didapatkan hasil bedah yang buruk. Temuan
menurunkan iritasi usofagus dari refluksat isi
radiografi postfundoplikasi normal sebagai
lambung. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi
komplikasi pasca operasi (misalnya, tight wrap,
medik maupun pembedahan (Fass, 2017).
perforasi, abses, complete or partial dehiscence,
a. Terapi Medik
striktur berulang, hernia berulang, intrathoracic
Antasida digunakan untuk menetralisir asam
migration of the wrap juga harus dikenali dan
lambung dengan meningkatkan pH refluksat
dipahami dengan jelas oleh ahli radiologi.

1567
isi lambung dan nampaknya juga pusat, maka obat ini dapat menimbulkan efek
meningkatkan tekanan LES secara langsung. samping neurologik dan psikologik, dimana
Antasida juga menghilangkan gejala paling serius adalah reaksi ekstrapiramidal
intermiten dan berguna apabila konstipasi tardive dyskinesia , terutama pada bayi muda
(gunakan antasida yang mengandung dari 6 bulan. yang kadang-kadang bersifat
magnesium) atau diare (gunakan antasida irreversible. Dosis awal adalah 0,1
yang mengandung aluminium) menambah mg/kgBB/dosis, 4 kali sehari sebelum makan
gejala pada pasien yang iritabel (Fass, 2017). dan pada saat tidur (Katz, 2016).
Antagonis reseptor H2 seperti simetidin, b. Terapi Pembedahan
famotidin, dan nizatidin mempengaruhi sel Penatalaksanaan bedah mencakup
parietal lambung, menghambat aksi histamin tindakan pembedahan antirefluks
pada reseptor spesifik. Dengan dosis (fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus
terapeutik obat ini menurunkan laju sekresi hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi
asam lambung 24 jam dan volume kurang komplikasi. Pembedahan antirefluks
lebih 50%. Ranitidin dengan dosis 1-2 (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk
mg/kg/dosis 2-3x sehari (2-6 mg/kg/hari) pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi
pada umumnya dianjurkan sebagai dosis pemeliharaan, atau dengan gejala
awal, tergantung dari beratnya gejala. Efek mengganggu yang menetap (GERD
samping meliputi sakit kepala dan malaise, refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan
tetapi secara keseluruhan mempunyai efek bahwa, apabila dilakukan dengan baik,
samping pada sistem saraf pusat yang kurang efektivitas pembedahan antirefluks ini setara
bila dibandingkan dengan simetidin (Katz, dengan terapi medikamentosa, namun
2016). memiliki efek samping disfagia, kembung,
Proton pump inhibitors merupakan obat kesulitan bersendawa dan gangguan usus
terbaik yang tersedia untuk terapi GER pascapembedahan (Katz, 2016).
karena menurunkan refluks asam >80% dan EDUKASI
menyembuhkan esofagitis pada 80-85% Pasien dengan GERD perhatian
penderita. Obat ini secara langsung utama ditujukan kepada memodifikasi berat
menghambat enzim H+/K+ ATPase yang badan berlebih dan meninggikan kepala lebih
berlokasi pada sepanjang permukaan luminal kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-
sel parietal gaster, jalur akhir dimana semua faktor tambahan lain seperti menghentikan
stimulator sekresi asam lambung bekerja merokok, minum alkohol, mengurangi
(Katz, 2016). makanan dan obat-obatan yang merangsang
Metoklopramid, suatu dopamine agonist asam lambung dan menyebabkan refluks,
yang meningkatkan tekanan LES dan makan tidak boleh terlalu kenyang dan
memperbaiki pengosongan lambung. Karena makan malam paling lambat 3 jam sebelum
reseptor dopamin ada dalam sisten saraf tidur (PGI, 2013).

1568
DAFTAR PUSTAKA doi: 10.1001/jamaneurol.2015.4791.
J Dent. (2016). Definition of Reflux disease and
Amran, A. (2018). Hubungan indeks massa its separation from dyspepsia. (50), 17-
tubuh dengan kejadian gastroeophageal 20.
reflux disease pada karyawan. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for
Canon, C. L., Morgan, D., Einstein, D., Herts, the diagnosis and management of
B., Hawn, M., & Johnson, L. (2015). gastroesophageal reflux disease. Am J
Surgical Approach to Gastroesophageal Gastroenterol. 2016;108:308–328.
Reflux Disease: What the Radiologist doi: 10.1038/ajg.2012.444.
Needs to Know. RadioGraphics, 1485- Levin, M. (2015). Radiologic Imaging of
1499. Gastroesophageal Reflux Disease.
Dworkin, J., Dowdall, J., Kubik, M., Thottam, P. Springer wien New York, 23.
J., & Folbe, A. (2015). The Role of the Makmun, D. (2017). Management of
Modified Barium Swallow Study and gastroesophageal reflux disease.
Esophagramin Patients with Globus Gastroenterology, Hepatology and
Sensation in Patients with Globus Digestive Endoscopy, 21-27.
Sensation. Treasure Island: StatPearls Paulsen, F., & Waschke, J. (2014). Sobotta (23
Publishing. ed.). Jakarta: EGC.
El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Perkumplan Gastroenterologi Indonesia. Revisi
Update on the epidemiology of gastro- Konsensus Nasional Penatalaksanaan
oesophageal reflux disease: a Penyakit Refluks Gastroesofageal
systematic review. Gut. 2014;63:871– (Gastroesophageal Reflux
880. doi: 10.1136/gutjnl-2012- Disease/GERD) di Indonesia. 2013.
304269. Jakarta. ISBN: 978-602-17913-0-1.
Fass R, Frazier R. The role of dexlansoprazole Ravi Kumar, N.A.V.S.K. Gandhi, M.V.V. Sri
modified-release in the management Harsha, G., 2016. GERD Correlation
of gastroesophageal reflux between Clinical Symptoms and
disease. Therap Adv Endoscopic Findings: a Study of 200
Gastroenterol. 2017 Feb;10(2):243- Patients. Journal of Evolution of
251. Medical and Dental Sciences, 5(81):
Gomm W, von Holt K, Thomé F, et al. 6038-6041.
Association of proton pump inhibitors Surya, Haryanto. 2020. Tatalaksana
with risk of dementia: a Gastroesofageal Reflux Disease
pharmacoepidemiological claims data (GERD) dalam masa Pandemi
analysis. JAMA Neurol. 2016;73:410– COVID-19. Medicinus, vol. 33, no. 3
416. Tarigan, Ricky; Bogi, Pratomo. 2019. Analisis
Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks

1569
di RSUD Saiful Anwar Malang.
Jurnal Penyakit Dalam IndonesiaI,
vol. 6, no. 2

1570

Anda mungkin juga menyukai