Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan penyakit umum yang
prevalensi nya meningkat setiap tahun sehingga menjadi masalah bagi sistem
pelayanan kesehatan.1 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) didefinisikan
sebagai refluks isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara tidak sengaja yang
terjadi secara berulang sehingga menyebabkan komplikasi dan menurunnya kualitas
hidup.2,3 Pada umumnya, refluks gastroesofageal merupakan keadaan fisiologis yang
bisa terjadi pada orang sehat namun penyakit refluks gastroesofageal terjadi apabila
refluks isi lambung menimbulkan keluhan berlebih atau komplikasi.4
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) bisa berupa keaadan fisiologis atau
patologis. Hal yang paling umum yang menyebabkan GERD adalah relaksasi
sementara dari sfingter esofagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES).
Meskipun hal ini bersifat fisiologis, ketika terjadi peningkatan frekuensi pada fase
postprandial maka terjadilah refluks asam lambung pada pasien GERD.5
Gastroesophageal Reflux Disease ditandai dengan heartburn atau adanya rasa
panas di ulu hati dan regurgitasi dari cairan yang rasanya asam. Selain dua hal
tersebut, gejala lain dari GERD dapat berupa rasa mual dan muntah-muntah, rasa
kenyang yang cepat, nyeri epigastrik, nyeri dada, dan bangun di tengah malam.6Salah
satu cara praktis yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis GERD adalah dengan
Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire (GERDQ). Gastroesophageal Reflux
Disease Questionnaire merupakan kuesioner yang berguna bagi keluarga dan perawat
kesehatan dalam mendiagnosis dan menatalaksana GERD tanpa rujukan atau
endoskopi.7 Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2017, GERDQ merupakan
instrumen yang valid dan dapat diandalkan untuk menilai pasien GERD di Indonesia.8
Berdasarkan review sistematik yang dilakukan pada tahun 2013, 16 studi
epidemiologi menunjukkan prevalensi GERD di Amerika Utara adalah 18.1%-27.8%,
8.8%-25.9% di Eropa, 2.5%-7.8% di Asia Timur, 8.7%-33.1% di Timur Tengah,
11.6% di Australia, dan 23.0% di Amerika Selatan. Dari data ini dapat disimpulkan
bahwa penyakit GERD tersebar luas diseluruh dunia namun negaranegara di Asia
yang prevalensinya dibawah 10%.
Prevalensi GERD di Indonesia masih belum pasti. Penelitian yang dilakukan
pada tahun 2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa terdapat
10 dari 76 wanita (13.2%) dan 2 dari 14 pria (14.3%) yang mengeluhkan gejala dari
penyakit refluks gastroesofageal.10 Berdasarkan penelitian lain, prevalensi GERD di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo meningkat dari 5.7% pada tahun 1997 menjadi
25.8% pada tahun 2002.
Prevalensi yang meningkat pada GERD dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
usia tua, jenis kelamin laki-laki, ras, konsumsi obat-obatan, konsumsi makanan dan
minuman tertentu, merokok, riwayat penyakit keluarga, obesitas, dan kurangnya
aktifitas fisik.5 Salah satu minuman yang dapat memicu timbulnya GERD adalah
kopi.
Kopi merupakan salah satu minuman yang banyak di konsumsi di dunia berkat
efek-efek stimulasinya pada sistem saraf pusat.13 Konsumsi kopi di Asia Tenggara
meningkat lebih cepat dari negara-negara lain di dunia. Menurut International Coffee
Organization (ICO), prevalensi konsumsi kopi di Asia Tenggara pada tahun 1990
adalah 9.4% lalu meningkat pada tahun 2012 menjadi 13.8%.
Kopi mengandung beberapa kandungan seperti kafein yang dapat
menyebabkan relaksasi dari sfingter esofagus bagian bawah sehingga terjadinya
refluks dari asam lambung ke esofagus dan menyebabkan iritasi namun efek
signifikan yang ditimbulkan oleh kopi terhadap kejadian GERD masih
kontroversial.15 Berdasarkan review yang dilakukan pada tahun 2013, dari 15 studi
epidemiologi hanya 5 studi yang menyimpulkan bahwa konsumsi kopi berhubungan
dengan kejadian GERD.12 Di sisi lain, penelitian yang dilakukan pada mahasiswa di
Italia menunjukkan bahwa konsumsi kopi memiliki hubungan yang signifikan dengan
prevalens GERD.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya,
maka penulis tertarik utntuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara
Konsumsi Kopi dengan Kejadian Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)
Kondisi yang dikenal sebagai Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)
bermanifestasi sebagai gejala di kerongkongan dan ekstra-esofagus disebabkan oleh
refluks isi lambung ke esophagus. Konsekuensi paling umum dari penyakit
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD), esofagitis refluks, disebabkan oleh aliran
balik isi lambung ke kerongkongan.Dengan tidak adanya kelainan lain, gangguan pada
integritas struktural dan fungsional esofagus dapat terjadi akibat refluks isi lambung
dan mempengaruhi menutup sfingter esofagus bagian bawah (SEB). Gaya hidup yang
tidak sehat dapat menyebabkan Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) seperti
mengonsumsi alkohol, obesitas, merokok, makan terlalu banyak, kopi, stress dan
berbaring setelah memakan makanan pedas (Patala et al., 2021).
Banyak orang Indonesia mengalami Gastroesophageal Refluks Disease
(GERD) yang merupakan suatu penyakit. Pada penyakit Gastroesophageal Refluks
Disease (GERD) bisa mengakibatkan komplikasi jika dibiarkan. Penyakit
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) sering dikaitkan dengan kebiasaan makan
yang buruk atau banyak makan makanan pedas. Istilah medis untuk asam lambung
yang menetap adalah Gastroesophageal Refluks Disease (GERD). Asam lambung naik
ke kerongkongan menyebabkan penyakit Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)
(tabung yang menghubungkan mulut ke perut (Jannah N et al., 2021).
b. Etiologi
Mekanisme antirefluks di lambung dan kerongkongan dipengaruhi oleh
sejumlah kelainan fisiologi dan anatomi, yang berkontribusi pada perkembangan
refluks gastroesofageal. Penurunan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES),
relaksasi sementara, dan penurunan resistensi mukosa baik asam lambung dan zat
agresif lainnya seperti tripsin, pepsin, dan empedu, serta faktor pengosongan lambung,
semuanya merupakan mekanisme patofisiologis (Rafsanjani et al., 2021).
Pada penderita Gastroesophageal Refluks Disease (GERD), kontak yang terlalu
lama dengan asam lambung dapat menyebabkan kematian sel, kerusakan mukosa, dan
nekrosis, yang merupakan salah satu penyebab utama penyakit refluks esofagus.
Terjadinya Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) dipengaruhi oleh 4 faktor
penting yaitu penghalang anti-refluks, isi lambung, mekanisme pengosongan lambung
dan pembersihan kerongkongan, dan daya rusak bahan refluks (Rafsanjani et al.,
2021).
c. Epidemiologi
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) ini umu ditemukan pada populasi
di negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara
asia-afrika, Di amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami
gejala relfuks (heartburn dan / atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih 40%
mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esophagitis di Amerika
Serikat mendekati 7% sementara di negara-negara non -western pravalensinya lebih
rendah (1,5 di china dan 2,7% di korea)
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara barat. Namun, banyak penelitian pada populasi
umum yang baru-baru inindipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi di Asia Timur5,2%-8,5% (tahun 2005-2010), Asia Tenggara
jugamengalami fenomena yang sama di Singapura prevalensinya adalah 10,5% di
Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001),
sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa prevalensi
Gastoesophageal Refluks Disease (GERD) dapat diprediksi sebagai hamper 3% dari
keseluruhan populasi Indonesia, dengan meningkatnya angka dari 5,7% pada tahun
1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 di rumah sakit Ciptomangunkusumo
Klasifikasi
Konsensus Mentreal tahun 2006 mengelompokkan GERD menjadi dua kelompok :

Esophageal Syndromes Extraesophageal


Syndromes

Symptomatic Syndromes with Established Proposed


Syndromes Esophageal Injury Associations Associations

1. Typical Reflux 1. Refluux Esophagitis 1. Reflux Cough 1. Pharyngitis


Syndrome Syndrome
2. Reflux Stricture 2. Sinusitis
2. Reflux Chest 2. Reflux Laryngitis
3. Barrett’s Esophagus 3. Idiopthic
Pain Syndrome Syndrome
4. Esophageal Pulmonary Fibrosis
3. Reflux Asthma
Adenocaircinoma 4. Recurrent Otitis
Syndrome
Media
4. Reflux Dental
Erosion Syndrome
c. Patofisiologi
Patofisiologi dari Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) terdiri dari
berbagai multi faktor yang berhubungan dengan ketidakseimbangan agresivitas dari
refluks asam lambung menuju esofagus dan kegagalan mekanisme perlindungan untuk
mempertahankan asam lambung untuk tetap berada di gaster. Patofisiologi dari
Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) berhubungan dengan gaster
gastroesophageal junction (GEJ), sistem saraf, dan esofagus itu sendiri (Menezes &
Herbella, 2017)
Normalnya lower esophageal sphincter (LES) terletak di gastroesophageal
junction (GEJ). Lower esophageal sphincter merupakan sebuah zona anatomi yang
kompleks, terdiri dari 2 komponen, lower esophageal sphincter di distal esofagus itu
sendiri dan bagian crural diafragma. Pada pencernaan normal, lower esophageal
sphincter akan relaksasi jika ada makanan yang masuk dan melakukan kontraksi untuk
mencegah regurgitasi isi gaster (makanan dan cairan asam lambung). Mekanisme
neurogenik dan miogenik terlibat dalam lower esophageal sphincter resting tonus.
Tonus lower esophageal sphincter dipertahankan atau ditingkatkan dengan
melepaskan asetilkolin (Salim, 2021).
Manifestasi Klinis
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkanmenjalar ke
leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelahmakan atau ketika berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan(stricture)
pada kerongkongan dari reflux.
5.Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi di
belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,mirip dengan lokasi panas dalam
perut.
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan padasaluran
udara
7. Suara parau
8. Ludah berlebihan (water brash)
9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10.Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang
biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darahkemungkinan dimuntahkan atau keluar
melalui saluran pencernaan,menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna
ter (melena)atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkansebuah kondisi yang
disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisaterjadi bahkan pada gejala-gejala yang
tidak ada. Kelainan sel ini adalahsebelum kanker dan berkembang menjadi kanker
pada beberapa orang.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gayahidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulaidilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalahmenyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan
gejala/keluhan, mencegahkekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnyakomplikasi.
1. Modifikasi gaya hidupModifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaanGERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun
belumada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun padadasarnya
usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks sertamencegah kekambuhan.
2. Terapi medikamentosaTerdapat berbagai tahap perkembangan terapi
medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir
bahwasampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguanmotilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannyasampai
saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.Pada berbagai penelitian terbukti
bahwa respons perbaikan gejalamenandakan adanya respons perbaikan lesi
organiknya (perbaikanesofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan
cukupefektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapimedikamentosa GERD:
a.Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkangejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selainsebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanansfingter esophagus bagian bawah.
b. Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golonganobat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis
untuk terapi ulkus.Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajatringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
c. Obat-obatan prokinetic
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan
GERD sangat bergantung pada penekanansekresi asam.
d. Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnyarendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi denganantagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
Karenamelalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunansaraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
e. Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efeksamping yang
lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidakmelalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyakdilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan
tonusLES serta mempercepat pengosongan lambung.
f. Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.Efektivitasnya dalam menghilangkan
gejala serta penyembuhan lesiesophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidakmemiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerjadengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat
mengikat pepsin dangaram empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatanGERD. Golongan
obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yangdianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat beratserta yang refrakter dengan
golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)selama 4 bulan atau on-
demand therapy, tergantung dari derajatesofagitisnya.
BAB III
METODE PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai