Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Surat Tanda Selesai Internsip
Disusun oleh
Pendamping
DOKTER INTERNSIP
PUSKESMAS KLEGO I
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Penyus
un,
A. PENDAHULUAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks
esophagus (PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi
lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik,
Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan
dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat
muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk
membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu
kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia
sendiri kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus
Penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang
berat. 3,4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding
dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar
negara dan benua, di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah
sedangkan di Amerika utara dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan
wanita yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah
2:1 sampai 3:1.5,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa
muda terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina
adalah 7,2% dan 7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah
mengalami simptom heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-
25%, 12% jadi Barret’s esofagus dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan
laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah, hal ini diduga
karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini pada tahap awal proses
diagnosis.5,6
B. TINJAUAN PUSTAKA
4
1. Definisi GERD
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease /
GERD ) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.4,7
2. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di
amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn
atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai
penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. GERD pada
negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70
tahun merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9
3. Patogenesis
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung
dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus
Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance
esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung
dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti
pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung.
Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks
5
esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian
sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg
hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja
terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau
transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar
proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh
infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat
memperberat keadaan. Faktor hormonal, makanan berlemak, juga
menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam
(esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap.
Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan
dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan
dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa
esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam
yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya
gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur
paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak
membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh
karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses
pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga
menggangu proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
6
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan
refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis
makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan
pada pasien GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan
dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu
terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks.
Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
4. Manifestasi Klinis
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering
5,11
dikeluhkan oleh penderita. Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus
yang sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul
dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga
kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan
kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat
ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai
dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang.
Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk
kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini
dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7
7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang
berupa bahan yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai
kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut
merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan
dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat
mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan
tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan
tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan
dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala
berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa
bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa
pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk
yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport
aktip bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada
penyakit faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non
esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis.
Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik.
Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik
esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan
motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus atau akibat
disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering
menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus
yang difus.5,6
5. Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama,
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
8
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan
endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada
pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive
reflux disease (NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa
gejala heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
b. Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE Deskripsi endoskopi
9
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
V Barrett’s ephitelium
Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1
M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari
pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidak khas. Tes ini
dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak
menutup kemungkinan adanya gangguan pada esofagus.4
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.3,4
10
pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun, anemia,
hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan
keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
6. Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi
dapat terjadi pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD
antara lain Esofagitis, Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.
• Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada
lebih dari 50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah
perbatasan antara lambung dan esophagus.9
• Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis
yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat.
• Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa
berganti menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan
prekursor Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada
10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan
esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn
dan regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal,
hal ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang
menurun.
7. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu
terapi modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi
11
pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan terapi
endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi
esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.4,5
Modifikasi gaya hidup
Merupakan salah satu penatalaksanaan GERD, namun demikian
bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan
sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam
lambung selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke
esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh
pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat
untuk mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, teh, kopi dan
minuman soda karena dapat merangsang asam lambung.
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau
golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan
sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa
proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana
berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
12
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung,
yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement (1999)
dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD,
disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan
digunakan pendekatan step down. 3,4,5
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971,
dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan
esofagitis. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat
memperkuat tekanan SEB.3,4,5
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan
yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas.
Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan
sekresi asam. Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan
mempercepat pengosongan gaster.
13
1. Metoklopramid
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.
2. Domperidon
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan
metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah
otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun
obat ini diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat
pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini
dapat memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
14
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini
sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter
dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan,
tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika
dikombinasi golongan prokinetik.
C. PERMASALAHAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 39 tahun
Alamat : Klego
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No RM : 90078XXX
Tanggal Berobat : 15 Juli 2019
2. Anamnesis
16
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 10.30 WIB di
Poli Umum Puskesmas Klego I.
Keluhan Utama : Mual - mual
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Puskesmas Klego I dengan mengeluh mual
yang tak kunjung hilang, pasien merasa jika setiap hari perutnya mual,
mual dirasakan setiap saatan juga muntah yang dirasakan sejak 10 hari
yang lalu, muntah keluar air dan sisa makanan sesaat setelah makan,
muntah darah disangkal. Pasien mengatakan jika sehari bisa lebih dari
2 kali. Pasien juga tidak nafsu makan, jika dipaksakan makan merasa
mual dan muntah. Akhir-akhir ini juga pasien kembung, merasa cepat
kenyang dan pahit di dalam mulut. Pasien juga merasakan nyeri perut
yang melintir dan perih yang dirasakan panas di dada. Pasien
mengatakan susah buang air besar. Buang air kecil lancar. Pasien tidak
demam namun merasa pusing cekot-cekot. Pasien belum pernah
meminum obat untuk mengatasi sakitnya ini dan merasa enak jika
dipakai istirahat dan tiduran.
17
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat maag : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit seperti ini : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat pribadi
Pasien perokok aktif dan suka mengkonsumsi kopi hitam setiap hari.
Status Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang petani, tinggal bersama istri. Biaya pengobatan
dengan umum.
Kesan: sosial ekonomi cukup.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Juli 2019 pukul 10.40 di Poli
Puskesmas Klego 1
Status Generalis
KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
Nadi : 89 x/ menit regular, isi dan tegangan cukup
Nafas : 20 kali/menit, regular.
Suhu : 36,70C, axiller
BB : 62kg
TB : 168 cm
Status gizi : Kesan gizi cukup
Tensi : 130/80 mmHg
Status Internus
Kepala : Kesan mesosefal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : Deformitas (-), secret (-), warna sama dengan
sekitarnya
Telinga : Pendengaran berkurang (-), Secret (-) ,nyeri tekan
tragus (-), nyeri ketok mastoid (-)
Mulut : Stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsil
hiperemis (-)
Leher : Lesi (-), warna kulit tidak sama dengan sekitar,
pembesaran tiroid (-), pembesaran limfe (-)
Ekstremitas : oedem (-), akral hangat (+), CRT < 2”
Pemeriksaan Thorax
Inspeksi : Dinding dada simetris, jejas (-) retraksi (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan sama dengan kiri
18
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm linea
midklavikula sinistra
Perkusi : dbn
Auskultasi : S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, striae (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio kanan atas dan
epigastrium
Perkusi : Tympani
4. ASSESMENT
Diagnosis banding :
GERD
Gastritis Erosif
Erosi duodenal
Diagnosis Kerja : GERD
5. TATA LAKSANA
Medikamentosa
• Antasida 3 x 1 sebelum makan
• Omeprazole 2x 20 mg sebelum makan
Non Medikamentosa
Pasien diberikan edukasi setelah makan dianjurkan untuk tidak langsung
berbaring minimal 1 jam setelah makan, mengurangi makanan asam,
coklat, soda, teh dan kopi karena dapat meningkatkan asam lambung dan
harus berhati-hati jika mengkonsumsi obat-obatan selain dari dokter.
D. PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
1. Diagnosis
19
GERD
2. Penatalaksanaan
Tata laksana GERD dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :
a. Promotif
Pasien diedukasi sehingga meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran mengenai perilaku hidup sehat. Pasien juga diedukasi
tentang penyakit GERD yang sedang dialami
b. Preventif
Pasien dijelaskan mengenai faktor pencetus dari penyakitnya yaitu
mengkonsumsi kopi setiap hari, merokok, dan tidak tidur setelah
makan.
c. Kuratif
Dilakukan melalui pengobatan farmakologi secara rutin dan teratur
sesuai anjuran.
d. Rehabilitatif
Dilakukan evaluasi dan monitoring melalu kontrol kembali agar
pasien dapat dipantau perkembangan penyakitnya sehingga dapat
sembuh dan beraktifitas seperti sebelumnya.
E. PELAKSANAAN
Pada tanggal 15 Juli 2019 bertempat di poli Puskesmas Klego 1. Proses
intervensi berupa melakukan pemeriksaan fisik, pemberiaan obat dan edukasi
pada pasien. Edukasi yang diberikan pada pasien mengenai penyakitnya dan
prognosisnya yang pada umumnya baik apabila diobati dengan benar dan
juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga sebaliknya.
Selain itu perlu juga dilakukan edukasi terhadap keluarga terkait penyakit
pasien sehingga bisa memantau dan mengingatkan untuk meminum obat.
Pada edukasi ditekankan pada pengobatan baik medikamentosa dan non
medikamentosa. Pada edukasi medikamentosa, yang diberikan adalah
pemberian golongan PPI yaitu omeprazol 20 mg yang diminum sehari 2 kali
sebelum makan. Selain itu untuk menambah kerja obat diberikan juga
antasida dengan pemberian 3 kali sehari sebelum makan. Sedangkan untuk
edukasi non medikamentosa, pasien diminta untuk tidak tidur setelah makan,
kurangi mengkonsumsi kopi dan rokok juga meminta pasien kontrol 1
minggu lagi untuk mengevaluasi hasil terapi dan perkembangan penyakitnya.
F. MONITORING DAN EVALUASI
20
Pasien kontrol 1 minggu kemudian, dengan kondisi sehat tanpa disertai
keluhan muntah lagi. Namun masih merasakan sensasi panas di dada
sehingga diberikan obat lagi dan evaluasi kembali. Namun pasien tidak
kontrol kembali.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di
Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
12. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited
March 7 2016. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
23