Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002). Di
Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian
kecil pasien GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit
yang jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum
menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa
mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam
esofagus yang terjadi.
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara
Barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa
menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu
keluhan klasik GERD. GERD datang berobat pada dokter karena pada
umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan
antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan
endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter
(Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka
tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat.
Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan
berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesi, RSCM menunjukkan
peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun.
Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman
tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia
Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong
66%. Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang
begitu jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan
non-erosive reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan

1
jenis kelamin bukan menjadi faktor utama dalam perkembangan PRG, namun
Barrett’s esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan
yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait,
esofagitis erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma
esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan hubungan antara beberapa
gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada
pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara
mereka.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari gastroesophageal reflux disease (GERD)?
1.2.2 Bagaiman epidemologi Gastroesophageal reflux disease (GERD)?
1.2.3 Apa etiologi dari Gastroesophageal reflux disease (GERD)?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari Gastroesophageal reflux disease
(GERD)?
1.2.5 Apa manifestasi klinis dari Gastroesophageal reflux disease
(GERD)?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan medis dari Gastroesophageal reflux
disease (GERD)?
1.2.7 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Gastroesophageal reflux
disease (GERD)?
1.2.8 Apa komlikasi dari Gastroesophageal reflux disease (GERD)?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui dan memahami definisi, epidemologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis,
pemeriksaan penunjang, dan komplikasi dari GERD.
1.3.2 Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien
GERD.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep medis
2.1 Definisi
Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung kedalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,faring,laring dan
saluran nafas. (Aru W. Sudoyo, 2007 ).
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun
ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu
habis makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera
dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu,
dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila
refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena
pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks
berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan
ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
2.2 Epidemologi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada
populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah
insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Divisi Gastroenterohepatologi
Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang
menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal

3
reflux didapatkan pada 45-89% penderita asma, hal ini mungkin
disebabkan oleh refluks esofageal, refluksesfagopulmoner dan bat relaksan
otot polos yaitu golongan betha adrenergik, aminofilin, inhibitr
fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esfagus. Pada Bayi
mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300 hingga 1:1000.
Gastroesofagus refluks paling banyak terjadi pada bayi sehat
berumur 4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, Pada umur 6 – 7 bulan,
gejala berkurang dari 61% menjadi 21%. Hanya 5% bayi berumur 12
bulan yang masih mengalami GERD. Sedangkan pada populasi dewasa
yang masih menderita GERD sekitar 20-40% . Perbandingan populasi
antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insiden yang
begitu jelas kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan
non-erosive reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan
jenis kelamin bukan menjadi faktor utama dalam perkembangan GERD,
namun Barretts esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki. Prevalensi
GERD meningkat pada orang tua dari 40 tahun.
2.3 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1. Defensif dari Esofagus
a. Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
b. Ketahanan epitel esophagus menurun
c. Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
d. Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
e. Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
2. Ofensif dari bahan refkluksan
a. Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya
pepsin, garam empedu, HCl
b. Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
c. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
visceral

4
d. Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang
bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah
termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai
antihistamin dan beberapa antihistamin), penghambat saluran
kalsium, progesteron, dan nitrat.
2.4 Patofisiologi
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia,
pendeknya LES, penggunaan obat-obatan, faktor hormonal yang
menyebabkan penurunan tonus LES dan terjadi relaksasi abnormal LES
sehingga timbul GERD. Hiatus hernia juga menyebabkan bagian dari
lambung atas yang terhubung dengan esophagus akan mendorong ke atas
melalui diafragma sehingga terjadi penurunan tekanan penghambat refluks
dan timbul GERD. Selain itu, GERD juga terjadi karena penurunan
peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk
mendorong asam refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES
dimana terjadi penurunan kemampuan mencegah refluks, penurunan
pengosongan lambung dimana terjadi memperlambat distensi lambung,
dan infeksi H. Pilory dan korpus pedominas gastritis.
GERD dapat menimbulkan perangsangan nervus pada esophagus
oleh cairan refluks mengakibatkan nyeri akut. Selain itu GRED
menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel yang melapisi esophagus
sehingga terjadi nyeri akut, gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas
tidak efektif. Gangguan nervus yang mengatur pernafasan juga
disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola nafas tidak efektif.
Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk ke laring dan
tenggorokan, terjadi resiko aspirasi . GERD dapat menyebabkan refluks
asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul odinofagia,
merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pahit pada mulut,
aliran balik dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan.

5
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3 mmHg). Refluks
gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan.
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus
dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif
esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari
lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini
ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan
daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks
retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus
LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek
LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik,
beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama
kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus
LES.

6
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan
manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus
LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini
adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang
bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya
TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed
gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD
masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan
endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang
memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esophagus serta menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari
esophagus adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan
bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat
akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama
kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit
esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada
sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit
esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan
karena peristaltic esophagus yang minimal.

7
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar
berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur
sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak
memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
1. Membran sel

2. Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi


difusi H+ ke jaringan esophagus

3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan


bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

4. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport


ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat
ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel


esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas
epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah
potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu,
dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat
pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari
kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.

8
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala
GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD


relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian
ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang
virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus
dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori
terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi
H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada
pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori
dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat
menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien
yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan
sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-
pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral
predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan
GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan
GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI
jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat
mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan
serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum
pengobatan PPI jangka panjang.

Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya


gejala GERD. Non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak

9
bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus)
dangejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal,
yaitu :
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala
heartburn adalah gejala tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di
faring. Kemudian mulut terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur
(Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).

Gejala lain :

1. Penurunan berat badan


2. Anemia
3. Hematemesis atau melena
4. Odinofagia (Bestari, 2011).

10
2.6 Penatalaksanaan Medis
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi
esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan
primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan
kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup
adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta
menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk
meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan
mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus
LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel,
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta
menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari
obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti
antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
agonis beta adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa

11
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi
medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan
dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau
termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian
atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti
bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-
obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu
step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan
dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan
dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid. Dari berbagai studi, dilaporkan
bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis
(dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia
Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati
bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan
digunakan pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil
tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk
selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan
(maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari
sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

12
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan
cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam
terapi medikamentosa GERD :
a. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan
lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian
bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid
yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat
terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
b. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin,
dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif
pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang
serta tanpa komplikasi.
c. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

13
d. Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah
otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
e. Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine
dengan efek samping yang lebih jarang disbanding
metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES
serta mempercepat pengosongan lambung.
f. Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan
tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan
gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini
tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat
ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat
ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).

14
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam
pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja
langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai
tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada
esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan
golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu
(terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau
on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
3. Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan,
penyempitan, tukak atau gejala yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun tindakan
pembedahan jarang dilakukan.
4. Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi
endoskopi pada GERD yaitu :
a. penggunaan energi radiofrekuensi
b. plikasi gastric endoluminal
c. implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat
implan di bawah mukosa esophagus bagian distal,
sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih
kecil.

15
5. Pada anak :
a. Bayi dengan refluks harus diberi makan pada posisi tegak atau
setengah tegak dan kemudian dijaga pada posisi tegak untuk
30 menit setelah makan.
b. Untuk anak yang lebih tua, kepala pada tempat tidur bisa
diangkat 6 inci (kira-kira 15 ¼ cm) untuk membantu
mengurangi refluks di waktu malam, menghindari makan 2
sampai 3 jam sebelum waktu tidur, minum minuman
berkarbonat atau apa yang mengandung kafein, menjauhi asap
tembakau.
c. Pada bayi dengan ASI Eksklusif, jangan
mengganti/menambahkan ASI dengan susu formula, dan pada
bayi dengan konsumsi susu formula, tidak perlu mengganti ke
jenis susu formula khusus.
d. Baik antagonis reseptor histamin (H2) dan penghambat
pompa proton (proton pump inhibitors) dapat mengurangi
gejala dan memulihkan mukosa (selaput lendir) saluran cerna.

Tabel 3. Dosis Obat pada GERD dengan Indikasi

Obat Dosis Frekuensi


Antagonis H2
Cimetidine 40 mg/kg/hari 3 – 4 x/hari
Famotidine 1 mg/kg/hari 2 x/hari
Ranitidine 5-10 mg/kg/hari 2 – 3 x/hari
Penghambat Pompa Proton (PPI)
Lansoprazole 0.4-2.8 mg/kg/hari Sekali sehari
Omeprazole 0.7-3.3 mg/kg/hari Sekali sehari

Tabel diambil dari Medscape.

16
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk
diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada
hiatus hernia.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
d. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap
terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang
tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang

17
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
e. Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan
kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup
yang berfungsi buruk kekuatan sphincter.
f. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada
pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan
hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
g. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau
keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD (Yusuf, 2009).
2.8 Komplikasi
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esophagus
5. Aspirasi

18
B. Konsep keperawatan
1. Pengkajian
a. Keadaan umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat
kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
1. Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang
berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis.
2. Pulse rate
3. Respiratory rate
4. Suhu
c. Keluhan utama
1. Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan karakteristik, tingkat
keperahan. Lokasi, faktor pencetus, manifestasi yang
berhubungan :
- Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan
disfagia.
- Keluhan atipikal (eskstraesofagus) : batuk kronik, suara
serak, pneumonia, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri
dada nonkardiak.
- Keluhan lain : penurunan berat badan, anemia,
hematemesis atau melena, odinofagia.
d. Riwayat kesehatan dahulu
1. Penyakit gastrointestinal lain
2. Obat-obatan yang mempengaruhi asam lambung
3. Alergi/reaksi respon imun
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Pola Fungsi Keperawatan
1. Aktivitas dan istirahat
2. Sirkulasi

19
3. Eliminasi
4. Makan / Minum
5. Sensori neural
6. Nyeri / kenyamanan
7. Respirasi
8. Keamanan
9. Interaksi sosial
g. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan
keadaan sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien,
kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti
compos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama,
kualitas), tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama,
kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit :
Warna (meliputi pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema dan
lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema.
Rambut : Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan
karakteristik lain. Kelenjar getah bening : Dapat dinilai dari
bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah
servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk
dan ukuran kepala, rambut dan kulit kepala, ubun-ubun
(fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan,
mata dilihat dari visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva,
sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga dapat dinilai pada daun
telinga, liang telinga, membran timpani, mastoid, ketajaman
pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus (kesukaran
membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah,
salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher,

20
dengan ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada
tidaknya nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada
adalah organ paru dan jantung. Secara umum ditanyakan bentuk
dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa tidaknya,
pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta
dapat dilihat batas pada saat perkusi didapatkan bunyi
perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara
di paru atau pleura bertambah, redup atau pekak, apabila terjadi
konsolidasi jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat auskultasi
paru dapat ditentukan suara nafas normal atau tambahan seperti
ronchi, basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-lai
pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada
pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus
kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi
jantung, atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data
pemeriksaan tentang ukuran atau bentuk perut, dinding perut,
bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri
tekan serta dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal,
kandung kencing yang ditentukan ada tidaknya dan pembesaran
pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya
rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan, genggaman
tangan, otot kaki, dan lain-lain.

21
2. Diagnosa
a. Nyeri Akut
b. Defisit nutrisi
c. Ganguan menelan
d. Mual (Nausea)
e. Resiko perdarahan
f. Resiko infeksi
g. Resiko aspirasi

22
3. Intervensi keperawatan

No
Diagnosa NOC NIC Rasional
.
1. Nyeri Akut - (D.0077) NOC 1. Manajemen Nyeri 1. Manajemen nyeri
Kategori : Psikologis Kriteria hasil : 1. Observasi: 1. Observasi:
Subkategori : Nyeri dan Setelah dilakukan - Monitor kepuasan - Untuk
kenyamanan tindakan keperawatan pasien terhadap mengetahui
selama … x 24 manajemen nyeri kepuasan
Definisi : jammasalah dalam interval yang dan
Pengalaman sensorik atau keperawatan control spesifik kenyamanan
emosional yang berkaitan dengan nyeri teratasi dengan 2. Mandiri: pasien
kerusakan jaringan actual atau indicator : - Berikan informasi 2. Mandiri:
fungsional, dengan onset 1. Mengenali mengenai nyeri, - Agar pasien
mendadak atau lambat dan kapan nyeri seperti penyebab dapat
berintensitas ringan hingga berat terjadi (2) nyeri, berapa lama melakukan
yang berlangsung kurang dari tiga 2. Menggambarka nyeri akan penurunan
bulan. n factor dirasakan, dan nyeri secara
penyebab (2) antisipasi mandiri

23
Penyebab 3. Mengenali apa ketidaknyamanan - Agar dapat
1. Agen pencedera fisiologis yang terkait akibat prosedur mengurangi
(mis, Inflamasi, iskemia, dengan gejala - Berikan individu rasa nyeri
neoplasma) nyeri (3) penurun nyeri yang yang
2. Agen pencedera kimiawi 4. Melaporkan optimal dengan dirasakan
(mis, terbakar, bahan nyeri yang peresepan analgesic 3. Kolaborasi:
kimia iritan) terkontrol (4) 3. Kolaborasi - Agar dapat
3. Agen pencedera fisik 5. Menggunakan - Kolaborasi dengan membantu
(mis, abses, amputasi, tindakan pasien, orang penurunan
terbakar, terpotong, pencegahan (3) terdekat dan tim nyeri
mengangkat berat, Keterangan : kesehatan lainnya 4. HE:
prosedur operasi, trauma, 1. Tidak pernah untuk memilih dan - Agar dapat
latihan fisik berlebihan) menunjukan mengimplementasi mengetahui
2. Jarang kan tindakan penurunan
Gejala dan tanda mayor menunjukan penurun nyeri nyeri dan
Subjektif 3. Kadang – nonfarmakologi dapat
1. Mengeluh nyeri kadang sesuai kebutuhan mengurangi
Objektif menunjukan 4. HE: nyeri
1. Tampak meringis 4. Sering - Ajarkan metode

24
2. Bersikap protektif (mis, menunjukan farmakologi untuk
waspada, posisi 5. Secara konsisten menurunkan nyeri
menghindari nyeri) menunjukan
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur

Gejala dan tanda minor


Subjektif
( Tidak tersedia )
Objektif
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis

25
Kondisi klinis terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaucoma

2. Defisit nutrisi – (D.0019) NOC Manajemen gangguan makan Manajemen gangguan


Kategori : Fisiologis Kriteria hasil: 1. Observasi: makan
Subkategori : Nutrisi dan cairan Setelah dilakukan - Monitor perilaku 1. Observasi:
tindakan keperawatan klien yang - Untuk dapat
Definisi : selama … x 24 berhubungan mengetahui
Asupan nutrisi tidak cukup untuk jammasalah dengan pola makan, pola makan
memenuhi kebutuhan keperawatan status penambahan dan klien dan
metabolism. nutrisi teratasi dengan kehilangan berat berat badan

26
indicator : badan klien.
Penyebab : 1. Asupan 2. Mandiri: 2. Mandiri :
1. Ketidakmampuan makanan (2) - Bantu klien (dan - Agar dapat
menelan makanan 2. Asupan cairan orang-orang mengetahui
2. Ketidakmampuan (2) terdekat klien masalah
mencerna makanan 3. Asupan gizi (2) dengan tepat) untuk terhadap
3. Ketidakmampuan Keterangan : mengkaji dan terjadinya
mengabsorpsi nutrient 1. Sangat memecahkan gangguan
4. Peningkatan kebutuhan menyimpang masalah personal makan
metabolism dari rentan yang berkontribusi 3. Kolaborasi:
5. Factor ekonomi (mis, normal terhadap terjadinya - Agar dapat
financial tidak 2. Banyak gangguan makan memecahka
mencukupi) menyimpang 3. Kolaborasi: n masalah
6. Factor psikologis (mis, dari rentan - Kolaborasi dengan yang terjadi
stress, keengganan untuk normal tim kesehatan lain 4. HE:
makan 3. Cukup untuk - Agar dapat
menyimpang mengembangkan meningkatka
Gejala dan tanda mayor dari rentan rencana perawatan n pola
Subjektif normal dengan melibatkan makan yang

27
( Tidak tersedia ) 4. Sedikit klien dan orang- baik
Objektif menyimpang orang terdekatnya
1. Berat badan menurun dari rentan dengan tepat
minimal 10% dibawah normal 4. HE:
rentan ideal 5. Tidak - Ajarkan dan
menyimpang dukung konsep
Gejala dan tanda minor dari rentan nutrisi yang baik
Subjekrif normal dengan klien (dan
1. Cepat kenyang setelah orang terdekat klien
makan dengan tepat)
2. Kram atau nyeri abdomen
3. Nafsu makan menurun
Objektif
1. Bising usus hiperaktif
2. Otot pengunyah lemah
3. Otot menelan lemah
4. Membrane mukosa pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun

28
7. Rambut rontok berlebihan
8. Diare

Kondisi klinis terkait


1. Stroke
2. Parkinson
3. Mobius syndrome
4. Cerebral palsy
5. Cleft lip
6. Cleft palete
7. Amyotropic lateral
sclerosis
8. Kerusakan neuromuscular
9. Luka bakar
10. Kanker
11. Infeksi
12. AIDS
13. Penyakit Crohn’s

29
3. Gangguan menelan– ( D.0063) NOC Terapi menelan Terapi menelan
Kategori : Fisiologis Kriteria hasil : 1. Observasi: 1. Observasi:
Subkategori : Neurosensori Setelah dilakukan - Monitor hidrasi - Agar dapat
tindakan keperawatan tubuh (misalnya, mengetahui
Definisi : selama … x 24 intake, output, status
Fungsi menelan abnormal akibat jammasalah turgor kulit, hidrasi,
deficit struktur atau fungsi oral, keperawatan status membrane mukosa) membran
faring atau esophagus menelan : fase 2. Mandiri: mukosa,
30sophagus teratasi - Bantu pasien untuk turgor kulit
Penyebab dengan indicator : menempatkan yang
1. Gangguan serebrovaskular 1. Batuk dengan makanan ke mulut menggambar
2. Gangguan saraf cranialis menelan (3) bagian belakang kan berat
3. Paralisis cerebral 2. Tersedak dan di bagian yang ringannya
4. Akalasia dengan menelan tidak sakit kekurangan
5. Abnormalitas laring (3) 3. Kolaborasi: cairan
6. Abnormalitas orofaring 3. Isi lambung - Konsultasikan 2. Mandiri:
7. Anomaly jalan napas atas mengalir dengan terapis dan - Agar klien
8. Defek anatomi congenital kembali (3) atau dokter untuk tidak
9. Defek laring 4. Tidak nyaman meningkatkan merasakan

30
10. Defek nasal dengan menelan konsistensi sakit pada
11. Defek rongga nasofaring (3) makanan pasien saat menelan
12. Defek trakea 5. Bau nafas asam secara bertahap 3. Kolaborasi:
13. Refluk gastroesofagus (3) 4. HE: - Untuk
14. Obstruksi mekanis Keterangan : - Instruksikan pasien menjaga
15. Prematuritas 1. Berat untuk meraih sisa asupan
2. Cukup berat makanan pada bibir makanan
Gejala dan tanda mayor 3. Sedang atau dagu dengan yang
Subjektif 4. Ringan lidah dibutuhkan
1. Mengeluh sulit menelan 5. Tidak ada tubuh
Objektif 4. HE:
1. Batuk sebelum menelan -
2. Batuk setelah makan atau
minum
3. Tersedak
4. Makanan tertinggal
dirongga mulut

31
Gejala dan tanda minor
Subjektif
Oral
( Tidak tersedia )
Objektif
Oral
1. Bolus masuk erlalu cepat
2. Refluks nasal
3. Tidak mampu
membersihkan rongga
mulut
4. Makanan jatuh dari mulut
5. Makanan terdorong keluar
dari mulut
6. Sulit mengunyah
7. Muntah sebelum menelan
8. Bolus terbentuk lama
9. Waktu makan lama
10. Porsi makanan tidak habis

32
11. Fase oral abnormal
12. Mengiler
Faring
1. Menolak makanan
Faring
1. Muntah
2. Posisi kepala elevasi
3. Menelan berulang – ulang
Esophagus
1. Mengeluh bangun
dimalam hari
2. Nyeri epigastria
Esophagus
1. Hematemesis
2. Gelisah
3. Regurgitasi
4. Odinofagia
5. Bruksisme

33
Kondisi klinis terkait
1. Stroke
2. Distrokfimuskular
3. Poliomyelitis
4. Cerebral palsy
5. Penyakit Parkinson
6. Guillain barre syndrome
7. Myasthenia gravis
8. Amyotropic lateral
sclerosis
9. Neoplasma otak
10. Paralisis pita suara
11. Kerusakan saraf kranialis
V, VII, IX, X, XI
12. Esofagitis

34
4. Nausea – ( D. 0076) NOC Manajemen mual Manajemen mual
Kategori : Psikologis Kriteria hasil : 1. Observasi: 1. Observasi:
Subkategori : Nyeri dan Setelah dilakukan - Monitor efek dari - Agar dapat
kenyamanan tindakan keperawatan manajemen mual mengetahui
selama … x 24 secara keseluruhan efek yang
Definisi : jammasalah 2. Mandiri: dapat
Perasaan tidak nyaman pada keperawatan napsu - Berikan informasi memicu
bagian belakang tenggorok atau makan teratasi dengan mengenai mual, terjadinya
lambung yang dapat indicator : seperti penyebab mual
mengakibatkan muntah. 1. Hasrat atau mual, dan berapa 2. Mandiri:
keinginan untuk lama itu akan - Agar dapat
Penyebab makan (4) berlangsung memberikan
1. Gangguan biokimia ( mis, 2. Mencari 3. Kolaborasi: pengetahuan
uremia, ketoasidosis makanan (4) 4. HE: penyebab
diabetic) 3. Menyenangi - Instruksikan pasien mual dan
2. Gangguan pada esogagus makanan (4) mengenai diet berapa lama
3. Distensi lambung 4. Merasakan tinggi karbohidrat itu akan
4. Iritasi lambung makanan (4) dan rendah lemak berlangsung
5. Gangguan prankeas Keterangan : yang sesuai 3. Kolaborasi:-

35
6. Peregangan kapsul limpah 1. Sangat 4. HE:
7. Tumor terlokalisasi (mis, terganggu - Diet yang
neuroma akustik, tumor 2. Banyak tepat dapat
otak primer atau sekunder, terganggu meningkatka
metastasis tulang didasar 3. Cukup n daya tahan
tengkorak) terganggu tubuh
8. Peningkatan tekanan intra 4. Sedikit sehingga
abdominal (mis, terganggu memperkecil
kaganasan intra abdomen 5. Tidak terganggu kemugkinan
9. Peningkatan tekanan intra terjadinya
cranial masalah
10. Peningkatan tekanan intra yang akan
orbital (mis, glaucoma) timbul
11. Mabuk perjalanan
12. Kehamilan
13. Aroma tidak sedap
14. Rasa makan atau
minuman yang tidak enak
15. Stimulus penglihatan tidak

36
menyenangkan
16. Factor psikologi (mis,
kecemasan, ketakutan,
stress)
17. Efek agen farmakologis
18. Efek toksin

Gejala dan tanda mayor


Subjektif
1. Mengeluh mual
2. Merasa ingin muntah
3. Tidak berminat makan
Objektif
( Tidak tersedia )

Gejala dan tanda minor


Subjektif
1. Merasa asam dimulut
2. Sensai panas atau dingin

37
3. Sering menelan
Objektif
1. Salifa meningkat
2. Pucat
3. Diaphoresis
4. Taki kardia
5. Pupil dilatasi

Kondisi klinis terkait


1. Meningitis
2. Labirinitis
3. Uremia
4. Ketoasidosis diabetik
5. Lukus peptikum
6. Penyakit esophagus
7. Tumor intra abdomen
8. Penyakit meniere
9. Neoroma akustik
10. Tumor otak

38
11. Kanker
12. Glaucoma

5. Resiko perdarahan – ( D.0012) NOC NIC


Kategori : Fisiologis Kriteria hasil : Pencegahan perdarahan Pencegahan perdarahan
Subkategori : Sirkulasi Setelah dilakukan Observasi : Observasi :
tindakan keperawatan 1. monitor dengan ketat 1. agar dapat
Definisi : selama … x 24 resiko terjadinya mengetahui
Beresiko mengalami kehilangan jammasalah perdarahan pada pasien perdarahan yang
darah baik internal ( terjadi keperawatan keparahan mandiri terjadi pada pasien.
didalam tubuh ) maupun eksternal kehilangan darah 1. catat nilai hemoglobin dan Mandiri :
(terjadi diluar tubuh) teratasi dengan hematoktit sebelum dan 1. dapat mengetahui
indicator : setelah pasien kehilangan berapa nilai

39
Factor resiko 1. kehilangan darah sesuai indikasi hemoglobin dan
1. Aneurisma darah yang kolaborasi hematokrit yang
2. Gangguan gastrointestinal terlihat (3) hilang.
(mis, ulkus lambung, 2. hemoptisis (3) - Kolaborasi : -
polip, dan varices) keterangan : He He :
3. Gangguan fungsi hati 1. berat 1. instruksikan pasien dan 1. agar pasien dan
(mis, serosis hepatitis) 2. cukup berat keluarga untuk memonitor keluarga dapat
4. Komplikasi kehamilan 3. sedang tanda tanda perdarahan dan mengetahui tanda-
(mis, ketuban pecah 4. ringan mengambil tindakan yang tanda perdarahan
sebelum waktunya, 5. tidak ada tepat jika terjadi dan mengambil
plasenta previa atau perdarahan (misalnya lapor tidakan yang tepat
abrupsio, kehamilan kepada perawat) jika terjadi
kembar) perdarahan.
5. Komplikasi paska partum
(mis, atoni uterus, retensi
plasenta)
6. Gangguan koagulasi (mis,
trombositopenia)
7. Efek agen farmakologi

40
8. Tindakan pembedahan
9. Trauma
10. Kurang terpapar informasi
tentang pencegahan
perdarahan
11. Proses keganasan

Kondisi klinis terkait


1. Aneurisma
2. Koagulopati intravascular
diseminata
3. Sirosis hepatis
4. Ulkus lambung
5. Varices
6. Trombositopeia
7. Ketuban pecah sebelum
waktunya
8. Plasenta previa atau
abrupsio

41
9. Atonia uterus
10. Retensi plasenta
11. Tindakan pembedahan
12. Kanker
13. trauma

6. Resiko infeksi – (0142) NOC NIC


Kategori : Lingkungan Kriteria hasil : Perlindungan infeksi Perlindungan infeksi :
Subkategori : keamanan dan Setelah dilakukan Observasi Observasi :
proteksi tindakan keperawatan 1. Monitor kerentanan 1. Agar dapat
selama … x 24 terhadap infeksi mengetahui
Definisi : jammasalah 2. Monitor adanya tanda dan penyeabab
Beresiko mengalami peningkatan keperawatan keparahan gejala infeksi sistemik dan terjadinya infeksi.
terserang organism patogenik. infeksi teratasi dengan lokal Mandiri :
indicator : Mandiri -
Factor resiko 1. Demam (4) - Kolaborasi : -
1. penyakit kronis (mis, 2. Nyeri (3) Kolaborasi
diabetes mellitus) 3. Hilang nafsu -
2. efek prosedur invasi makan (3)

42
3. mal nutrisi Keterangan : He He :
4. peningkatan paparan 1. Berat 1. Ajarkan pasien dan 1. agar pasien dan
organism pategen 2. Cukup berat keluarga mengenai tanda keluarga dapat
lingkungan 3. Sedang dan gejala infeksi dan mengetahui tanda
5. ketidakadekuatan 4. Ringan kapan harus dan gejala
pertahanan tubuh primer : 5. Tidak ada melaporkannya kepada terjadinya infeksi.
1) gangguan pemberi layanan kesehatan
peristaltic
2) kerusakan
integritas kulit
3) perubahan sekresi
PH
4) penurunan kerja
siliaris
5) ketuban pecah
lama
6) ketuban pecah
sebelum waktunya
7) merokok

43
8) statis cairan tubuh
6. ketidak adekuatan
pertahanan tubuh
sekunder :
1) penurunan
hemoglobin
2) imunosupresi
3) leucopenia
4) sutresi respon
inflamasi
5) vaksinasi tidak
adekuat

44
kondisi klinis terkait
1. AIDS
2. Luka bakar
3. Penyakit paru Obstruktif
kronis
4. Diabetes mellitus
5. Tindakan invasi
6. Kondisi penggunaan
terapi steroid
7. Penyalahgunaan obat
8. Ketuban pecah sebelum
waktunya (KPSW)
9. Kanker
10. Gagal ginjal
11. Imunosupresi
12. Lymphedema
13. Leukositopenia
14. Gangguan fungsi hati

45
7. Resiko aspirasi – ( D.0149) NOC NIC
Kategori : Fisiologis Kriteria hasil : Pencegahan aspirasi Pencegahan aspirasi
Subkategori : Respirasi Setelah dilakukan Observasi Observasi :
tindakan keperawatan 1. Monitor status pernafasan 1. Agar dapat
Definisi : selama … x 24 Mandiri mengetahui status
Beresiko mengalami masuknya jammasalah 1. Pertahankan [kepatenan] pernafasan pada
sekresi gastrointestinal, sekresi keperawatan status jalan napas klien.
orofaring, benda cair atau padat pernapasan teratasi Kolaborasi Mandiri :
kedalam saluran trakeo bronchial dengan indicator : - 1. Agar pernafasan
akibat disfungsi mekanisme 1. Frekuensi He pada klien tetap
protektif saluran napas. pernapasan (3) - normal.
2. Irama Kolaborasi :-
Factor resiko pernapasan (3) He : -
1. Penurunan tingkat 3. Kedalaman
kesadaran inspirasi (3) Manajemen jalan napas Manajemen Jalan Nafas
2. Penurunan reflex muntah 4. Kepatenan jalan Observasi Obseravsi :
dan / atau batuk napas (3) 1. Monitor status pernafasan 1. Agar dapat
3. Gangguan menelan dan oksigenasi mengetahui status
4. Disfagia Keterangan : sebagaimana mestinya pernafasan dan

46
5. Kerusakan mobilitas fisik 1. Deviasi berat oksigenasi
6. Peningkatan residu dari kisaran sebagaimana
lambung normal mestinya.
7. Peningkatan tekanan 2. Deviasi cukup Mandiri Mandiri
intragastrik berat dari 1. Auskultasi suara nafas, 1. Agar dapat
8. Penurunan motilitas kisaran normal catat area yang mengetahui suara
gastrointestinal 3. Deviasi sedang ventilasinya menurun atau nafas, dan suara
9. Sfingter esophagus bawah dari kisaran tidak dan adanya suara tambahan pada
inkompeten normal tambahan klien.
10. Perlambatan pengosongan 4. Deviasi ringan Kolaborasi Kolaborasi : -
lambung dari kisaran - He : -
11. Terpasang selang normal He
nasogastrit 5. Tidak ada -
12. Terpasang trakeostomi deviasi dari
atau endotraceal tube kisaran normal
13. Trauma / pembedahan
leher, mulut, dan / atau
wajah
14. Efek agen farmakologi

47
15. Ketidakmatangan
koordinasi menghisap,
menelah, dan bernafas

Kondisi klinis terkait


1. Cedera kepala
2. Stroke
3. Cedera medulla spinalis
4. Guillain barre syndrome
5. Penyakit Parkinson
6. Keracunan obat dan
alcohol
7. Pembesaran uterus
8. Miestemia gravis
9. Vistula trakeo esophagus
10. Striktura esophagus
11. Sclerosis multiple
12. Labio palatoskiziz
13. Atresia esophagus

48
14. Laringomalasia
15. Prematuritas

49
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gastroesofageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana
cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala
khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi, dan komplikasi.
Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal (esofagus) dan atipikal
(ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya GERD yaitu
mekanisme antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan oleh
esofagus, dan resistensi sel epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis
GERD dapat ditegakkan berdasarkan analisa gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya
endoskopi, radiologi, pengukuran pH, tes perfusi Berstein, tes gastro-
esophageal scintigraphy.
Komplikasi penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis
ulseratif, perdarahan, striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan
penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Pengobatan
yang dapat diberikan pada klien GERD meliputi modifikasi gaya hidup, terapi
endoskopi, terapi medikamentosa, dan terapi komplikasi.
3.2 Saran
1. Individu yang mengalami keluhan-keluhan refluks gastroesofagus perlu
mencari pengobatan sedini mungkin sehingga keluhan berat dan
komplikasi dapat dicegah.
2. Bagi tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan
sumbangsih penelitian maupun referensi mengenai penyakit
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) mengingat sedikit dijumpai
referensi penunjang mengenai penyakit ini.
3. Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan
ketika praktik di klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan
referensi yang terbaru.

50
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
Ketiga. Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT
Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit
Refluks Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara
Klinis. PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition
September - November 2009.
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk.
Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

51

Anda mungkin juga menyukai