Anda di halaman 1dari 5

Nama : Putri Gloria Siahaan

NIM : 22010118220102

GERD

Refluks gastroesofageal merupakan gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara
berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang
menganggu. GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan
defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.

Secara umum, prevalensi refluks gastroesofageal di Asia lebih rendah daripada di Negara
Barat. Diperkirakan 14 – 20 % penduduk dewasa di Amerika menderita refluks
gastroesofageal. Prevalensi di Asia berkisar 3 – 5 % dengan pengecualian di Jepang dan
Taiwan berkisar 15%. Di Indonesia sendiri belum ada data yang lengkap namun ada
kecenderungan peningkatan rata- rata 13,13 % pertahun dari data yang ada.

Faktor resiko terjadinya GERD antara lain:

1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, dan calcium


channel blocker.

2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.

3. Hormon, pada wanita hamil disebabkan olehpeningkatan hormon progesterone dan


pada wanita menopause disebabkan oleh terapi hormon estrogen.

4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia atau panjang LES (Lower
Esophageal Spincter) yang kurang dari 3 cm.

5. Indeks masa tubuh (IMT), dimana peningkatan IMT sebanding dengan resiko
terjadinya GERD.
Berdasarkan lokasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal dan
ekstraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan atau
tanpa adanya lesi struktural. Gejala sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn,
regurgitasi, dan nyeri dada non kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi
struktural, berupa refluks esofagitis, striktur reflukks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma
esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks jangka panjang dan bersifat
non-spesifik.

Gejala utama refluks gastroesofageal adalah heart burn, yaitu rasa panas seperti terbakar di
daerah substernal, regurgitasi serta disfagia. Keluhan biasanya dirasakan setelah makan
dengan volume banyak dan berlemak atau saat berbaring.

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia
hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barret’s Esophagus.
Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada
kasus infeksi. Nyeri dada nonkardiak, batuk kronik, asma, laringitis, dan otitis media
merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.

Diagnosis dan Terapi Refluks Gastroesofageal


Sebagai dokter umum, kita seringkali kesulitan untuk menegakkan diagnosis dan
merencanakan terapi pada pasien refluks gastroesofageal di fasilitas kesehatan tingkat
pertama karena keterbatasan alat penunjang diagnostik.

Berdasarkan Guideline for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux


Disease (dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology), diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan:

1. Terapi empirik

2. Endoskopi

3. Ambulatory Reflux Monitoring(dilakukan pemeriksaan selama 24 jam untuk menilai


paparan asam dalam esofagus dan mengkorelasikan dengan gejala yang ada).

4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi ekskluasi kelainan


motilitas seperti achalasia atau aperistalti).
Terapi empirik merupakan pendekatan diagnosis yang dapat diterapkan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama karena sederhana dan tidak memerlukan alat penunjang diagnostik.
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian
kuisioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (proton pump inhibitor). Selain itu, gejala
GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-
Q).

GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik
GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan
terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.

Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan
yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk
menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respon terapi.
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI (PPI test). Tes ini
dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1–2 minggu tanpa didahului
endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.

Uji terapi PPI dikatakan postif jika terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih
dari 50 %. Indikasi uji terapi ini adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-
tanda alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia, hematemesis-
melena, riwayat keluarga dengan keganasan, penggunaan NSAID kronik, usia >40 tahun di
daerah prevalensi kanker lambung tinggi ) dan yang tidak respon dengan uji terapi empirik
dengan PPI 2 kali sehari.

Pemeriksaan standar baku untuk menegakkan GERD adalah endoskopi saluran cerna bagian
atas (SCBA). Endoskopi terutama dilakukan pada penderita GERD dengan gejala alarm.
Pemeriksaan endoskopi menilai berat ringannya mucosal break pada penderita refluks
gastroesofageal. Di Indonesia, fasilitas endoskopi hanya ada di fasilitas kesehatan tingkat
lanjut.

Terapi Refluks Gastroesofageal


Tatalaksana refluks gastroesofageal meliputi tindakan terapi non-farmakologi, farmakologi,
endoskopik, dan bedah. Ada 5 target yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan GERD yaitu
menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi esofagus, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Terapi Non-Farmakologi
Terapi non-farmakologik dilakukan dengan modifikasi gaya hidup meliputi:

1. Meninggikan posisi kepala 6 inchi (15 – 20 cm ) saat tidur

2. Menurunkan berat badan sesuai IMT ideal.

3. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman


mengandung kafein, alkohol dan makanan berlemak – asam – pedas.

4. Makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.

5. Tidak makan terlalu kenyang.


Terapi Farmakologi
Obat golongan PPI (protont pump inhibitor) merupakan obat pilihan yang terbukti efektif
mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis. Terdapat 5 jenis PPI yang beredar di
pasaran yaitu omeprazol 20 mg, pantoprazol 40 mg, lansoprazol 30 mg, esomeprazol 40 mg,
dan rabeprazol 20 mg.

PPI dosis tunggal umunya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi, sedangkan dosis
ganda diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam.

Terapi inisial GERD adalah PPI dosis tunggal selama 8 minggu. Jika gejala tidak membaik
atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI dosis
ganda selama 4–8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat
dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenace berupa PPI dosis tunggal selama 5
– 14 hari.
Selaim PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik. Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks
ringan dan terapi maintenance bersama PPI.

Penatalaksanaan endoskopik untuk mengatasi komplikasi GERD seperti Barret’s Esofagus,


stenosis, atau perdarahan, dapat dilakukan argon plasma, coagulation, ligasi, endoscopic
mucosal resection, bouginasi, hemostasis, atau dilatasi. Tindakan bedah untuk anti refluks
dan mengatasi komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai