Anda di halaman 1dari 42

1.

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Penyakit refluks asam lambung atau gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah
kondisi ketika asam lambung naik ke esofagus (kerongkongan). Kondisi ini terjadi akibat
melemahnya cincin otot kerongkongan yang berfungsi mencegah makanan kembali ke
kerongkongan setelah masuk ke lambung.

Epidemiologi

GERD merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling umum terjadi.
Suatu studi sistematik, prevalensi GERD di Amerika Serikat antara 18,1% hingga 27,8%.
Prevalensi GERD lebih tinggi sedikit pada wanita dibandingkan pria yaitu 16,7% vs
15,4%. Wanita dengan GERD lebih mungkin mengalami nonerosive reflux disease
(NERD) dibandingkan pria esofagitis erosif. Pada laki-laki dengan GERD memiliki insiden
esofagus Barrett’s (23%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (14%).

Etiologi dan faktor risiko

Etiologi terjadinya GERD yaitu adanya dismotilitas esofagus yang menyebabkan


gangguan pembersihan asam pada esofagus, gangguan tonus sfingter esofagus bagian
bawah, gangguan relaksasi sfingter esofagus, terlambatnya pengosongan usus.
Gangguan anatomi seperti hiatal hernia, peningkatan tekanan intra abdomen yang sering
terjadi pada pasien obesitas.

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan GERD yaitu usia ≥50 tahun, status
ekonomi yang rendah, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, hamil, supinasi
postprandial ataupun penggunaan obat seperti antikolinergik, benzodiazepin, NSAID,
aspirin, albuterol dan antidepresan.

Tanda dan Gejala GERD meliputi:

 Rasa seperti terbakar di dada, biasanya setelah makan dan dapat memburuk di
malam hari
 Makanan atau asam lambung naik ke bagian atas lambung
 Sensasi mengganjal di tenggorokan
 Kesulitan menelan atau perasaan seperti ada benjolan di tenggorokan.
 Gangguan pernapasan, seperti batuk-batuk dan sesak napas. Orang yang
memiliki penyakit asma akan sering kambuh ketika gejala GERD kumat.
 Suara serak.
 Mual dan muntah.
 Sakit tenggorokan.
 Keluarnya isi lambung tanpa disadari.
 Gangguan tidur.
 Kerusakan gigi karena sering terkena asam lambung.
 Bau mulut.

ANAMNESIS

 menanyakan identitas pasien


 keluhan utama dan lamanya sakit
 riwayat penyakit sekarang dengan menanyakan karakter keluhan
utama,perkembangan keluhan utama seperti obat-obat yang telah diminum dan
hasilnya
 riwayat penyakit dahulu
 riwayat pribadi seperti kebiasaan makan, kebiasaan merokok, alkohol, dan
penggunaan narkoba, serta riwayat imunisasi
 riwayat sosial ekonomi seperti lingkungan tempat tinggal dan hygiene
 riwayat kesehatan keluarga
 riwayat penyakit menahun keluarga seperti alergi, asma, hipertensi, kencing
manis, Perlu ditanyakan mengenai gejala tipikal gastroesophageal reflux disease
atau GERD yang meliputi heartburn dan regurgitasi. Heartburn dideskripsikan
sebagai rasa terbakar di area substernal yang naik dari epigastrium menuju leher.
Sementara itu, regurgitasi adalah naiknya isi lambung ke arah mulut yang dapat
disertai rasa asam atau pahit.
 Selain itu, perlu ditanyakan pula gejala atipikal GERD berupa gejala
ekstraesofageal, yang meliputi manifestasi pada telinga, hidung, tenggorokan,
serta pulmonal. Gejala ekstraesofageal contohnya nyeri dada, batuk, suara serak,
laringitis, faringitis, sensasi mengganjal pada tenggorokan, bersendawa,
kembung, dan erosi gigi.
 Perlu ditanyakan pula faktor risiko yang mungkin mendasari terjadinya GERD
pada pasien seperti gaya hidup, makanan yang dikonsumsi sebelum muncul
gejala, pola makan, obat yang dikonsumsi, hamil atau menopause, dan stres
psikologis.
 GERD Questionnaire (GERD-Q)
 GERD-Q adalah kuesioner yang dikembangkan untuk membantu menegakkan
diagnosis GERD dan mengukur respon terapi. Sensitivitas GERD-Q mencapai
65% dan spesifisitas 71%. Kuesioner ini memiliki 6 pertanyaan yang terbagi
menjadi 2 kelompok, 4 pertanyaan untuk prediksi positif GERD pada kelompok
pertama dan 2 pertanyaan untuk prediksi negatif GERD pada kelompok kedua
 Berikut adalah isi dari GERD-Q: Apa yang anda rasakan dalam 7 hari terakhir:
 Seberapa sering anda mengalami perasaan terbakar di bagian belakang tulang
dada anda (heartburn)?
 0 hari: 0
 1 hari: 1
 2-3 hari: 2
 4-7 hari: 3
 Seberapa sering anda mengalami naiknya isi lambung ke arah tenggorokan/mulut
anda (regurgitasi)?
 0 hari: 0
 1 hari: 1
 2-3 hari: 2
 4-7 hari: 3
 Seberapa sering anda mengalami nyeri ulu hati?
 0 hari: 3
 1 hari: 2
 2-3 hari: 1
 4-7 hari: 0
 Seberapa sering anda mengalami mual?
 0 hari: 3
 1 hari: 2
 2-3 hari: 1
 4-7 hari: 0
 Seberapa sering anda mengalami kesulitan tidur malam oleh karena rasa terbakar
di dada (heartburn) dan/atau naiknya isi perut?
 0 hari: 0
 1 hari: 1
 2-3 hari: 2
 4-7 hari: 3
 Seberapa sering anda meminum obat tambahan untuk rasa terbakar di dada
(heartburn) dan/atau naiknya isi perut (regurgitasi), selain yang diberikan oleh
dokter anda? (seperti obat maag yang dijual bebas)
 0 hari: 0
 1 hari: 1
 2-3 hari: 2
 4-7 hari: 3
 Cut-off skor GERD-Q adalah 8, artinya bila skor GERD-Q ≥8 maka pasien
kemungkinan mengalami GERD. Apabila skor ≤7 maka pasien kemungkinan tidak
mengalami GERD.
 Gejala Bahaya (Alarm Symptoms)
 Saat anamnesis perlu ditanyakan terkait gejala bahaya yang menyertai gejala
GERD karena adanya gejala bahaya mengindikasikan keganasan yang
mendasari.
 Gejala bahaya yang perlu ditanyakan antara lain:
 Kesulitan menelan (disfagia)
 Nyeri saat menelan (odinofagia)
 Kanker gastrointestinal pada kerabat tingkat pertama
 Gejala perdarahan saluran pencernaan (melena, hematemesis, hematochezia,
dan perdarahan samar pada feses)
 Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas atau anoreksia
 Defisiensi anemia
 Rasa cepat kenyang
 Muntah persisten
 dll.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Palpasi dilakukan terakhir,
dikarenakan palpasi dapat mengganggu bunyi normal abdomen. Pemeriksaan fisik pada
GERD tidak menunjukkan hasil yang spesifik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain, seperti nyeri epigastrium pada ulkus
peptikum dan nyeri abdomen pada penyakit saluran empedu. Selain itu, refluks asam
juga dapat memicu bronkospasme yang menyebabkan kekambuhan asthma sehingga
pada pemeriksaan fisik menimbulkan wheezing.

Untuk tujuan deskriptif abdomen dibagi menjadi 4 kuadran(LUQ, LLQ, RUQ, RLQ). Bias
dilakukan pemeriksaan fisik abdomen terdiri dari : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, dan
Auskultasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa GERD yaitu:

 Endoskopi

Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE.Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan
mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan
biopsi.Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk
pengobatan (dilatasi endoskopi).
Klasifikasi Los Angeles

Derajat Gambaran endoskopi


kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter <
5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

 Radiologi

Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan.Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan
refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau
penyempitan lumen.

 Tes Provokatif

a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus


terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan
ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak
bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri
dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan
dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang
dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk
memastikan nyeri dada asal esofagus.

 Pengukuran pH dan tekanan esofagus

Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk
memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang
mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan
manometrik esofagus.

DD
Diagnosis banding GERD yaitu angina pektoris, akalasia, dispepsia, ulkus
peptik, ulkus duodenum dan pankreatitis.

Tatalaksana
Terapi medikamentosa yaitu dapat diberikan proton pump inhibitor (PPI)
dosis tinggi selama 7014 hari. Jika terdapat perbaikan gejala yang signifikan (50-
75%) maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Dosis yang diberikan dapat
berupa omeprazole 2x20 mg/hari dan lansoprazol 2x30 mg/hari. Setelah
diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh ditambah
dengan prokinetik seperti domperidon 3x10 mg. Jika PPI tidak tersedia, maka
penggunaan H2 bloker 2x sehari seperti cimetidine 400-800 mg atau ranitidin 150
mg atau famotidin 20 mg.

Terapi non medikamentosa pada pasien GERD yaitu melakukan edukasi


modifikasi gaya hidup dengan mengurangi berat badan, berhenti merokok, tidak
mengkonsumsi zat yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan alkohol.
Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. Tidur minimal setelah 2
sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan kurangi makanan
yang berlemak.

Prognosis
Prognosis GERD umumnya baik bergantung pada kondisi pasien saat
datang dan pengobatannya.

Komplikasi
Komplikasi dari GERD yaitu yaitu esogatitis erosif, striktur esofagus dan
esofagus barret. Esogatitis erosif ditandai dengan erosi atau ulkus pada mukosa
esofagus derajat esofagitis dinilai secara endoskopi menggunakan sistem
klasifikasi esofagitis Los Angeles, yang menggunakan sistem penilaian A, B, C,
D berdasarkan variabel yang mencakup panjang, lokasi, dan tingkat keparahan
kerusakan mukosa di esofagus secara melingkar. Iritasi asam kronis pada
esofagus distal dapat menyebabkan jaringan parut pada esofagus distal yang
menyebabkan pembentukan striktur peptikum. Esofagus barret terjadi akibat
paparan asam patologis kronis pada mukosa esofagus distal. Ini mengarah pada
perubahan histopatologi mukosa esofagus distal, yang biasanya dilapisi oleh
epitel skuamosa berlapis menjadi epitel kolumnar metaplastik.

2. PERDARAHAN SALURAN CERNA

Perdarahan saluran pencernaan adalah kondisi ketika saluran cerna mengalami


perdarahan. Perdarahan yang terjadi bisa sedikit dan sulit dideteksi, atau sangat banyak
dan sampai membahayakan jiwa. Saluran pencernaan terbagi menjadi dua, yaitu saluran
pencernaan atas dan saluran pencernaan bawah. Saluran pencernaan atas meliputi
kerongkongan (esofagus), lambung, dan usus dua belas jari (duodenum). Sedangkan
saluran pencernaan bawah terdiri dari usus halus, usus besar, dan dubur.

A. ANATOMI

Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,


lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.1
Gambar: Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan. Digilib. Jurnal Unimus. 2017. Bab II.
Hal: 6-121

Saluran cerna bagian atas (SCBA) meliputi esofagus, gaster, duodenum, jejunum
proksimal diatas ligamentum Treitz. 1

Saluran cerna bagian bawah (SCBB) meliputi jejunum distal dibawah ligamentum TReitz,
ileum, kolon, rektum dan anus.1

Pembatas antara Saluran Cerna Bagian Atas dan Saluran Cerna Bagian Bawah adalah
Ligamentum Treitz.1

Gambar: Ligamentum Treitz.Elseivier1

B. FISIOLOGI
Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh.

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut merupakan
bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk system pencernaan
yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan
dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan sederhana
terdiri dari manis,asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di
hidung, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan
(incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian
kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-
bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein
dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan
berlanjut secara otomatis

Tenggorokan (Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam lengkung


faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar
limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara
jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari
bagian superior yaitu bagian yang sama tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian
yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan
laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring,
bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring
yang menghubungkan orofaring dengan laring.1

Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring
pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian
yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot
rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).1

Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu kardia,
fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi
secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi
lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida (HCL), dan prekusor
pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi sel – sel lambung dari
kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida menciptakan suasana yang sangat
asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang
tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri.1

Usus halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut
zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein,
gula dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan
otot melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga
bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus
penyerapan (ileum).1

Usus Dua Belas Jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari
merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir
di ligamentum treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran
yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus
dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan
masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh
usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk
berhent i mengalirkan makanan.1

Usus Kosong (Jejenum)

Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas
jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh
usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan
usus penyerapandigantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam
usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus.1

Usus Penyerapan (Illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan
8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam empedu.1

Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama
organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan),
kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi
membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari
usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-
bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan
dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.1

Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi,
sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan
kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi.1

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak
yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk
menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan
limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan
sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter.
Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang merupakan
fungsi utama anus.
AKTIFITAS SISTEM PENCERNAAN

1. Ingesti, memasukkan makanan ke dalam tubuh. Mengalirkan makanan sepanjang


saluran pencernaan.

2. Digesti, memecah makanan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil baik secara
kemis maupun mekanis.

3. Absorbsi, menyerap makanan dari saluran pencernaan dipindahkan ke sistim


kardiovaskuler dan limfa untuk diedarkan ke seluruh tubuh

4. Defekasi, pengeluaran sisa makanan yang tidak tercerna keluar tubuh.

ETIOLOGI

Penyebab perdarahan akut (SCBA) yang ditandai dengan hematemesis dan melena
adalah :

 Kelainan esophagus : pecahnya varises esophagus, esophangitis dan adanya


keganasan, ulkus, lessi Mallory weiness
 Kelainan lambung dan duodenum : tukak lambung, tukak duodenum, gastritis erosif,
gastropati kongestif, keganasan., angoodisplasia, penyakit crohn, divertikulum meckel
 Penyakit darah : leukemia, DIC, purpura, trombositopenia.
 Penyakit sistemik : uremia dan lainnya.
 Pemakaian obat yang ulserogenik : golongan salisilat, kortikosteroid,alkohol, dan
lainnya

EPIDERMINOLOGI

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang


gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan dan
perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak terdapat perubahan angka
kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan atau terapi. 1 Peningkatan
insidensi di sebagian negara berhubungan dengan penggunaan aspirin dan obat
antiinflamasi non steroid (OAINS). Selain itu, prevalensi perdarahan SCBA sangat
bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya. Hasil akhir
berupa perdarahan ulang dan kematian merupakan akibat dari penatalaksanaan yang
kurang adekuat.24 Di Amerika Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per
100.000 penduduk per tahun. Angka kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung
pada kondisi pasien dan penanganan yang tepat.2,3 Pasien dengan komplikasi atau
tanpa komplikasi di Amerika serikat rata-rata lama rawat inap adalah 4,4 dan 2,7 hari
dengan biaya perawatan sebesar 5632 US dollar dan 3402 US dollar.4 Umumnya 80%
dari kasus dapat berhenti dengan sendirinya. 10% kasus membutuhkan prosedur
intervensi untuk mengontrol perdarahan.

Penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna karena ulkus peptikum belakangan


ini kematian karena perdarahan saluran cerna akibat ulkus peptikum menurun
selama 10 tahun terakhir (5 – 12%)krn teknologi endoskopi dan farmakologi yg
semakin membaik dapat mengurangi perdarahan ulang

PATOFISIOLOGI

ULKUS PEPTIKUM

Gangguan keseimbangan antara faktor asam dan pepsin (mukus, bikarbonat, aliran
darah) → mukosa dinding lambung melemah →pecah → perdarahan

Infeksi kuman Helicobacter Pylori → peradangan langsung pada mukosa lambung dan
duodenum → produksi asam berlebih →membebani lapisan mukosa lambung →sakit
maag

Obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), misalnya aspirin, ibuprofen, naproxen,
dan diklofenak → Konsumsi dalam jangka waktu yang panjang → merusak lapisan
mukosa →ulkus peptikum

Ulkus gaster

Definisi

Ulkus gaster atau yang dikenal sebagai ulkus peptikum merupakan hilangnya lapisan
mukosa dan submukosa dari gaster yang mencapai ke dalam 5 mm. Ulkus gaster
menyebabkan hilangya lapisan mukosa lambung karena berkurangnya sekresi asam
lambung atau pepsin sebagai pelindung lambung. Kerusakan dari mukosa dapat meluas
hingga sel epitel lambung.

Epidemiologi

Ulkus peptikum masih menjadi masalah global hingga saat ini. Prevalensi terjadinya
ulkus peptikum sebesar 5-10% pada setiap pasien selama masa hidupnya. Prevalensi
terjadinya ulkus peptikum pada negara berkembang sebesar 0.12-1.5%. Berdasarkan
jenis kelamin, ulkus peptikum lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan
wanita. Puncak insidensi terjadinya ulkus peptikum adalah usia 60-70 tahun.

Etiologi dan Faktor risiko

Penyebab dari ulkus peptikum bervariasi. Sebesar 70 % kasus disebabkan oleh


Helicobacter pylori diikuti oleh penggunaan NSAID jangka panjang dan obat-obatan
lainnya. penggunaan obat kortikosteroid, bifosfonat, potasium klorida dinilai juga dapat
menyebabkan terbentuknya ulkus peptikum.

Faktor risiko terbentuknya ulkus peptikum adalah :

1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)


2. Gagal ginjal kronis
3. Merokok
4. Usia lanjut
5. Konsumsi alkohol
6. Obesitas
Manifestasi klinis
Gejala pada ulkus peptikum berupa nyeri pada perut bagian atas yang
muncul tiba-tiba. Rasa nyeri akan muncul setelah makan. Gejala lain dapat
berupa mual, muntah, rasa penuh dan penurunan dari berat badan. ulkus yang
parah juga dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna atas berupa
hematemesis dan melena.

Diagnosis
Diagnosis pada ulkus peptikum ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penting
ditanyakan mengenai gejala, faktor risiko, riwayat penggunaan obat-obatan,
riwayat makan dan riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik ditemukan
adanya nyeri tekan epigastrium dan pada kasus yang berat dapat ditemukan
komplikasi berupa takikardi dan perut terasa seperti papan. Pemeriksaan
penunjang yang harus dilakukan adalah esofagogastroduodenoskopi (EDG) yang
bertujuan untuk mendeteksi lokasi ulkus dan mencari penyebab. Pemeriksaan
lainnya berupa test H pylori yaitu urea breath test. Pada kasus yang dicurigai
disebabkan oleh keganasan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan berupa
biopsi endoskopi.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada ulkus peptikum dapat berupa :

1. Dispepsia fungsional
2. Ulkus duodenum
3. GERD
4. Gastroparesis
5. Penyakit celiac
6. Pankreatitis
Tatalaksana
Tatalaksana pada ulkus peptikum dapat berupa terapi medikamentosa dan
non medikamentosa. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan berupa H2
bloker seperti ranitidine 2x150 mg atau famotidin 2x20 mg, kemudian obat proton
pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole 2x20mg atau lansoprazole 2x30mg.
Pada ulkus peptikum yang disebabkan oleh H pylori dapat diberikan kombinasi
terapi sebagai berikut :

1. Triple therapy clarithromycin : PP1 2x1 + Klaritromisin 2 x 500 mg +


Amoksisilin 2x1 gr atau metronidazole 2x500 mg
2. Bismuth quadruple : PPI 2x1 + bismuth subsalisilat 4x300 mg + tetrasiklin
4x250 mg + amoksisilin 2x1 gr
3. Levofloxacin triple : PPI 2x1 + amoksisilin 2x1 gr + levofloksasin 1x500 mg
Pada kasus penggunaan NSAID, dapat diberikan PPI dan dapat diberikan
prostaglandin sintetik seperti misoprostol 200 mikrogram/hari.

Prognosis
Prognosis ulkus peptikum biasanya baik jika penyebab dari ulkus peptikum
diketahui dan diberikan tatalaksana secara tepat.Rekurensi pada ulkus peptikum
sebesar 60% tetapi rekurensi dari ulkus peptikum dapat dicegah dengan
menghindari penyebab dan faktor risiko ulkus peptikum.

Komplikasi
Komplikasi pada ulkus peptikum terjadi apabila penanganan tidak adekuat.
Komplikasi yang dapat terjadi berupa :

1. Perdarahan dari saluran cerna sekitar 15%


2. Perforasi gaster sekitar 6-7%
3. Obstruksi dari outlet gaster sekitar 1-2%
Ulkus duodenum
Definisi
Ulkus duodenum merupakan bagian dari ulkus peptik. Penyakit ulkus peptik
yaitu suatu kondisi ketika terdapat gangguan pada permukaan mukosa pada
lambung atau duodenum. Secara anatomis, permukaan lambung dan duodenum
meliputi pre-epitel, epitel dan subepitel. Ulkus duodenum didefinisikan sebagai
terbentuknya luka atau ulkus pada permukaan mukosa yang melampaui lapisan
superfisial.

Epidemiologi

Suatu studi menunjukkan prevalensi ulkus duodenum diperkirakan 5-15%


pada populasi Barat. Sebelum ditemukan pengobatan H.pylori memiliki tingkat
kekambuhan dan prevalensi yang tinggi. Penurunan prevalensi ulkus duodenum
akibat edukasi dokter ke pasien mengenai penyalahgunaan NSAID dan potensi
komplikasi yang dapat terjadi. Ulkus duodenum dapat terjadi pada semua
kelompok umur dan paling sering didiagnosis pada usia 20-45 tahun dan lebih
sering terjadi pada wanita.

Etiologi dan faktor risiko

Terdapat dua penyebab utama ulkus duodenum yaitu riwayat penggunaan


NSAID berulang dan jangka panjang atau disebabkan okeh infeksi H. Pylori.
Penyebab lainnya yaitu sindrom Zollinger- Ellison, keganasan, insufisiensi
vaskular dan riwayat kemoterapi.

Patofisiologi

Ulkus duodenum merupakan hasil dari erosi epitel mukosa duodenum


akibat sekresi asam lambung. Penggunaan NSAID dan infeksi H.pylori menjadi
penyebab ulkus duodenum. Kolonisasi H.pylori dapat menyebabkan
melemahnya lapisan permukaan mukosa sehingga rentan terhadap paparan
asam lambung dan membuat erosi epitel mukosa. Selain itu, H.pylori juga dapat
meningkatkan produksi asam lambung melalui proses inflamasi yang semakin
memburuk.

Prostaglandin memainkan peranan penting dalam melindungi permukaan


mukosa termasuk mukosa saluran pencernaan. Biosintesis akan dikatalis oleh
enzim siklooksigenase (COX), COX dibagi menjadi COX-1 dan COX-2. NSAID
menghambat jalur COX-1 dan COX-2. Penggunaan berulang menyebabkan
penurunan prostaglandin yang menyebabkan kerentanan terhadap cedera
mukosa. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor patofisiologi predisposisi
utama dalam perkembangan ulkus duodenum. Cedera mukosa berulang
menyebabkan jaringan menjadi ulswrasi atau peningkatan jumlah asam yang
terpapar pada mukosa, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan.

Manifestasi klinis

Presentasi klinis pada pasien ulkus duodenum yaitu dispepsia. Namun,


sebagian besar sekitar 70% pasien tidak memiliki gejala. Rasa sakit yang dialami
ulkus duodenum akan membaik setelah makan, sedangkan rasa sakit terkait
dengan ulkus peptikum yaitu meningkat setelah makan. Tanda dan gejala lainnya
termasuk nyeri perut epigastrium, kembung, mual dan muntah, penambahan
berat badan karena gejala membaik setelah makan. Komplikasi dari ulkus
duodenum termasuk perdarahan saluran cerna bagian atas termasuk melena,
hematemesis, peningkatan BUN dan anemia.

Diagnosis

Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat merokok, penggunaan obat


seperti aspirin dan riwayat keganasan pada saluran cerna. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan nyeri perut epigastrium dan jika terjadi komplikasi dapat
menunjukkan tanda tanda seperti kulit pucat, konjungtiva anemis.

Secara umum, ulkus duodenum dapat dilihat secara langsung dengan


visualisasi ulkus pada endoskopi saluran cerna bagian atas. CT scan dilakukan
untuk evaluasi nyeri perut dan dapat mengidentifikasi ulkus peptik non-perforasi
dan sebagian besar pasien memerlukan pemeriksaan
esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk evaluasi lebih lanjut. Barium
endoskopi merupakan pilihan bagi pasien dengan kontraindikasi EGD. Setelah
diagnosis ulkus duodenum ditegakkan, harus mencari etiologi penyebab untuk
menghindari perburukan dan ulkus berulang. Pada kasus infeksi H.pylori dapat
dilakukan pemeriksaan tes napas urea, tes antigen feses dan tes serologis. Tes
urea napas memiliki spesifisitas yang tinggi, namun dapat terjadi negatif palsu
pada pasien yang menggunakan pengobatan PPI.

DD

Diagnosis banding pada ulkus duodenum yaitu gastritis, pankreatitis,


GERD, kolesistitis, kolelitiasis, kolik bilier sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih
lanjut.

Tatalaksana

Tatalaksana ulkus duodenum berdasarkan derajat keparahan penyakit.


Pasien dengan perdarahan diperlukan tindakan pembedahan. Sebagian besar
pasien diberikan obat antisekretori untuk mengurangi paparan asam ke daerah
ulserasi serta meredakan gejala dan mempercepat penyembuhan. Untuk pasien
ulkus duodenum yang disebabkan oleh NSAID, manajemen awal yang harus
dilakukan yaitu penghentian obat. Pasien juga dianjurkan untuk berhenti merokok
dan alkohol.

Agen anti sekresi yang dapat diberikan yaitu antagonis reseptor H2 serta
inhibitor pompa proton. Durasi terapi bergantung pada derajat keparahan
penyakit. Pasien ulkus duodenum akibat H.pylori mendapatkan terapi dua
antibiotik dan penghambat pompa proton. Pasien yang mengalami komplikasi
memerlukan perawatan untuk waktu yang lebih lama mencapai 8-12 minggu atau
sampai resolusi ulkus dikonfirmasi dengan endoskopi berulang. Beberapa pasien
memerlukan laparoskopi pada pasien ulkus perforasi dan perdarahan yang tidak
responsif terhadap intervensi endoskopi.

Prognosis

Prognosis ulkus duodenum bervariasi tergantung pada tingkat keparahan


presentasi klinis. Ulkus duodenum terutama akibat penggunaan NSAID dapat
diatasi dengan penghentian obat. Individu yang mengalami ulkus akibat H.pylori
memerlukan antibiotik dan tingkat resolusi bervariasi bergantung dengan tingkat
keparahan. Pasien yang mengalami perforasi parah dapat menyebabkan
kematian yang lebih tinggi dan akan berisiko mengalami komplikasi yang terkait
dengan intervensi bedah.

Komplikasi

Tiga komplikasi utama yang terkait dengan ulkus duodenum yaitu


perdarahan, perforasi dan obstruksi. Untuk perdarahan memerlukan intervensi
endoskopik, jika gagal diperlukan intervensi bedah. Intervensi bedah ini juga
dilakukan pada ulkus besar atau pasien dengan hemodinamik tidak stabil
meskipun jika sudah dilakukan resusitasi adekuat. Sebagian kecil pasien 2-10%
akan mengalami perforasi. Pasien ini biasanya datang dengan keluhan nyeri
perut difus.
VARISES ESOFAGUS

Obstruksi sistem vena portal → tekanan portal meningkat → pelebaran pembuluh darah
di anastomosis → varises esofagus → dinding varises yang rapuh bisa pecah 15 →
perdarahan

MALLORY-WEISS TEAR

Kenaikan tekanan intragastrik yang tiba-tiba atau prolaps lambung ke esofagus → timbul
laserasi longitudinal di mukosa lambung maupun esofagus → sumber perdarahan

Definisi

Pecah varises esofagus (PYO) adalah perdarahan dari varises esofagus atau gaster
yang telah dikonfirmasi melalui endoskopi. Sekitar 70% perdarahan varises terjadi akibat
komplikasi hipertensi porta pada kasus sirosis hati. Etiologi lain antara lain vaskulopati
hipertensif atau lesi Mallory-Weiss. Bab ini akan dibahas terutama mengenai PYO akibat
sirosis hati. Disebut perdarahan varises akut, apabila episode terjadi dalam 48jam
(dihitung dari waktu nol, TJ tanpa bukti perdarahan yang bermakna antara waktu ke24
dan ke-48. Sementara disebut perdarahan ulang varises, apabila terjadi hematemesis
melena baru setelah periode 48 jam atau lebih (dihitung dari TJ.

Epidemiologi

Varises paling sering terjadi pada beberapa sentimeter esofagus bagian distal meskipun
varises dapat terbentuk dimanapun di sepanjang traktus gastrointestinal. Sekitar 50%
pasien dengan sirosis akan terjadi varises gastroesofagus dan sekitar 30–70% akan
terbentuk varises esofagus. Sekitar 4–30% pasien dengan varises yang kecil akan
menjadi varises yang besar setiap tahun dan karena itu mempunyai risiko akan terjadi
perdarahan.

Etiologi

Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah penyakit-penyakit yang
dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi ini dapat diklasifikasikan sebagai
prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik (Tabel 1 ).
Tabel 1. Etiologi hipertensi portal

Prehepatik Intrahepatik Pascahepatik

● Trombosis vena ● Fibrisis hepatik ● Sindroma


plenik kongenital Budd-Chiari
● Trombosis vena ● Hipertensi portal ● Trombosis
porta idiopatik vena kava
● Kompresi ekstrinsik ● Tuberkulosis inferior
pada vena porta ● Schistosomiasis ● Perikarditis
● Sirosis bilier primer konstriktif
● Sirosis alkoholik ● Penyakit hati
● Sirosis virus hepatitis B venooklusif
● Sirosis virus hepatitis C
● Penyakit wilson
● Defisiensi antitripsin alfa-
1
● Hepatitis aktif kronis
● Hepatitis fulminan

Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling sering
menimbulkan hipertensi portal (Gambar 1). Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada sirosis,
tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama meningkat.
Hyperdinamic
Portal hypertension
circulation adrenergic system
(increased cardiac
Deranged vasoconstrictor/ index) increased portal
(vascular) dilator imbalance blood flow
architecture renin - angiotensin
system (renal Na⁻ increased
and water resistance to portal
flow
CIRRHOSIS
Counterregulatory
mechanism

Gambar 1. Mekanisme hipertensi portal


Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya, akan
mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang tinggi
merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik, meskipun faktor
lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi penyebab. Walaupun
demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan hipertensi portal karena
adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta. Kolateral
portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang
menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan inferior. Aliran
kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus menyebabkan pembentukan
varises esofagus yang menghubungkan aliran darah antara vena porta dan vena
kava.
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta yang
terhambat masuk ke hepar.
Gambar: Anastomosisportocaval pada hipertensi porta
Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada setiap
level antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan menimbulkan
aliran darah yang retrograde dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis
yang menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar
aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat
secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik.
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan
antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG)
sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. HVPG yang normal
adalah sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran tunggal berguna untuk menentukan
prognosis dari sirosis yang kompensata maupun yang tidak kompensata,
sedangkan pengukuran ulang berguna untuk memonitoring respon terapi obat-
obatan dan progresifitas penyakit hati.
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya
varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya perdarahan akan
meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau diameter varises dan
meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding dengan HVPG. Sebaliknya,
tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan
ulang menurun secara bermakna dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari
20% dari baseline. Pasien dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau
paling sedikit 20% dari baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah
untuk terjadi perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang lebih
rendah untuk terjadi asites, peritonitis bakterial dan kematian. Beberapa penelitian
menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan nitric oxide (NO) pada patogenesis
hipertensi porta dan varises esofagus. Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat
yang disintesis oleh sel endotel sinusoid yang diimplikasikan dalam peningkatan
tahanan vaskuler hepatik pada sirosis dan fibrosis hati. Nitric oxide adalah
vasodilator, yang juga disintesis oleh sel endotelial sinusoid. Pada sirosis hati,
produksi NO menurun, aktivitas endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan
produksi nitrit oleh sel endotelial sinusiod berkurang.
Diagnosis
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises belum
pecah yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah ditegakkan
diagnosis sirosis hendaknya dilakukan skrining diagnosis melalui pemeriksaan
esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang merupakan standar baku emas untuk
menentukan ada tidaknya varises esofagus. Pada pasien dengan sirosis yang
kompensata dan tidak didapatkan varises, ulangi EGD setiap 2–3 tahun,
sedangkan bila ada varises kecil, maka pemeriksaan EGD diulangi setiap 1–2
tahun. Pada sirosis yang dekompensata, lakukan pemeriksaan EGD setiap tahun.
Efektivitas skrining dengan endoskopi inibila ditinjau dari segi biaya, masih
merupakan kontroversi, maka untuk keadaan-keadaan tertentu disarankan untuk
menggunakan gambaran klinis, seperti jumlah platelet yang rendah, yang dapat
membantu untuk memprediksi pasien yang cenderung mempunyai ukuran varises
yang besar.
Bila standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia, langkah
diagnostik lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan ultrasonografi
Doppler dari sirkulasi darah (bukan ultrasonografi endoskopik). Alternatif
pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan radiografi dengan menelan barium dari
esofagus dan lambung, dan angiografi vena porta serta manometri.
Pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, sangatlah penting menilai lokasi
(esofagus atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya perdarahan yang
akan terjadi (imminent), perdarahan yang pertama atau perdarahan yang
berulang, serta bila mungkin untuk mengetahui penyebab dan beratnya penyakit
hati.
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan akan meluas
sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. Berikut ini adalah derajat
dari varises esofagus berdasarkan gambaran endoskopis (Gambar 2 ).

Gambar 2 : Derajat varises esofagus

Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1, terjadi


dilatasi vena (<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada derajat 2
terdapat dilatasi vena (>5 mm) menuju kedalam lumen esofagus tanpa adanya
obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat dilatasi yang besar, berkelok-kelok,
pembuluh darah menuju lumen esofagus yang cukup menimbulkan obstruksi. Dan
pada derajat 4 terdapat obstruksi lumen esofagus hampir lengkap, dengan tanda
bahaya akan terjadinya perdarahan (cherry red spots). Setelah varises esofagus
telah diidentifikasi pada pasien dengan sirosis, risiko terjadinya perdarahan
varises adalah sebesar 25-35 %. Oleh karena sirosis hati akan mempunyai
prognosis buruk dengan adanya perdarahan varises, maka penting untuk dapat
mengidentifikasi mereka yang berisiko tinggi dan pencegahan kejadian
perdarahan pertama. Perdarahan varises esofagus biasanya tanpa rasa sakit dan
masif, serta berhubungan dengan tanda perdarahan saluran cerna lainnya, seperti
takikardi dan syok. Faktor risiko untuk perdarahan pada orang dengan varises
adalah derajat hipertensi portal dan ukuran dari varises. Varises sangat tidak
mungkin untuk terjadi perdarahan jika tekanan portal < 12 mmHg. Perdarahan
varises didiagnosis atas dasar ditemukannya satu dari penemuan pada
endoskopi, yaitu tampak adanya perdarahan aktif, white nipple, bekuan darah
pada varises Sedangkan adanya red wale markingsatau cherry red spots yang
menandakan baru saja mengeluarkan darah atau adanya risiko akan terjadinya
perdarahan (Gambar 3 ).

Gambar 3: Pemeriksaan varises esofagus dengan endoskopi


Pada pasien dengan dugaan terjadi perdarahan dari varises, perlu
dilakukan pemeriksaan EGD. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah masuk rumah sakit (12 jam), khususnya pada pasien dengan
perdarahan yang secara klinis jelas. Penundaan lebih lama (24 jam) dapat di
lakukan pada kasus perdarahan ringan yang memberikan respon dengan
vasokonstriktor. Pada saat dilakukan endoskopi, ditemukan perdarahan dari
varises esofagus atau varises gaster. Varises diyakini sebagai sumber
perdarahan, ketika vena menyemprotkan darah atau ketika ada darah segar dari
esophageal-gastric junction di permukaan varises atau ketika ada darah segar di
fundus, jika terdapat varises lambung. Dalam keadaan tidak ada perdarahan aktif
(lebih dari 50% kasus) atau adanya varises sedang dan besar dengan tidak
adanya lesi, maka varises potensial untuk menjadi sumber perdarahan yang
potensial. Untuk penatalaksanaan yang optimal, sangat penting memahami
pasien yang kemungkinan besar dapat terjadi perdarahan. Faktor klinis
berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan varises pertama, termasuk
penggunaan alkohol dan fungsi hati yang buruk. Kombinasi dari pemeriksaan klinis
dan endoskopi termasuk mencari klasifikasi Child-Pugh pada sirosis berat, varises
yang besar dan adanya red wale markings sangat berhubungan dengan risiko
kejadian perdarahan pertama pada pasien dengan sirosis splanknik.
Varises gastroesofagus berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit hati.
Keparahan dari sirosis hati dapat dinilai dengan menggunakan sistem klasifikasi
Child-Pugh (Tabel 2). Tingkat keparahan penyakit hati yang berat (Child-Pugh C)
mempunyai risiko perdarahan varises esofagus berulang yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien dengan tingkat keparahan penyakit hati yang lebih
ringan (Child-Pugh B).
Tatalaksana
l. Resusitasi awal: airway, breathing, dan circulation.
a. Pertimbangkan intubasi endotrakeal pada perdarahan berat tidak terkontrol,
ensefalopati hepatikum, pneumonia aspirasi, atau bila sulit mencapai saturasi
0 2 >90%.
b. Resusitasi cairan dengan koloid, dilanjutkan dengan infus dekstrosa. Target:
tekanan darah sistolik 90- 100 mmHg, frekuensi nadi <100 kali/ menit. CVP 1-
5 mmHg, dan diuresis 40 ml/jam.
c. Pemasangan CVP dapat diberikan untuk memudahkan pemantauan resusitasi
cairan. terutama pada usia lanjut. dengan komorbiditas kardiovaskular.
perdarahan aktif saat endoskopi, perdarahan hebat, syok, serta gagal ginjal.
d. Transfusi darah dengan PRC dapat dipertimbangkan sesuai estimasi
kehilangan darah. Target: hemoglobin 7-8 g/dL, hematokrit 21 -24%.
Pemberian produk darah secara spesifik dapat dipertimbangkan bila terjadi
koagulopati.
2. Pemberian antibiotik profilaksis, seperti seftriakson 2-4 g/hari l.V., selama 5-7
hari.
3. Terapi farmakologis (door-to-needle <30 menit):
Vasopresin dosis 10 U/jam (a tau analog vasopresin) yang dikombinasikan dengan
somatostatin dosis 250 µg l.V. bolus dilanjutkan infus 250 µg/ 12 jam. Alternatif
somatostatin ialah analog somatostatin seperti octreotide dosis 100 µg l.V. bolus
dilanjutkan infus 25 µg/jam. Terapi diberikan selama 2-5 hari.
4. Pemasangan NGT secara rutin tidak dianjurkan. Hanya dilakukan jika disertai
ensefalopati.
5. Bila memungkinkan, seluruh kasus perdarahan varises akut direkomendasikan
menjalani endoskopi saluran cerna atas (idealnya dalam 6 jam pertama). Ditujukan
untuk diagnosis dan identifikasi lokasi akurat perdarahan, serta terapi. Pilihan
terapi dapat meliputi ligasi variseal endoskopik atau skleroterapi varises
endoskopik.
6. Alternatif terapi lainnya: tamponade balon, pemasangan transjugular
intrahepatic portosystemic stent shunt (TIPS) dan pembedahan.
7. Terapi profilaksis sekunder, meliputi:
a. Obat penyekat-(3 nonselektif (propanolol 80- 160 mg/hari PO) dengan/ tanpa
terapi endoskopi;
b. Terapi endoskopi: ligasi varises atau skleroterapi varises;
c. Pemasangan TIPS.
Tatalaksana gizi

Varicose esophagus adalah penyakit yang agak berbahaya, karena untuk


waktu yang lama pasien mungkin tidak menyadari keberadaannya. Dan hanya
dalam kondisi terbengkalai penyakit itu menampakkan dirinya sendiri.

Perluasan kerongkongan membutuhkan diet yang cukup ketat, mengurangi beban


pada sistem pencernaan dan memfasilitasi perjalanan makanan.
1. Jumlah makanan harus dibagi 5-6 kali, sementara porsi harus kecil.
2. Makanan harus digiling dan dikunyah dengan baik, atau bahkan lebih baik
- memasak makanan dalam keadaan semi cair, agar tidak melukai dinding
tabung esofagus.
3. Makan sehari terakhir harus dilakukan sekitar 4 jam sebelum tidur.
4. Hal ini tidak dianjurkan untuk tidur dengan bantal rendah agar tidak
membuang isi perut ke rongga esofagus.
5. Hal ini diperlukan untuk sangat membatasi (atau lebih baik mengecualikan)
penggunaan makanan berlemak, gorengan, makanan asap, makanan
kaleng, serta hidangan dengan bumbu pedas dan banyak garam.
6. Hari-hari baik bongkar hari: semangka selamat datang, melon bongkar,
serta hari pada jus buah atau sayuran segar.

Dianjurkan untuk membatasi daging dalam makanan - digantikan oleh udang, ikan
tanpa lemak, cumi. Juga perlu "melupakan" tentang pembekuan, makanan kaleng
(ikan dan daging), tentang alkohol dan kaldu kaya. Penggunaan kopi hitam juga
terbatas.

Semua hidangan dimasak untuk beberapa, di oven, direbus atau dipanggang.


Para ahli menyarankan untuk lebih memperhatikan produk nabati dan asam-susu,
sereal.

Komplikasi

- Aspirasi
- Kegagalan multi organ
- Ensefalopati
- Perforasi esofagus
- Kematian
Pencegahan
Saat ini, tidak ada pengobatan yang dapat mencegah perkembangan
varises esofagus pada orang dengan sirosis. Meskipun obat penghambat beta
efektif dalam mencegah perdarahan pada banyak orang yang menderita varises
esofagus, obat ini tidak mencegah pembentukan varises esofagus.

Jika Anda telah didiagnosis dengan penyakit hati, tanyakan kepada dokter Anda
tentang strategi untuk menghindari komplikasi penyakit hati. Untuk menjaga
kesehatan hati Anda:

- Jangan minum alkohol. Orang dengan penyakit hati sering disarankan


untuk berhenti minum alkohol, karena hati memproses alkohol. Minum
alkohol dapat membuat stres pada hati yang sudah rentan.
- Makan makanan yang sehat. Pilih pola makan nabati yang penuh dengan
buah dan sayuran. Pilih biji-bijian dan sumber protein tanpa lemak. Kurangi
jumlah makanan berlemak dan gorengan yang Anda makan.
- Pertahankan berat badan yang sehat. Jumlah lemak tubuh yang
berlebihan dapat merusak hati Anda. Obesitas dikaitkan dengan risiko
komplikasi sirosis yang lebih besar. Turunkan berat badan jika Anda
mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.
- Gunakan bahan kimia dengan hemat dan hati-hati. Ikuti petunjuk
tentang bahan kimia rumah tangga, seperti persediaan pembersih dan
semprotan serangga. Jika Anda menangani bahan kimia, ikuti semua
tindakan pencegahan keamanan. Hati Anda mengeluarkan racun dari
tubuh Anda, jadi hentikan dengan membatasi jumlah racun yang harus
diproses.
- Kurangi risiko hepatitis Anda. Berbagi jarum suntik dan melakukan
hubungan seks tanpa kondom dapat meningkatkan risiko hepatitis B dan
C. Lindungi diri Anda dengan tidak melakukan hubungan seksual atau
menggunakan kondom jika Anda memilih untuk berhubungan seks. Jalani
tes untuk eksposur terhadap hepatitis A, B dan C, karena infeksi dapat
memperburuk penyakit hati Anda. Juga tanyakan kepada dokter Anda
apakah Anda harus divaksinasi untuk hepatitis A dan hepatitis B.
DEFINISI SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH (SCBB)

DEFINISI

Perdarahan saluran cerna bagian bawah --> perdarahan saluran makan yang bersumber
di bawah ligamentum Treitz. Manifestasi perdarahan tersebut dapat samar, ringan,
hingga fatal.

Hematochezia - perdarahan segar melalui rektum, biasanya disebabkan oleh karena


perdarahan yang berasal dari saluran cerna bagian bawah. Hematochezia juga dapat
berasal dari saluran cerna bagian atas dengan catatan jumlah perdarahan >1000 ml.

Perdarahan samar (occult) - darah dalam tinja tanpa disertai perdarahan yang nyata,
ternjadi pada 10% penderita dewasa. Kehilangan darah 100 ml.hari tidak mempengaruhi
warna feses.

Perdarahan obscure - perdarahan akut atau berulang dengan sumber perdarahan tidak
diketahui, perdarahan ini bertanggung jawab terhadap 5% penderita

GAMBARAN KLINIS

 Melena

Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam
lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau
perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi
sumber lainnya.

 Hematokezia.

Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna bagian bawah,
Biasanya perdarahan terjadi pada kolon descendens, sigmoid, dan anorektal.

 Maroon Stool

Keluarnya darah dari rectum yang bercampur feses diakibatkan perdarahan saluran
cerna bagian bawah, darah sekilas berwarna merah gelap, tetapi bila disiram air akan
berubah menjadi merah hati. Biasanya terjadi pada perdarahan caecum dan colon
ascendens.

ETIOLOGI SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH (SCBB)

 Hemoroid

 Divertikulosis

 Kolon iskemik

 Kolitis

 Angiodisplasia

 Fisura perianal

 Keganasan rectum dan kolon

 Post polipektomi

 Fistula vascular enteric

 Divertikulum meckel

TANDA DAN GEJALA SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH (SCBB)

Untuk mengetahui perjalanan penyakit dan sumber perdarahan, perlu ditanyakan adanya
hal dibawah ini:

1. Feses diselimuti darah atau darah menetes (hemoroid).

2. Diare bercampur darah dan nyeri perut (inflamasi kolon).

3. Nyeri waktu feses keluar (fissure ani).

4. Perubahan pola buang air besar, bentuk feses, dan berat badan menurun
(Keganasan).
5. Perdarahan tanpa disertai nyeri perut (Diverticulosis coli, angiodislpasia, atau proktitis
radiasi).

1. KOLESISTITIS

Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu. Peradangan dapat terjadi akibat
tersumbatnya kantung empedu oleh batu empedu dan tumor, atau karena infeksi. Kondisi
tersebut menyebabkan cairan empedu terperangkap di dalam kantung empedu dan
memicu peradangan.

Epidemiologi
Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi. Sekitar 90% kasus
berkaitan dengan batu empedu; sedangkan 10% sisanya tidak. Kasus minoritas yang
disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkaitan dengan
pascabedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat), puasa berkepanjangan, dan
beberapa infeksi pada penderita AIDS.
Individu yang berisiko terkena kolesistitis antara lain adalah jenis kelamin wanita,
umur tua, obesitas, obat-obatan, kehamilan, dan suku bangsa tertentu. Untuk
memudahkan mengingat faktor-faktor risiko terkena kolesistitis, digunakan akronim
4F dalam bahasa Inggris (female, forty, fat, and fertile). Selain itu, kelompok penderita
batu empedu tentu saja lebih berisiko mengalami kolesistitis daripada yang tidak
memiliki batu empedu.
Etiologi
Etiologi dari kolesistitis mayoritas (90-95%) adalah batu empedu atau kolelitiasis.
- Batu Empedu
Batu empedu dapat terbentuk dari bilirubin dan kolesterol. Tingginya konsentrasi
bilirubin pada cairan empedu dan hipokinesia dari kandung empedu dapat
membuat presipitasi dan membentuk batu calcium bilirubinate. Pada kondisi
pemecahan sel darah merah berlebih yang meningkatkan kadar bilirubin seperti
pada penyakit sickle cell, risiko untuk kolelitiasis menjadi meningkat. Peningkatan
kalsium yang berlebih dalam tubuh, seperti pada pasien hiperparatiroid, juga dapat
memicu terbentuknya batu kalsium.
- Infeksi Bakteri
Kolesistitis dapat diikuti dengan infeksi sekunder bakteri-bakteri gastrointestinal.
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi kandung empedu di antaranya adalah
Escherichia coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis, Clostridium welchii, Proteus,
Enterobacter, dan Streptococcus anaerob. Infeksi sekunder ini sering
menyebabkan komplikasi, seperti nekrosis, gangren, dan perforasi kandung
empedu, yang membutuhkan terapi lebih invasif. Kondisi bakteremia
meningkatkan angka mortalitas karena dapat menyebabkan sepsis dan gagal
ginjal akut.
- Stasis Cairan Empedu dan Iskemia
Sebanyak 5-10% kolesistitis tidak disebabkan oleh batu empedu melainkan
melalui proses stasis cairan empedu dan iskemia. Faktor predisposisi dari kondisi
ini adalah pasien yang memiliki penyakit seperti sepsis, riwayat menjalani
pembedahan besar, luka bakar, dan pasien dengan nutrisi parenteral total jangka
panjang. Kolesistitis dapat ditemukan pada pasien HIV akibat infeksi oportunistik
dari Microsporidia, Cytomegalovirus, atau Cryptosporidium.
- Infeksi Parasit
Penyebab lain dari kolesistitis tanpa batu yang banyak ditemukan pada Negara
Negara Asia adalah infeksi helminth. Askariasis hepatobilier didapat ketika cacing
bermigrasi dari duodenum menuju traktus biliaris dan menimbulkan obstruksi.
Obstruksi duktus sistikus dapat ditimbulkan oleh cacing, telur, atau nidus dari
Ascaris lumbricoides. Pada umumnya, cacing yang bermigrasi ke traktus biliaris
akan kembali ke duodenum dalam 7 hari, jika menetap, cacing akan mati dan
membentuk batu.
Faktor Risiko
Faktor risiko kolesistitis biasa disingkat dengan 4F, yaitu female (wanita), fourties
(usia 40 tahunan), fat (obesitas), dan fertile (satu atau lebih anak), berhubungan
dengan pembentukan batu empedu yang menjadi penyebab utama kolesistitis.
Selain itu, riwayat keluarga, penurunan berat badan berlebih, kurangnya aktivitas
fisik, penggunaan kontrasepsi oral, obat octreotide dan ceftriaxone juga dapat
meningkatkan risiko kolesistitis.
Patofisiologi
Patofisiologi kolesistitis sering berhubungan dengan batu empedu atau
kolelitiasis. Batu akan menyebabkan obstruksi pada duktus sistikus yang
menghalangi pengosongan cairan empedu. Akibatnya, terjadi peningkatan tekanan
intralumen dan iritasi pada dinding empedu. Dinding empedu akan mengalami
distensi dan edema, diikuti oleh stasis vena serta trombosis arteri sistikus. Selain itu,
batu empedu di dalam kandung empedu juga menimbulkan trauma mekanik yang
akan menstimulasi pengeluaran prostaglandin (PGI2 dan PGE2) dan menginisiasi
proses inflamasi
Pada beberapa kasus, kolesistitis dapat diikuti dengan infeksi sekunder yang
dapat menyebabkan gangren dan perforasi kandung empedu. Infeksi paling sering
disebabkan oleh invasi bakteri gram negatif gastrointestinal seperti Escherichia coli
dan Klebsiella spp. Fundus merupakan bagian terjauh yang disuplai oleh arteri
sistikus, sehingga paling sering mengalami iskemia dan nekrosis
Kolesistitis yang tidak disebabkan oleh batu empedu dapat juga terjadi. Hal ini
disebabkan oleh hipokinetik dari pengosongan kandung empedu, sehingga terjadi
stasis dari cairan empedu dan menginisiasi respon inflamasi lokal pada dinding
kandung empedu.

TANDA DAN GEJALA

 Nyeri yang tidak tertahankan pada bagian kanan atas atau ulu hati
 Nyeri yang menjalar ke bahu atau punggung bagian kanan
 Mual dan muntah
 Demam dan menggigil (bilang mengalami infeksi)
 Tinja berwarna pucat
 Gatal pada kulit
 Suhu tubuh rendah
 Nyeri dada

PEMERISAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi : inspeksi, auscultasi, perkusi, palpasi, pemeriksaan
rectum, teknik khusus.Saat pemeriksan abdomen pasien harus rileks, dengan cara :

 Pasien tidur dengan bantal dikepala dan lutut fleksi


 Telapak tangan pemeriksa, stetoskop cukup hangat, kuku harus pendek
 Jangan membuat gerakan yang tiba-tiba
 Arahkan pasien menunjuk tempat paling sakit dan periksalah terakhiir
 Bila pasien sangat sensitive, mulailah palpasi dengan tangannya sendiri
kemudian dilanjutkan tangan pemeriksa
 Perhatikan raut muka pasien
Inspeksi :Cara melakukan inspeksi, pemeriksa disebelah kanan. Untuk melihat kontur
perut, peristaltic, pemeriksa berjongkok sejajar perutsehingga bisa melihat perut secara
tangensial.

 Permukaan dinding perut : datar, cekung, cembung ?, lihat juga daerah femoral
dan inguinal.
 Kulit dinding perut : erupsi, ikterus, spider angioma, venectasi (kolateral), striae,
pigmentasi, tumor, umbilicus cekung atau datar atau menonjol ?, hernia ?,
ekimosis(pada penyakit pankreatitis hemoragik strangulasi usus, tanda ini disebut
tanda gray tuner), tanda cullen adalah umbilicus kebiru-biruan yang disebabkan
karena hemoperitonium, cicatrix, gambaran dan gerakan usus.
 Bentuk perut : simetris/asimetris, perut bentuk perut katak (frog’s like
appearance)◊pemeriksa melihat sejajar ujung kaki
 Saat bernafas apakah adaorgan perut yang membesar
 Lihat apakah terlihat gambaran peristaltic? (pada kasus obstruksi dan pasien
sangat kurus)
Auscultasi :

 Diperiksa bunyi khusus (peristaltic) : normal, melemah sampai menghilang,


mengeras sampai terdengar suara logam (metelic sound). Peristaltic normal kira-
kira tiap 2-5detik.Bising usus normal : 5-35 kali per menit.Diperiksa murmur/bruit
yang disebabkan adanya turbulensi aliran darah dikarenakan proses
atherosclerosis dengan cara menempelkan stetoskop pada lokasi organ yang
dicurigai terdapat bruit. Jangan lupa memeriksa bruit hepar sebagai tanda adanya
neovaskularisasi padapasien hepar kronis/karsinoma
Perkusi :

 Pemeriksaan ini untuk mendeteksi adanya distensi gas, cairan, atau massa padat.
 Perkusi masing-masing kuadran untuk mengetahui distribusi udara
 Timpani merupakan bunyi perkusi yang paling sering ditemukan pada abdomen.
Bunyi timpani ini disebabkan adanya gas dalam lambung, usus halus dan kolon.
 Daerah supra pubis mungkin redup/pekak pada perkusi apabila kandung kemih
penuh urine pada wanita yang uterusnya membesar.
 Perkusi hati: kepekakan hati (batas atas dan bawah) tidak boleh lebih dari 10 cm.
pekak hati positif pada orang normal, sedangkan pekak hati yang negative bila
ada udara dalam cavuum peritoneum, akibat perforasi usus dan dinding perut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes laboratorium :

 1.Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).


 2.Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
 3.Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
 4.Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi
sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).
 5.USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu
empedu dan distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur
diagnostik)
 6.Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk
melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.
 7.PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras untuk
menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
 8.Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim
billiar.
•Radiologi

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik


pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat
digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG
tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang
paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.

 Radiografi:Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan.Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan
mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan
isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan
bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke
kandung empedu yang mengalami obstruksi.
 Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung empedu
telah menebal. (Williams 2003)
ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi) Pemeriksaan ini memungkinkan
visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi.
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus
hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam
duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan
visualisassi serta evaluasi percabangan bilier

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis akut secara umum:
Farmakologi
- antibiotik harus diberikan untuk semua kasus, disesuaikan dengan derajat
beratnya penyakit. Pada insufisiensi ginjal, dosis antibiotik harus
disesuaikan. Terapi antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah
cefoperazone 3x 1 gram dan metronidazole 3x 500 mg drip. Pemberian
ketoprofen supp ditujukan untuk mengatasi nyeri abdomen.
- Non-steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk mengatasi
nyeri. Salah satu NSAID yang dapat dipilih adalah diclofenac atau
indomethacin.
Non Farmakologi
Tata laksana umum lainnya termasuk istirahat total, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan rendah lemak. Pemberian antibiotik pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septikemia. Pasien dapat diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga atau
keempat atau flurokuinolon, ditambah dengan metronidazole. Golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai untuk mematikan
kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut sepeti E. coli, S.
faecalis dan Klebsiella.
Komplikasi
Komplikasi pada umumnya adalah abses, gangrene atau perforasi
kandungan empedu, duktus pankreatikus, dan pankreatitis dan kadang
berprognosis baik.

● Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya


gerakan usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau
perforasi kandung empedu.
● Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu
ke dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat
sebagian oleh batu empedu atau oleh peradangan.
● Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase,
mungkin telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang
disebabkan oleh penyumbatan batu empedu pada saluran pankreas
(duktus pankreatikus).
● Perforasi, dapat: bebas ke dalam rongga peritoneum, terbatas sehingga
terbentuk abses, dan terben-tuknya fistula dengan rongga organ
disekitarnya misalnya dengan kolon, intestin. Letak perforasi yang
terbanyak ialah di daerah fundus kandung empedu. Banyak ditemukan
pada usia lanjut dan sering pada laki-laki. Sebagai akibat perforasi akan
timbul peritonitis.
● Timbulnya empiema dari kandung empedu, ditemukan 1/9 penderita
kolesistitis akut.
● Pankreatitis akut, timbul sekitar 30% penderita yang umumnya
memberikan keluhan ringan.
● Subdiafragmatik atau subhepatik abses.
● Timbulnya kolangitis bila batunya masuk ke dalam duktus koledokus.
● Hemobilia, komplikasi ini jarang ditemukan.
Prognosis

Penderita kolesistitis akut yang mempunyai respon baik terhadap terapi


konservatif mempunyai prognosis baik. Umumnya penderita yang perlu segera
dilakukan tindakan pembedahan diperkirakan angka kematiannya O, 5%.
Berbeda bila terlambat tindakan pembedahan, maka angka kematiannya akan
meningkat dapat mencapai 土5%, Dengan makin banyak dimanfaatkan antibiotik
serta makin cepat pengelolaan yang diakukan makin sedikit komplikasi yang
akan terjadi, antara lain kemungkinan timbuinya gangren atau empiema kandung
empedu, terbentuknya fistula, abses, peritonitis, dan lain- lainnya

Anda mungkin juga menyukai