Anda di halaman 1dari 8

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Definisi
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di
Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang ke
dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. GERD adalah
suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai
gejala akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut
American College of Gastroenterology, GERD merupakan suatu keadaan patologis dimana
cairan asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan
gejala.

Faktor Resiko
- Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergic, nitrat, calcium channel
blocker
- Makanan, seperti coklat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok
- Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan lower sphincter esophageal terjadi akibat peningkatan kadar
progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat
terapi hormon estrogen
- Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang LES
yang <3cm juga memiliki pengaruh terhadap masalah terjadinya GERD
- Indeks Massa Tubuh (IMT): semakin tinggi nilai IMT, maka resiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi

Patofisiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari
sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem
pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esophagus, dan epitel esophagus.
LES merupakan struktur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan
lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran
anegrade dari esofagus ke lambung. Pads GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan
terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD
disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor
hormonal, atau kelainan struktural
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esophagus membersihkan dirinya
dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan
saliva dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, bersihan esofagus terganggu sehingga bahan
refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus, makin lama kontak antara bahan refluksat
lambung dan esofagus, maka resiko esofagitis akan semakin tinggi. Selain itu, refluks malam
hari pun akan meningkatkan resiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya
gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction
yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai
nutrien oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai
kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- interseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang
terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang
mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, pakaian yang terlalu.

Klasifikasi
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal dan
ekstraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esophageal yang disertaidengan atau
tanpa adanya lesi structural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi structural berupa
heartburn dan regurgitasi serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal
disertai lesi structural, berupa refluks esophagitis, striktur refluks, Barret’s esophagus,
adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks esofageal
jangka panjang

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala GERD adalah regurgitasi dan heartburn. Regurgitas merupakan suatu
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih.
Dalam Bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati yang terasa
hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan atau saat
berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung, muak, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi,
disfagia, hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barret’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat
atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non kardiak, batuk kronik, asma, dan laryngitis merupakan
gejala ekstraesofageal penderita GERD.

Diagnosis
Berdasarkan Guideline for the Diagnosis dan Management of Gastroesophageal Reflux
Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun 1995 dan revisi
tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Empirical therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi pre-operasi untuk
eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma)
Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat pelayanan
kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak membutuhkan penunjang
diagnostic.
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari anamnesis dan pengisian
kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton pump inhibitor). Selain itu, gejala klasik
GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-Q).
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik
GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderitaserta efek penggunaan obat-obatan
terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8, maka pasien
tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau
respon terapi.
Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh konsensus
nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal di Indonesia. Dalam konsensus ini
disebutkan bahwa penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi, atau
keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan porsi
besar).
Pemeriksaan tambahan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Ujia
terapi PPI merupakan suatu terapi empiric dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2
minggu tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah penderita
dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm meliputi usia <55 tahun,
disfagia, odinofagia, anemia defisiensi besi, BB turun, dan adanya perdarahan
(melena/hematemesis). Apabila gejala membaik selama penggunaan dan memburuk kembali
setelah pengobatan dihentikan, makan diagnosis GERD dapat ditegakkan.

Tatalaksana
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa,
mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the diagnosis
and management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi
GERD dapat dilakukan dengan :
1. Treatment Guideline I : lifestyle modification
2. Treatment Guideline II : patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: acid suppression
4. Treatment Guideline IV : promotility therapy
5. Treatment Guideline V : Maintenance therapy
6. Treatment Guideline VI: surgery therapy
7. Treatment Guideline VII : refractory GERD
Modifikasi gaya hidup:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan
IMT ideal
2. Meninggikan kepala 15-20 cm/menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2-3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti coklat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak-asam-pedas
Terapi medikamentosa : PPI yang paling efektif
- Omeprazole 20 mg
- Pantoprazole 40 mg
- Lansoprazole 30 mg
- Esomeprazole 40 mg
- Rabeprazole 20 mg
PPI dosis tunggal umumnya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan
dosis ganda diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam.
Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD adalah dosis tunggal selama 8 minggu. Apabila
gejala tidak membaik selama terapi inisial selama 8 minggu atau gejala terasa mengganggu di
malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama 4-8 minggu. Bila penderita
mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi
maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5-14 hari untuk
penderita yang memiliki gejala sisa GERD.
Selain PPI : antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan
antagonis reseptor serotonin) antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi
gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Yang
termasuk antagonis reseptor H2 adalah:
- Simetidin (1x800 mg atau 2x400 mg)
- Ranitidine (2x150 mg)
- Famotidine (2x 20 mg)
- Nizatidin (2x150 mg)
Prokinetik berfungsi untuk mempercepat proses pengosongan perut, sehingga
mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus
- Domperidon (3x10 mg)
- Metoklopramid (3x10mg)
Pembedahan
Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi merupakan salah satu alternatif terapi disamping terapi
medikamentosa dalam upaya meringankan gejala dan menyembuhkan esophagitis. Namun,
morbiditas dan mortalitas pasca operasi bergantung pada keterampilan dokter bedah. Karena itu
pilihan antara terapi medikamentosa dan tindakan bedah berpulang pada keputusan pasien
maupun ketersediaan dokter bedah.
1. Kesan CT scan pada rinosinusitis kronik :
- opasifikasi/ perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus
paranasal (hiperdens)
- penebalan mukosa
- air fluid level (lebih umum didapatkan pada rinosinusitis akut tapi bisa juga
didapatkan pada rinosinusitis kronik)
- penebalan dinding-dinding sinus dengan sklerotik
contoh CT scan pada pasien RSK dengan potongan coronal:

Gambaran Coronal dari Computed tomography sinus paranasal menunjukkan opasifikasi


dan penebalan mukosa difus dari sinus maksilaris dan etmoid, kanan > kiri
2. Syok yang terjadi jika dilakukan pemasangan tampon dalam jangka waktu yang lama
adalah Toxic Shock Syndrome. Toxic shock syndrome (TSS) adalah suatu kumpulan
gejala yang dapat mengancam jiwa, ditandai oleh demam tinggi, nyeri tenggorok, eritema
difus, hiperemia membran mukosa, mual/muntah, diare, dan gejala-gejala penyerta
lainnya. Penyebabnya adalah bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A
3. Foto kepala lateral dengan rasio adenoid
Pemeriksaan Foto Polos Lateral Adenoid, adalah pemeriksaan radiologi untuk
mengevaluasi ukuran adenoid terhadap ukuran luas nasofaring.
- Grade 1: Rasio Adenoid -Nasofaring 0 –0,52 : tidak ada pembesaran
- Grade 2: Rasio Adenoid - Nasofaring 0,52 – 0,72 : pembesaran sedang-non obstruksi
- Grade 3: Rasio Adenoid-Nasofaring > 0,72 : pembesaran dengan obstruksi
Pembesaran adenoid diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan derajat sumbatan
adenoid terhadap jalan udara nasofaring, yaitu:
- Ringan (grade 1) : bila sumbatan adenoid < / = 50% dari jalan udara nasofaring
- Sedang (grade 2) : bila sumbatan adenoid 50%- 75% dari jalan udara nasofaring
- Berat (grade 3) : bila sumbatan adenoid > 75% dari jalan udara nasofaring

4. Facies adenoid
Dapat ditandai dengan posisi mulut yang terbuka, lubang hidung yang kecil dan
kurang berkembang, bibir atas yang pendek, “gummy smile”, ketinggian muka vertikal
yang meningkat pada 1/3 wajah bagian bawah, ketinggian dentoalveolar yang berlebihan,
dan palatum yang dalam. Selain itu terjadi gingivitis marginal anterior di sekitar gigi
anterior.
- Maloklusi
- Gigitan terbuka (openbite)

Anda mungkin juga menyukai