Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDU

FARMAKOTERAPI II

“GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE”

OLEH :

NAMA : WA ODE HARTASYAH ULMAIDAH ULYUN

NIM : O1A118012

KELAS :A

DOSEN : Apt. SUNANDAR IHSAN, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
PENDAHULUAN

GERD adalah salah satu penyakit gastrointestinal yang paling umum di seluruh dunia,
didefinisikan sebagai refluks abnormal isi lambung ke kerongkongan, yang menyebabkan cedera
mukosa esofagus atau gejala refluks, yang ditampilkan dengan dua gejala paling umum mulas
dan regurgitasi (Huang, C., dkk., 2020).
Secara konsensus, penyakit gastroesophageal reflux (GERD) telah didefinisikan sebagai
pergerakan isi lambung yang mudah ke kerongkongan atau mulut yang menyebabkan gejala atau
komplikasi yang menyusahkan. Gejala utama GERD adalah mulas dan regurgitasi. GERD sangat
umum, peringkat sebagai diagnosis gastrointestinal paling sering terkait dengan kunjungan klinik
rawat jalan di Amerika Serikat (AS), dengan hampir 9 juta kunjungan pada tahun 2009.
Meskipun komplikasi seperti perdarahan esofagitis erosif atau striktur peptik menjadi kurang
umum, individu dengan GERD gejala memiliki penurunan kualitas hidup yang serupa dengan
pasien dengan penyakit radang usus. Untuk mendiagnosis dan mengelola GERD secara akurat,
penting untuk mengenali faktor risiko epidemiologi untuk GERD, variasi gejala yang muncul
dan kemungkinan relatif mereka untuk mewakili refluks patologis, dan potensi tumpang tindih
dengan gangguan gastrointestinal lainnya (Richter, J. E., dan Rubenstein J. H., 2018).
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya
dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan
saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esophagus terganggu
sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara
bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu,
refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak
adanya gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esophagus terdiri dari
membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus,
aliran darah esophagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion
H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H + dan Cl- intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah
peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan
pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat.
Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan
pakaian terlalu ketat (Saputera dan Widi, 2017).
GERD

Kasus:

Seorang pria umur 45 tahun BB 105, TB 180 cm datang ke klinik mengeluh rasa terbakar di
dada, regurgitasi dan susah menelan makanan. Saat ini mengkonsumsi Lansoprazol 20 mg setiap
pagi dalam satu bulan terakhir tanpa perbaikan. Riwayat alergi ramipril dengan manifestasi susah
bernapas dan bibirbengkak.

Riwayat penyakit dyslipidemia, DM tipe 2 dan hipertensi sudah 20 tahun yang seluruhnya
terkontrol oleh pengobatan. Bekerja sebagai satpam di sekolah dasar dan hidup dengan istri dan
seorang putrinya yang masih remaja. Dia juga perokok sebanyak 2 setengah bungkus per hari.

Riwayat pengobatan metformin 500 mg dua kali/hari, HCT 12,5 mg/hari, amlodipine 10 mg/hari,
atorvastatin 20 mg/hari saat mau tidur.

Hasil pemeriksaan fisik, VS; TD 125/72 mmHg, Nadi 82/menit, Pernapasan 16kali/menit, Suhu
370C.

Pertanyaan:

A. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENDERITA


Menentukan permasalahan (memberikan kesimpulan) khas penderita berdasarkan
diagnosis dokter, data subyektif dan obyektif penderita, data laboratorium, hasil pemeriksaan
fisik serta riwayat terapi, penyakit serta riwayat sosial penderita.

1) Apa simtom yang menunjukkan GERD dan termasuk dalam klasifikasi apa GERD
penderita?
2) Apa faktor risiko yang dapat memperburuk/berkontribusi terhadap kondisi GERD
penderita?

B. TATALAKSANA TERAPI
Penentuan rekomendasi terapi berdasarkan tujuan terapi, strategi terapi serta hasil
evaluasi obat terpilih yang akan dijadikan dasar/alasan pemilihan obat pada penderita baik terapi
non farmakologi maupun terapi farmakologi pada penderita.
3) Bagaimana terapi non farmakologi dan farmakologi pada penderita? Apakah Lansoprazol
tetap akan digunakan atau tidak

C. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI/KIE

Adalah saran dan informasi pada penderita terkait penyakit (apa yang harus dilakukan
dan dihindari), dan obat yang telah direkomendasikan bagaimana perlakuannya-cara
penggunaan, yang dihindari terkait pengobatan dsb (termasuk terapi non farmakologi itu
bagaimana realisasinya).

D. MONITORING DAN FOLLOW UP

Monitoring Efek Samping Obat/MESO yaitu obat yang telah dipilihkan pada penderita
serta monitoring efektivitas obatnya yaitu parameter keberhasilan terapi dari obat yang terpilih
tersebut dalam hal ini dengan kata lain parameter kesembuhan penyakit (dari tanda dan
gejalanya) termasuk data lab yang menjadi indikator penyakitnya.
Penyelasaian Kasus

A. Identifikasi Permasalahan Penderita


Subjektif
Informasi Penderita :
Nama : Tn
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat badan : 105 kg
Tinggi badan : 180 cm
Presentasi klinis :
a. Keluhan :
- Sakit seperti rasa terbakar didada
- Regurgitasi
- Susah menelan makanan,
b. Riwayat Penyakit
- Dyslipidemia,
- DM tipe 2
- Hipertensi
c. Riwayat alergi :
- Riwayat alergi ramipril dengan manifestasi susah bernapas dan bibir bengkak.
d. Riwayat Lingkungan
- Merokok sebanyak 2 setengah bungkus per hari.
e. Riwayat Pengobatan :
- Lansoprazol 20 mg setiap pagi dalam satu bulan terakhir tanpa perbaikan
- Metformin 500 mg dua kali/hari,
- HCT 12,5 mg/hari,
- Amlodipine 10 mg/hari,
- Atorvastatin 20 mg/hari saat mau tidur.

Objektif
a. Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah 125/72 mmHg (normal 90/60 mmHg dan 120/80 mmHg)
- Nadi 82 denyut per menit (nilai normal 60-100x/menit)
- Laju pernafasan 16/menit (nilai normal 12-16x/menit)
- Suhu tubuh 37 °C (normal 36,5 °C –37,5 °C)

Assesment
- Penderita memiliki gejala berupa rasa terbakar didada (heartburn), dan regurgitasi yang
merupakan gejala GERD dengan klasifisikasi ringan sampai sedang dengan frekuensi
sering (Alldredge et al, 2013).
- Penderita memiliki faktor resiko karena:
1) Penderita memiliki riwayat merokok, kandungan rokok berupa nikotin dapat
merelaksasikan cincin otot di esofagus yang lebih rendah posisinya. Dengan
demikian, asam lambung bisa naik ke atas dan menyebabkan sensasi perasaan dada
seperti terbakar (heartburn) (Tarigan dan Bogi, 2019).
2) Penderita mengalami obesitas karena hasil nilai BMInya ≥ 30. Obesitas merupakan
salah satu faktor risiko utama dari GERD karena terjadi insufisiensi tonus
penurunan fungsi sfingter esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES) yang
menyebabkan refluks asam lambung dan peningkatan tekanan intraabdomen pada
orang yang obesitas. Modifikasi gaya hidup dan pola makan umumnya disarankan
untuk penderita GERD dengan tujuan mengurangi refluks dan meningkatkan
pembersihan asam intra-esofagus (Ajjah, dkk, 2020).
- Penggunaan obat bersama antara amlodipin dan metformin terjadi interaksi obat (tingkat
signifikasi moderate), dimana amlodipin menurunkan efek metformin. Perlu pemantauan
oleh dokter (Medscape, 2020).
- Penggunaan obat bersama antara obat hidroklorotiazid dan metformin terjadi interaksi
obat (tingkat signifikasi minor) yaitu dengan menurunkan efek metformin oral
(Medscape, 2020).
- Penggunaan obat amlodipin memiliki indikasi yang sama dengan obat hidroklorotiazid
yaitu sebagai anti hipertensi sehingga disarankan penghentian penggunaan obat
amlodipin, karena amlodipin memiliki tingkat interaksi obat moderate.
- Penderita memiliki riwayat alergi ramipril dengan manifestasi susah bernapas dan bibir
bengkak sehingga dilarang penggunannya. Selain itu penggunaan obat bersama antara
obat metformin dan ramipril dapat terjadi interaksi obat (tingkat signifikasi moderate),
dimana ramipril meningkatkan toksisitas metformin.
- Penggunaan obat lansoprazole golongan PPI diindikasikan untuk mengatasi GERD

B. Tata laksana terapi


1. Tujuan Terapi :
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk meringankan gejala, mengurangi frekuensi
penyakit berulang, mempercepat penyembuhan cedera mukosa, dan mencegah
komplikasi (Dipiro, 2008).

2. Strategi Terapi :
 Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi yang bisa dilakukan yaitu modikasi gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup ditujukan untuk mengurangi paparan asam di dalam esofagus
dengan meningkatkan tekanan LES, menurunkan tekanan intragastrik, meningkatkan
pembersihan asam esofagus, dan menghindari agen spesifik yang mengiritasi mukosa
esophagus (Alldredge et al, 2013) :
(a) Menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan atau obesitas dan
(b) Meninggikan kepala tempat tidur dengan bantalan busa jika gejalanya lebih buruk
saat berbaring. Penurunan indeks massa tubuh sebesar 3,5 unit memperbaiki
gejala GERD dan mengurangi kebutuhan akan obat terkait GERD. Mengangkat
kepala tempat tidur mengurangi waktu kontak asam esofagus nokturnal.
Modifikasi gaya hidup lainnya harus dipertimbangkan berdasarkan keadaan
penderita. Ini mungkin termasuk:
(a) Makan makanan kecil dan menghindari makan 3 jam sebelum tidur
(b) Menghindari makanan atau obat yang memperburuk GERD,
(c) Berhenti merokok, dan
(d) Menghindari alkohol (Dipiro, 2008).
 Terapi Farmakologi
Berdasarkan data penderita dapat dinyatakan bahwa Tn memiliki keluhan rasa
terbakar di dada, regurgitasi dan susah menelan makanan dengan mengonsumsi obat
Lansoprazol selama 1 bulan terakhir, sehingga menurut saya penderita Tn memiliki
gejaja GERD dengan klasifikasi ringan sampai sedang serta berfrekuensi sering.
Menurut buku Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of
Drugs, terapi pengobatan untuk GERD dengan klasifikasi ringan sampai sedang serta
berfrekuensi sering yaitu menggunakan obat golongan Proton Pump Inhibitors (PPIs)
dan terapi pemeliharaan.

PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki
keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain,
PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis.
jurnal . PPI juga telah terbukti menyembuhkan esofagitis lebih cepat dan efektif
daripada H2RA karena dapat meredakan gejala dan penyembuhan esofagus lebih
cepat daripada H2RA. Ketika digunakan dalam dosis yang dianjurkan, semua PPI
memberikan tingkat yang sama untuk meredakan gejala dan penyembuhan
esophagus (Alldredge et al, 2013).
Esomeprazole, omeprazole, lansoprazol, pantoprazole, rabeprazole, dan
dexlansoprazole memblokir sekresi asam lambung dengan menghambat lambung H
+ / K + -adenosine triphosphatase dalam sel parietal lambung. Hal ini menghasilkan
efek antisekresi yang dalam dan tahan lama yang mampu mempertahankan pH
lambung di atas pH 4, bahkan selama lonjakan asam yang terjadi setelah makan
(Dipiro, 2008).
Lansoprazol 40 mg sekali sehari telah dilaporkan lebih baik daripada
omeprazol 20 mg sekali sehari, baik pada minggu ke-4 dan ke-8, bila digunakan
untuk menyembuhkan esofagitis erosif. Studi lain, membandingkan lansoprazole 30
mg dengan Lansoprazol 40 mg yang menunjukkan tidak ada perbedaan statistik
dalam penyembuhan esofagus, meskipun dengan populasi yang lebih kecil
(Alldredge et al, 2013).
Karena PPI terdegradasi dalam lingkungan asam, PPI terutama
diformulasikan dalam kapsul atau tablet pelepasan tertunda. Lansoprazole tersedia
sebagai tablet lepas lambat yang disintegrasi secara oral. Esomeprazole, Lansoprazol,
lansoprazole, dan pantoprazole juga tersedia sebagai suspensi oral. Semua PPI dapat
menurunkan penyerapan obat yang membutuhkan lingkungan asam untuk diserap
dan semuanya dimetabolisme oleh sistem sitokrom P-450 sampai batas tertentu
(Dipiro, 2008).
Setelah terapi menggunakan PPI, penderita dapat melanjutkan pengobatannya
dengan terapi pemeliharaan. Tujuan terapi pemeliharaan adalah meningkatkan
kualitas hidup dengan mengendalikan gejala dan mencegah komplikasi. Terapi
penekanan asam harus dikurangi hingga dosis terendah yang mengontrol gejala dan
secara rutin dievaluasi untuk menentukan apakah terapi jangka panjang diindikasikan
(Dipiro, 2008).

3. Evaluasi Obat Terpilih


LANSOPRAZOL
 Indikasi dan Dosis
Indikasi Label FDA Umum, Dosis
1. Penyakit tukak duodenum: 15 mg per hari x hingga 4 minggu
2. Penyakit tukak lambung : 30 mg per hari x hingga 8 minggu
3. Infeksi saluran GI Helicobacter pylori, terapi tiga kali lipat: 30 mg po bid x 10-14
hari dikombinasikan dengan amoxicilin 1000 mg dan klaritromisin 500 mg po bid
4. Esofagitis erosif, GERD, pengobatan:
Anak 1-11 tahun dan ≤30 kg, 15 mg per hari x 12 minggu;
Anak-anak> 30 kg, 30 mg per hari x 12 minggu;
Anak-anak ≥12 tahun dan
Dewasa, 30 mg per hari × 8-16 minggu
5. Sindrom Zollinger-Ellison: 60 mg per dosis hingga 180 mg / hari
 Farmakogenetik :
Perhatian dengan pemetabolisme CYP2C19 yang buruk
 Kontraindikasi:
Hipersensitivitas
 Interaksi Obat
Antasida : Meningkatkan pH lambung dan mencegah pelarutan butiran lansoprazole,
mengurangi ketersediaan hayati lansoprazole
Clopidogrel: Dapat menurunkan efek clopidogrel pada penghambatan platelet,
mengakibatkan kejadian kardiovaskular (MI, stroke, kematian)
Penginduksi CYP2C19 dan CYP3A4/5 : Peningkatan metabolisme lansoprazole,
penurunan efikasi
Penghambat CYP2C19 and CYP3A4/5 : Penurunan metabolisme lansoprazole dan
peningkatan risiko toksisitas lansoprazole
Obat yang bergantung pada pH: (erlotinib, mycophenolate, dll) : Saat lansoprazole
menurunkan pH lambung, penyerapan obat yang membutuhkan lingkungan asam
berkurang
 Efek Samping:
Diare dan sakit kepala →Kurang (1-10%)
Sindrom Stevens-Johnson, rhabdomyolysis, nefritis interstitial akut, diare Clostridium
diffcle, hipomagnesemia → Jarang tapi Serius (<1%)
 Mekanisme kerja:
ketika diprotonasi di saluran sekretorik parieta, kova ent y berikatan dengan H ++ / K
+ -ATPase (pompa proton), yang merupakan jalur masuk atau sekresi asam..
(Kolesar and Vermeulen, 2016)
4. Alasan Pemilihan Obat

Alasan saya mengganti Lansoprazol dan memilih obat lansoprazol karena


tergolong Proton Pump Inhibitor karena bila digunakan dalam rentang dosis 15-30
mg/hari dapat mengatasi gejalan GERD yang dialami penderita. Selain itu berdasarkan
hasil penelitian studi banding lansoprazol memiliki efektivitas yang sama dengan
esomeprazol, dimana esomeprazol terbukti lebih baik daripada omeprazol bila
digunakan untuk menyembuhkan esofagitis erosif (Alldredge et al, 2013), sehingga
dapat mencegah maupun meredakan peradangan esophagus yang terjadi akibat gejala
dari GERD. Selain itu, lansoprazole juga tidak memiliki interaksi obat antar obat obatan
yang dikonsumsi oleh Tn, serta harga dari obat lansoprazole yang terjangkau untuk
penderita. Lansoprazol berupa sediaan dosis tunggal yang umumnya diberikan pada
pagi hari sebelum makan pagi (Saputera dan Widi, 2017).
Lansoprazol (PPI) sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis
tunggal selama 8 minggu. Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8
minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan
dosis ganda selama 4 – 8 minggu (Saputera dan Widi, 2017).

C. Komunikasi Informasi dan Edukasi/KIE


- Komunikasikan aturan pakai obat : sebaiknya diminum 1 hari sekali 1 jam sebelum
makan pada pagi hari.
- Komunikasikan sebaiknya tidak dikonsumsi dengan antasida.
- Komunikasikan cara penyimpanan obat untuk mempertahankan kualitas obat
- Informasikan bahwa obatnya generik berbentuk kapsul dengan dosis 30 mg dengan
harga sebesar Rp.10.600
- Informasikan bahwa akan terjadi efek samping berupa sakit kepala, diare, sembelit, dan
sakit perut. Jika penderita Tn tidak dapat menahan rasa sakit dapat diberikan obat untuk
mengatasi efek samping tersebut dengan mempertimbangkan dosis dan interaksi obat
yang digunakan.
- Edukasi penderita untuk mengatur pola hidup berupa :
1) Berhenti merokok
2) Menurunkan berat badan dan menjaga berat badan sesuai dengan IMT ideal
3) Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi
berbaring
4) Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
5) Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol,dan makanan berlemak - asam – pedas
6) Menghindari segala aktivitas yang dapat meningkatkan stress, karena stress salah
satu faktor resiko yang meningkatkan GERD sehingga menyebabkan
ketidaknyamanan pencernaan.
7) Memperbaiki pola makan dengan teratur karena pengosongan makanan dari
lambung memerlukan waktu antara 2-6 jam. Informasikan bahwa apabila tidak
makan maka lambung akan kosong, produksi asam lambung akan berlebih dan bisa
menimbulkan rasa panas dan terbakar sehingga dapat meningkatkan resiko GERD.
- Edukasikan bila penderita tidak mampu menelan kapsul, kapsul boleh dibuka dan
ditaburkan di atas 1 sendok makan saus apel jika butiran utuh segera tertelan (Kolesar
and Vermeulen, 2016).

D. Monitoring dan Follow Up


- Monitoring kepatuhan pemakaian obat, dan perbaikan pola hidup).
- Monitoring efektivitas lansoprazol dengan mengamati tanda klinis GERD. Bila penderita
mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan
terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14
hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Jika penderita Tn tidak sembuh
dengan terapi PPI maka harus dianggap sebagai kegagalan pengobatan, dan evaluasi
diagnostik lebih lanjut harus dilakukan (Saputera dan Widi, 2017).
- Monitoring tanda-tanda vital berupa tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula
darah pada awal dan secara berkala.
- Monitoring gejala efek samping seperti sakit kepala, diare, sembelit, dan sakit perut
sebagai parameter toksisitas obat. Jika efek samping yang terjadi berkepanjangan maka
penggunaan obat lansoprazole dihentikan.
- Monitoring resolusi ketidaknyamanan pada saluran pencernaan, resolusi ulkus
ditunjukkan pada endoskopi; dan uji napas urea negative (Kolesar and Vermeulen,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Ajjah, B.F.F., Teuku, M., Teuku, R. I. P., 2020, HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN
TERJADINYA GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD), Journal of
Nutrition College, Vol 9 (3).
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan, W.A.,
2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs,
Lippincott Williams & Wilkins : Pennsylvania.
Dipiro, J. T., Talbert R. L., Yee G. C., Matzke G. R., Wells B. G., and Posey L. M. 2008.
Pharmacotherapy a Pathophyfisiologic Approach 7th Edition, Mc Graw Hill : New York.
Huang, C., Yahui L., dan Guochao S., 2020, A systematic review with meta-analysis of
gastroesophageal reflux disease and exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease, BMC Pulmonary Medicine, Vol. 20 (2).
Kolesar, J. M., and Vermeulen L. C., 2016, Top 300 Pharmacy Drug Cards-2016/2017, Mc
Graw Hill Education: New York.
Medscape, 2020, Medscape Reference, Aplikasi Medscape.
Richter, J. E. dan Rubenstein J. H., 2018, Presentation and Epidemiology of Gastroesophageal
Reflux Disease, Gastroenterology, Vol. 154 (2).
Saputera, M.D., dan Widi, B., 2017, Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer, CDK-252, Vol 44 (5).
Tarigan, R.C., dan Bogi P., 2019, Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di RSUD
Saiful Anwar Malang Gastroesophageal Reflux Risk Factor Analysis at Saiful Anwar
Hospital in Malang, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 6 (2).

Anda mungkin juga menyukai