NAMA KELOMPOK 2:
Kelas : F2
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Refluks gastroesophageal adalah fenomena fisiologis normal dialami sesekali oleh
kebanyakan orang, terutama setelah makan. Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi
ketika jumlah asam lambung yang refluks ke kerongkongan melebihi batas normal,
menyebabkan gejala dengan atau tanpa cedera mukosa esofagus yang terkait (yaitu,
esofagitis).
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-
baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia.
Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-
4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati
posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang
sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari
2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di
Indonesia (Jung, 2009),(Goh dan Wong, 2006).Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak
22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia (Makmun, 2009).
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu jelas,
kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux disease
lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi faktor utama
dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan yang terkait,
termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur
peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan
hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas
pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit
GERD didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau
komplikasi yang mengganggu.(perkumpulan gastroenterologi indonesia,2013 hal.2)
B. Epidemiology
Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk Indonesia, secara umum
lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun demikian data terakhir menunjukkan
bahwa prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perubahan
gaya hidup yang meningkatkan seseorang terkena GERD, seperti merokok dan juga
obesitas.1 Data epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan atau regurgitasi asam sekali
dalam seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekurangnya sekali dalam
sebulan.(perkumpulan gastroenterologi indonesia,2013 hal.4)
C. Patofisiologi
• Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus.
• Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama
• Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer
(perkumpulan gastroenterologi indonesia,2013 hal.5)
D. Tanda dan Gejala
1.Gejala khas
Mulas
Regurgitasi juga sangat umum
Gejala lain termasuk hiversalivasi dan bersendawa
2.Gejala atipikal
Batuk kronik,suara serak,sakit dada,dan gigi erosians
Dalam beberapa kasus gejala ekstra esofagus ini dapat satu2nya yang hadir,sehingga lebih
sulit untuk mengenali gerd.
3.Gejala rumit
Disfagra (kesulitan menelan),dibawah (menyakitkan menelan),pendarahan dan tersedak.
Gejala ini menunjukkan komplikasi gerd seperti kerongkongan barret,kanker esofagus
(dipiro 2008,hal.260)
E. Diagnosis
• riwayat klinis cukup untuk mendiagnosa GERD pada pasien dengan gejala khas.
• Melakukan tes diagnostik pada pasien yang tidak menanggapi terapi atau yang hadir dengan
gejala alarm. Endoskopi lebih disukai untuk menilai cedera mukosa dan iDEN- tifying
Barrett esophagus dan komplikasi lainnya.
• pemantauan rawat pH, manometri esofagus, dikombinasikan pemantauan impedansi-pH,
resolusi tinggi tekanan esofageal topografi (HREPT), dan percobaan empiris dari inhibitor
pompa proton mungkin berguna dalam beberapa situasi.
(dipiro ed9 hal 206)
F. Pemeriksaan penunjang
1. Esofagografi barium
2. Manometri esofagus
3. Tes impedans
4. Tes Bilitec
5. Tes Bernstein
(perkumpulan gastroenterologi indonesia,2013 hal.12-13)
G. Algoritma
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
B. Judul Praktikum
Studi kasus GERD.
Subjek
• nyeri ulu hati yang disertai rasa terbakar hingga ke leher dan punggung. Nyeri tersebut
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan semakin memburuk sejak 14 hari terakhir, terutama
saat malam hari saat pasien berbaring. Sedikitnya pasien merasakan gejala tersebut 4 kali
seminggu.
• Riwayat penyakit pasien: diabetes melitus tipe 2 selama 2 tahun terakhir
• Riwayat pengobatan: antasida saat nyeri ulu hati 3x/hari sejak 2 minggu yang lalu,
metformin 500 mg 3x1 dan glibenklamid 5 mg 1x1 selama 1 tahun terakhir (pasien masih
memiliki obat dari control 1 minggu yang lalu)
• Pasien mengaku tidak mengkonsumsi NSAID
• Pasien mengaku tidak terdapat darah pada feses
Obyektif
Dokter mendiagnosa pasien mengalami GERD dengan gejala moderate
Assesment
Ranitidine kurang efektif untuk gejala GERD moderate
Metoklopramid kurang cocok untuk GERD MODERATE
Plan
Penggantian ranitidine menjadi obat golongan PPI (Lansoprazole) penggunaan 30-60 menit
sebelum makan durasi 4-8 minggu
Menghentikan penggunaan metoklopramid
Pasien disarankan diet
1.tujuan terapi
Tujuannya adalah untuk mengurangi atau menghilangkan gejala, mengurangi
frekuensi dan durasi refluks gastroesofageal, mempromosikan penyembuhan mukosa yang
terluka, dan mencegah perkembangan komplikasi (dipiro, 2015 hal 207)
2. terapi pemeliharaan
diperlukan untuk mencegah kambuh saat pengobatan di hentikan. Sebagian besar
pasien memerlukan dosis standar untuk mencegah kambuh. H2RAs dapat menjadi terapi
perawatan yang efektif pada pasien dengan penyakit ringan. PPI adalah obat pilihan untuk
perawatan pemeliharaan esofagitis sedang atau berat. Dosis normal sekali sehari adalah
omeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, rabeprazole 20 mg, atau esomeprazole 20 mg. Dosis
rendah PPI atau rejimen alternatif mungkin efektif pada beberapa pasien dengan gejala yang
lebih ringan.
3.Rencana monitoring
Pantau pasien untuk efek obat yang merugikan dan adanya gejala atipikal seperti radang
tenggorokan, asma, atau nyeri dada. Gejala-gejala ini memerlukan evaluasi diagnostik lebih
lanjut.
Pantau frekuensi dan tingkat keparahan gejala GERD, dan edukasi pasien tentang gejala
yang menunjukkan adanya komplikasi yang memerlukan perhatian medis segera, seperti
disfagia atau odynophagia. Evaluasi pasien dengan gejala persisten untuk adanya
penyempitan atau komplikasi lainnya.
Patofisi • Terjadi kontak dalam waktu yang cukup • Patogenesis ulkus duodenum dan
ologi lama antara bahan refluksat dengan lambung melibatkan kelainan
mukosa esofagus. patofisiologis dan faktor
• Terjadi penurunan resistensi jaringan lingkungan dan genetik.
mukosa esofagus, walaupun waktu kontak Sebagian besar tukak lambung
antara bahan refluksat dengan esofagus terjadi di hadapan asam dan pepsin
tidak cukup lama. ketika Helicobacter pylori (HP), obat
• Terjadi gangguan sensitivitas terhadap antiinflamasi nonsteroid (NSAID),
rangsangan isi lambung, yang disebabkan atau faktor lain yang mengganggu
oleh adanya modulasi persepsi neural normal mekanisme pertahanan dan
esofageal baik sentral maupun perifer. penyembuhan mukosa. Sekresi asam
lambung yang meningkat mungkin
terjadi dengan ulkus duodenum,
tetapi pasien dengan ulkus lambung
biasanya memiliki atau normal
mengurangi tingkat sekresi asam.
Mekanisme pertahanan dan
perbaikan mukosa normal termasuk
lendir dan bikarbonat sekresi,
pertahanan sel epitel intrinsik, dan
aliran darah mukosa. Pemeliharaan
integritas dan perbaikan mukosa
dimediasi oleh produksi
prostaglandin endogen.(Dipiro,ed 9)
6.Alarm symptomp
a.Disfagia ( kesulitan menelan)
b.Odynophagia (nyeri menelan)
c.Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
d.Pendarahan
e.Tersedak
f.Gejala ini mungkin mengindikasikan komplikasi Gerd seperti kerengkongan barret, struktur
esofagus/ kanker kerongkongan (Dipiro 2015 hal 206)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Refluks gastroesophageal adalah fenomena fisiologis normal dialami sesekali oleh
kebanyakan orang, terutama setelah makan. Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi
ketika jumlah asam lambung yang refluks ke kerongkongan melebihi batas normal,
menyebabkan gejala dengan atau tanpa cedera mukosa esofagus yang terkait (yaitu,
esofagitis).
tujuan terapi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan gejala, mengurangi
frekuensi dan durasi refluks gastroesofageal, mempromosikan penyembuhan mukosa yang
terluka, dan mencegah perkembangan komplikasi
B.Saran
Diharapkan pasien menghindari pemicu alergi yang diketahui dapat memperbaiki
gejala, Mengurangi merokok,dan mengurangi mengkonsumsi alkohol.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7th
Ed.Syamford: Appleton & Lange, 2008.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
Dipiro 2009. Pharmacology Handbook 7 th Edition, joseph t. Dipiro.Columbia
perkumpulan gastroenterologi indonesia,2013Ari Fahrial Syam.jakarta.