Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH FARMAKOTERAPI I

PUD (Peptic Ulcer Disease)

Disusun Oleh :

Brilian Wibowo 178114164


Maria Lusia Kristina Anu 178114166
Grescia Mevranlie 178114167
Clara Angelika Sinulingga 178114168
Elisabeth Erika Chan 178114169
Feilycia Kristin Sugisun 178114170
Adventis Nona Theresa 178114171
Ni Kadek Nita Melina Oktavira 178114172
Chezia Priscilla 178114173

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019
I. Pendahuluan

Penyakit ulkus peptik ditandai oleh penghentian di lapisan dalam


gastrointestinal (GI) saluran karena sekresi asam lambung atau pepsin. Itu meluas ke
lapisan muscularis propria epitel lambung. Biasanya terjadi di perut dan duodenum
proksimal. Mungkin melibatkan esofagus bagian bawah, duodenum distal atau
jejunum.

Mekanisme terjadinya PUD hasil dari ketidakseimbangan antara faktor


pelindung mukosa lambung dan destruktif. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
perkembangan PUD:

 Infeksi H. pylori
 Penggunaan NSAID
 Derajat pertama relatif dengan PUD
 Emigran dari negara maju
 Afrika Amerika / Etnis Hispanik

(Malik dan Singh, 2019).

Ulkus eptik adalah luka (seperti luka) di lapisan perut atau bagian atas usus
kecil, dengan diameter setidaknya 0,5 cm menembus melalui mukosa muskularis. Ini
biasanya merupakan penyakit non-fatal yang sebagian besar diwakili oleh gejala nyeri
epigastrium, sering menunjukkan periodisitas. Ulkus peptikum atau PUD umumnya
dikategorikan berdasarkan asal anatominya sebagai lambung atau duodenum.
Gastriculcers ditemukan di sepanjang lekukan perut yang lebih rendah, dan ulkus
duodenum biasanya terjadi pada duodenum, area yang paling sering terkena asam
lambung. Helicobacter pylori telah dianggap sebagai faktor etiologi utama untuk 90%
duodenal dan 80% tukak lambung (Malik dan Singh, 2019).

Ulkus lambung sebagian besar muncul pada subjek yang berusia lebih dari 40
tahun sedangkan, ulkus duodenum khususnya terjadi antara usia 20-50 tahun.
penggunaan yang luas NSAID dan ASA dosis rendah masih menjadi perhatian PUD.
Estimasi nasional beragam negara telah menunjukkan biaya medis langsung yang
terkait dengan PUD adalah USD163-866 per pasien (Habeeb et al, 2016 ).

Ulkus lambung sebagian besar muncul pada subjek yang berusia lebih dari 40
tahun sedangkan, ulkus duodenum khususnya terjadi antara usia 20-50 tahun.
penggunaan yang luas NSAID dan ASA dosis rendah masih menjadi perhatian PUD.
Estimasi nasional beragam negara telah menunjukkan biaya medis langsung yang
terkait dengan PUD adalah USD163-866 per pasien (Habeeb et al, 2016 ).

Keluhannya yaitu terasa nyeri , Nyeri malam hari (tengah malam-3 pagi) atau
selama interval antara waktu makan (nyeri karena kelaparan). Ini adalah keluhan
utama untuk 2/3 pasien dengan ulkus duodenum dan 1/3 pasien dengan ulkus
lambung. Namun keluhan yang sama mendominasi pada 1/3 pasien dengan dispepsia
yang tidak berhubungan dengan ulkus. Bersendawa sebagai gejala yang mendominasi
adalah karakteristik untuk refluks esofagus, tetapi tidak untuk tukak lambung (pnya
billy)

II. Subjek
Pasien wanita mengalami pusing sejak tahun yang lalu , pusing tidak berputar – putar
dan tidak terasa sakit kepala . Pasien mengeluh nyeri pada ulu hati dan lemas.

III. Objek
Pasien mengkonsumsi obat nyeri ketika nyeri lutut dan sakit gigi . Riwayat penyakit
sebelumnya adalah DM tipe 2 pada pemeriksaan fisis didapatkan status generalis, sakit
sedang , kesan gizi cukup dan komposmentis. Status vitalitas didapatkan tekanan
darah 90/60 mmHg, nadi 80x permenit, pernafasan 24x permenit. Tipe
thoracoabdominalis. Tampak pada konjungtiva anemis , bibir kering dan pada
auskultasi abdomen didapatkan peristaltik kesan meningkat. Hasil pemeriksaaan darah
rutin , Hb, dan GDS normal . Diketahui diagnosis dokter pasien mengalami ulkus
peptikum. Terapi : Ringer laktat 24 tetes /menit (i.v), Omeprazole 20 mg (2x1) ,
Glibenclamide 5mg (1x1) , dan vitamin B komplek (3x1).

IV. Asessment
 Tujuan terapi : Eradikasi (menyembuhkan), dan menghilangkan gejala dan
mencegah kekambuhan dan komplikasi.
 Tekanan darah pasien 90/60 mmHg (hipotensi).
 Riwayat DM tipe 2 pasda pasien, pade penderita DM sekresi asam lambung
meningkat dikarenakan DM mengakibatkan penurunan laju pengosongan lambung
(gastrofaresis) dengan merangsang saraf neuropati otonom, sehingga asam
lambung yang terkumpul pada lambung dapat mengiritasi mukosa lambung.
Pada penderita DM diperkirakan terjadi gangguan faktor defensif sehingga
menyebabkan peradanagn mukosa, kerusakan jaringan mukosa, sub mukosa
sampai lapisan otot saluran cerna bagian atas.
 Adanya anemis konjungtiva dan bibir kering dikarenakan pasien diduga
mengalami pendarahan akibat ulkus, sehingga menyebabkan pasien kehilangan
darah. Adanya gejala pusing dan lemas dapat juga diakibatkan kehilangan darah
dan tekanan darah yang menurun.
 Adanya auskultasi abdomen yang didapatkan peristaltik terkesan meningkat
menandakan adanya gangguan pada gastrointestinal.
 Laju pernapasan pasien cepat (normal : 20x/menit), disebabkan karena pasien
mengalam nyeri ulu hati dan pasien yang membutuhkan banyak oksigen akibat
kekurangan darah yang dialami pasien.
 Riwayat pengobatan
1. Obat pereda nyeri untuk nyeri lutut dan sakit gigi.
2. Obat diabetes (glibenclamide 5 mg ) dengan dosis 1x1
 Terapi farmakologi
1. Ringer laktat 24 tetes /menit iv
Diberikan untuk mengembalikan keadaan pasien yang lemah
2. Omeprazole 20 mg dosis 2x1
Indikasi : PUD, Duodenal Ulcer, infeksi Helicobacter Pylori
Efek Samping : Sakit kepala,
3. Glibenclamide/glyburide 5 mg dosis 1x1
Indikasinya : diabetes
Efek sampingnya : utikaria, rash, angioderma, nyeri ulu hati
Omeprazole akan meningkatkan efek dari glibenclamide dengan mempengaruhi
enzim CYP2C9/10.
4. Vitamin B kompleks 3x1
Kandungan : Vit B1, B2, B3, B4, B5, B6, B7, B8, B9, B10, B11, B12. Vit B6
menjaga kadar glukosa dalam darah. Vitamin B kompleks yang mana mengandung
asam folat yang dapat digunakan untuk pengobatan anemia ang dialami pasien.
 Obat pereda nyeri untuk nyeri lutut dan sakit gigi yang dikonsumsi pasien
sebelumnya dapat menyebabkan menurunnya produksi mukosa pada lambung
sehingga menambah resiko terjadinya ulcer. NSID yang tidak selektif dapat
menghambat COX 1 dalam saluran pencernaan yang menyebabkan penurunan
sekresi prostaglandin dan efek sitoprotektifnya dalam mukusa lambung. Hal ini
meningkatkan kerentanan cedera pada mukosa. Pengguaan obat nyeri seperti
NSAID yang non selektif COX dapat menyebabkan pengikisan lapisan lambung
yang mana apabila digunakan dalam jangka waktu panjang dalam menyebabkan
tukak lambung atau ulkus peptikum.

V. Plan
Terapi farmakologi
1. Terapi diabetes dilanjutkan yaitu Glibenclamide/glyburide 5 mg dosis 1x1
2. Terapi PPI dilanjutkan karena obat PPI lebih tepat dibandingkan H2RA atau
sukralfat karena dapat menekan produksi asam juga dapat mencegah kekambuhan
ulkus. Omeprazole akan meningkatkan efek dari glibenclamide dengan
mempengaruhi enzim CYP2C9/10 maka omeprazole dapat diganti dengan
lansoprazole dimana lanzoprazole tidak berinteraksi dengan glibenclamide.
Dosis lansoprazole: 30 mg secara per oral dalam 8 minggu
3. Terapi ringer laktat dilanjutkan untuk mempertahankan stamina kdondisi tubuh
pasien
4. Melakukan pemeriksaan infeksi H. Pylori. Jika positif terinfeksi berikan
kombinasi antibiotik.
5. Pemberian vitamin B kompleks dapat dilanjutkan untuk mengatasi gula darah dan
anemia yang terjadi.

Terapi nonfarmakologi

1. Istirahat yang cukup.


2. Kurangi konsumsi makanan yang mengandung gula dan yang dapat meningkatkan
asam lambung seperti pedas, kafein, alkohol.
3. Menghentikan penggunaan obat-obatan nyeri yang tidak
4. Olahraga yang cukup

Monitoring

1. Jika pemberian PPI tidak menghasilkan respon maka dilakukan follow up evaluasi
dengan konsultasi ke dokter dan endoscopi.
2. Memberikan edukasi kepada pasien yang terkena efek samping dari penggunaan
obat-obat nyeri yang tidak selektif yang berkepanjangan sehingga harus berhati-
hati dalam mengonsumsi obat-obat nyeri yang tidak selektif (NSAID tidak
selektif) dan mengedukasi pasien mengenai pentingnya ketaatan dalam meminum
obat.

VI. Alogaritma Terapi


Daftar Pustaka

Anam, I., dkk., 2019. Perbedaan pH Lambung pada Pasien Dispepsia dengan atau Tanpa
Diabete Melitus Tipe II. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 1 (2);pp114-118.

Dipiro et al.,2017. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. 10th ed. USA, McGraw-

Hill.Habeeb, A., et al., 2016. Peptic Ulcer Disease: Descriptive Epidemiology, Risk Factors,
Management and Prevention. India : Central Laboratory for Stem Cell Research &
Translational Medicine, Deccan College of Medical Sciences.

Kiichi, S., et al., 2016. Evidence-based Clinical Practice Guidelines of Peptic Ulcer Disease
2015. J Gastroenterol. 51 : 177-194.

Malik T.F., dan Singh, K., 2019. Peptic Ulcer Disease. Treasure Island : StatPearls
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai