Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FARMAKOTERAPI I

GERD

Disusun Oleh :

Brilian Wibowo 178114164

Maria Lusia Kristina Anu 178114166

Grescia Mevranlie 178114167

Clara Angelika Sinulingga 178114168

Elisabeth Erika Chan 178114169

Feilycia Kristin Sugisun 178114170

Adventis Nona Theresa 178114171

Ni Kadek Nita Melina Oktavira 178114172

Chezia Priscilla 178114173

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019
I. Pendahuluan
Penyakit GERD (gastroesofagus reflux disease) adalah suatu kondisi klinis yang
disebabkan oleh kenaikan isi lambung kedalam esofagus. Pemasukan kembali isi
lambung kedalam faring atau mulut dan kadang kadang keluar dari mulut disebut dengan
regurgitasi. Pada umumnya durasi reflux pada orang sehat berlangsung kurang dari 3
menit dan terjadi setelah makan dengan sedikit gejala (atau tanpa gejala). Sebaliknya,
GERD terjadi ketika reflux isi lambung menyababkan gejala-gejala yang menggangu
(komplikasi).
Patofisiologi GERD dipengaruhi oleh keseimbangn antara factor-factor yang
merusak (atau menyebabkan sensitivitas) mukosa, esophagus dan factor-factor yang
memelihara sambungan esofagogastric (esophagogastric junction, EGJ). Dan klirens
asam esophagus normal (yang bergantung pada mortilitas lambung dan esophagus).
GERD bisa disebabkan oleh malfungsi sfingter esophagus bagian bawah (lower
esophageal sfingter, LES) dan malfungsi mekanisme pertahanan perut. LES adalah
sebuah zone aktifitas otot bertekanan tinggi dengan ukuran 3-4 cm pada esophagus distal
yang berfungsi sebagai peindung mukosa esophagus dan struktur proksimal terhadap zat
yang berpotensi merusak mukosa seperti asam lambung pepsin dan garam empedu.
(Syamsudin, 2016)

Gejala kardinal dari GERD adalah mulas dan regurgitasi. Namun, GERD dapat
hadir dengan berbagai gejala lain, termasuk kurang air, nyeri atau ketidaknyamanan dada,
disfagia, bersendawa, nyeri epigastrium, mual, dan kembung.

Gejala-gejala extraesophageal seperti batuk, suara serak, pembersihan


tenggorokan, sakit tenggorokan atau terbakar, mengi, dan gangguan tidur. Studi telah
menunjukkan bahwa frekuensi gejala, keparahan, atau kombinasi keduanya tidak
memprediksi presentasi fenotip spesifik GERD.Namun, pasien usia lanjut dengan GERD
tampaknya mengalami penyakit mukosa yang lebih parah yang dikaitkan dengan gejala
yang lebih ringan secara keseluruhan dan lebih atipikal. Sebagian besar pasien dengan
gejala khas GERD menerima pengobatan empiris dengan inhibitor pompa proton (PPI)
dan tidak menjalani tes diagnostik.
Namun, pada pasien dengan gejala alarm seperti disfagia, odinofagia, anoreksia,
penurunan berat badan dan perdarahan saluran cerna bagian atas, diperlukan investigasi
dengan endoskopi bagian atas. Penggunaan tes diagnostik lainnya, seperti tes pH berbasis
kateter, kapsul pH nirkabel, impedansi + pH dan lainnya dicadangkan untuk skenario
klinis tertentu ketika manajemen lebih lanjut diperlukan pada pasien yang secara parsial
atau menunjukkan kurangnya respon terhadap pengobatan PPI. Dekade terakhir telah
melihat beberapa perubahan besar dalam lanskap pengobatan GERD, semakin banyak
laporan tentang efek samping karena penggunaan jangka panjang PPI, penurunan yang
nyata dalam pemanfaatan penggalangan dana bedah dan peningkatan dalam
pengembangan opsi terapi nonmedis. (Dalbir and Ronnie, 2018).

II. Subjek

Pasien mengeluh nyeri pada dada dan hulu ati pada pagi hari, mual pada pagi hari.
Pada saat aktifitas berat pasien mengalami wheezing.

III. Objek

Pasien perempuan usia 10 tahun tidak ada disfagia dan penurunan berat badan.
Dalam 3 tahun terakhir pasien mengalami asma. Uji alergi, sekresi Cl keringat, dan
rontgen torax dalam batas normal. Terdapat riwayat asma pada keluarga, alergi debu dan
makanan dan ayah pasien dalam terapi PPI karena GERD. Riwayat penyakit terdahulu:
regurgitasi sampai usia 7 bulan, diberikan terapi antagonis H2RA dan PPI namun tidak
ada respon. Pasien sedang dalam pemberian terapi Albuterol, Budesonide ,Fluctason /
Salmeterol

IV. Asessment
a. Riwayat penyakit
1. Regurgitasi

Pada usia 7 bulan pasien mengalami regurgitasi dan diberikan terapi H2RA dan
PPI namun pasien tidak merespon. Hal ini dikarenakan pada terapi gerd pada
dibagi menjadi 3 yaitu :
- Terapi konservatif : memperbaiki gaya hidup dengan perubahan posisi makan
dan formula makanan yang dipadatkan
- Terapi farmakologi : menggunakan obat obatan sitoprotektor (H2RA) dan
prokinetik (PPI)
- Operasi anti reflaks : meningkatkan tekanan di esophagus bagian bawah agar
berfungsi lebih baik atau menggunakan elektroda untuk meningkatkan fungsi
katup.
Namun pada kasus ini pasien tidak memberikan respon ketika diberi terapi
PPI dan antagonis h2. Hal ini bisa terjadi karena tidak dilakukannya terapi
konservatif sehingga tetap terjadi regurgitasi.

2. Asma

Pasien mendapatkan terapi harian untuk riwayat asma antara lain sebagai
berikut: Albuterol, Budesonide, Fluctason / Salmeterol. Dari ketiga obat
tersebut diketahui bahwa budesonide dapat memberikan efek samping seperti
mual, muntah dan gangguan pencernaan. Dimana gejala ini mirip seperti
keluhan pasien saat ini seperti mual dipagi hari sehingga terjadi penurunan
berat badan. Maka keluhan dapat disebabkan karena efek samping dari
budesonide.

Analisis obat asma yang dipakai pasien :

a. Albuterol
Mekanisme aksi : sebagai reseptor 2 beta agonist dengan beberapa
aktivitas beta 1 , mengendurkan otot polos bronkial dengan sedikit
efek pada detak jantung
Efek samping : tremor , nervousness , insomnia
Interaksi : Kontraindikasi dengan isocarboxazid , linezolid , phenelzine
, saquinavir ,tranycypromine
b. Budesonide
Kortikosteroid (antiinflamasi), memiliki aktivitas glukokortikoid yang
kuat, tetapi mineralokortikoid lemah. Peradangan merupakan
komponen penting dalam patogenesis asma.
Mekanisme aksi: mengurangi peradangan dengan menekan migrasi
leukosit polimorfonuklear (PMN), dan mengurangi permeabilitas
kapiler, menstabilkan membran sel dan lisosom, meningkatkan
surfaktan, serta menghambat prostaglandin.
Efek samping: sakit kepala, mual, muntah, gangguan pencernaan,
penglihatan kabur,jantung berdebar, serta kram otot.
c. Salmeterol
Mekanisme aksi : sebagai bronkodilator agonis beta-2 adrenergik,
sehingga dapat melemaskan otot polos bronkial dengan sedikit efek
pada detak jantung. Termasuk ke dalam long acting broncodilator.
Efek samping : sakit kepala, hidung tersumbat, hipertensi (4%),
edema, gangguan tidur, influenza, bronchitis.

Dari ketiga obat harian yang diberikan dokter untuk penyakit asma,
diketahui bahwa albuterol dan salmeterol dapat terjadi interaksi apabila
diberikan secara bersamaan, diantaranya dapat menurunkan kadar potassium,
meningkatkan efek simpatis (kenaikan tekanan darah dan irama jantung).

3. Keluahan pasien
Keluhan nyeri dada dan hulu hati di pagi hari merupakan salah satu gejala
dari GERD. Munculnya rasa nyeri pada dada disebabkan asam lambung naik
ke kerongkongan karena katup sfingter mengalami inflamasi.
4. Faktor predisposisi
Ayahnya mempunyai penyakit GERD, dimana penyakit GERD juga dapat
diturunkan ke anaknya (Argiroiu,2018). Dengan adanya faktor predisposisi
tersebut maka menambah faktor risiko sang anak mengalami GERD.
5. Wheezing
Wheezing yang dialami pasien sebagai tanda penyakit asma yang dialami
pasien.
V. Plan
1. Tujuan terapi meringankan gejala, menyembuhkan eksofagitis, mempertahankan
remisi, meningkatkan kualitas hidup, mencegah komplikasi.
2. Terapi non farmakologi
 Perubahan gaya hidup anak
Pada anak- anak yang sudah besar belum ada bukti yang mendukung
konsumsi makanan tertentu secara rutin untuk mengatasi GERD. Pada orang
dewasa yang obesitas, volume makan yang besar, dan makan tengah malam
merupakan faktor resiko penyebab gejala GERD. Posisi tidur terlungkup atau
mirig ke kiri atau terangkatnya bagian kepala saat tidur dapat menurunkan
refluks gastroesofagus seperti ditemukan dalam beberapa penelitian terhadap
orang dewasa (Syamsudin, 2016)
 Makanan yang harus dihindari:
a. Makanan pedas, Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan
merangsang sistem pencernaan untuk berkontraksi. Akibat timbul rasa
panas dan nyeri di ulu hati. Yang disertai dengan mual dan muntah lebih
lanjut hal itu akan membuat seseorang berkurang nafsu makannya.
b. Makanan asam, Makanan dengan cita rasa asam, akan meningkatkan
keasaman saluran pencernaan dan memiliki efek iritasi jika dikonsumsi
secara berlebihan. Akibatnya terjadi peningkatan pengeluaran asam
lambung. Beberapa makanan dengan rasa asam yang sebaiknya dihindari
antara lain jeruk, anggur, apel, tomat, strowberry, cuka, susu olahan dan
lainnya.
c. Makanan yang sulit dicerna, Jenis makanan ini, membuat lambung
membutuhkan waktu lebih lama, untuk mencernanya dan menjadi lambat
diteruskan ke usus. Akibatnya, isi lambung dan asam lambung tinggal di
dalam lambung untuk waktu yang lama, menyebabkan rasa panas di ulu
hati dan dapat mengiritasi. Makanan yang sulit dicerna anatara lain
makanan yang digoreng, daging , keju.
d. Makanan yang mengandung gas, makanan yang mengandung gas
menyebabkan peningkatan tekanan dalam perut yang berujung pada
terjadinya refluks asam lambung. Makanan mengandung gas yang patut
dihindari, antara lain minuman bersoda, sawi, kol, nangka, pisang ambon,
kedondong, buah yang dikeringkan.
 Mengenakan pakaian longgar, karena pakaian ketat bisa menyebabkan
naiknya asam lambung.
 Pastikan posisi tubuh agar tetap tegap. Kebiasaan buruk, seperti berbaring,
duduk membungkuk terutama setelah makan, akan membuat asam lambung
naik. Dengan posisi tegap dapat membantu mendorong makanan turun ke
lambung.
 Jangan langsung tidur setelah makan. Usahakan tidur 2-3 jam setelah makan
agar makanan tercerna lebih dulu dan sudah turun ke usus. Saat tidur, naikkan
posisi kepala tempat tidur sekitar 6-10 inchi dari tubuh. Kalau kita berbaring
datar dapat menyebabkan asam lambung naik ke kerongkongan.
- Tidur menyamping / miring. Tidur menyamping ke sisi kiri atau kanan bisa
menekan rasa sakit akibat naiknya asam lambung. Sebaiknya, tidur tengkurap
malah akan memperburuk asam lambung.
- Lakukan olahraga secara teratur sesuai kemampuan. Dengan berolahraga,
maka tubuh banyak berkeringat karena terjadi pembakaran lemak dalam
jumlah yang besar. Selain itu, olahraga juga membuat tubuh rileks, sehingga
akan menekan hormon stres. Sebaiknya lakukan olahraga di pagi hari, sebab
produksi asam lambung pagi hari adalah akumulasi asam lambung yang
menumpuk sejak semalam.
(Kemenkes, 2018)
3. Terapi farmakologi
a. Obat untuk penyakit asma
1. Albuterol inhaler, 90 mikrogram per aktuasi
2. Budesonide inhaler, 200 -800 mikrogram per hari, dalam dua dosis terbagi.
3. Salmeterol aerosol, dengan dosis satu dua kali sehari, masing – masing satu
hisapan.
b. Obat untuk gejala GERD
- Pemberian ranitidine (H2RA blocker)
Anak-anak (1 bulan-16 tahun): 5-10 mg/kg setiap hari dibagi menjadi 2 kali
konsumsi. Dosis maksimum 300 mg per hari, diberikan pada keadaan perut
kosong.
- Pemberian lansoprazole (PPI)
Anak-anak 1-11 tahun kurang dari 30 kg: 15 mg sekali sehari pada pagi hari,
maksimal selama 12 minggu.
Anak-anak 1-11 tahun lebih dari 30 kg: 30 mg sekali sehari pada pagi hari,
maksimal selama 12 minggu. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 30 mg dua
kali sehari jika setelah 12 minggu gejala masih muncul.

(Heidelbaugh, 2018)

VI. Monitoring
 Apabila gejala tidak berubah setalah pengobatan maka disarankan melakukan
endoskopi. Hal tersebut diperlukan untuk mengidentivikasi penyebab lain
esophagitis dan untuk mendiagnosis serta memantau esophagus barret (BE)
beserta komplikasinya.
 Pemberian salmeterol dan albuterol perlu dimonitoring untuk mengurangi efek
samping dari interaksi yang terjadi. Albuterol digunakan ketika gejala asma
semakin parah. Pada saat albuterol digunakan sebaiknya hentikan penggunaan
salmeterol untuk menghindari interaksi.
 Ranitidin dan budesonide memiliki interaksi, dimana ranitidin dapat menurunkan
efek dari budesonide dengan meningkatkan pH lambung yang menyebabkan
budesonide terdisolusi lebih awal di lambung, sehingga mempengaruhi absorbsi
obat di usus. Diberikan informasi kepada pasien bahwa pemberian budesonide
dan ranitidine sebaiknya dijeda untuk menghidari interaksi yang terjadi.
 Pemberian obat – obatan dengan inhaler sebaiknya diberikan informasi kepada
pasien untuk berkumur setelah menggunakan inhaler, untuk meminimalisir
terjadinya iritasi pada mulut.
VII. Alogarima Terapi
DAFTAR PUSTAKA

Argiroiu, A., dkk., 2018. Risk factors for gastroesophageal reflux disease and analysis of genetic
contributors. World J Clin Cases.6(8).,pp176-182.

Dalbir S., and Ronnie F., 2018. Current Trends in the Management of Gastroesophageal Reflux
Disease . Gut and Liver, Vol. 12, No. 1 . pp 7-16.

Heidelbaugh, et al., 2018. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Guidelines for Clinical
Care Ambulatory.

Kemenkes, 2018. Diet Lambung. www.yankes.kemenkes.go.id/read-diet-lambung-revisi-


4250.html. Diakses tanggal 3 Mei 2019.

Syamsudin, 2016. Farmakoterapi Gangguan Saluran Pencernaan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai