NAMA KELOMPOK 4:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini yang berjudul “Konsep Sehat dan Sakit Menurut Suku Bugis” dapat selesai
pada waktunya.
Namun terlepas dari itu kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapakan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi
dan kami mengucapkan mohon maaf atas segala kekurangan. Sekian dan
terimakasih
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN
Pembahasan 16
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 18
B. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat
dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai
kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi berbagai
masalah di dalam hidup, di antaranya sakit, manusia berusaha untuk mencari
obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, faktor
sosial budaya, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari
pengobatan. Akan tetapi, organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern
maupun tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku
mencari pengobatan (Rahmadewi, 2009).
Secara umum, Kalangie membagi sistem medis ke dalam dua golongan
besar, yaitu sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan sistem non medis (tradisional)
yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia (Rahmadewi, 2009).
Pengobatan kedokteran berbasis pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan
tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan
masyarakat, termasuk di antaranya pengobatan dukun, yang dalam mengobati
penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Pengobatan
maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan campur tangan
kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan batin.
Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-
bacaan, air putih yang diisi rapalan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-
tumbuhan . Pada masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang ahli mengobati
penyakit secara tradisional dipanggil sanro, yang juga berarti dukun (Rahman,
2006).
1
Bruce Kapferer (Alhumami, 2010) mengatakan, kepercayaan
kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs yang
tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local beliefs,
keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tak bisa dinilai dari sudut
pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang
disebut rationality behind irrationality. Orang yang kemudian
mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas digolongkan ke
dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang melambangkan
keterbelakangan. Hal ini sejalan dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard
(Pals, 2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap kekuatan
supranatural itu tidak mengenal batasan sosial, seperti yang dia teliti pada
Suku Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran modern, termasuk
dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural.
Pengobatan dukun masih menjadi sesuatu yang integral dan sulit
terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat perkotaan, termasuk di
Kota Makassar. Pengobatan dukun telah membudaya dan ada yang
menjadikan sebagai sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga mereka.
Meminjam istilah Ward Goodenough (Al-Kumayi, 2011), pengobatan
dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang terdiri atas
pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada dalam pikiran
anggota-anggota individual masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sehat sakit ?
2. Bagaimana pengertian sehat sakit menurut suku bugis ?
3. Bagaimana penanganan pada penyakit menurut suku bugis ?
4. Apa saja meetode pengobatan penyakit menurut suku bugis ?
5. Bagaimana hasil wawancara pandangan sehat dan sakit menurut suku
bugis di tanah datar ?
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit
2. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit menurut suku bugis
3. Untuk mengetahui penanganan pada penyakit menurut suku bugis
4. Untuk mengetahui metode pengobatan penyakit menurut suku bugis
5. Untuk mengetahui hasil wawancara tentang pandangan sehat sakit
menurut suku bugis di tanah datar
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
4
perbedaan suku bangsa dan budaya. ,maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditetukan secara klinis), bergantung variable-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan masyarakat.
Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan
kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan
baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya (Soejoeti,2008).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehat seseorang diantaranya
adalah status perkembangan yang berkaitan dengankemampuan mengerti
tentang keadaan sehat dan kemampuan berespon terhadap perubahan dalam
kesehatan dikaitkan dengan usia ( Hidayat, 2006; Notoatmojo,2010).
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistic dapat dijelaskan dari
segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan suatu keadaan
atau satu hal yang disebabkan leh gangguan terhadap sistem tubuh
manusia.pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani,
India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibirubim model)
seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin
dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama
ini tercakup dalam konsep tentang humors ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen Kesehatan RI telah mecanangkan kebijakan baru berdasarkan
paradigma sehat.
5
secara umum diperoleh informasi bahwa pandangan orang Bugis
terhadap sehat sakit bervariasi,persepsi sehat -sakit dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : Sehat adalah kemampuan melakukan pekerjaan sehari –hari.
Sehat berati memiliki penampilan fisik yang baik. Seseorang sehat dilihat dari
fisiknya dan dari makan yang dikonsumsi dengan komposisi nasi, sayur
seperti kangkung,terong, nangka dan ikan. Jika makanan sehat maka
orangnyapun sehat. Sakit tidak memiliki penampilan fisik yang baik (Harjati,
Ridwan, dan Sudirman, 2012)
6
lewati dan dengan cara mengkonsumsi obat, ketika telah mengkonsumsi
obat tetapi tidak sembuh juga selama lebih dua hari biasa pergi ke
sandro/dukun” (hj. Hasbiah, ibu rumah tangga).
7
dan memilih membalas dendam dengan cara tidak baik yang bertujuan
untuk menyakiti orang tersebut, biasanya dengan cara menaruh sesuatu
yang diberi dari dukun dan ditaruh di lingkungan tempat tinggal orang
tersebut, ketika orang yang dibenci itu merasa bahwa dirinya seperti
diguna-guna maka dirinya akan pergi ke tempat dukun/sandro untuk
mengetahui apa penyebab dari yang dia alami saat itu, ketika orang yang
membenci tidak puas dengan apa yang terjadi maka dia akan terus
menerus menyakiti orang yang dibencinya dan orang yang dibenci ini juga
akan mencari cara agar dirinya tidak mendapat gangguan yang dikirim
oleh orang yang membencinya dengan cara meminta pada dukun/sandro
yang biasa disebut dengan tolak bala ” (hj. Lijah , masyarakat suku bugis).
8
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan
universal karena ada faktor-faktor lain diluar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam
konteks pengertian yang lain. Masalalah sehat dan sakit merupakan proses
yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia
beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosial budaya.
9
yakni mendengar dari orang lain dan mencoba meramu obat sendiri, hal
ini dapat dilakukan karena umumnya tumbuhan yang digunakan dapat
dijumpai di sekitar lingkungan hidup mereka (Dinas Kesehatan Kota
Makassar, 2011).
10
Pada umumnya pengobat tradisional itu bukanlah seorang paramedis
yang berpendidikan formal di bidang kesehatan, melainkan seorang
anggota masyarakat biasa yang mempunyai keahlian dan kemampuan
dalam bidang pengobatan tradisional.mengetahui dengan dalam berbagai
jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk men gobati jenis-jenis
penyakit tertentu. Dengan demikian, dapat dipastikan seorang sanro(dukun
kampong) akan memiliki banyak koleksi tanaman yang berkhasiat obat.
11
Menurut konsep kebudayaan orang Bugis sanro tidak hanya dikenal
sebagai orang yang mampu memberikan bantuan kepada orang sakit yang
datang kepadanya melalui praktik pengobatan, akan tetapi sanro juga dikenal
sebagai orang yang mampu mengendalikan bahkan melakukan pemunahan
penyakit-penyakit tertentu. Dengan demikian sanro memiliki pengertian yang
lebih luas, artinya tidak sekedar pengobat tradisional. Warga masyarakat di
Makassar dan Barru, mengatakan bahwa sanro dapat disebut sebagai
penyembuh tradisional karena kemampuannya tidak terbatas pada
pengetahuan tentang ramuan herbal (tumbuh-tumbuhan) tetapi juga
kemampuan melakukan penyembuhan dengan sistem doa, dan mantera-
mantera.
12
sakit. Untuk melindungi anak dari gangguan parakang, masyarakat etnis
Bugis memasangkan panini (bangle) yang telah dibacakan jampi-jampi pada
pakaian anak dengan menggunakan peniti. Panini dalam bahasa Bugis
memiliki arti “menghindarkan”. Panini dipercaya dapat menghindarkan dari
gangguan makhlus halus (Fatmawati & Suriah,2018).
13
Pada saat akan dan sedang mengobati, dukun mendengar “suara-
suara” di dalam hatinya yang dianggap sebagai kekuatan supranatural.
Suara-suara inilah yang kemudian memberi petunjuk mengenai apa yang
harus dukun lakukan untuk pasien. Suara yang dukun yakini berasal dari
dalam hati itu berupa petunjuk mengenai penyakit yang diderita pasien,
doa-doa yang dibacakan, serta ramuan tumbuh-tumbuhan (kalau ada).
Namun, setiap kali mengobati, dukun tidak menggunakan semua media
tersebut. Kadang hanya air putih yang dijampe-jampe, dan kadang pula
hanya doa-doa yang ditiupkan ke bagian tubuh yang sakit. Terkadang juga
langsung menggabungkan semuanya (air putih yang dijampe-jampe,
meniupniup di bagian tertentu tubuh pasien, mengurut urat-urat untuk
melongggarkan peredaran darah, dan membuat ramuan dari tumbuh-
tumbuhan).
Air putih yang telah diisi doa-doa (jampe-jampe), selain untuk
diminumkan kepada pasien, juga kadang diusap-usapkan ke bagian tubuh
yang sakit. Air yang diminumkan berfungsi untuk menetralkan bagian
tubuh pasien, sedangkan air putih yang diusap-usapkan ke tubuh yang
sakit berfungsi untuk melemaskan urat-urat. Menurut dukun, air putih
sejak zaman nenek moyang sudah dipercaya bermanfaat untuk tubuh dan
dapat dijadikan obat. Air putih juga tidak punya efek samping dan tidak
ada orang yang berpantangan meminumnya. Kalau ada orang sakit dan
tidak dapat makan, dia bisa langsung diberikan air putih. Hal ini berbeda
jika pasien diberikan obat (dokter) yang terlebih dulu mengharuskannya
untuk mengisi perut (makan) meskipun sedikit.
Pengobatan dukun dengan cara-cara tradisional tampaknya
disenangi oleh sebagian masyarakat. Apalagi, dalam mengobati orang
dukun banyak mengutip doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, komunikasi dengan dukun juga terkesan santai, informal, dan
bersifat kekeluargaan, dan hal inilah yang disenangi oleh sebagian orang.
Itulah sebabnya, ada juga yang menjadikan dukun sebagai “dokter”
keluarga.
14
Pengobatan dukun juga terkesan santai, sehingga membuat pasien
langsung cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun
juga sering mengajak pasiennya berbicara di luar dari pembicaraan
penyakit. Karena itu, pasien kadang tidak menyangka kalau dirinya sedang
sakit dan diobati karena dukun biasa menyelingi dengan tertawa kecil atau
tersenyum. Kalau pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu
menjawab,” Ndak apa-apa ji. Insya Allah lekas sembuh, ya!” Apabila
penyakit pasien dianggap belum sembuh pada hari itu, dukun datang lagi
ke rumah pasien keesokan hari atau beberapa hari kemudian untuk
mengontrol kondisi pasien sampai benar-benar sembuh. Komunikasi
dukun dengan pasien juga terkesan santai, informal, dan bersifat
kekeluargaan. Saat mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana
kekeluargaan. Terlebih, semua keluarga pasien boleh mendampingi atau
berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman. Selain itu, pasien
juga merasa senang karena dukun bersedia memenuhi panggilannya untuk
diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati pasien, dukun biasanya tidak
langsung pulang, melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai 10
menit untuk berbincang-bincang dengan pasien dan keluarga pasien. Pada
kesempatan ini, dukun kerap kali menghibur pasien dengan menyatakan
bahwa penyakit yang dideritanya tidak parah. Bagi dukun, merahasiakan
penyakit pasien, apalagi yang dianggap memerlukan penanganan serius,
merupakan sebuah bentuk penghormatan.
15
BAB III
PEMBAHASAN
Konsep sakit sakit secara definisi proses dimana fungsi individu dalam
satu atau lebih dimensi yang ada mengalami perubahan atau penurunan bila
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya (Nasution, 2010).
Sehat menurut suku bugis adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak
mengalami suatu penyakit dan tidak memiliki keluhan dan mampu melakukan
kegiatan atau aktifitas sehari-hari tanpa adanya gangguan atau hambatan untuk
melakukan aktifitas
16
membawa air dan di jampi-jampi atau dibacakan mantra-mantra lalu airnya
diminumkan pada orang yang sedang sakit.
17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Guna penyempurnaan makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari dosen pembimbing beserta teman-teman kelompok lain.
Terimakasih.
18
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawaty, S. M. (2018). Penamaan Penyakit Pada Anak Oeh Etnis Bugis (Studi
Rapid Ethnography di Kabupaten Sidrap) . Departemen Promosi Kesehatan dan
Ilmu Perilaku FKM Universitas Hasanuddin .
Harjati, R. d. (2012). Konsep Sehat Sakit Terhadap Kesehatan Ibu dan Anak Pada
Masyarakat Suku Bajo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jurusan Promosi
Kesehatan, Pascasarjana Universitas Hasanuddin .
Jegede. (2002). The Yoruba Cultural Construction of Health and Illness. Nordic
Jpurnal of African Stusies.
Rahman, N. &. (2006). Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo
(Episode Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina; Perspektif Filologi dan
Semiotik). Makassar: Penerbit La Galigo Press.
Sunarti, S. (2005). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial
Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
19
Sunarti, S. (2005). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial
Budaya, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen RI. Jakarta.
20