PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat
dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai
kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi berbagai
masalah di dalam hidup, di antaranya sakit, manusia berusaha untuk mencari
obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, faktor
sosial budaya, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari
pengobatan. Akan tetapi, organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern
maupun tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku
mencari pengobatan (Rahmadewi, 2009).
Secara umum, Kalangie membagi sistem medis ke dalam dua golongan
besar, yaitu sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan sistem non medis (tradisional)
yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia (Rahmadewi, 2009).
Pengobatan kedokteran berbasis pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan
tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan
masyarakat, termasuk di antaranya pengobatan dukun, yang dalam mengobati
penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Pengobatan
maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan campur tangan
kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan batin.
Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-
bacaan, air putih yang diisi rapalan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-
tumbuhan (Agoes, 1996). Pada masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang
ahli mengobati penyakit secara tradisional dipanggil sanro, yang juga berarti
dukun (Rahman, 2006 dan Said, 1996).
1
Bruce Kapferer (Alhumami, 2010) mengatakan, kepercayaan
kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs yang
tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local beliefs,
keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tak bisa dinilai dari sudut
pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang
disebut rationality behind irrationality. Orang yang kemudian
mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas digolongkan ke
dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang melambangkan
keterbelakangan. Hal ini sejalan dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard
(Pals, 2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap kekuatan
supranatural itu tidak mengenal batasan sosial, seperti yang dia teliti pada
Suku Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran modern, termasuk
dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural.
Pengobatan dukun masih menjadi sesuatu yang integral dan sulit
terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat perkotaan, termasuk di
Kota Makassar. Pengobatan dukun telah membudaya dan ada yang
menjadikan sebagai sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga mereka.
Meminjam istilah Ward Goodenough (Kalangie, 1994, Al-Kumayi, 2011),
pengobatan dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang
terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada
dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sehat sakit ?
2. Bagaimana pengertian sehat sakit menurut suku bugis ?
3. Bagaimana penanganan pada penyakit menurut suku bugis ?
4. Apa saja meetode pengobatan penyakit menurut suku bugis ?
5. Bagaimana hasil wawancara pandangan sehat dan sakit menurut suku
bugis di tanah datar ?
2
C. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit
2. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit menurut suku bugis
3. Untuk mengetahui penanganan pada penyakit menurut suku bugis
4. Untuk mengetahui metode pengobatan penyakit menurut suku bugis
5. Untuk mengetahui hasil wawancara tentang pandangan sehat sakit
menurut suku bugis di tanah datar
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
3. Helath care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
5
B. Pengertian Sehat Sakit Menurut Suku Bugis
Penyakit pada anak menurut etnis Bugis disebabkan oleh kurangnya
asupan vitamin dan faktor cuaca. Penyebab ini berkaitan dengan penyebab
penyakit secara naturalistik, yakni penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain. Sedangkan
penyebab penyakit yang dianggap karena teguran dari makhluk halus
dianggap sebagai penyakit personalistik, yakni penyakit-penyakit yang
dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan
orang, hantu, makhluk halus dan lain-lain (Fatmawati & Suriah,2018).
secara umum diperoleh informasi bahwa pandangan orang Bugis
terhadap sehat sakit bervariasi,persepsi sehat -sakit dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : Sehat adalah kemampuan melakukan pekerjaan sehari –hari.
Sehat berati memiliki penampilan fisik yang baik. Seseorang sehat dilihat dari
fisiknya dan dari makan yang dikonsumsi dengan komposisi nasi, sayur
seperti kangkung,terong, nangka dan ikan. Jika makanan sehat maka
orangnyapun sehat. Sakit tidak memiliki penampilan fisik yang baik (Harjati,
Ridwan, dan Sudirman, 2012)
6
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks dari berbagai masalah
lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Saat ini
persepsi mengenai konsep sehat dan sakit dimasyarakat masih beraneka
ragam, hal ini dipengaruhi oleh banyak hal dan yang menjadi faktor utamanya
adalah adanya keanekaragaman budaya dan adat istiadat.
C. Penanganan Pada Penyakit Menurut Suku bugis
7
dilumat dan digosokkan pada bagian tubuh yang sakit. Ramuan tersebut
digunakan untuk penyembuhan jenis penyakit luar (S.Doyana Kusuma, 2017)
8
mereka. Kemampuan mengolah tumbuhan menjadi obat, juga harus
dilengkapi dengan persyaratan lain yakni kemampuan menghafal sejumlah
mantera yang diwarisi dari para pendahulunya, juga doa-doa yang dicuplik
dari Al Quran. Dengan demikian tidak heran apabila sanro-sanro tadi
sebagian besar dari mereka sudah bertitel haji dan hajah.
9
“dibuat” orang). Sementara itu latar belakang mengapa kepercayaan
terhadap alam gaib masih bertahan terus sampai kini, dijelaskan dengan
teori cara berfikir yang salah, koinsidensi, predileksi (kegemaran) secara
psikologis umat manusia untuk percaya kepada yang gaib-gaib, ritus
peralihan hidup, teori keadaan dapat hidup terus (survival), perasaan
ketidaktentuan akan tujuan-tujuan yang sangat didambakan, ketakutan
akan akan hal-hal yang tidak normal atau penuh resiko dan takut akan
kematian; serta pengaruh kepercayaan bahwa tenaga gaib dapat tetap hidup
berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan agama.
10
obat-obatan medis untuk menyembuhkan penyakitnya. Adapun pengobatan
tradisonal yang biasa digunakan masyarakat suku bugis antara lain sebagai
berikut :
11
d Sakit pinggang
1. Berkurangnya daya tahan tubuh akibat usia lanjut. Dalam hal ini
penederita sulit berdiri secara tegak seperti sediakala, sewaktu
yang bersangkutan masih cukup mata.
2. Peddi Alekkek dapat pula timbul karena terdapatnya gangguan
atau kelainan pada tulang pinggang
3. Penyakit jenis ini pun seringkali dapat timbul karena penderita
pernah mengalami keretakan tulang punggung/pinggang, antara
lain sebagai akibat memaksakan diri memikul beban berat
4. Penyakit dapat diketahui karena penderita memaksakan
pengerahan tenaga di luar batas kemampuan daya dukung
tubuhnya, terutama bagi warga masyarakat yang bermata
pencaharian di sector pertanian.
12
itu, dukun biasanya menggunakan juga berbagai mantera dan doa-
doa.
13
ada orang yang berpantangan meminumnya. Kalau ada orang sakit dan
tidak dapat makan, dia bisa langsung diberikan air putih. Hal ini berbeda
jika pasien diberikan obat (dokter) yang terlebih dulu mengharuskannya
untuk mengisi perut (makan) meskipun sedikit.
Doa-doa yang ditiupkan kepada pasien semuanya bersumber dari
ayat-ayat Al-Quran, seperti surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ikhlas, Al-
Falaq, An-Naas, dan surat-surat lainnya. Meniupkan doa-doa ke tubuh
pasien berfungsi untuk menetralkan titik-titik saraf yang sakit dan
mengurangi rasa sakit agar proses pengobatan berjalan cepat. Namun, inti
dari pengobatan itu sebenarnya adalah doa-doa yang ditiupkan ke air
putih, ramuan tumbuhtumbuhan, dan tubuh pasien. Air putih, tumbuh-
tumbuhan, dan tubuh pasien hanyalah sebuah wadah. Pada saat mengurut
pasien, kedua tangan dukun spontan melakukannya pada urat-urat tubuh
orang yang diobati. Tujuannya untuk melancarkan peredaran darah
sekaligus melonggarkan urat-urat pasien yang kaku atau tegang. Iqbal
percaya bahwa, sebagian besar penyakit itu terdapat pada aliran darah
yang tersumbat yang harus dilongggarkan. Makanya, pada saat mengurut
urat-urat itu, dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan jari-jarinya
sambil menekan pelan-pelan. Sementara ramuan tumbuh-tumbuhan
dipercaya sebagai obat untuk mengobati panyakit. Seluruh tumbuh-
tumbuhan yang ada di dunia ini adalah obat.
Pengobatan dukun dengan cara-cara tradisional tampaknya
disenangi oleh sebagian masyarakat. Apalagi, dalam mengobati orang
dukun banyak mengutip doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, komunikasi dengan dukun juga terkesan santai, informal, dan
bersifat kekeluargaan, dan hal inilah yang disenangi oleh sebagian orang.
Itulah sebabnya, ada juga yang menjadikan dukun sebagai “dokter”
keluarga.
Pengobatan dukun juga terkesan santai, sehingga membuat pasien
langsung cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun
juga sering mengajak pasiennya berbicara di luar dari pembicaraan
14
penyakit. Karena itu, pasien kadang tidak menyangka kalau dirinya sedang
sakit dan diobati karena dukun biasa menyelingi dengan tertawa kecil atau
tersenyum. Kalau pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu
menjawab,” Ndak apa-apa ji. Insya Allah lekas sembuh, ya!” Apabila
penyakit pasien dianggap belum sembuh pada hari itu, dukun datang lagi
ke rumah pasien keesokan hari atau beberapa hari kemudian untuk
mengontrol kondisi pasien sampai benar-benar sembuh. Komunikasi
dukun dengan pasien juga terkesan santai, informal, dan bersifat
kekeluargaan. Saat mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana
kekeluargaan. Terlebih, semua keluarga pasien boleh mendampingi atau
berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman. Selain itu, pasien
juga merasa senang karena dukun bersedia memenuhi panggilannya untuk
diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati pasien, dukun biasanya tidak
langsung pulang, melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai 10
menit untuk berbincang-bincang dengan pasien dan keluarga pasien. Pada
kesempatan ini, dukun kerap kali menghibur pasien dengan menyatakan
bahwa penyakit yang dideritanya tidak parah. Bagi dukun, merahasiakan
penyakit pasien, apalagi yang dianggap memerlukan penanganan serius,
merupakan sebuah bentuk penghormatan.
Dukun sama sekali tidak mematok tarif dalam mengobati orang.
Meskipun begitu, ada kebiasaan pasien untuk selalu memberikan uang
atau hadiah-hadiah lain (beras, sarung, pakaian, dan lain-lain) kepada
dukun sebagai bentuk tanda balas jasa karena dukun menyembuhkan
penyakitnya. Karena itu, pasien juga memahami kondisi ini dan mengerti,
sehingga pasien selalu memberikan uang kepada dukun setiap kali diobati,
minimal “untuk biaya transportasi dukun”. Menjelang Idul Fitri dan Idul
Adha, beberapa pasien sering memberikan zakat fitrah dan daging hewan
qurban kepada dukun. Terlebih, ada juga dukun yang memang tidak punya
pekerjaan lain selain hanya mengobati orang. Ada asumsi yang
berkembang di kalangan dukun bahwa, apabila mereka memasang atau
mematok tarif, maka khasiat ilmunya akan semakin menurun atau akan
15
hilang dengan sendirinya. Hal seperti inilah yang mereka hindari. Selain
itu, sebagian masyarakat juga percaya bahwa apabila ada seorang dukun
telah mematok tarif pengobatan dengan cara apapun, maka jangan lagi
mempercayai dukun bersangkutan.
E. Hasil wawancara pandangan tentang sehat dan sakit menurut suku
bugis di tanah datar
16
obat tetapi tidak sembuh juga selama lebih dua hari biasa pergi ke
sandro/dukun” (hj. Hasbiah, ibu rumah tangga).
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Guna penyempurnaan makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari dosen pembimbing beserta teman-teman kelompok lain.
Terimakasih.
18
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawaty, S. M. (2018). Penamaan Penyakit Pada Anak Oeh Etnis Bugis (Studi Rapid
Ethnography di Kabupaten Sidrap) . Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku FKM Universitas Hasanuddin.
Harjati, R. d. (2012). Konsep Sehat Sakit Terhadap Kesehatan Ibu dan Anak Pada
Masyarakat Suku Bajo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jurusan Promosi
Kesehatan, Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Sunarti, S. (2005). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya.
Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Rahmadewi, Ida. (2009). Pengobatan Tradisional Patah Tulang Guru Singa. (Skripsi).
Jakarta: Universitas Indonesia
Rahman, Nurhayati. (2006). Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode
Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina; Perspektif Filologi dan Semiotik). Makassar:
Penerbit La Galigo Press
Said, M., Basir. (1996). Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis
Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
19
Jegede, (2002). The Yoruba Cultural Construction of Health and Illness, Nordic Journal of
African Stusies.
Soejoeti, (2008). Konsep Sehat Sakit dan Penyakit dalam Kontek Sosial Budaya. ( online)
( http;//www. Yuniawan.blog unair.ac.id) diakses pada tanggal 10 Februari 2012
20