Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat
dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai
kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi berbagai
masalah di dalam hidup, di antaranya sakit, manusia berusaha untuk mencari
obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, faktor
sosial budaya, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari
pengobatan. Akan tetapi, organisasi sistem pelayanan kesehatan, baik modern
maupun tradisional, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku
mencari pengobatan (Rahmadewi, 2009).
Secara umum, Kalangie membagi sistem medis ke dalam dua golongan
besar, yaitu sistem medis ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan (terutama dalam dunia barat) dan sistem non medis (tradisional)
yang berasal dari aneka warna kebudayaan manusia (Rahmadewi, 2009).
Pengobatan kedokteran berbasis pembuktian ilmiah, sedangkan pengobatan
tradisional berdasarkan kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan
masyarakat, termasuk di antaranya pengobatan dukun, yang dalam mengobati
penyakit menggunakan tenaga gaib atau kekuatan supranatural. Pengobatan
maupun diagnosis yang dilakukan dukun selalu identik dengan campur tangan
kekuatan gaib ataupun yang memadukan antara kekuatan rasio dan batin.
Salah satu ciri pengobatan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-
bacaan, air putih yang diisi rapalan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-
tumbuhan (Agoes, 1996). Pada masyarakat Bugis dan Makassar, orang yang
ahli mengobati penyakit secara tradisional dipanggil sanro, yang juga berarti
dukun (Rahman, 2006 dan Said, 1996).

1
Bruce Kapferer (Alhumami, 2010) mengatakan, kepercayaan
kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local beliefs yang
tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local beliefs,
keduanya (dukun dan praktik perdukunan) tak bisa dinilai dari sudut
pandang rasionalitas ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang
disebut rationality behind irrationality. Orang yang kemudian
mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas digolongkan ke
dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang melambangkan
keterbelakangan. Hal ini sejalan dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard
(Pals, 2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap kekuatan
supranatural itu tidak mengenal batasan sosial, seperti yang dia teliti pada
Suku Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran modern, termasuk
dirinya sekalipun, percaya terhadap kekuatan supranatural.
Pengobatan dukun masih menjadi sesuatu yang integral dan sulit
terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat perkotaan, termasuk di
Kota Makassar. Pengobatan dukun telah membudaya dan ada yang
menjadikan sebagai sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga mereka.
Meminjam istilah Ward Goodenough (Kalangie, 1994, Al-Kumayi, 2011),
pengobatan dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang
terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada
dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sehat sakit ?
2. Bagaimana pengertian sehat sakit menurut suku bugis ?
3. Bagaimana penanganan pada penyakit menurut suku bugis ?
4. Apa saja meetode pengobatan penyakit menurut suku bugis ?
5. Bagaimana hasil wawancara pandangan sehat dan sakit menurut suku
bugis di tanah datar ?

2
C. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit
2. Untuk mengetahui pengertian sehat sakit menurut suku bugis
3. Untuk mengetahui penanganan pada penyakit menurut suku bugis
4. Untuk mengetahui metode pengobatan penyakit menurut suku bugis
5. Untuk mengetahui hasil wawancara tentang pandangan sehat sakit
menurut suku bugis di tanah datar

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sehat Sakit


Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan
kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisifatif, dengan melihat masalah
kesehatan yang di pengaruhi oleh banyak faktor nsecara dinamis dan lintas
sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan
pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan
bukan hanya penyembuhan orang yang sakit (White,1977).
Hidup sehat merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia walaupun
untuk mencapainya mereka telah menempuh berbagai cara berdasar pola pikir
mereka yang berwujud dalam konsep , teori dan aplikasi yang berbeda
(Jegede, 2002; Ngatimin,2005). Namun demikian dari penelusuran pola
perbuatan dan tindakan mereka secara umum dapat dibagi dua kelompok
utama yaitu kelompok pertama , kegiatannya berusaha kembali hidup sehat
disaat mereka sedang menderita sakit seraya mengandalkan obat dan
pengobatan dan kelompok kedua ,kegiatan kelompok berusaha untuk selalu
hidup sehat sambil mengandalkan upaya pencegahan ( Ngatimin,2005).
Konsep sehat (White,1977), mengatakan bahwa sehat adalah suatu
keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan
ataupun tidak terdapat tanda-tanda penyakit dan kelainan.
Adapun derajat kesehatan yang disebut sebagai psycho socio somatic
health well being, merupakan resultante dari 3 faktor, yaitu :
1. Behavior atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan
dengan ecological balance.
2. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.

4
3. Helath care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

Dari tiga faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan


faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya
derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan
pasien klien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial,
perbedaan suku bangsa dan budaya. ,maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditetukan secara klinis), bergantung variable-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan masyarakat.
Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan
kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan
baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya (Soejoeti,2008).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehat seseorang diantaranya
adalah status perkembangan yang berkaitan dengankemampuan mengerti
tentang keadaan sehat dan kemampuan berespon terhadap perubahan dalam
kesehatan dikaitkan dengan usia ( Hidayat, 2006; Notoatmojo,2010).
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistic dapat dijelaskan dari
segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan suatu keadaan
atau satu hal yang disebabkan leh gangguan terhadap sistem tubuh
manusia.pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani,
India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibirubim model)
seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin
dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama
ini tercakup dalam konsep tentang humors ayurveda dosha, yin dan yang.
Departemen Kesehatan RI telah mecanangkan kebijakan baru berdasarkan
paradigma sehat.

5
B. Pengertian Sehat Sakit Menurut Suku Bugis
Penyakit pada anak menurut etnis Bugis disebabkan oleh kurangnya
asupan vitamin dan faktor cuaca. Penyebab ini berkaitan dengan penyebab
penyakit secara naturalistik, yakni penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain. Sedangkan
penyebab penyakit yang dianggap karena teguran dari makhluk halus
dianggap sebagai penyakit personalistik, yakni penyakit-penyakit yang
dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan
orang, hantu, makhluk halus dan lain-lain (Fatmawati & Suriah,2018).
secara umum diperoleh informasi bahwa pandangan orang Bugis
terhadap sehat sakit bervariasi,persepsi sehat -sakit dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : Sehat adalah kemampuan melakukan pekerjaan sehari –hari.
Sehat berati memiliki penampilan fisik yang baik. Seseorang sehat dilihat dari
fisiknya dan dari makan yang dikonsumsi dengan komposisi nasi, sayur
seperti kangkung,terong, nangka dan ikan. Jika makanan sehat maka
orangnyapun sehat. Sakit tidak memiliki penampilan fisik yang baik (Harjati,
Ridwan, dan Sudirman, 2012)

Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan


universal karena ada faktor-faktor lain diluar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam
konteks pengertian yang lain. Masalalah sehat dan sakit merupakan proses
yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia
beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosial
budaya.

Sedangkan sehat menurut masyarakat adalah sebagai suatu


kemampuan fungsional dalam menjalankan peran-peran sosial dalam
kehidupan sehari-hari

6
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks dari berbagai masalah
lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Saat ini
persepsi mengenai konsep sehat dan sakit dimasyarakat masih beraneka
ragam, hal ini dipengaruhi oleh banyak hal dan yang menjadi faktor utamanya
adalah adanya keanekaragaman budaya dan adat istiadat.
C. Penanganan Pada Penyakit Menurut Suku bugis

Pengetahuan tentang tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai


obat diperoleh masyarakat melalui beberapa cara. Pertama, memperoleh
pengetahuan dengan membaca lontarak (pabbura) yakni naskah kuno yang
berisi pengetahuan tentang tanaman dan cara penggunaannya untuk
penyembuhan penyakit. Kedua, seperti keterangan beberapa pengobat
diperoleh karena turunan, atau warisan dari orang tua dan leluhurnya, dan
beberapa di antaranya karena keistimewaan yakni secara gaib. Pengertian
gaib ini tidak dapat dijelaskan secara ilmiah karena berkaitan dengan
sistem kepercayaan yang mereka miliki. Ketiga, berdasarkan pengalaman
yakni mendengar dari orang lain dan mencoba meramu obat sendiri, hal
ini dapat dilakukan karena umumnya tumbuhan yang digunakan dapat
dijumpai di sekitar lingkungan hidup mereka (Dinas Kesehatan Kota
Makassar, 2011).

Adapun pengobatan/ penyembuhan melalui pemanfaatan ramuan obat


yang berasal dari tanaman, pada umumnya dilakukan dengan cara digosokkan
ataupun dibuat parem. Ramuan tersebut terdiri atas bahan-bahan antara lain:
buah pala, kepingan batang kayu atakka (sejenis pohon kayu yang berukiran
besar dan tinggi dengan daun yang rimbun). Kayu tersebut dipandang
memiliki kekuatan magis dan sakral karena bertalian dengan proses kehadiran
manusia pertama ke bumi (dewa). Ramuan lain yang digunakan berasal dari
jenis rempahrempah antara lain, merica putih, bawang putih, intan hitam dan
putih, temu, daun jeringo, jeruk purut, tapak dara, kunyit, kencur dan
sebagainya. Semua bahan tadi biasanya dicampur menjadi satu kemudian

7
dilumat dan digosokkan pada bagian tubuh yang sakit. Ramuan tersebut
digunakan untuk penyembuhan jenis penyakit luar (S.Doyana Kusuma, 2017)

Para penyembuh tradisional ini rata-rata sudah bergelar haji/hajah,


hingga setiap tindakan penyembuhan yang dilakukannya selain menggunakan
ramuan dari berbagai tumbuhan, juga dilengkapi dengan mantera-mantera,
atau doa yang diambil dari ayat suci Al –Quran.

Masih banyak warga masyarakat yang memanfaatkan tanaman


sebagai bahan pengobatan untuk macam-macam penyakit, dalam arti sistem
pengobatan tradisional masih tetap digunakan oleh masyarakat
pendukungnya, sekalipun unsur pengobatan modern telah dikenal dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di lain pihak, penggunaan pengobatan tradisional tersebut bisa


menjadi alternatif pilihan, ketika obat- obatan modern tidak mampu
dijangkau oleh masyarakat kelas bawah/kalangan masyarakat yang kurang
mampu secara finansial.

Pada umumnya pengobat tradisional itu bukanlah seorang paramedis


yang berpendidikan formal di bidang kesehatan, melainkan seorang
anggota masyarakat biasa yang mempunyai keahlian dan kemampuan
dalam bidang pengobatan tradisional.mengetahui dengan dalam berbagai
jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk men gobati jenis-jenis
penyakit tertentu. Dengan demikian, dapat dipastikan seorang sanro(dukun
kampong) akan memiliki banyak koleksi tanaman yang berkhasiat obat.

Sanro adalah anggota masyarakat Bugis dan Makassar yang


mampu membaca tulisan lontarak. Oleh sebab itu pengetahuan yang
semula hanya ada dalam naskah kemudian digali dan diungkapkan lewat
keahlian para sanro menjadi sistem pengobatan tradisional. Jika kini
sistem pengobatan tradisional tersebut tetap bertahan dalam kehidupan
masyarakat Bugis-Makassar itu tidak lain karena tumbuhan yang menjadi
bahan dasar pembuatan obat tersedia di sekitar lingkungan hidup

8
mereka. Kemampuan mengolah tumbuhan menjadi obat, juga harus
dilengkapi dengan persyaratan lain yakni kemampuan menghafal sejumlah
mantera yang diwarisi dari para pendahulunya, juga doa-doa yang dicuplik
dari Al Quran. Dengan demikian tidak heran apabila sanro-sanro tadi
sebagian besar dari mereka sudah bertitel haji dan hajah.

Menurut Dyolana Kusumah 2017, masyarakat setempat


mengelompokkan sanro menjadi beberapa kategori seperti:

1. Sanro pekdektek tolo, atau pemotong ari-ari bayi.


2. Sanro pabbura-bura, ahli mengobati berbagai macam penyakit dengan
ramuan tanaman obat.
3. Sanro pajjappi, mengobati melalui pembacaan mantera-mantera.
4. Sanro tapolo, ahli pengobatan dan penyembuhan penyakit patah tulang,
melalui praktik urut dan pembacaan mantera.
5. Sanro pattirotiro, pengobat tradisional yang memusatkan diri pada usaha
pengobatan melalui ramalan/nujum.

Menurut konsep kebudayaan orang Bugis sanro tidak hanya dikenal


sebagai orang yang mampu memberikan bantuan kepada orang sakit yang
datang kepadanya melalui praktik pengobatan, akan tetapi sanro juga dikenal
sebagai orang yang mampu mengendalikan bahkan melakukan pemunahan
penyakit-penyakit tertentu. Dengan demikian sanro memiliki pengertian yang
lebih luas, artinya tidak sekedar pengobat tradisional. Warga masyarakat di
Makassar dan Barru, mengatakan bahwa sanro dapat disebut sebagai
penyembuh tradisional karena kemampuannya tidak terbatas pada
pengetahuan tentang ramuan herbal (tumbuh-tumbuhan) tetapi juga
kemampuan melakukan penyembuhan dengan sistem doa, dan mantera-
mantera.

Hal ini mengandung arti bahwa mereka dikenal sebagai penyembuh


bukan semata-mata penyakit lahir internal (tubuh manusia) tetapi juga yang
berkaitandengan penyakit batin (umumnya berasal dari luar/eksternal,

9
“dibuat” orang). Sementara itu latar belakang mengapa kepercayaan
terhadap alam gaib masih bertahan terus sampai kini, dijelaskan dengan
teori cara berfikir yang salah, koinsidensi, predileksi (kegemaran) secara
psikologis umat manusia untuk percaya kepada yang gaib-gaib, ritus
peralihan hidup, teori keadaan dapat hidup terus (survival), perasaan
ketidaktentuan akan tujuan-tujuan yang sangat didambakan, ketakutan
akan akan hal-hal yang tidak normal atau penuh resiko dan takut akan
kematian; serta pengaruh kepercayaan bahwa tenaga gaib dapat tetap hidup
berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan agama.

Selain itu, untuk mencegah penyakit pada anak adalah dengan


membacakan jampi-jampi dan memasangkan panini (bangle) pada pakaian
anak. Dalam kepercayaan masyarakat etnis Bugis dikenal istilah parakang,
merupakan manusia yang dapat berubah wujud menjadi apa saja, namun
perubahannya tidak pernah sempurna. Parakang dipercaya merupakan
jelmaan manusia yang dulunya menuntut ilmu hitam, tapi salah menerima.
Parakang menyukai darah dan rektum terutama bayi, ibu hamil, dan orang
sakit. Untuk melindungi anak dari gangguan parakang, masyarakat etnis
Bugis memasangkan panini (bangle) yang telah dibacakan jampi-jampi pada
pakaian anak dengan menggunakan peniti. Panini dalam bahasa Bugis
memiliki arti “menghindarkan”. Panini dipercaya dapat menghindarkan dari
gangguan makhlus halus (Fatmawati & Suriah,2018).

D. Metode Pengobatan Penyakit Menurut Suku Bugis

Hasil observasi yang didapatkan dilapangan bahwa sebagian


masyarakat Bugis yang masih awam, membiarkan penyakitnya dan masih
menganggap bahwa penyakitnya akan sembuh dengan beristirahat dirumah
saja, dan sebagian kecil melakukan penyembuhan atau pengobatan
penyakitnya menggunakan pengobatan tradisonal umumnya metode ini
digunakan oleh para orang tua atau masyarakat menengah kebawah.
Sedangkan pada masyarakat menegah keatas mereka sudah menggunakan

10
obat-obatan medis untuk menyembuhkan penyakitnya. Adapun pengobatan
tradisonal yang biasa digunakan masyarakat suku bugis antara lain sebagai
berikut :

1. Tumbuhan sebagai bahan obat


Salah satu kebiasaan masyarakat Bugis dilokasi pengamatan yang masih
ada sampai sekarang ini yaitu pemanfataan tumbuh-tumbuhan sebagai
media pengobatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit diantaranya:
a Diare
Saat seseorang menderita diare yang dalam bahasa bugisnya
disebut joli-joli salah satu obat yang diberikan oleh orang tua adalah
colli jampu (pucuk daun jambu) yang dikunyah dan ditelan airnya
kemudian di ampasnya dioleskan diperut. Dapat juga dimakan secara
langsung daun yang masih muda, atau bahkan dapat meraciknya
menjadi sebuah ramuan. Caranya, siapkan beberapa lembar dengan
jumlah ganjil daun jambu biji. Kemudian tumbuk dan beri1 cangkir
air matang. Peras, minum airnya. Dan diminum dua kali sehari hingga
sembuh.
b Demam
Masyarakat bugis mengatakan seseorang demam atau dikenal
dengan istilah massemeng jika terjadi peningkatan suhu tubuh yang
cukup drastis dan disertai rasa lemas oleh tubuh. Untuk mengatasi
penyakit ini biasanya menggunakan daun cocor bebel yang ditumbuk
dan kemudian diaplikasikan didahi penderita.
c Kolestrol
Untuk penyakit kolestrol biasa dilakukan pengobatan herbal
dengan menggunakan ramuan daun sirsak yang direbus dengan
perbandingan 7 lembar daun sirsak muda dan direbus dengan 3 gelas
air hingga mendidih. Pada umumnya ramuan ini akan dikonsumsi jika
masyarakat bugis merasa kesemutan dan timbulnya rasa nyeri pada
bagian kaki.

11
d Sakit pinggang

Penyebab penyakit menurut pengetahuan budaya orang bugis


di daerah Sulawesi selatan antara lain terdiri atas beberapa hal sebagai
berikut :

1. Berkurangnya daya tahan tubuh akibat usia lanjut. Dalam hal ini
penederita sulit berdiri secara tegak seperti sediakala, sewaktu
yang bersangkutan masih cukup mata.
2. Peddi Alekkek dapat pula timbul karena terdapatnya gangguan
atau kelainan pada tulang pinggang
3. Penyakit jenis ini pun seringkali dapat timbul karena penderita
pernah mengalami keretakan tulang punggung/pinggang, antara
lain sebagai akibat memaksakan diri memikul beban berat
4. Penyakit dapat diketahui karena penderita memaksakan
pengerahan tenaga di luar batas kemampuan daya dukung
tubuhnya, terutama bagi warga masyarakat yang bermata
pencaharian di sector pertanian.

Pengobat yang dimulai pertolongan umumnya memusatkan


perhatian pada pengobat tradisional yang disebut Torantapi (Orang
Berpengalaman) atau sanro majetta.

Dalam upaya penyembuhan penyakit peddi alekkek


masyarakat Bugis di daerah Sulawesi Selatan sekarang masih banyak
yang menggunakan cara tradisional, yaitu melalui cara pemijatan dan
ramuan tradisional.

Cara Mengobati Sakit Pinggang yaitu dengan alat/ramuan


obat yang digunakan adalah ramuan yang terbuat dari bahan: bawang
merah, jahe dan kunyit diberi minyak, lalu digosokkan pada
bagianpunggung si penderita. Penderita dapat pula diurut. Selain cara

12
itu, dukun biasanya menggunakan juga berbagai mantera dan doa-
doa.

2. Dengan bantuan dukun (Sandro)


Dukun atau dikenal dengan sebutan sandro bagi masyarakat
dipercaya dapat mengobati beberapa penyakit diantaranya patah tulang
yang diobati dengan cara diurut atau dikenal dengan istilah disaula bagi
masyarakat setempat. Selain itu,sandro juga biasa mengobati beberapa
penyakit dalam dengan menggunakan air yang didoakan biasanya sandro
atau dukun didaerah ini merupakan seseorang haji yang biasanya
mendoakan air bacaan Al-Qur’an.
Pada saat akan dan sedang mengobati, dukun mendengar “suara-
suara” di dalam hatinya yang dianggap sebagai kekuatan supranatural.
Suara-suara inilah yang kemudian memberi petunjuk mengenai apa yang
harus dukun lakukan untuk pasien. Suara yang dukun yakini berasal dari
dalam hati itu berupa petunjuk mengenai penyakit yang diderita pasien,
doa-doa yang dibacakan, serta ramuan tumbuh-tumbuhan (kalau ada).
Namun, setiap kali mengobati, dukun tidak menggunakan semua media
tersebut. Kadang hanya air putih yang dijampe-jampe, dan kadang pula
hanya doa-doa yang ditiupkan ke bagian tubuh yang sakit. Terkadang juga
langsung menggabungkan semuanya (air putih yang dijampe-jampe,
meniupniup di bagian tertentu tubuh pasien, mengurut urat-urat untuk
melongggarkan peredaran darah, dan membuat ramuan dari tumbuh-
tumbuhan).
Air putih yang telah diisi doa-doa (jampe-jampe), selain untuk
diminumkan kepada pasien, juga kadang diusap-usapkan ke bagian tubuh
yang sakit. Air yang diminumkan berfungsi untuk menetralkan bagian
tubuh pasien, sedangkan air putih yang diusap-usapkan ke tubuh yang
sakit berfungsi untuk melemaskan urat-urat. Menurut dukun, air putih
sejak zaman nenek moyang sudah dipercaya bermanfaat untuk tubuh dan
dapat dijadikan obat. Air putih juga tidak punya efek samping dan tidak

13
ada orang yang berpantangan meminumnya. Kalau ada orang sakit dan
tidak dapat makan, dia bisa langsung diberikan air putih. Hal ini berbeda
jika pasien diberikan obat (dokter) yang terlebih dulu mengharuskannya
untuk mengisi perut (makan) meskipun sedikit.
Doa-doa yang ditiupkan kepada pasien semuanya bersumber dari
ayat-ayat Al-Quran, seperti surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Ikhlas, Al-
Falaq, An-Naas, dan surat-surat lainnya. Meniupkan doa-doa ke tubuh
pasien berfungsi untuk menetralkan titik-titik saraf yang sakit dan
mengurangi rasa sakit agar proses pengobatan berjalan cepat. Namun, inti
dari pengobatan itu sebenarnya adalah doa-doa yang ditiupkan ke air
putih, ramuan tumbuhtumbuhan, dan tubuh pasien. Air putih, tumbuh-
tumbuhan, dan tubuh pasien hanyalah sebuah wadah. Pada saat mengurut
pasien, kedua tangan dukun spontan melakukannya pada urat-urat tubuh
orang yang diobati. Tujuannya untuk melancarkan peredaran darah
sekaligus melonggarkan urat-urat pasien yang kaku atau tegang. Iqbal
percaya bahwa, sebagian besar penyakit itu terdapat pada aliran darah
yang tersumbat yang harus dilongggarkan. Makanya, pada saat mengurut
urat-urat itu, dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan jari-jarinya
sambil menekan pelan-pelan. Sementara ramuan tumbuh-tumbuhan
dipercaya sebagai obat untuk mengobati panyakit. Seluruh tumbuh-
tumbuhan yang ada di dunia ini adalah obat.
Pengobatan dukun dengan cara-cara tradisional tampaknya
disenangi oleh sebagian masyarakat. Apalagi, dalam mengobati orang
dukun banyak mengutip doa-doa yang bersumber dari ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, komunikasi dengan dukun juga terkesan santai, informal, dan
bersifat kekeluargaan, dan hal inilah yang disenangi oleh sebagian orang.
Itulah sebabnya, ada juga yang menjadikan dukun sebagai “dokter”
keluarga.
Pengobatan dukun juga terkesan santai, sehingga membuat pasien
langsung cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu dan diobati. Dukun
juga sering mengajak pasiennya berbicara di luar dari pembicaraan

14
penyakit. Karena itu, pasien kadang tidak menyangka kalau dirinya sedang
sakit dan diobati karena dukun biasa menyelingi dengan tertawa kecil atau
tersenyum. Kalau pasien bertanya tentang penyakitnya, dukun selalu
menjawab,” Ndak apa-apa ji. Insya Allah lekas sembuh, ya!” Apabila
penyakit pasien dianggap belum sembuh pada hari itu, dukun datang lagi
ke rumah pasien keesokan hari atau beberapa hari kemudian untuk
mengontrol kondisi pasien sampai benar-benar sembuh. Komunikasi
dukun dengan pasien juga terkesan santai, informal, dan bersifat
kekeluargaan. Saat mengobati pasien, yang terlihat adalah suasana
kekeluargaan. Terlebih, semua keluarga pasien boleh mendampingi atau
berada di dekat pasien, sehingga pasien merasa nyaman. Selain itu, pasien
juga merasa senang karena dukun bersedia memenuhi panggilannya untuk
diobati di rumah sendiri. Setelah mengobati pasien, dukun biasanya tidak
langsung pulang, melainkan menyempatkan waktu sekitar 5 sampai 10
menit untuk berbincang-bincang dengan pasien dan keluarga pasien. Pada
kesempatan ini, dukun kerap kali menghibur pasien dengan menyatakan
bahwa penyakit yang dideritanya tidak parah. Bagi dukun, merahasiakan
penyakit pasien, apalagi yang dianggap memerlukan penanganan serius,
merupakan sebuah bentuk penghormatan.
Dukun sama sekali tidak mematok tarif dalam mengobati orang.
Meskipun begitu, ada kebiasaan pasien untuk selalu memberikan uang
atau hadiah-hadiah lain (beras, sarung, pakaian, dan lain-lain) kepada
dukun sebagai bentuk tanda balas jasa karena dukun menyembuhkan
penyakitnya. Karena itu, pasien juga memahami kondisi ini dan mengerti,
sehingga pasien selalu memberikan uang kepada dukun setiap kali diobati,
minimal “untuk biaya transportasi dukun”. Menjelang Idul Fitri dan Idul
Adha, beberapa pasien sering memberikan zakat fitrah dan daging hewan
qurban kepada dukun. Terlebih, ada juga dukun yang memang tidak punya
pekerjaan lain selain hanya mengobati orang. Ada asumsi yang
berkembang di kalangan dukun bahwa, apabila mereka memasang atau
mematok tarif, maka khasiat ilmunya akan semakin menurun atau akan

15
hilang dengan sendirinya. Hal seperti inilah yang mereka hindari. Selain
itu, sebagian masyarakat juga percaya bahwa apabila ada seorang dukun
telah mematok tarif pengobatan dengan cara apapun, maka jangan lagi
mempercayai dukun bersangkutan.
E. Hasil wawancara pandangan tentang sehat dan sakit menurut suku
bugis di tanah datar

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan seorang ibu


rumah tangga, dan dua orang nenek yang disebut sehat adalah keadaan fungsi
organ berjalan sesuai fungsinya dan tidak adanya gangguan mental ”keadaan
dimana seseorang dapat melakukan semua aktivitas sehari-hari dengan
mandiri tanpa bantuan orang lain” ( hj. Hasbiah, ibu rumah tangga).

Selanjutnya informasi mengenai pandangan sehat menurut seorang


nenek adalah keadaan tubuh dimana tubuh masih dapat melakukan aktivitas
keseharian tanpa adanya keluhan sakit dan mudah lelah “ye,ko mekkanja ale ,
idi nulle jokka ko derre sibawa de matekko” (hj. Lijah, masyarakat suku
bugis)

Dan yang terakhir informasi mengenai pandangan sehat menurut


seorang nenek adalah keadaan tubuh dimana tubuh dapat mengerjakan
kegiatan sehari-hari yang biasa di lakukan ”sehat itu ya saat kita bisa
melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa, seperti mannasu andre,
mabbisa wejaju” (hj. I nomming, masyarakat suku bugis)

Adapun pendapat masyarakat suku bugis di tanah datar mengenai


keadaan sakit antara lain yaitu keadaan tubuh seseorang yang lemah dan
sulit melakukan aktivitas diakibatkan kondisi tubuh yang tidak berjalan
normal dan biasa dibantu dengan mengkonsumsi obat untuk
mengembalikan kondisi tubuhnya. Seperti hasil wawancara berikut “sakit
itu ya ujian dari allah yang sudah diberikan kepada saya yang harus di
lewati dan dengan cara mengkonsumsi obat, ketika telah mengkonsumsi

16
obat tetapi tidak sembuh juga selama lebih dua hari biasa pergi ke
sandro/dukun” (hj. Hasbiah, ibu rumah tangga).

Selanjutnya informasi mengenai pandangan sakit menurut seorang


nenek ,sakit dapat digolongkan dua kategori yaitu sakit ringan dan sakit
berat yang dalam bahasa bugis di istilahkan dengan meladde lasanna yang
berarti parah penyakitnya. Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil
wawancara diantaranya “ko melasa ki tabbagi mencaji dua, engka melasa
maringeng sibawa meladde lasanna, ko melasa maringeng nulle mopi ki
jokka, ko melasa meladde de nulle ki jokka sibawa nettewi ki rumah sakit”
(hj. Lijah , masyarakat suku bugis).

Dan yang terakhir informasi mengenai pandangan sakit menurut


seorang nenek adalah keadaan tubuh dimana kita tidak bisa melakukan
kegiatan aktivitas seperti biasa, dan harus dibantu oleh keluarga ”ko
melasa ki de nulle majjama sippada wattu ta mallessi, sibawa nebantu ki
ana ta” (hj. I nomming, masyarakat suku bugis).

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan


universal karena ada faktor-faktor lain diluar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam
konteks pengertian yang lain. Masalalah sehat dan sakit merupakan proses
yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia
beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosial
budaya.

Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks dari berbagai


masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia,
sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Saat
ini persepsi mengenai konsep sehat dan sakit dimasyarakat masih beraneka
ragam, hal ini dipengaruhi oleh banyak hal dan yang menjadi faktor utamanya
adalah adanya keanekaragaman budaya dan adat istiadat.

B. Saran
Guna penyempurnaan makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari dosen pembimbing beserta teman-teman kelompok lain.
Terimakasih.

18
DAFTAR PUSTAKA

Fatmawaty, S. M. (2018). Penamaan Penyakit Pada Anak Oeh Etnis Bugis (Studi Rapid
Ethnography di Kabupaten Sidrap) . Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku FKM Universitas Hasanuddin.

Harjati, R. d. (2012). Konsep Sehat Sakit Terhadap Kesehatan Ibu dan Anak Pada
Masyarakat Suku Bajo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jurusan Promosi
Kesehatan, Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Kusumah, S. (2017). Pengobatan Tradisiona Orang Bugis-Makassar. Pusat Penelitian


Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , 245-260.

Muhammad Irfan Syuhudi, M. S. (2012). Etnografi Dukun : Studi Antropoogi Tentang


Praktik Pengobatan Dukun Di Kota Makassar. Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Makassar .

Sunarti, S. (2005). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya.
Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Tambaru, E. (2017). Keragaman Jenis Tumbuhan Obat Indigenous Di Sulawesi Selatan .


Imu Alam dan ingkungan, 7-13.

Rahmadewi, Ida. (2009). Pengobatan Tradisional Patah Tulang Guru Singa. (Skripsi).
Jakarta: Universitas Indonesia

Agoes, Azwar. (1996). Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I, Pengobatan Tradisional.


Jakarta: Buku Kedokteran B.G.C.

Rahman, Nurhayati. (2006). Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode
Pelayanan Sawerigading ke Tanah Cina; Perspektif Filologi dan Semiotik). Makassar:
Penerbit La Galigo Press

Said, M., Basir. (1996). Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis
Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.

19
Jegede, (2002). The Yoruba Cultural Construction of Health and Illness, Nordic Journal of
African Stusies.

Ngatimin, (2005). Disability Oriented Approach ( DOA), Yayasan PK – 3: Makassar.

Soejoeti, (2008). Konsep Sehat Sakit dan Penyakit dalam Kontek Sosial Budaya. ( online)
( http;//www. Yuniawan.blog unair.ac.id) diakses pada tanggal 10 Februari 2012

Hidayat, A. (2006). Konsep Dasar keperawatan,Jakarta : Salemba Medika

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

20

Anda mungkin juga menyukai