Anda di halaman 1dari 58

Konsep Sehat-Sakit Dalam Perspektif

Budaya
26 April, 2014

Muhsin Hariyanto

Konsep Sehat-Sakit Dalam Perspektif Budaya


A. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan sebagai salahsatu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan,dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk
agar dapat mewujudkanderajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan yang demikian yang
menjadidambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit merupakanhal
yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari.Konsep sehat
dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karenaada faktor-faktor lain di luar
kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutamafaktor sosial budaya. Kedua pengertian
saling mempengaruhi dan pengertian yangsatu hanya dapat dipahami dalam konteks
pengertian yang lain.

B.

Pembahasan

Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi,kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu
pengetahuan telah mencoba memberikanpengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau
dari masing-masing disiplinilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan
dengan kemampuanatau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik
secara biologis,psikologis maupun sosial budaya.

Konsep Sehat dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkankomunitas.


Keanekaragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan
perbedaanpemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehatdilihat
berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan olehLinda Ewles & Ina
Simmet (1992) adalah sebagai berikut:

Konsep sehat dilihat dari segi jasmani, yaitu dimensisehat yang paling nyata karena
perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh

Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuanberpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosionaldan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat diantara ketiganya

Konsep sehat dilihat dari segi emosional, yaitukemampuan untuk mengenal emosi,
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dankemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara cepat

Konsep sehat dilihat dari segi sosial, berartikemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain

Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual, yaituberkaitan dengan kepercayaan dan
praktik keagamaan, berkaitan dengan perbuatanbaik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaiandan merasa damai dalam kesendirian

Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaituberkaitan dengan kesehatan pada tingkat
individual yang terjadi karenakondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya
yang melingkupi individutersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam
masyarakat yang sakit yangtidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dasar danemosional. (Djekky, 2001: 8)

Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalamdengan pendekatan etik yang
dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO)maka itu berart bahwa: Sehat itu adalah
a state of complete physical,mental, and social well being, and not merely the absence of
disease orinfirmity (WHO, 1981: 38). Dalam dimensi ini jelas terlihat bahwasehat itu tidak
hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mentaldan sosial seseorang.
Rumusan yang relativistik mengenai konsep ini dihubungkandengan kenyataan akan adanya
pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatanadalah sebagai kemampuan fungsional
dalam menjalankan peranan-peranan sosialdalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970: 12)
dalam Kalangie (1994: 38).

Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan pendekatan secaraemik
bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan mereka, adapandangan yang
berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karenaadanya pengetahuan yang
berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyataakan terlihat bahwa seseorang secara
etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masihdapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti
orang tersebut dapatmenyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang
berdasarkankebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada
kenyataanpendapat di bawah ini sebagai berikut:

Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukankondisi kesehatannya baik (sehat)


bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatukelainan fisik maupun psikis. Walaupun ia
menyadari akan adanya kelainan tetapitidak terlalu menimbulkan perasaan sakit, atau tidak
dipersepsikan sebagaikelainan yang memerlukan perhatian medis secara khusus, atau
kelainan ini tidakdianggap sebagai suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah
bahwa iatetap dapat menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa.

Standard apa yang dapat dianggap sehat jugabervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehatpada hari ketika Broncitis Kronik berkurang
sehingga ia dapat berbelanja dipasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara subjektif,
sesuai dengannorma dan harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan mengapa upaya
untukmengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang tentang sehat danmerasa
sehat adalah sangat bervariasi. Gagasan-gagasan itu dibentuk olehpengalaman, pengetahuan,
nilai, norma dan harapan-harapan. (Kalangie, 1994:39-40)

Sakit dapat diinterpretasikan secara berbedaberdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan dapat
dilihat berdasarkan pengetahuansecara budaya dari masing-masing penyandang
kebudayaannya. Hal ini berartidapat dilihat berdasarkan pemahaman secara etik dan
emik. Secara konseptualdapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara etik yang dikutip
dari Djekky(2002: 15) sebagai berikut:

Secara ilmiah penyakit (disease) diartikansebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat terjadiinfeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat objektif.Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalamanmenderita suatu penyakit (Sarwono, 1993: 31). Fenomena subjektif ini
ditandaidengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypochondriacal,ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut
terkenapenyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka
akanlangsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata.
Keluhanpsikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju daripadakalangan
masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandangseseorang sebagai
sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairahkerjanya, tidak dapat lagi
menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal ataukehilangan kekuatannya sehingga harus
tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).Sedangkan secara emik sakit dapat dilihat
berdasarkan pemahaman konsepkebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya
sebagaimana dikemukakan di bawahini:

Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) padamasyarakat


tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenaietno-medicine, bahwa
konsep penyakit masyarakat non-Barat, dibagi atasdua kategori umum yaitu:

Personalistik, munculnya penyakit (illness)disebabkan oleh intervensi dari suatu agen


yang aktif, yang dapat berupa mahluksupranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk
yang bukan manusia (hantu, rohleluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia
(tukang sihir, tukang tenung).

Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskandengan istilah-istilah yang sistematik dan


bukan pribadi. Naturalistik mengakuiadanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi
karena unsur-unsur yang tetapdalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada
dalam keadaan seimbangmenurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah
dan lingkungansosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah
penyakit (1986:63-70)

Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptifpersepsi masyarakat beberapa daerah di


Indonesia mengenai sakit dan penyakit;masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan
individu mengalami serangkaiangangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak
yang sakit ditandai dengantingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang
dewasadianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, ataukantong
kering (tidak memunyai uang). Selanjutnya masyarakatmenggolongkan penyebab sakit ke
dalam 3 (tiga) bagian yaitu :

1.

Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadaptubuh manusia

2.

Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panasdan dingin.

3.

Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golonganpertama dan ke dua, dapat digunakan
obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok,pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan.
Untuk penyebab sakit yang ketiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain.
Dengan demikian upayapenanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap
penyebab sakit.

Daftar Pustaka

Development ofIndicator for Monitoring Progress Towards Health for All by The Year 2000,
Geneva: WHO.
Djoht,Djekky R. (2002), Etnografi Papua: KebudayaanDan Kesehatan Perspektif
Antropologi, ModulKuliah Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih, Jayapura:
Jurusan Antropologi,Universitas Cenderawasih, [2002]

Foster, Anderson (1986). AntropologiKesehatan. Jakarta: Grafiti


Kalangie. Keesing, RogerM. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Jilid 1, 2.Jakarta: Erlangga.
Muzaham, Fauzi.(1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Nico S. (1994).Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Primermelalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp.
Sarwono, S. (1993). SosiologiKesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta:
Gajah MadaPress.
Sudarti, dkk.(1985). Persepsi Masyarakat Tentang Sehat-Sakit dan Posyandu. Depok:Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.
World Health Organization (WHO). (1981).
(Dikutip dan diselaraskan darihttp://susipurwati.blogspot.com/2010/10/konsep-sehat-sakitmenurut-budaya.html)
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/konsep-sehat-sakit-dalam-perspektif-budaya/

Makalah Pengaruh Sosial Budaya Masyarakat Terhadap


Kesehatan
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanau Wataala yang telah
melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Judul makalah ilmiah ini yang penulis ambil adalah Pengaruh
Sosial Budaya Masyarakat Terhadap Kesehatan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu metode pembelajaran
bagi Mahasiswa/i (Universitas Negeri Riau) dalam memenuhi tugas (Mata Kuliah Ilmu
Alamiah Dasar Semester II). Ucapan terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas karya tulis ilmiah
ini, diantaranya :
1. Muh. Amiruddien Saliem. selaku dosen pengampu.
2. Teman teman yang telah membantu dan bekerjasama sehingga tersusun

makalah ini.

Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam pembuatan karya tulis
ilmiah ini yang namanya penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari atas kekurangan kemampuan penulis dalam pembuatan karya tulis ilmiah
ini, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi penulis apabila mendapatkan kritikan
dan saran yang membangun agar karya tulis ilmiah ini sehingga selanjutnya akan lebih baik
dan sempurna serta komprehensif.
Demikian akhir kata dari penulis, semoga makalah ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak
dan sebagai media pembelajaran budaya khususnya dalam segi teoritis sehingga dapat
membuka wawasan ilmu budaya serta akan menghasilkan yang lebih baik di masa yang akan
datang.
Riau, 10 April 2013

Penulis
SITI ROHMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang banyak membawa
perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun tatanan
sosial termasuk dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang
berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang
bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat
merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu
perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan dampak
positif maupun negatif.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya, sebagai salah satu
contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara pengobatan
tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan
dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya.

Karena

itulah

penting

bagi

tenaga

kesehatan

untuk

tidak

hanya

mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya
suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya
dengan kesehatan.

B.
1.
2.
3.
4.
5.
C.
1.
2.
3.
4.
5.

Rumusan Masalah
Apa pengertian kesehatan?
Bagaimana hubungan kebudayaan dan pengobatan tradisional?
Bagaimana konsep sehat dan sakit menurut budaya masyarakat?
Apa faktor pendorong dan penghambat?
Bagaimana solusi peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan?
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui pengertian kesehatan.
Untuk mengetahui Bagaimana hubungan kebudayaan dan pengobatan tradisional.
Untuk mengetahui Bagaimana konsep sehat dan sakit menurut budaya masyarakat.
Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat.
Untuk mengetahui Bagaimana Solusi Peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan
kesehatan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan
adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara
kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang
mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para koleganya yang
menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang
untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data
terakhir menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu
mendapat jaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan
kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek. Golongan masyarakat yang dianggap
'teranaktirikan' dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil
dan pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung
dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi
juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri
dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakanbagian
integral kesehatan.
B. Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota
masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa
penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat
mematikan kuman penyebab penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu
disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan
sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan
sakit.
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang
yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Masing-masing
suku di Indonesia memiliki dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena

guna-guna tersebut. Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu
pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk
menyembuhkan anggota sukunya yang sakit.
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika anggota sukunya jari
kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui jalan biasa dan dia terkena penyakit
tuberkulosis maka dia dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan
tukang sihirdan korban tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti.
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat disebabkan oleh
dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang terkena dapat mencari pertolongan ke
dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shaman
akan mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien.1[1]
C. Konsep Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor
faktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya.
Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami
dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu
pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau
dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan
dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik
secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis),
atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu.
Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak
terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit.2[2]
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai
masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social budaya,
perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang

1[1]Uciha Itachi , Pengaruh Nilai Sosial Budaya Terhadap Keshatan, 2012


http://macrofag.blogspot.com/ di akses tanggal 04 April 2013 Jam 03.38.

2[2]Robertha Natalia Gracia, Hubungan Aspek Sosial Terhadap Pembangunan Kesehatan, 2010
http://roberthanatalia.blogspot.com/ di akses tanggal 04 April 2013 Jam 03.38.

disebut sebagai psycho socio somatic health well being , merupakan resultante dari 4 faktor
yaitu:
1.
2.

Environment atau lingkungan.


Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological

3.

balance.
Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan

4.

sebagainya.
Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling
besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor -faktor
seperti kelas social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama
(yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian profesional yang
beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan
kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari
berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek. WHO mendefinisikan pengertian
sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan social
seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya?
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin biobudaya yang
memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia,
terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini
karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan
peran normalnya secara wajar.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern,
mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti
panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan
lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja.3[3]
3[3] Supardi, S., Feby Nurhadiyanto Arief, Sabarijah WittoEng. 2003. Penggunaan Obat Tradisional
Buatan Pabrik dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia. Jurnal bahan alam Indonesia, Volume 2
Nomor4, halaman 136-141.

Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan
sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi
berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di
beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah
sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal
terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa
gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya.
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain
akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah.
Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian
memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh
tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana
dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib,
roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian
penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air
di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.
D. Faktor Pendorong Dan Penghambat
a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengobatan dalam Masyarakat
Perilaku yang dinyatakan di atas adalah berkaitan dengan upaya atau tindakan individu ketika
sedang sakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini bisa melalui dengan cara mengobati
sendiri sehingga mencari pengobatan ke luar negeri.
Menurut Blum(1974) yang dipetik dari Notoadmodjo(2007), faktor lingkungan merupakan
faktor utama yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat manakala
faktor perilaku pula merupakan faktor yang kedua terbesar. Disebabkan oleh teori ini, maka
kebanyakan intervensi yang dilakukan untuk membina dan meningkatkan lagi kesehatan
masyarakat melibatkan kedua faktor ini. Menurut Notoadmodjo juga mengatakan mengikut
teori Green(1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:

1. Faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianuti masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat contohnya fasilitas pelayanan kesehatan.
3.

Faktor penguat pula mencakup pengaruh sikap dan perilaku tokoh yang dipandang tinggi
oleh masyarakat contohnya tokoh masyarakat dan tokoh agama, sikap dan perilaku para
petugas yang sering berinteraksi dengan masyarakat termasuk petugas kesehatan. Selain itu,
faktor undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan juga termasuk
dalam faktor ini.4[4]
Aspek sosial (mitos) yang berkembang di masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan anak :

1. Dukun sebagai penyembuh


Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang-kejang
disebabkan karena kemasukan roh halus, dan dipercaya hanya dukun yang dapat
menyembuhkannya.
2. Timbulnya penyakit sebagai pertanda
Contoh Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda bahwa bayi tersebut
akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa untuk berjalan.
3. Kesehatan anak juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial.
Dimana hingga kini masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan masih menjalankan
kepercayaan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena kebiasaan yang telah turun temurun
terjadi .
Tetapi ada baiknya jika masyarakat juga mempertimbangkan dengan pemahaman menurut
para medis karena para medis lebih memahami tentang mana yang baik dalam tumbuh
kembang kesehatan anak.
b. Faktor Penghambat Pengobatan Dalam Masyarakat
Belum...............................................

4[4] Supardi, S., Mulyono Notosiswoyo, Nani Sukasediati, Winarsih, Sarjaini Jamal, M.J Herman.
1997. Laporan Penelitian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Obat dan Obat Tradisional
Dalam Pengobatan Sendiri di Pedesaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi
Badan Litbangkes, 52 hlm.

E. Solusi Peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan.


Kebijakan peningkatan peran pengobatan tradisional dalam system pelayanan kesehatan,
yaitu :
1.

Pengobatan tradisional perlu dikembangkan dalam rangka peningkatan peran serta


masyarakat dalam pelayanan kesehatan primer.

2. Pengobatan tradisional perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai warisan budaya bangsa,
namun perlu membatasi praktek-praktek yang membahayakan kesehatan.
3.

Dalam rangka peningkatan peran pengobatan tradisional, perlu dilakukan penelitian,


pengujian dan pengembangan obat-obatan dan car-cara pengobatan tradisional.

4.

Pengobatan tradisional sebagai upaya kesehatan nonformal tidak memerlukan izin, namun
perlu pendataan untuk kemungkinan pembinaan dan pengawasannya. Masalah pendaftaran
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

5.

Pengobatan tradisional yang berlandaskan pada cara-cara organobiologik, setelah diteliti,


diuji dan diseleksi dapat diusahakan untuk menjadi bagian program pelayanan kesehatan
primer. Contoh : dukun bayi, tukang gigi, dukun patah tulang. Sedangkan cara-cara
psikologik dan supranatural perlu diteliti lebih lanjut, sebelum dapat dimanfaatkan dalam
program.

6.

Pengobatan tradisional tertentu yang mempunyai keahlian khusus dan menjadi tokoh
masyarakat dapat dilibatkan dalam upaya kesehatan masyarakat, khususnya sebagai
komunikator antara pemerintah dan masyarakat.5[5]

5[5] Sugeng, Dwi. Pengobatan Alternatif. Yogyakarta: PT. Media Abadi. (2007). Hal 27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menyimpulkan pandangan-pandangan mengenai pengobatan tradisional, saya yakin
bahwa jika di nilai dari banyak fungsi yang di harapkan dapat memenuhi oleh pengobatan
dan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada penelitian medis yang sistematik dalam
masyarakat-masyarakat tersebut, maka system-sistem medis tradisional, yang di lihat sebagai
sarana adaptif, telah berhasil dengan baik. Mereka telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu,
telah memberikan harapan dan penyembuhan kepada yang sakit, mereka menangani juga
penyakit-penyakit sosial, dan mereka telah memberikan sumbangan terhadap penambahan
populasi dunia secara lambat.
Saya juga percaya bahwa beda dengan pengobatan ilmiah ,baik dari aspek-aspek preventif
dan , klinisnya, serta semua kekurangan dalm perawatan kesehatannya maka pengobatan
tradisional adalah cara kurang memuaskan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dari
penduduk masa kini. Hal ini bukanlah merupakan penilaian kami saja melainkan keputusan
para penilai utama, konsumen-konsumen tradisional yang semakin meningkat dalam memilih
antara pengobatanya sendiri dengan pengobatanya ilmiah lain.
B.

Saran
Saya para penulis dapat berharap kepada para pembaca, setelah membaca makalah
ini. Para pembaca apalagi para mahasiswa keperawatan dapat mengaplikasikanya nanti. dapat
mengetahui bagaiman system medis tradisional ,apalagi sisi positif dan negatif dari
pengobatan system tradisional.

DAFTAR PUSTAKA
Uciha Itachi , 2013 Pengaruh Nilai Sosial Budaya Terhadap Keshatan, 2012
http://macrofag.blogspot.com/
Robertha Natalia Gracia, 2010 Hubungan Aspek Sosial Terhadap Pembangunan Kesehatan,
http://roberthanatalia.blogspot.com/
Supardi, S., Feby Nurhadiyanto Arief, Sabarijah WittoEng. 2003. Penggunaan Obat
Tradisional Buatan Pabrik dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia. Jurnal bahan alam
Indonesia, Volume 2 Nomor4.
Supardi, S., Mulyono Notosiswoyo, Nani Sukasediati, Winarsih, Sarjaini Jamal, M.J Herman.
1997. Laporan Penelitian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Obat dan Obat
Tradisional Dalam Pengobatan Sendiri di Pedesaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Farmasi Badan Litbangkes.
Supardi, S., Feby Nurhadiyanto Arief, Sabarijah WittoEng. 2003. Penggunaan Obat
Tradisional Buatan Pabrik dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia. Jurnal bahan alam
Indonesia, Volume 2.
Sugeng, Dwi. (2007). Pengobatan Alternatif. Yogyakarta: PT. Media Abadi.

http://sitirohmie.blogspot.co.id/2013/04/makalah-pengaruh-sosial-budaya.html

Peran Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan

pembangunan

pada

hakikatnya

adalah

untuk

mencapai

kesejahteraan bagi semua, yakni terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sehat,

hingga dapat meraih hidup yang produktif dan berbahagia. Untuk mencapai kondisi
tersebut, perlu diupayakan kegiatan dan strategi dalam setiap aspek kehidupan.
Bukan saja aspek kesehatan, tetapi diperlukan strategi pemerataan kesehatan
dengan mendayagunakan segenap potensi yang ada, baik di jajaran kesehatan, non
kesehatan maupun masyarakat sendiri, guna mengendalikan faktor lingkungan,
perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor lain yang mempengaruhi derajat
kesehatan (Prasetyawati, 2012).
Unsur-unsur

kebudayaan

adalah

meliputi

pengetahuan,

kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan
oleh masyarakat-masyarakat, yang merupakan hasil budi atau akal manusia. Dalam
mengatasi masalah-masalah lebih berorientasi pada adaptasi dan pelaksanaan
strategi terhadap keadaan social (Koentjaraningrat, 2002).
Strategi adaptasi social budaya yang melahirkan system-sistem medis,
tingkah laku dan bentuk-bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya, yang
timbul sebagai respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh penyakit.
Dunn pola-pola dari pranata-pranata social dan tradisi-tradisi budaya yang
menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil
dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu menghasilkan kesehatan yang baik
(Alamsyah, 2011).
Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui pembangunan
di bidang kesehatan diharapkan akan semakin meningkatkan tingkat kesehatan
masyarakat dan pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh semua lapisan
masyarakat secara memadai (Notoatmodjo, 2007).

Berhasilnya pembangunan kesehatan ditandai dengan lingkungan yang


kondusif, perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit, pelayanan kesehatan yang berhasil
dan berdaya guna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.Akan tetapi pada
kenyataanya,

pembangunan

kesehatan

Permasalahan-permasalahan

kesehatan

masih
masih

jauh

dari

banyak

yang
terjadi.

diharapkan.
Beberapa

diantaranya adalah: penyakit-penyakit seperti DBD, flu burung, dan sebagainya yang
semakin menyebar luas, kasus-kasus gizi buruk yang semakin marak, prioritas
kesehatan rendah, serta tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi.
sebenarnya individu yang menjadi faktor penentu dalam menentukan status
kesehatan. Dengan kata lain, merubah pola hidup ataupun kebudayaan tentang
kesehatan yang biasa kita lakukan dan mengikuti perubahan zaman (Prasetyawati,
2012).
Masyarakat dan kebudayaan manusia dimanapun selalu berada dalam
keadaan berubah, baik dari masyarakat dengan kebudayaan primitive yang terisolasi
dari hubungan masyarakat di luar dunianya sendiri. Perubahan yang terjadi dalam
kebudayaan primitive terjadi karena adanya sebab yang yang berasal dari dalam
masyarakat dan kebudayaan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).
Mitos telah menjadi adat istiadat yang bersifat turun temurun dari orang tua
kita terdahulu, menjadi suatu hal yang biasa dan sangat mereka yakini. Tidak sedikit
mitos yang hanya tinggal mitos, bahkan tidak layak untuk sekedar diyakini. Namun
ternyata banyak pula mitos yang dapat dinalar, diterima oleh akal dan ternyata ada
faktanya. Sehingga tidak ada salahnya apabila sekali waktu kita mengulas soal
mitos-mitos yang banyak ditemui di masyarakat sekaligus mengetahui faktanya
(Alamsyah, 2011).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang yaitu


lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, dimana lingkungan
sosial ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Manusia sebagai makhluk sosial
yang saling ketergantungan satu sama lain dengan lingkungannya sangat
membutuhkan pertolongan dari orang lain, dalam memecahkan berbagai masalah
individu maupun masalah-masalah sosial yang terjadi dalam lingkungan sekitar
manusia.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan adat
istiadat yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang
termasuk dalam perilaku kesehatan, sehingga petugas kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai latar belakang suku,
adat istiadat dan budaya yang berbeda, harus mampu memahami budaya
masyarakat yang dilayaninya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalahBagaimanakah Peranan
Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Peranan Sosial Budaya Terhadap Upaya Kesehatan
Masyarakat.
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tentang penyebab perubahan sosial budaya


b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan sosial budaya
c. Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan sosial
budaya.
d. Untuk mengetahui tentang Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku
Kesehatan dan Status Kesehatan
D. Manfaat

Bagi Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi terkait
dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan masalah
sosial budaya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Ilmu Kesehatan Masyarakat, agar dapat menambah wawasan dalam ilmu
kesehatan masyarakat.
b. Bagi penulis, kiranya hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
cakrawala berpikir dan mampu memberikan sumbangan pemikiran mengenai
hubungan status gizi dengan episode.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Sosial Budaya


1. Defenisi

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,


yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya ialah segala hal yang dibuat
oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa
dan karsa. Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan, adat
istiadat, & ilmu (Koentjaraningrat, 2002).

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia
Sosial

adalah

segala

sesuatu

yang

mengenai

masyarakat

atau

kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum


(kata sifat)
Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran
dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism
(Koentjaraningrat, 2002).
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun
dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat

Secara sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta,


karsa, dan rasa. Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam
bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan (Prasetyawati, 2012).
Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan
dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatkannya

dengan

belajar

dan

semuanya

tersusun

dalam

kehidupan

masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal
itu bisa dikategorikan sebagai budaya (Koentjaraningrat, 2002).
Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi kebudayaan
sebagai

keseluruhan

yang

kompleks

yang

didalamnya

terkandung

ilmu

pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian, moral, hukum, adat-istiadat


dan kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat.
Menurut Herskovits, Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari
lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala
sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak
maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga

dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak (Koentjaraningrat,


2002).
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Prasetyawati, 2012).

2. Jenis-jenis kebudayaan di Indonesia


a. Kebudayaan Modern
Kebudayaan modern biasanya berasal dari manca negara datang di
Indonesia merupakan budaya/ kesenian import. Budaya modern akting, penampilan,
dan kemampuan meragakan diri didasari sifat komersial. Budaya modern lebih
mengesampingkan norma , gaya menjadi idola masyarakat dan merupakan target
sasaran Contoh : film, musik jazz.
b. Kebudayaan Tradisional
Bersumber

dan

berkembang

dari

daerah

setempat.

Penampilan

mengutamakan norma dengan mengedepankan intuisi bahkan bersifat bimbingan


Dan petunjuk tentang kehidupan manusia. Kebudayaan tradisional kurang
mengutamakan komersial dan sering dilandasi sifat kekeluargaan. Contoh :
Ketoprak, wayang orang, keroncong, ludruk.
c. Budaya Campuran
Budaya campuran pada hakekatnya merupakan campuran budaya modern
dengan budaya tradisional yang berkembang dengan cara asimilasi ataupun defusi.
Kebudayaan

campuran

sudah

memperhitungkan

komersiel

tapi

masih

mengindahkan norma dan adat setempat. Contoh : Musik dangdut, orkes gambus,
campur sari
(Koentjaraningrat, 2002).
3. Unsur Kebudayaan
Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi
dan

upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem

pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem


teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara
keseluruhan.
4. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan dan Perilaku Kesehatan
Koentjaraningrat, (2002)mengemukakan bahwaada beberapa aspek sosial yang
mempengaruhi status kesehatan antara lain adalah :
a. Umur
Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit
berdasarkan golongan umur. Misalnya balita lebiha banyak menderita penyakit
infeksi, sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
b. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula.
Misalnya
dikalangan wanita lebih banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki
banyak menderita kanker prostat.
c. Pekerjaan
Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya
dikalangan petani banyak yang menderita penyakit cacing akibat kerja yang banyak

dilakukan disawah dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang
bekerja diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit saluran
pernapasan karena banyak terpapar dengan debu.
d. Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya
penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang
berstatus ekonomi tinggi, dan

sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan

dikalangan masyarakat yang status ekonominya rendah.


Menurut H.Ray Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada
perilaku kesehatan :
1. Self concept
Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang
kita

rasakan

terhadap

diri

kita

sendiri,

terutama

bagaimana

kita

ingin

memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positip
dan menerima apa yang kita lakukan, kita akan meneruska perilaku kita, begitu pula
sebaliknya.
2. Image kelompok
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai
contoh, anak seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orangorang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar
dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk
menjadi dokter.
Menurut G.M. Foster (1973) , aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan
adalah:
a. Pengaruh tradisi

Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif


terhadap kesehatan masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah
penyakit kuru.penyakit ini menyerang susunan saraf otak dan penyebabnya adalah
virus.penderita hamya terbatas pada anak-anak dan wanita.setelah dilakukan
penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena adanya tadisi kanibalisme
b. Sikap fatalistis
Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan.
Contoh : Beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang
beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati
adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari
pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit pengobatan bagi anaknya yang
sakit,atau menyelamatkan seseorang dari kematian.
c. Sikap ethnosentris
Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan
sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.misalnya
orang-orang barat merasa bangga terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang
dimilikinya,dan selalu beranggapan bahwa kebudayaannya paling maju,sehingga
merasa superior terhadap budaya dari masyarakat yang sedang berkembang. tetapi
dari sisi lain,semua anggota dari budaya lainnya menganggap bahwa yang
dilakukan secar alamiah adalah yang terbaik. Oleh karena itu,sebagai petugas
kesehatan kita harus menghindari sikap yang menganggap bahwa petugas adalah
orang yang paling pandai,paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena
pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak
perlu

mengikut

sertakan

masyarakat

tersebut

dalam

masalah

kesehatan

masyarakat.dalam hal ini memang petugas lebih menguasai tentang masalah

kesehatan,tetapi masyarakat dimana mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di


masyarakatnya sendiri.
d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
Contoh : Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu,
menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan
vitaminnya

tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat bernaggapan daun

singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya karena
status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.
e. Pengaruh norma
Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma dimasyarakat
sangat mempengaruhi perilaku kesehatan dari anggota masyarakatnya yang
mendukung norma tersebut. sebagai contoh,untuk menurunkan angka kematian ibu
dan bayi banyak mengalami hambatan karena adanya norma yang melarang
hubungan antara dokter sebagai pemberi layanan dengan ibu hamil sebagai
pengguna layanan.
Contoh : upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak
mengalami hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter
yang memberikan pelayanan dengan bumil sebagai pengguna pelayanan.
f.

Pengaruh nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku

kesehatan. Contoh : masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada


beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas
merah daripada diberas putih. Meskipun masyarakat mengetahiu bahwa beras
merah lebih banyak mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras

putih,masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih lebih enak dan lebih
bersih.
Contoh lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok
meskipun mereka mengetahui bagaimana bahaya merokok terhadap kesehatan
g.

Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi
terhadap perilaku kesehatan.
Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap
kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa
makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa
(Notoatmodjo, 2007).
Pada tingkat awal proses sosialisasi,seorang anak diajakan antara lain
bagaimana cara makan,bahan makanan apa yang dimakan,cara buang air kecil dan
besar,dan lain-lain. kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak tersebut
dewasa dan bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut sangat mempngaruhi perilaku
kesehatan yang sangat sulit untuk diubah (Koentjaraningrat, 2002).
h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku
kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang
akan

terjadi

jika

melakukan

perubahan,

menganalisis

faktor-faktor

yang

terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa


yang akan terjadi dengan perubahan tersebut (Koentjaraningrat, 2002).
Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi,atau dengan perkataan
lain,suatu perubahan akan menghasilkan perubahan yang kedua dan perubahan
yang ketiga.apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan perubahan
perilaku kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa

yang akan terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang


terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi tentang
apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebutapabila ia tahu budaya
masyarakat

setempat

dan

apabila

ia

tahu

tentang

proses

perubahan

kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang


mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan (Notoatmodjo,
2007).
6. Makanan Dan Budaya
a. Definisi Makanan
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau
unsurunsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang
berguna bila dimasukkan dalam tubuh (Arisman, 2009).
b. Kebudayaan Menentukan Makanan
Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu
produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma
termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai
sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep
budaya itulah sejumlah makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk
dikonsumsi, tetapi dalam prakteknya bisa jadi justru dihindari.
Contoh :
1) Adanya pantangan bayi dan anak tidak diberikan daging, ikan, telur, dan makanan
yang dimasak dengan santan dan kelapa parut sebab dipercaya akan menyebabkan
cacingan, sakit perut, dan sakit mata .
2) Bagi gadis dilarang makan buah: pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang
dianggap tabu) karena ada hubungan yang erat dengan siklus masa haid, hubungan
kelamin dan reproduksi .

Jadi, dapat kita pahami bahwa adanya masalah gizi di Indonnesia bukan hanya
karena masalah sosek, tapi juga karena alasan-alasan budaya, di mana ada
ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi karena kepercayaan atau
ketidaklaziman atau karena larangan agama (Arisman, 2009).
c. Istilan Makanan Food Versus Nutrimen
Masalah aktivitas makan tidak semata-mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk
pemenuhan naluriahnya seperti lapar, tetapi

juga di dalamnya dilekati oleh

pengetahuan budaya. Lewat pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia


mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan
makanan (food).
1) Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara
dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya, terlepas dari apakah
makanan itu diperbolehkan atau dilarang dalam kaitannya dengan budaya (Arisman,
2009).
2) Food adalah suatu konsep budaya. Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya
terdapat penjelasan budaya mengenai kategori (bahan) makanan anjuran lawan
makanan tabu (larangan); makanan prestise lawan makanan rendah; makanan
dingin lawan makanan panas, dan sebagainya. Sebagai suatu konsep budaya,
makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitaskualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan
dimakan, diperlukan pengesahan budaya (Notoatmodjo, 2007).
Jellife & Bennet 1962 menyatakan : Manusia dimana saja, bahkan dalam
keadaan sukar sekalipun, hanya makan sebagian dari bahan-bahan yang
sebenarnya dapat dimakan tersedia.
d. Klasifikasi Makanan

Variasi klasifikasi makanan antara lain :


1)
2)
3)
4)
5)

Menurut prestise status


Pertemuan sosial
Usia
Keadaan sehat sakit
Nilai simbolik ritual (Arisman, 2009).

e. Peranan Simbolik Makanan


1) Sebagai ungkapan ikatan social
Misalnya :
a) Menawarkan makanan sebagai simbolis ungkapan persahabatan, perhatian, kasih
sayang
b) Tidak memberi makanan sebagai ungkapan simbolis permusuhan, kemarahan
c) Sebagai ungkapan kesetiakawanan kelompok. Misalnya: makan bersama,
berkumpul dimeja besar melambangkan keakraban keluarga
2) Makanan dan stress
Misal : terpenuhinya makanan kesukaan kebiasaan membuat dirinya tenang.
3) Simbolisme makanan dalam bahasa
Kualitas makanan digunakan untuk menggambarkan kualitas manusia. Misal :
wajah susu madu diartikan sebagai seseorang dengan wajah kuning langsat .
f. Pembatasan Budaya Terhadap Kecukupan Gizi
1) Kegagalan melihat hubungan antara makanan dan kesehatan
Adalah kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan
itu dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kesehatan, misal :
a)

Susunan hidangan yang cenderung ditafsirkan berdasar kuantitasnya tanpa

memperhatikan kualitas.
b) Kepercayaan / tabu terhadap makanan yang tidak menguntungkan kesehatan bila
tabu tersebut diterapkan.
2) Kegagalan untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak.
a) Kegagalan budaya masyarakat memahami bahwa anak-anak memerlukan makanan
khusus.
b) Kepercayaan/tabu terhadap makanan yang merugikan anak-anak.

c) Ketidaktahuan gizi / kecukupan gizi anak (Koentjaraningrat, 2002).


7. Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Mempelajari Kebudayaan
a. Di dalam semua religi atau agama, ada kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan
kesehatan, gizi, dll. Misal : orang yang beragama Islam : tidak makan babi, sehingga
dalam 2 rangka memperbaiki status gizi, seorang petugas kesehatan dapat
menganjurkan makanan lain yang bergizi yang tidak bertentangan dengan
b.

agamanya.
Dengan mempelajari organisasi masyarakat, maka petugas kesehatan akan
mengetahui organisasi apa saja yang ada di masyarakat, kelompok mana yang
berkuasa, kelompok mana yang menjadi panutan, dan tokoh mana yang disegani.
Sehingga dapat dijadikan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya

c.

mengubah perilaku kesehatan masyarakat.


Petugas kesehatan juga perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat maka petugas kesehatan
akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana

d.

yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.


Petugas kesehatan juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah
berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa

persaudaraan.
e. Selain itu perlu juga mempelajari tentang kesenian dimasyarakat setempat. Karena
petugas kesehatan dapat memanfaatkan kesenian yang ada dimasyarakat untuk
menyampaikan pesan kesehatan.
f. Sistem mata pencaharian juga perlu dipelajari karena sistem mata pencaharian ada
kaitannya dengan pola penyakit yang diderita oleh masyarakat tersebut.
g. Teknologi dan peralatan masyarakat setempat . Masyarakat akan lebih mudah
menerima pesan yang disampaikan petugas jika petugas menggunakan teknologi
dan peralatan yang dikenal masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
8. Perubahan Sosial Budaya

Dalam teori HL blum tentang status ksehatan,maka dijelaskan tentang beberapa


faktor yang mempengaruhi status kesehatan, antara lain:
1.
2.

Lingkungan

yang

terdiri

dari

lingkungan

fisik,social

budaya,ekonomi,prilaku,keturunan,dan pelayanan kesehatan.


Blum juga menjelaskan,bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja
mempengaruhi status kesehatan,tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari banyak
suku bangsa yang mempunyai latar budaya yang beraneka ragam.lingkungan
budaya tersebut sangat mepegaruhi tingkah laku manusia yang memiliki budaya
tersebut,sehingga dengan beranekaragam budaya,menimbulkan variasi dalam
perilaku

manusia

dalam

segala

hal,

termasuk

dalam

perilaku

kesehatan

(Notoatmodjo, 2007).
Dengan masalah tersebut, maka petugas kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dangan latar budaya yang beraneka
ragam, perlu sekali mengetahui budaya dan masyarakat yang dilayaninya,agar
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan memberikan hasil
yang optimal,yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat (Prasetyawati, 2012).
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa hidup
sendiri sehingga membentuk kesatuan hidup yang dinamakan masyarakat.dengan
definisi tersebut,Ternyata pengertian masyarakat masih dirasakan luas dan abstrak
sehingga untuk lebih konkretnya maka ada beberapa unsur masyarakat,unsur
masyarakat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1.
2.

Kesatuan sosial dan


Pranata sosial.
Kesatuan sosial merupakan bentuk dan susunan dari kesatuan-kesatuan
individu yang berinteraksi dengan kehidupan masyarakat.sedangkan yang dimaksud
, pranata sosial adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar

pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. norma-norma tersebut


memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang yang hidup dalam masyarakat.
Kebudayaan. dalam pengertian yang terbatas,banyak orang yang memberikan
definisi kebudayaan sebagai bangunan yang indah,candi,tari-tarian,seni suara dan
seni rupa (Notoatmodjo, 2007).
9. Contoh-Contoh Kebudayaan Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Ibu
Berikut kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia adala
1. Kebudayaan bagi wanita hamil :
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan
perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kehamilan dan menganggap peristiwa
itu sebagai tahapan-tahapan kehidupan yang harus dijalani didunia.Masa kehamilan
dan kelahiran dianggap masa krisis yang berbahaya,baik bagi janin atau bayi
maupun bagi ibunya karna itu sejak kehamilan sampai kelahiran para kerabat dan
handai-tolan mengadakan serangkaian upacara baggi wanita hamil dengan tujuan
mencari keselamatan bagi diri wanita itu serta bayinya,saat berada di dalam
kandungan hingga saat lahir (Prasetyawati, 2012).
Orang jawa adalah salah satu contoh dari masyarakat yang sering
menitikberatkan

perhatian

pada

aspek

krisis

kehidupan

dari

pertistiwa

kehamilan,sehingga di dalam adat-istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat


yang cukup rinci untuk menyambut kelahiran bayi.Biasanya upacara dimulai sejak
usia ketujuh bulan kandungan ibu sampai pada saat kelahirannya,walaupun ada
pula sebagian kecil warga masyarakat yang telah melakukannya sejak janin di
kandungan ibu berusia tiga bulan.upacara upacara adat jawa yang bertujuan
mengupayakan keselamatan bagi janin dalam prosesnya menjadi bayi hingga saat
kelahirannya itu adalah upacara mitoni,procotan dan brokohan (Prasetyawati, 2012).

Sebagian masyarakat jawa juga percaya bahwa bayi yang lahir pada usia
tujuh bulan mempunyai peluang untuk hidup,bahkan lebih kuat daripada bayi yang
lahir

pada

usia

kehamilan

delapan

bulan,walupun

kelahiran

itu

masih

prematur.Kepercayaan ini tampak terdapat pula pada sejumlah suku bangsa di


indonesia dan malaysia(Koentjaraningrat, 2002).
Upacara procotan dilakukan dengan membuat sajian jenang procot yakni
bubur putih yang dicampur dengan irisan ubi.Upacara procotan khusus bertujuan
agar sang bayi mudah lahir dan rahim ibunya (Notoatmodjo, 2007).
Brokohan adalah upacara sesudah lahirnya bayi dengan selamat dengan
membuat sajian nasi urap dan telur rebus yang diedarkan pada sanak kluarga untuk
memberitahukan kelahiran sang bayi. Pusat perhatian orang jawa mengenai
pelaksanaan upacara pada masa kehamilan dan kelahiran terletak pada unsur
tecapainya keselamatan,yang dilandasi atas keyakinan mengenai krisis kehidupan
yang mengandung bahaya dan harus ditangkal,serta harapan akan kebaikan bagi
janin dan ibunya.Maka upacara kelahiran seringkali

tidak dilaksanakan dalam

bentuk kenduri besar dengan mengundang banyak handai-taulani (Koentjaraningrat,


2002).
Selain di jawa di Setiap daerah juga mempunyai kebudayaan yang berbedabeda dikalangan masyarakat terhadap kesehatan ibu. Berikut budaya yang ada di
beberapa daerah terhadap kesehatan ibu hamil :
1. Jawa Tengah :
Bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan
dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
2. Jawa Barat :
Ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi

makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.


Masyarakat Betawi :
Berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena

dapat menyebabkan ASI menjadi asin.


Daerah Subang

Ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena
khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang,
selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.Tentunya hal
ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan
untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi
wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama
masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo,1993).
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi
budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan kebudayaan ibu bersalin
yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Beberapa hal yang dilakukan
oleh masyarakat pada ibu bersalin:
a) Minum rendaman air rumput Fatimah akan merangsang mulas.
Memang, rumput Fatimah bisa membuat mulas pada ibu hamil, tapi apa
kandungannya belum diteliti secara medis. Rumput fatimah atau biasa disebut
Labisia pumila ini, berdasarkan kajian atas obat-obatan tradisional di Sabah,
Malaysia, tahun 1998, dikatakan mengandung hormon oksitosin yang dapat
membantu menimbulkan kontraksi. Tapi, apa kandungan dan seberapa takarannya
belum diteliti secara medis. Jadi, harus dikonsultasikan dulu ke dokter sebelum
meminumnya. Karena, rumput ini hanya boleh diminum bila pembukaannya sudah
mencapai 3-5 cm, letak kepala bayi sudah masuk panggul, mulut rahim sudah
lembek atau tipis, dan posisi ubun-ubun kecilnya normal. Jika letak ari-arinya di
bawah atau bayinya sungsang, tak boleh minum rumput ini karena sangat bahaya.
Terlebih jika pembukaannya belum ada, tapi si ibu justru dirangsang mulas pakai
rumput ini, bisa-bisa janinnya malah naik ke atas dan membuat sesak nafas si ibu.
Mau tak mau, akhirnya dilakukan jalan operasi (Prasetyawati, 2012).

b) Meluarnya lendir semacam keputihan yang agak banyak menjelang persalinan, akan
membantu melicinkan saluran kelahiran hingga bayi lebih mudah keluar. Ini tak
benar! Keluarnya cairan keputihan pada usia hamil tua justru tak normal, apalagi
disertai gatal, bau, dan berwarna. Jika terjadi, segera konsultasikan ke dokter. Ingat,
bayi akan keluar lewat saluran lahir. Jika vagina terinfeksi, bisa mengakibatkan
radang selaput mata pada bayi. (Koentjaraningrat, 2002).
c) Minum minyak kelapa memudahkan persalinan.
Minyak kelapa, memang konotasinya bikin lancar dan licin. Namun dalam dunia
kedokteran, minyak tak ada gunanya sama sekali dalam melancarkan persalinan.
Mungkin secara psikologis, ibu hamil menyakini, dengan minum dua sendok minyak
kelapa dapat memperlancar persalinannya. Jika itu demi ketenangan psikologisnya,
maka diperbolehkan, karena minyak kelapa bukan racun.
d)
Minum madu dan telur dapat menambah tenaga

untuk

persalinan.

Madu tak boleh sembarangan dikonsumsi ibu hamil. Jika BB-nya cukup, sebaiknya
jangan minum madu karena bisa mengakibatkan overweight. Bukankah madu
termasuk karbonhidrat yang paling tinggi kalorinya? Jadi, madu boleh diminum
hanya jika BB-nya kurang. Begitu BB naik dari batas yang ditentukan, sebaiknya
segera hentikan. Demikian juga dengan telur, pada dasarnya selama telur itu
matang maka tidak akan berbahaya bagi kehamilan. Hal ini disebabkan karena telur
banyak mengandung protein yang dapat menambah kalori tubuh.
e)
Makan duren, tape, dan nanas bisa membahayakan

persalinan.

Ini benar karena bisa mengakibatkan perndarahan atau keguguran. Duren


mengandung alkohol, jadi panas ke tubuh. Begitu juga tape serta aneka masakan
yang menggunakan arak, sebaiknya dihindari. Buah nanas juga, karena bisa
mengakibatkan keguguran.
f) Makan daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga mempersulit persalinan. Yang
membuat lengket ari-ari bukan daun kemangi, melainkan ibu yang pernah
mengalami dua kali kuret atau punya banyak anak, misal empat anak. Ari-ari lengket

bisa berakibat fatal karena kandungan harus diangkat. Ibu yang pernah mengalami
kuret sebaiknya melakukan persalinan di RS besar. Hingga, bila terjadi sesuatu
dapat ditangani segera (Prasetyawati, 2012).
g) Tak boleh keramas
Pantangan yang satu ini dicemaskan bisa membuat si ibu masuk angin. Itu
sebab, sebagai gantinya rambut cukup diwuwung, yakni sekadar disiram dengan air
dingin. Lagi-lagi, penyiraman ini diyakini agar darah putih bisa turun dan tak
menempel di mata. Namun agar tak bau apek dan tetap harum disarankan
menggunakan ratus pewangi. Tentu saja pantangan semacam itu untuk kondisi
jaman sekarang dirasa memberatkan. Terlebih untuk ibu-ibu yang harus sering
beraktivitas di luar rumah. Sedangkan mandi boleh-boleh saja asal dilakukan jam 5
atau 6 untuk mandi pagi dan sebelum magrib untuk mandi malam. Penggunaan air
dingin, katanya, justru lebih baik ketimbang air hangat karena bisa melancarkan
produksi ASI (Notoatmodjo, 2007).
5. Hindari makan jemek
Golongan makanan yang harus dijauhi adalah pepaya, durian, pisang, dan
terung. Karena konon ragam makanan tadi bisa dikhawatirkan bikin benyek organ
vital kaum Hawa. Termasuk makanan bersantan dan pedas karena pencernaannya
bakal terganggu yang bisa berpengaruh pada bayinya. Begitu juga ikan dan telur
asin serta makanan lain yang berbau amis karena dikhawatirkan bisa menyebabkan
bau anyir pada ASI yang membuat bayi muntah saat disusui. Selain juga, proses
penyembuhan luka-luka di jalan lahir akan lebih lambat (Koentjaraningrat, 2002).
Secara medis, menurut Chairulsjah, tak benar anggapan untuk pantang
pepaya dan pisang yang justru amat dianjurkan karena tergolong sumber makanan
yang banyak mengandung serat untuk memudahkan BAB. Ikan dan telur juga
merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik dan amat dibutuhkan tubuh.

Sedangkan durian memang tak dianjurkan karena kandungan kolesterolnya tinggi,


selain memicu pembentukan gas yang bisa mengganggu pencernaan.
6. Tidak boleh berpergian
Kalau dipikir-pikir larangan ini, bertujuan supaya si ibu tak terlalu letih
beraktivitas. Kalau capek bisa-bisa ASI-nya berkurang. Kasihan si kecil. Karena
biasanya seumur ini sedang kuat-kuatnya menyusu. Belum lagi kemungkinan si bayi
rewel ditinggal ibunya terlalu lama. Sementara kalau diajak pun masih kelewat kecil.
Malah takut ada apa-apa di jalan, terutama kalau menggunakan angkutan umum.
Bepergian pun membuat si ibu jadi tak tahan menghadapi aneka godaan untuk
menyantap segala jenis makanan yang dipantang.
B. Tinjauan Tentang Kesehatan
1. Defenisi
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan
kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan
termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara
kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal
yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain (Prasetyawati, 2012).
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para
koleganya

yang

menulis

bahwa

pendidikan

kesehatan

adalah

kombinasi

pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela


terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir menunjukkan bahwa
saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan
kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan, seperti

Akses,

Taspen,

dan

Jamsostek.

Golongan

masyarakat

yang

dianggap

'teranaktirikan' dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan


masyarakat kecil dan pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi
lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait
beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan
kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007).
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat
sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan
di dalamnya kesehatan jiwa merupakanbagian integral kesehatan.
2. Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing

kebudayaan

memiliki

berbagai

pengobatan

untuk

penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu kedokteran


yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat
antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit. Pada
masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis.
Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh
jahat

atau

iblis

yang

mengganggu

manusia

dan

menyebabkan

sakit

(Koentjaraningrat, 2002).
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat
guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta
pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun atau tetua adat
sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara yang digunakan
juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di dunia, mereka

menggunakan

pengobatan

tradisional

masing-masing

untuk

menyembuhkan

anggota sukunya yang sakit (Notoatmodjo, 2007).


Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika anggota
sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui jalan biasa dan dia
terkena penyakit tuberkulosis maka dia dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu
disebabkan oleh serangan tukang sihirdan korban tidak akan sembuh sampai
serangan itu berhenti (Prasetyawati, 2012).
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat
disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang terkena
dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan
suatu upacara penyembuhan maka Shaman akan mengeluarkan benda asing itu
dari tubuh pasien..
3. Konsep Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal
karena ada faktorfaktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya
terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan
pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain
(Simatupang, 2008).
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain
bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit
merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun
sosio budaya (Notoatmodjo, 2007).

Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit


menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas
kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti
masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya,
maka ia di anggap tidak sakit Simatupang, 2008).
Masalah

kesehatan

merupakan

masalah

kompleks

yang

merupakan

resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah
buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan
sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio
somatic health well being , merupakan resultante dari 4 faktor yaitu:
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor
yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat
kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat
dipengaruhi oleh faktor -faktor seperti kelas social, perbedaan suku bangsa dan
budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis),
bergantung dari variable-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda
di kalangan pasien (Notoatmodjo, 2007).
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, social dan pengertian
profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat
erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah

sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari
berbagai aspek. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan
sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan social seseorang. Sebatas
mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya (Prasetyawati, 2012).
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin
biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya
dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya
sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan
penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit
merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran
normalnya secara wajar Simatupang, 2008).
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran
modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat.
Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda
penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja,
sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau
istirahat saja (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan
berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan
dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari
satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas
(Prasetyawati, 2012).
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini
masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok

penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa -rawa. Selain rawa-rawa,
tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut
beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap
orang yang melanggar ketentuannya (Notoatmodjo, 2007).
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian,
dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi,
menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun
kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat
ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa
hari penderita akan sembuh. (Simatupang, 2008).
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan
sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan
Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan
sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat
tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan
dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan
sebagai obat malaria (Notoatmodjo, 2007).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kebudayaan dan Perubahannya


Kebudayaan itu tidak statis, kecuali mungkin pada masyarakat pedalaman yang
terpencil. Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan biasanya dipelajari pada
masyarakat yang terisolasi dimana cara-cara hidup mereka tidak berubah selama
beberapa generasi, walaupun mereka merupakan sumber data-data biologis yang
penting dan model antropologi yang berguna, lebih penting lagi untuk memikirkan
bagaimana mengubah kebudayaan mereka itu. Pada Negara dunia ke 3 laju
perkembangan ini cukup cepat, dengan berkembangnya suatu masyarakat
perkotaan dari masyarakat pedesaan (Simatupang, 2008).
Ide-ide tradisional yang turun temurun, sekarang telah di modifikasi dengan
pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan baru. Sikap terhadap penyakit pun
banyak

mengalami

perubahan

.Kaum

muda

dari

pedesaan

meninggalkan

lingkungan mereka menuju kekota. Akibatnya tradisi budaya lama di desa makin
tersisih. Meskipun lingkungan dari masyarakat kota modern dapat di kontrol dengan
tekhnologi, setiap individu didalamnya adalah subjek dari pada tuntutan ini,
tergantung dari kemampuannya untuk beradaptasi
Hubungan yang selaras antara faktor budaya dan biologis, yang mungkin
berkembang sebagai hasil dari faktor lingkungan, dapat dilukiskan dengan cntohcontoh dari Papua Nugini dan Nigeria.pigbel sejenis penyakit berat yang dapat
menimbulkan kematian disebabkan oleh kuman clodistrium perfringens type C.
Penduduk papua Nugini yang tinggal didaratan tinggi biasanya sedikit makan daging
oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim protetase dalam usus.
Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan daging babi dalam jumlah

banyak tapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas untuk memasak daging
dengan baik sehingga kuman clostridia masih dapat berkembang. Makana pokok
mereka adalah kentang, mengandung tripsin inhibitor, oleh sebab itu racun dari
kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi terlindung. Tripsin inhibitor juga
dihasilkan oleh cacing ascaris yang banyak terdapat pada penduduk tersebut.
Kuman dapat juga berkembang dalam daging yang kurang dicernakan, dan secara
bebas mengeluarkan racunnya (Prasetyawati, 2012).
Dari beberapa faktor budaya diatas,masing-masing faktor berhubungan satu
sama lain nya. Wanita- wanita Hausa yang tinggal di sekitar Zaria Nigeria utara,
secara tradisi memakan garam kurang selama priode nifas, untuk meningkatkan
produksi air susunya. Merka juga menganggap bahwa hawa dingin adalah penyebab
penyakit.leh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling kurang selama 40 hari
setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa panas, merupakan
penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya disini adalah kebiasaan
makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh adalah faktor pencetus
terjadinya kegagalan jantung (Notoatmodjo, 2007).
B. Kebudayaan dan sistem pelayanan kesehatan.
Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru di perkenalkan kedalam suatu
masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera
mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah
mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan
kepercayaan dan harapan pokokmereka lambat laun akann sadar apakah
pengobatan baru tersebut berfaedah, sama sekali tidak berguna, atau lambat
memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena
berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan

dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja


(Cahyani, 2012).
Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus disesuaikan dengan
kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara
moderen dan menyapu semua cara-cara tradisional. Bila tenaga kesehatan berasal
dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengna penduduk
setempat. ini tidak aan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari
kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan
sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar.
Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan
dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan
mereka. akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya
tidak mereka terima (Prasetyawati, 2012).
Pemuka-pemuka didalam masyarakat itu harus di yakinkan sehingga mereka
dapat memberikan dukungan dan yakin bahwa cara-cara baru tersebut bukan untuk
melunturkan kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberika manfaat yang
lebih besar.pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya bila
pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti
mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya
dengan memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu
penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya
waktu mereka akan berfikir dan menerima (Notoatmodjo, 2007).
Di

negara-negara

maju,

terdapat unsur-unsur kebudayaan

yang

dapat

menunjang tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal,


keadaan sosial-ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan

demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi


kebutuhan klien(Cahyani, 2012).
C. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Pelayanan Kesehatan
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan sangatlah
penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi
kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi
dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang
dianut di dalam masyarakat tersebut (Simatupang, 2008).
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa
untuk di rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan
penjelasan dan informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan yang akan di
berikan kepada masyarakat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan ,mulai dari
perkenalan

program

kerja,

menghubungi

tokoh-tokoh

masyarakat

maupun

melakukan pendekatan secara personal (Cahyani, 2012).


Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakitpenyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti
bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap
merka terhadap penyakit tersebut. Ada kebiasaan dimana setiap oang sakit diisolasi
dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini ini mungkin dapat mencegah penularan dari
penyakit-penyakit infeksi seperti cacar dan TBC(Simatupang,2008).
Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan
mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap
penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan
pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga
penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga

kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawana denganpemikiran


secara medis (Notoatmodjo, 2007).
Didalam masyarakat industri modern iatrogenic disease merupakan problema.
Budaya menuntut merawat penderita di rumah sakit, pada hal rumah sakit itulah
tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten terhadp anti biotika
(Cahyani, 2012).

D. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Kesehatan Masyarakat


Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di
Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup
tinggi serta penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah. Selain
masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan
sosial budaya masyarakat, misalnya tingkat pengetahuan yang belum memadai
terutama pada golongan wanita, kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat
istiadat, perilaku, dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan
kesehatan (SiImatupang, 2008).
Sosial budaya masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang
dilandasi oleh pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan
kesehatan, ada yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan
kesehatan. Yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan
kesehatan,

yaitu

semangat

gotog

royong

dan

kekeluargaan,

serta

sikap

positif

juga

musyawarah dalam mengambil keputusan (Maryunani, 2011).


Pembangunan

dalam

suatu

negara

selain

berdampak

menimbulkan hal-hal negatif seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di

perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan


industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI
secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan
penyalahgunaan

obat.

Perkembangan

penduduk

dan

pembangunan

akan

menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat mengganggu kesehatan


(Prasetyawati, 2012).
Masalah-masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial
budaya dapat dibedakan menjadi:
1. Kesehatan Ibu dan Anak
Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian
ibu maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000
kematian pertahunnya (Maryunani, 2011).
Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang
meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan
tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan
merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan
penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain menimbulkan
kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko terjadinya kematian yaitu
Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr% (Cahyani, 2012).
Masih tingginya angka kematian dan kesuburan di Indonesia berkaitan erat
dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk,
khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum
memadai, tingkat kepercayaan masyarakat tergadap pelayanan kesehatan dan
petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan

kesehatan dari rumah-rumah pendudukkebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan


perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya (Simatupang,
2008).
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah,
mempunyai pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi.
Berdasarkan survei rumah tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf
pada wanita dewasa adalah sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta
huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan
semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan
ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2007).
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali
merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di
masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
a.
b.
c.
d.

Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan
Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan, telur,
Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya

cepat keluar,
e. Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut
darah kotor naik ke mata,
Dikatakan merugikan karena beberapa hal tersebut di atas justru dibutuhkan
dalam rangka peningkatan kondisi kesehatan.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada terhadap petugas kesehatan,
dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena
kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang
berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Petugas kesehatan pemerintah

dianggap sebagai orang baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan
tidak mempunyia kharismatik (Prasetyawati, 2012).
Selain faktor tersebut, rendahnya kunjungan masyarakat ke pelayanan
kesehatan dikarenakan jauhnya lokasi pelayanan kesehatan dengan rumah
penduduk

sehingga

walaupun

masyarakat

sudah

mempunyai

kemauan

memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan, namun karena jauh dan harus


segera mendapatka pertolongan, akhirnya ia berobat ke dukun yang dekat
lokasinya. Keadaan ini disikapi oleh pemerintah dengan berupaya membangun
fasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut, menempatkan tenaga kesehatan
disertai dengan peralatan yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan,
peningkatan kualitas pelayanan dengan meningkatkan kemampuan petugas melalui
pelatihan maupun pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Notoatmodjo, 2007).
2. Keluarga Berencana
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju
pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku.
Mereka masih mempunyai pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau
banyak anak banyak rezeki. Anak adalah tumpuan di hari tuanya. Mereka tidak
menyadari bahwa keterbatasan orang tua merupakan ancaman masa depan bagi si
anak (Prasetyawati, 2012).
Selain itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian
penduduk. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama
sebagai pandangan hidup, misalnya islam, nasrani, mereka akan menentang
program pengendalian penduduk berupa penggunaan alat kontrasepsi. Mereka
menganggap bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh
anak yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan-keadaan ini

merupakan tantangan bagi pelaksana program Keluarga Berencana (Simatupang,


2008).

3. Gizi
Jika kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua
makanan yang kita makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua
konsep, yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang
berarti zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa

individu yang

memakannya dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan
dikatakan sebagai suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang
telah diterima dan diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses
penyiapan dan penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada
dalam kondisi kesehatan yang baik (Simatupang, 2008).
Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya
sejak kanak-kanak. Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak
terhadap makanan tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering
ditentukan oleh keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki
pohon kelapa, maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan
santan atau kelapa, sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari
perkebunan, jenis dan komposisi makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran
atau dikenal dengan lalapan. (Prasetyawati, 2012).
Rasa makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya bervariasi. Ada
sekelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas, manis, asin,
dan sebagainya. Kelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya

manis dapat ditemukan di daerah-daerah di Pulau Jawa, sedangkan makanan yang


rasanya pedas dapat ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan Sulawesi.
Sehingga sering kali masyarakat tertentu yang datang ke suatu wilayah yang
berbeda dengan jenis makanan yang biasa ia makan, ia perlu mengadakan
penyesuaian terhadap makanan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tidak mudah
bagi seseorang untuk mengganti makanan yang biasa ia makan dengan jenis
makanan yang baru ia kenal (Cayani, 2012).
Distribusi makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain. Ada
aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah
yang dianggap sebagai pencari nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang
lebih dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Kata lebih yang dimaksud
meliputi kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan dengan
sebebasnya, tapi mempunyai keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu
yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga
diberikan makanan yang tidak biasanya. Anak mempunyai makanan khusus seperti
bubur nasi dan sebagainya. Sedangkan pembantu rumah tangga bisasnya diberikan
makanan yang rendah kualitasnya (Notoatmodjo, 2007).
Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi
masyarakat, namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat
setempat. Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan
masih belum sesuai. Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan
sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan,
pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk
pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-

pantangan yang harus diikuti oleh kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita,
dan sebagianya (Maryunani, 2011)
Di samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang
peranan yang cukup penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya
pengetahuan ibu tentang makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, cara
pengolahan,

cara

penyajian

makanan,

dan

variasi

makanan

yang

dapat

menimbulkan selera makan anggota keluarganya, sangat berpengaruh dalam status


gizi keluarga. Oleh karena itu, ibu lah sasaran utama dalam usaha-usaha perbaikan
gizi keluarga (Prasetyawati, 2012).
Masalah kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok masyarakat
yang mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola makan
terhadap jenis makanan tertentu, juga ditentukan oleh faktor herediter (Simatupang,
2008)
Dalam kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat,
masalah gizi mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit, misalnya
anemia, pre-eklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya
(Notoatmodjo, 2007).
Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat. Tantangan berat
yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai
berikut.:
1.

Jumlah

penduduk

yang

besar

dengan

pertumbuhan

yang

sertapenyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.


2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai

cukup

tinggi

terutama

pada

golonganwanita
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang
kurangmenunjang dalam bidang kesehatan
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan

Aspek sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatan antara lain adalah
faktor kemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran
dan homoseksual (Prasetyawati, 2012).
Kemiskinan membahayakan kesehatan, baik secara fisik dan mental. Penyakit
umumyang sering terjadi berkaitan dengan faktor kemiskinan adalah kekurang
vitamin,penyakit cacing, gusi berdarah, beri-beri, penyakit mata, Kurang Kalori
Protein(KKP), busung lapar, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007).
Miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan makanan yang cukup sehat dan
akancukup kandungan gizinya.Fakta saat ini derajat kesehatan penduduk miskin
masih rendah, hal ini ditandai dengan
a. Kematian penduduk miskin tiga kali lebih tinggi daripada penduduk yangtidak miskin
b. Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan pendidikan belummendukung.
c. Perilaku hidup bersih di masyarakat belum membudaya.
d. Angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak, serta angka kematian
ibu(AKA/AKI) pada penduduk miskin jauh lebih tinggi dari yang tidak miskin
(Notoatmodjo,2007).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1.

Pada Hakikatnya budaya sosial terjadi akibat oleh adanya perbedaan yang
mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang berbeda. Yang
akhirnya berdampak dalam kehidupan.

2. Aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah
a. Tradisi
b. Sikap fatalism
c. Nilai
d. Ethnocentrisme
e. Unsur budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi
3. Masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan sosial budaya
a. Keluarga Berencana
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju
pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku.
b. Gizi
Makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu nutrimen
dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti zat-zat dalam
makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat hidup dan
berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai suatu
konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah
secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan
yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan
4.

yang baik
Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan dan Status
Kesehatan adalah kemiskinan, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup,

pelacuran dan homoseksual.


5. Peranan Sosial Budaya dalam Kesehatan Masyarakat
Sosial budaya masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang
dilandasi oleh pengalaman, sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan

kesehatan, ada yang merugikan kesehatan dan ada pula yang menguntungkan
kesehatan. Yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan
kesehatan,

yaitu

semangat

gotog

royong

dan

kekeluargaan,

serta

sikap

positif

juga

musyawarah dalam mengambil keputusan.


Pembangunan

dalam

suatu

negara

selain

berdampak

menimbulkan hal-hal negatif seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di


perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan
industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI
secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan
penyalahgunaan

obat.

Perkembangan

penduduk

dan

pembangunan

akan

menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat mengganggu kesehatan.


B. Saran
1. Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan.

Dengan

mengetahui

pengetahuan

masyarakat,

maka

petugas

kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan
mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
2. Perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa
kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, 2011. Manajemen Pelayanan Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.


Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan.Penerbit Buku Kedokteran ECG: Jakarta.
Cahyani. 2012.Sosial Budaya Kesehatan. Http:social/co/id. Diakses tanggal 1
November 2013.
Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Anthropologi.Nuha Medika.Yogyakarta.

Maryunani,A. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Penerbit Trans Info,
Jakarta.
Notoatmodjo, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Karya Medika. Jakarta.
Simatupang, 2008. Manajemen Pelayanan Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran
http://catatansafira.wordpress.com/2011/10/19/determinan-yang-mempengaruhi-statuskesehatan. Diakses tanggal 1 November 2013.
http:///G:/semester%202%20new/Semester%202/Ilmu%20Dasar%20Sosial/aspeksosial-budaya-yang-berhubungan.html. Diakses tanggal 1 November 2013.
http:///G:/semester%202%20new/Semester%202/Ilmu%20Dasar%20Sosial/budayayang-mempengaruhi-kesehatan.html. Diakses tanggal 1 November 2013.
http://andaners.wordpress.com/2009/04/20/konsep-diri-self-concept/. Diakses tanggal 1
November 2013.
http://ellyaniabadi.blogspot.co.id/2014/10/peran-sosial-budaya-terhadapupaya.html

Anda mungkin juga menyukai