Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN DISPEPSIA

DI KLINIK RAWAT JALAN DR.KOENT

A. PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiridari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Arif, 2000).
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atausindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati,
mual, kembung, muntah, rasa penuh ,atau cepat kenyang, sendawa (Dharmika, 2001).
Sedangkan menurut Aziz (1997), sindrom dispepsia merupakan kumpulan
gejala yang sudah dikenal sejak lama, terdiri dari rasa nyeri epigastrium,
kembung, rasa penuh, serta mual-mual.
Dispepsia adalah ketidaknyamanan perut bagian atas yang terkait dengan makan (biasa
disebut gangguan pencernaan), adalah gejala yang paling umum dari pasien dengan disfungsi
gastrointestinal. Biasanya, makanan berlemak menyebabkan ketidaknyamanan karena
membutuhkan proses pencernaan lebih lama dari pada protein atau karbohidrat. Salad dan
sayuran hijau serta makanan berbumbu tinggi juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan
(Kardiyudiani, 2019).

B. ETIOLOGI
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik
(struktual) dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya
gangguan disaluran cerna atau disekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan
lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsionaldapatdipicukarena faktor psikologis
dan factor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Purnamasari, 2017).
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan
fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran
cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain.
Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor
intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu.

C. PATOFISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti
nikotin, alcohol serta adanya kondisi yang stres, pemasukan makanan menjadi kurang
sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada
lambung akibat gesekan antara dinding lambung, kondisi demikianakan mengakibatkan
peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung
sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak
adekuat baik makanan maupun cairan. (Rudi Haryono, 2012)
a. Sekresiasamlambungdankeasaman duodenum
b. Infeksi Helicobacter pylori.
c. Perlambatanpengosonganlambung.
d. Gangguan akomodasi lambung
e. Hipersensitivitas lambung
f. Intoleransi lipid intra duodenal.
g. Psikologi Adanya stress akut

D. TANDA&GEJALA
Adanya gas diperut, rasa penuh setelah makan, perut menonjol, cepat kenyang, mual,
tidak ada nafsu makan dan perut terasa panas. Rasa penuh, cepat keyang, kembung setalah
makan, mual muntah, sering bersendawa, tidak nafsu makan, nyeri uluh hati dan dada atau
regurgitas asam lambung ke mulut. Gejala dispepsia akut dan kronis berdasarkan jangka
waktu tiga bulan meliput: rasa sakit dan tidak enak di ulu hati, perih, mual, berlangsung lama
dan sering kambuh dan disertai dengan ansietas dan depresi (Purnamasari, 2017).
E. MANIFESTASI KLINIS
Non Farmakologi tindakan-tindakan keperawatan dalam perawatan pasien dengan
gangguan nyeri abdomen yaitu mengatur posisi pasien, hipnoterapi, terapi relaksasi,
manajemen nyeri dan terapi perilaku. Farmakologis Pengobatan dyspepsia mengenal
beberapa obat, yaitu: Antasida, Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus,
karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Obat yang termasuk 20 golongan
ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidine. Pemasangan cairan pariental, pemasagan Naso
Gastrik Tube (NGT) jika diperlukan (Amelia, 2018).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik,
pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian yaitu: Pemeriksaan laboratorium,
biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan
urin. Jika ditemukan leukosit dosis berarti tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dyspepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat
keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumormarker (dugaan
karsinoma kolon), dan (dugaan karsinoma pankreas).
Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan
menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan. Endoskopi biasa digunakan untuk mendapatkan contoh
jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bahwa
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi
merupakan pemeriksaan bakuemas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Kumar.2013.Dasar- dasar patofisiologi penyakit.jakarta.Binarupa Aksara
Guyton.2010. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit edisi revisi III. Jakarta.EGC
Marya R. K. 2013 .  Buku Ajar Patofisiologi Mekanisme Terjadinya Penyakit.  Tanggerang
Selatan : Binapura Aksara Publiser
Nurarif, Amin Huda. 2013. Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarka diagnosa medis &
Nanda Nic Noc .Edisi revisi jilid 1 & 2. Yogyakarta : MediAction
Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta
Wilkinson, Judith. M, Ahern Nancy R. 2011. Buku saku Diagnosis Keperawatan :
Diagnosis,
NANDA Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta :EGC
LAPORAN PENDAHULUAN FARINGITIS
DI KLINIK DR.KOENT

A. PENGERTIAN
Faringitis akut adalah radang akut pada mukosa faring dan jaringan limfoid
pada dinding faring (Rospa, 2011). Menurut Vincent (2004) Faringitis akut adalah
infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh
adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
limfonodi leher dan malaise.
Faringitis adalah peradangan pada orofaring, yang ditandai dengan nyeri tenggorok,
dapat disebabkan oleh infeksi maupun noninfeksi. Faringitis umumnya disebabkan virus,
tetapi dapat juga disebabkan Group A Streptococcus β-haemolyticus (GAS) yang dapat
menimbulkan komplikasi demam reumatik, penyakit jantung reumatik, dan
glomerulonefritis.

B. ETIOLOGI
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Virus merupakan etiologi terbanyak
faringitis akut, terutama pada anak berusia < 3 tahun (prasekolah). Virus penyebab
penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat
menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr virus,EBV)
dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononikleosis
seperti splenomegali dan limfadenopati genelisata. Infeksi sistemik seperti
infeksi virus campak, virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukan gejala faringitis akut. Streptococcus ß hemolitikus grup A adalah
bakteri penyebab terbanyak faringitis akut.

C. PATOFIOLOGI
Menurut Arif Mansjoer (2007) pathofisiologi dari faringitis akut adalah
penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel kemudian bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi
menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan
yang berwarna kuning, putih, atau abu –abu terdapat folikel atau jaringan limfoid.

D. TANDA&GEJALA
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Faringitis streptokokus sangat mungkin
jika di jumpai tanda dan gejala berikut:
a. Awitan akut, disertai mual dan muntah
b. Faring hiperemis
c. Demam
d. Nyeri tenggorokan
e. Tonsil bengkak dengan eksudasi
f. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
g. Uvula bengkak dan merah
h. Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder i. Ruam skarlantina
i. Petikie palatum mole
Menurut Wong (2010) manifestasi klinik dari faringitis akut :
j. Demam (mencapai 40°C)
k. Sakit kepala
l. Anorexia d. Dysphagia
m. Mual, muntah
n. Faring edema atau bengkak
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur apus
tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90−95% dari diagnosis,
sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Kultur tenggorokan merupakan
suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang
disebabkan oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A
Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan
suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan
menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotic dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh
positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya
negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up. Rapid
antigen detection test tidak sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis
bakteri patogen lainnya (Kazzi et al., 2006).
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus tenggorok dilakukan pada
daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah
dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi
GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90−99%. Kultur tenggorok sangat
penting bagi penderita yang lebih dari sepuluh hari (Vincent, 2004).

F. PENATALAKSANAAN
Menurut Wong (2009) penatalaksanaan terapeutik dari faringitis akut jika
terjadi infeksi tenggorokan akibat streptococcus, penisilin oral dapat diberikan
dengan dosis yang cukup untuk mengendalikan manifestasi local akut. Penisillin
memang tidak mencegah perkembangan glomerunefritis akut pada anak-anak yang rentan
namun dapat mencegah penyebab strein nefrogenik dari streptococcus hemolitik ß grup A
ke anggota keluarga lainnya. Antibiotic lain yang di gunakan untuk mengobati
streptococcus hemolitik ß grup A adalah eritromisin, azitromisin, klaritromisin.
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M, dkk (Ed). 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th
Edition. Missouri: Elsevier.
Burns, C. E. 2004.Pediatric Primary Care. USA : Elsevier Crain, William. 2007. Teori
Perkembangan Konsep dan Aplikasi Edisi Keti
ga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Herdman, T. Heather (Ed). 2012. NANDA International: Nursing Diagnosis 2012-2014.
Oxford: Wiley
Ikatan Dokter Indonesia. 2008. Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta : EGC Mandal, B.K,dkk.
2006. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga
Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Moorhead, Sue, dkk (Ed). 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Edition.

Anda mungkin juga menyukai